MEMORI

By heningaprilw

2.9K 51 0

Katanya kehidupan di SMA itu menyenangkan, masa-masa indah itu saat di SMA (entah aku mendengar kata-kata itu... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 10

BAB 9

143 5 0
By heningaprilw


Aku tersadar dan aku mendapati diriku sedang terikat di kursi, di dalam salah satu ruangan yang sepertinya berbeda dari tempat aku sebelumnya menemukan Lia dan Ria. Aku sadari kalau aku tidak sendiri di ruangan ini, aku berusaha menajamkan pandanganku, mataku sedikit kabur tapi aku tahu di seberangku ada seseorang yang juga terikat dan sepertinya dia pingsan. Mataku yang kini sudah tidak terlalu kabur lagi, terkejut mendapati seseorang yang terikat di hadapanku ternyata Melia, mulutnya di lakban, jarak kami hanya sekitar satu setengah meter.

"Melia! Melia!" panggilku.

Melia mengerang dan mengeluh walau pun aku tidak tahu dia sedang mengeluhkan apa, karena mulutnya di lakban. Saat dia sadar dan melihatku di mulai mengucapkan sesuatu tapi karena mulutnya tertutup aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Melia berusaha melepaskan lakban yang melakat menutupi mulutnya, dan tidak lama lakban yang menutupi mulutnya terlepas. Seandainya kami tidak dalam keadaan seperti ini mungkin aku akan tertawa melihat caranya melepaskan lakban.

"Kak Arka!!" ucap Melia. Aku bersyukur dia baik-baik saja atau sebenarnya dia tidak sedang baik-baik saja!?

"Kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?" tanyaku memastikan keadaannya.

"Mm... hanya luka kecil karena di pukul." jawabannya membuatku terbelalak, rasa kesal dan marah mulai memenuhi kepalaku. Beraninya laki-laki itu memukul Melia sampai terluka. "Kak, bagaimana kakak bisa sampai sini?"

"Aku mendapatkan telpon dari seseorang dan dia bilang kalau kamu sedang bersama dia. Dan dia mengancamku kalau aku tidak datang ke alamat yang dia berikan, dia akan meluakaimu." jawabku jujur.

Aku bisa merasakan rasa penasaran yang lain dari tatapannya, ingin sekali aku bilang aku menyukaiinya, tapi aku tidak mungkin mengatakan kalau aku menyukainya dalam keadaan seperti ini kan. Ini bukan waktunya beromantis ria, aku harus memikirkan bagaimana caranya melepaskan ikatan ini dan keluar dari sini.

Suara engsel pintu membuatku waspada dan memalingkan wajahku kearah pintu, seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku dan sedikit lebih besar dariku masuk dan mendekati kami. Saat dia berjalan mendekati kami aku tahu siapa dia, aku tidak mengenalnya tapi aku tahu. Dia Mas Ical yang biasa menjemput Melia saat Raka tidak bisa menjemput Melia, jadi dia yang menelponku dan membawaku ke tempat ini, menjebakku dan melumpuhkanku dengan memukul bagian belakang kepalaku. Sialan.

"Ada apa dengan wajahmu!? Kau terkejut? Oh, ayolah... kamu tidak perlu terkejut seperti itu. Tapi baiklah, tidak apa-apa, ekspresimu itu membuatku senang." ucapnya.

"Kenapa kamu melakukan ini?" aku tahu pertanyaanku ini adalah pertanyaan bodoh, tapi entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Karena kamu bertanya, aku akan memberimu jawabannya. Walau pun sepertinya kamu sudah tahu jawaban apa yang akan ku berikan." ucapnya. "Karena aku menyukai Melia dan kamu ada di sini karena aku harus membereskanmu." Lanjutnya dengan ekspresi yang mengerikan.

"Apa maksudmu!?" ucap Melia dengan tatapan khawatir.

"Melia sayang, seperti pria yang waktu itu aku harus melenyapkan dia juga..." jelas Si Ical.

"Kenapa!?"

"Karena dia juga mencoba merebutmu dariku, sayang." lanjut Si Ical. "Dia menyukaimu, benarkan!?"

Tatapan Melia langsung berganti tertuju padaku, dan aku hanya bisa membalas tatapannya tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Si Ical mendekatiku dan menempelkan sesuatu di pipiku, sebuah pisau kecil. Dia memainkan pisau kecilnya ke arah wajahku dan turun ke leherku, aku tidak tahu apa aku akan benar-benar mati di tangan orang gila ini, sekali pun itu terjadi aku tidak sudi kalau harus mati di tangannya tanpa perlawanan sedikit pun. Aku mencoba mencondongkan kepalaku ke arah belakang agar pisaunya sedikit menjauh dari kulit leherku. Tapi saat Ical melihatku berusaha menghindarinya, dia dengan tangannya yang bebas menarik rambutku hingga mendongak ke arah wajahnya yang kini berada tepat diatas wajahku, tanpa melepaskan pisaunya dari leherku.

"Tunggu..." ucap Melia. "Kamu salah,, sekali pun dia menyukaiku dia tidak akan bisa mendapatkan ku." Mendengar ucapan Melia, dahi Ical berkerut. "Karena aku tidak menyukainnya, kamu tidak perlu bersusah payah membunuhnya." Mendengar ucapan Melia, membuat ku sedikit terluka˗˗tidak˗˗aku sangat terluka mendengar ucapannya. Aku tahu mungkin perasaanku terhadap Melia tidak akan terbalas, tapi dia menolakku sebelum aku menyatakan perasaanku padanya. Kini pikiranku mulai di penuhi dengan kata-kata yang Melia ucapkan "karena aku tidak menyukainya..." kata-kata itu terngiang di kepalaku, berulang-ulang kali.

"Benarkah!?" ujar Ical, bergantian menatapku lalu menatap Melia, memastikan kebenaran dari kata-kata Melia.

"Ukh!!" erangku.

"Tunggu!! Apa yang kamu lakukan!?"

"Kamu bilang kalau kamu tidak menyukainnya, berarti tidak masalahkan kalau dia terluka atau mati!" ujar Ical. Aku merasakan pisau yang menggores kulit leherku, leherku kini terasa sakit dan perih. Siapa bilang luka hati lebih sakit dari pada luka di kulit!? Goresan pisau yang di lakukan Ical ke kulit leherku bahkan membuatku tersadar dari lamunanku, membuatku tersadar kalau ini bukan saatnya untuk memikirkan tentang pernyataan cinta atau pun hal-hal seperti itu. Kami harus segera keluar dari tempat ini dan memanggil polisi untuk menangkap orang gila ini.

"Kamu pikir dengan membunuhku, kamu akan memiliki Melia!? Kamu bahkan tidak layak untuk berada di dekatnya..." ucapku. Dan ucapaku membuatnya kesal, dengan keras dia menamparku, sampai kursi yang aku duduki terguling.

"Kak Arka!!" seru Melia.

"Wah... kamu membuatku kesal, kamu tahu itu!!" Ical berjongkok di hadapanku dan kembali memainkan pisaunya di udara, lalu kembali mendarat di wajahku.

"Ical... Mas Ical, yang kamu inginkan aku kan. Biarkan Kak Arka dan si kembar pergi. Mas Ical, tidak perlu mendengarkan perkataan Kak Arka tadi. Mas Ical, yang lebih tahu tentangku kan, kau tahu kalau aku sangat membutuhkanmu." bujuk Melia.

"Kamu membutuhkanku!?" tanya Ical.

"Ya. Melia sangat membutuhkan Mas Ical."

Ical bangkit dan berjalan menuju Melia.

Mas Ical mendekatiku, membelai rambutku, menatapku dengan tatapan yang mengerikan, ya sebaiknya seperti ini. Dengan begini dia tidak akan melukai Kak Arka, aku terkejut saat Si Ical menggores leher Kak Arka dan darah segar keluar dari goresan tersebut, walau pun itu hanya goresan tipis tetap saja itu mengerikan. Aku mencoba mengalihkannya agar tidak mencoba melukai Kak Arka lagi, meski pun sebenarnya aku juga takut dengan Si Ical ini. Dia mengejutkanku dengan kecupan yang dia berikan di pucuk kepalaku. Tubuhku langsung membeku, aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba merasakan udara dingin menyengat ke kulitku.

"Singgirkan bibirmu dari dia, Brengsek!!" ucap Kak Arka dengan penuh marah.

"Mas, aku mohon lepaskan mereka. Mas, gak perlu melakukan sejauh ini..." aku berusaha membujuknya, tapi semuanya sia-sia. "Arrggh..." sebuah tamparan kembali mendarat di pipiku.

"Kau pikir aku bodoh!! Mau sampai kapan kamu membodohiku, Melia!!" teriak Ical.

"Tidak! Aku tidak berbohong, aku tidak membodohimu, Mas!!" ucapku dengan air mata mengalir ke pipiku.

"BRENGSEK!! Beraninya kamu menampar dia!!" teriak Kak Arka. Dia meronta berusaha melepaskan diri dari kursi dan ikatan yang mengingat tangan dan tubuhnya.

"Aku sudah bilang, akan membereskan laki-laki ini di hadapanmu dan akan ku lakukan saat ini juga!" Ical melangkah kembali mendekati Kak Arka yang masih dalam posisinya terbaring di lantai dengan kursi yang terikat dengannya.

Ical mendaratkan tendangannya kearah perut Kak Arka dan membuat Kak Arka mengerang, sekali lagi Ical menendangnya di tempat yang sama, sekali lagi dan lagi. Kini dia berjongkok menjambak rambut Kak Arka hingga kepalanya terangkat dan meninjunya.

"Tidak! Hentikan! Aku mohon hentikan!!" teriakku putus asa.

"Aku tidak bisa, sayang." ujar Ical sambil terus memukuli Kak Arka.

"Aku mohon..." pintaku.

Ical menoleh ke arahku dengan tatapan mengerikan, dia bukan manusia, dia iblis, senyumannya yang tergambar di wajahnya menambah kengerian di wajahnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Kak Arka yang tidak jauh mengerikan karena darah yang menutupi wajahnya, karena pukulan yang di berikan Ical. Aku mulai sesenggukan melihat keadaan Kak Arka, Ical menghampiriku sambil membersihkan tangannya yang penuh darah Kak Arka.

"Shhtt... berhentilah menangis, aku belum membunuhnya, Sayang." ucap Ical menghapus air mataku.

Tatapanku tidak lepas dari Kak Arka yang tergeletak dengan wajah penuh dengan darahnya. Kini Ical mengembalikan posisi kursi Kak Arka, Kak Arka tertunduk nafasnya tersendat-sendat dan berat.

"Akan ku biarkan kalian berdua untuk beberapa saat, akan ku bawa si kembar untuk bergabung disini. Jadi nikmatilah saat-saat kalian berdua, aku akan segera kembali." Ical mengecup ujung kepalaku sebelum dia keluar meninggalkanku dan Kak Arka.

"Kak? Kak Arka!? Aku mohon jawab aku!?" ucapku dengan suara parau. Tidak ada jawaban dari Kak Arka, aku hanya mendengar nafasnya yang semakin tersengal-sengal. Aku menggerakan tanganku untuk melepaskan ikatanku, rasa perih menjalar dari kulit tanganku, tapi tak ku pedulikan, aku hanya ingin melepaskan ikatan ini dan memastikan kalau luka Kak Arka tidak akan membuatnya kehilangan nyawa. Aku terus mengesek tanganku, membuat ikatan ditanganku sedikit melonggar, ikatan yang melongar membuat semakin bersemangat. Tak ku pedulikan rasa perih karena kulit tanganku kini mulai terkelupas dan berdarah. Tali yang mengikat tangan kanan ku, kini mulai melonggar dan aku menarik tanganku keluar dari ikatan. Aku membuka ikatan tangan kiri ku dan ikatan di kaki ku dengan terburu-buru.

Setelah terlepas aku berlari menuju Kak Arka, mengangkat wajahnya. Wajahnya yang penuh dengan darahnya, aku membuka ikatannya. Aku menepuk wajah Kak Arka, agar dia terbangun. Tapi aku hanya mendengar erangannya saja, itu sudah cukup kalau dia masih bisa meresponku.

"Kak, bertahanlah sebentar. Kita akan segera keluar dari sini." Aku menidurkan Kak Arka dilantai dan menuju pintu mencoba memutar kenop pintu dengan hati-hati, sialnya, pintu itu terkunci. Aku kembali ke tempata Kak Arka dan menariknya ke sudut agar dia bisa bersandar di tembok, aku meringkuk di sebelah Kak Arka sembari menanti si Ical membuka pintu dan saat dia membukanya akan ku pukul atau setidaknya ku buat dia terkejut dan fokus kepadaku.

"Kak, dengarkan aku. Saat si ical membuka pintu akan ku buat dia mengejarku dan aku mau Kak Arka segera meninggalkan tempat ini, aku akan mengalihkan dia. Kau mendengarku, Kak!?" tanyaku mendekat ke telinganya.

"Ti...tidak, biar aku saja yang mengalihkannya..." jawabnya dengan tersendat-sendat. "... kamu harus membawa si kembar keluar dari sini dan mencari bantuan." lanjutnya.

"Tidak, kamu terluka parah kalau kau mencoba mengalihkannya kamu bisa saja benar-benar dibunuhnya!!" tolakku.

"Dia tidak akan membunuhku, dan aku tidak akan membiarkannya membunuhku."

"Kak...!!"

"Shhttt... aku baik-baik saja, ikatanku sudah kamu lepas, aku bisa melawannya sekarang."

"Tapi..."

"Tenanglah..." belum sempat Kak Arka menyelesaikan kalimatnya, kenop pintu ruangan kami berputar. Kak Arka berusaha menegakkan tubuhnya dengan bantuanku, dia memintaku bersiap-siap untuk keluar dari ruangan ini. Aku mulai waspada dan bersiap-siap. Saat Ical membuka pintu dan mendapati kursi tempat aku dan Kak Arka berada sebelumnya kosong, membuat dia terkejut dan langsung menatap ke seluruh ruangan dan mendapati kami sedang berada di salah satu sudut.

"Oh. Kalian membuatku terkejut. Sedang apa kalian disana?" tanya Ical sambil berjalan mendekati kami. Kak Arka menjadi tameng, agar Ical tidak mendekatiku. "Ah... kau berusaha melindungi Melia dariku! Kamu tidak perlu repot-repot dan jangan sok jadi pahlawa di depan Melia!!" Ical menarik rambut Kak Arka dan membuatku yang berada di belakang Kak Arka terkejut dan terduduk. Kini Ical berusah memukul Kak Arka, tapi Kak Arka menahan tangan Ical.

"Sekarang!!" ucap Kak Arka, lebih tepatnya kepadaku. "SEKARANG!" ulangnya.

Aku bangkit dan berlari kearah pintu yang terbuka, aku meninggalkan Kak Arka bersama orang gila itu˗˗tidak, Kak Arka pasti baik-baik saja. Aku harus menemukan Lia dan Ria dulu setelah itu aku harus meminta bantuan... "Arrgh!" pekikku tertahan saat membuka salah satu ruangan dan aku mendapati keadaan si kembar yang cukup mengenaskan. Aku masuk dan memeriksa keadaan mereka dan syukurnya mereka masih bernafas dan masih bisa merespon saat aku memanggil nama mereka.

Wajah mereka lebab, hidung, mata, bibir mereka terluka, aku tidak tahu apa yang sudah di lakukan orang gila itu pada mereka. Aku memeriksa di bagian tubuh mereka, ada beberapa bekas pukulan, rambut mereka kini tidak lagi sama, rambut mereka kini terlihat lebih pendek dan berantakan karena di potong asal-asalan. Aku mencoba membangunkan mereka, membuat mereka sadar sepenuhnya akan sangat sulit, dan aku tidak bisa membawa mereka berdua dengan luka dan keadaan mereka saat ini, aku membawa salah satu dari mereka keluar dari ruangan tersebut dan membawanya ke ruangan lainnya dan kembali untuk membawa kembaran lainnya. Setelah memastikan mereka aman, aku segera turun ke lantai dasar dan kudapati pintu gudang terkunci, bahkan jendela yang berada di sisi lain pun ditutup dengan kayu-kayu yang di paku agar tidak ada yang dapat keluar mau pun masuk.

Aku beralih ke pintu satunya yang berada di belakangku, tapi rantai dan gembok masih berada di tempat yang sama, pintu itu juga masih terkunci seperti saat aku dan Lia menemukannya sebelumnya. Aku berusaha membuat kebisingan, berteriak berharap ada seseorang yang lewat dan mendengar suaraku, tapi tempat itu sangat sepi dan tidak ada satu pun orang yang di luar sana. Aku kembali ke lantai dua dan memasuki ruangan yang dulu di penuhi dengan foto-fotoku, aku mengobrak-abrik meja yang ada di ruangan tersebut, berharap mendapatkan kunci atau setidaknya benda yang bisa ku gunakan untuk membuka pintu. Nihil.

"MELIA!!"

Betapa terkejutnya aku mendengar suara pintu dibanting dan teriakan si Ical yang menggema memanggil namaku. Aku memandangi pintu ruangan yang ku masuki, tubuhku tiba-tiba saja membeku.

"MELIA!!"

Teriakan berikutnya membuatku lebih terkejut, dia menemukanku. Dia menatapku, tatapan kebencian, tatapan yang siap untuk membunuh siapa saja, nafasnya memburu.

"KAMU!! BERANI SEKALI MELARIKAN DIRI DARI KU LAGI!" ucapnya sambi berjalan mendekatiku. Wajahnya yang penuh dengan darah membuatnya bertambah menyeramkan. Aku mundur saat dia mulai dekat denganku, tangannya mulai mencoba menggapaiku yang berada di seberangnya. Aku berbalik dan berusaha melarikan diri, keluar dari ruangan itu. Belum sempat aku sampai di depan pintu, dia berhasil menggapai rambutku dan menariknya, aku tertarik kebelakang dan dengan amarah yang mengusainya. Dia menghantamkan keningku ke meja dengan kuat, membuatku hampir kehilangan kesadaranku. Kali ini dia membalikkan badanku menghadap kearahnya dan mencekik leherku, bisa ku rasakan kemarahannya, bisa ku rasakan rasa bencinya. "Aku akan mati, kali ini aku pasti akan mati di tangannya. Kepalaku pusing, aku tidak bisa bernafas. Sesak." pikirku.

"Lepaskan dia, brengsek!!"

Aku kenal suara itu, tapi...

"BUUKKK."

Tiba-tiba saja cengraman tangan Ical dari leherku terlepas dan aku segera menghirup oksigen dengan terburu-buru hingga terbatuk-batuk.

"Melia, pelan-pelan saja bernafasnya." ucap Kak Arka.

"Kak Arka..." ucapku. Dia memintaku untuk menepi agar aku tidak bisa di raih oleh Ical lagi. Kak Arka bangkit dengan susah payah dan menantang Ical yang juga sedang bersiap menyerang Kak Arka. Ical dengan amarah yang menguasainya mulai menyerang Kak Arka lebih dulu dengan tinjuannya. Namun tinjunya hanya mengenai udara kosong, dan itu menambah kekesalanya. Mereka saling melawan satu sama lain, setelah mengumpulkan kesadaranku˗˗aku langsung bangkit dan meninggalkan mereka di dalam sana, kembali ke ruangan tempat aku dan Kak Arka di ikat, aku mengambil sesuatu dari bawah tempat tidur yang ada disana. Sebuah besi kecil, tapi berguna˗˗mungkin tidak bisa di pakai untuk membunuh tapi setidaknya bisa melukai.

"Hei." Seseorang menyapaku dan saat aku berbalik aku mendapatkan pukulan telak di wajahku, aku tersungkur dengan hidung berdarah dan kepalaku bertambah pusing. Aku menoleh ke arah orang tersebut, seorang cewek dan sepertinya seumuran denganku.

"Siapa kamu!?" aku yakin aku tidak pernah melihat cewek ini sebelumnya, dan ini pertama kalinya aku bertemu dengan dia dan dia dengan seenaknya memukulku dengan˗˗ukulele!?

"Kenapa kamu tidak mati saja!" ucap cewek tersebut dengan wajah tanpa ekspresi. Dia mendekatiku dengan ukulelenya yang kini rusak karena dipakai untuk memukul wajahku. Dia berjongkok di depanku, memandangku dengan pandangan yang˗˗kosong˗˗tidak tatapannya tidak sepenuhnya kosong, tatapannya penuh dengan rasa iri, cemburu dan benci, tapi ekpresinya tetap datar. "Seharusnya dulu aku membunuhmu juga, kamu ini selalu membuat kakak ku kesulitan saja." oceh cewek yang sama sekali tidak ku kenal itu. "Kamu tidak cantik tapi kenapa kakak ku bisa tergila-gila denganmu!? Aku benar-benar sangat membencimu, aku akan membunuhmu sekarang saja." Dengan mengejutkan dia mengeluarkan belati dari balik jaket yang dia kenakan dan mencoba untuk melukaiku dengan belatinya. Aku dengan sigap menahan tangannya yang memegang belati tersebut agar tidak menusuk dadaku.

"Kamu gila!!" ucapku sambil menahan tangannya.

"Aku akan membantu kakak ku menyinggirkan orang-orang yang menyusahkannya, orang-orang seperti mu." Dia menekan tangannya lebih keras, agar belatinya mengenai tubuhku dan aku menahannya lebih keras lagi.

Aku mendorongnya hingga dia tersungkur ke belakang dan aku segera bangkit, besi yang sebelumnya ku ambil dari bawah tempat tidur, kini berada tepat di sampingku˗˗aku segera mengambilnya dan mengarahkan ke arah cewek itu.

"Kamu saudaranya Ical?" tanyaku saat posisi kami kini berbalik.

"Ya. Dan aku akan membunuhmu dan membuat kakak ku kembali padaku." jawab cewek tersebut. Aku kurang paham dengan ucapannya barusan, tapi aku menyinggirkan hal itu, dan tetap waspada pada cewek yang ada dihadapanku saat ini. Kami bergumul, saat posisiku berada diatasnya dia dengan telak menendang perutku hingga aku menyinggir darinya. Dengan tetap memegang perut ku yang sakit, dengan tangan lainnya aku menodongkan besi yang sedari tadi ku pegang. Dia berdiri dan berusaha menyerangku, saat seranganku yang membabi buta karena posisiku yang kurang menguntungkanku, aku berhasil mengenai tangannya yang memegang belati, membuat belati itu terjatuh dari tangannya dan kini dia menggeram karena sakit dan tangannya tergoreng oleh ujung besi yang ku pegang.

"Berengsek. Kenapa kamu tidak mati saja!!" serunya sambil kembali berusaha menyerangku yang kini kami dalam posisi berdiri dan berhadapan. Dia kembali meraih ukulelenya dan menyerangku, aku berusaha mengelak tapi sialnya aku tidak berhasil, ukulelenya kembali mengenai wajahku dan itu sakit. Besi yang aku punya tidak terlalu panjang, jadi aku harus lebih dekat agar bisa menyerangnya dengan besi yang ku pegang.

***

Setelah berkeliling dan kami masih tidak bisa menghubungi dan menemukan Melia. Ana menelpon Aldi dan memeberitahu mengenai teman mereka yang kembar dan mengenai Arka yang sepertinya sedang mengkawatirkan sesuatu, karena kata Ana sejak mendapat telpon dia menjadi gelisah. Bahkan Sukma dan Jane di tinggal di tempat Ana, siapa yang menelpon dia dan kenapa dia segelisa itu?

"Aldi, bagaimana apa Arka menjawab telponmu?" tanyaku.

"Gak, kak. Beberapa menit lalu masih bisa dihubungi walau tidak dia jawab, tapi sekarang ponselnya malah gak aktif!?" ucap Aldi.

"Gak aktif juga!? Oh, ada satu tempat yang belum kita datangi, kita kesana sekarang." ucapku saat mrngingat satu tempat itu.

Aku berharap Melia tidak ada disana, aku harap Melia tidak terluka, aku harap dia baik-baik saja, kalau dia terluka lagi semua ini salahku. Aku tidak bejus menjadi kakaknya, aku kakak yang payah karena tidak bisa melindungi adik ku sendiri. Aku mohon Tuhan, semoga Melia baik-baik saja. Satu jam perjalanan dengan kecepatan maksimal, akhirnya aku dan Aldi sampai di tempat peti kemas yang sudah tidak beroperasi lagi, tempat dimana Melia pernah di culik dan di sekap. Aku memelankan motor yang aku kendarai, mencari gudang tempat Melia pernah di culik dan aku menemukannya.

"Kita parkir disini saja." putusku. Aku dan Aldi turun dan berjalan mengendap-endap.

"Kenapa kita harus mengendap-endap seperti ini?" tanya Aldi.

"Seperti ini lebih baik dari pada kita ketahuan sama orang yang ada di dalam gudang itu." jawabku. Kenapa ada cahaya di gudang itu, harusnya gudang itu sudah di kunci dan seharusnya tidak ada siap pun di sana.

"Psstt... Raka, lihat!?" panggil Aldi. Aku mengikuti arah pandangannya dan mendapati mobil dan sebuah sepedah motor yang tidak asing buatku.

"Ini mobilnya Arka." ujar Aldi.

"Ya, dan ini motor Mas Ical juga ada disini!?" entah kenapa tiba-tiba saja, perasaan tidak enak menyerangku, sekelebatan kejadian yang lalu kembali menyerangku. Kecurigaanku dulu kembali menghampiriku.

"Ka, Raka!!" panggilan Aldi menyadarkanku. "Apa kita coba cek ke dalam?"

"Ya, kita harus cek ke dalam." Kami mencoba membuka pintu gudang tersebut, tapi terkunci, kami ke bagian belakang gudang dan mencoba membuka pintu bagian belakang˗˗tapi terkunci juga. Jendela yang berada disisi gudang juga terlihat di palang dengan kayu dari dalam gudang, tidak ada tempat yang bisa mebuat kita bisa masuk kedalam.

"PRAANG!"

Suara kaca pecah dari lantai atas, serpihan kaca dan sebuah kursi hampir mengenaiku dan Aldi yang berada tepat di bawah.

"Kursi?" tanya Aldi bingung. "Ada orang di dalam, Ka!?" ucap Aldi.

"Kita harus masuk ke dalam!" seruku.

"Bagaimana caranya?"

"Pecahkan kaca ini dan bongkar kayu yang ada di dalam itu." ucapku.

Tanpa menunggu aba-aba aku langsung memecahkan kaca dengan batu yang berserakan di dekat gudang, sekarang tinggal melepaskan kayu-kayu itu agar kami bisa masuk ke dalam. Saat aku memerlukan bantuan, Aldi malah berlari menuju mobil Arka dan kembali dengan membawa dongkrak.

"Dengan ini, kita coba menghancurkan kayunya." ucap Aldi yakin.

"Cukup sulit untuk menghancurkan atau detidaknya membuatnya lepas dari paku-paku yang menahannya, karena posisi jendela yang cukup tinggi dan kayu yang sepertinya masih baru, membuat aku dan Aldi harus mengeluarkan tenaga ekstra dan berusaha sedikit lebih lama untuk menghancurkan kayu tersebut. Terdengar suar kayu terjatuh, aku sedikit berjinjit agar bisa melihat apakah itu kayu yang kami coba hancurkan benar-benar sudah terlepas? Setelah yakin kayu yang menghalangi sudah terlepas, aku dan Aldi bergantian masuk melalui jendela tersebut dengan berpijak di tembok.

Tanpa memeriksa lantai dasar aku yang di susul oleh Aldi langsung menuju lantai atas. Kami melewati ruangan pertama yang tertutup lalu kami mendengar kebisingan di ruangan yang berada di seberang tidak jauh dari ruangan pertama. Aku dan Aldi mendapati dua orang sedang berkelahi, dari punggungnya aku tahu siapa dia. Ical. Aku dan Aldi langsung masuk dalam perkelahian tersebut, mencoba melerai mereka. Betapa mengejutkannya melihat keadaan Aldi yang penuh dengan luka lebam dan darah, Ical pun tidak jauh berbeda dengannya, walau dia tidak terlalu parah.

"Kamu sedang apa disini? Bagaimana bisa kamu masuk!?" seru Ical terkejut dan ada tatapan kemarahan yang terpancar dari matanya. "Dia, dia mencoba melukai Melia."lanjut Ical, sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya. Dia terlihat mencoba membuatku percaya dengan apa yang dia ucapkan, dia berusaha membuat dirinya menjadi korban disini. Aku menjauh darinya dan menatapnya, ekspresi yang sama seperti saat Melia dulu di temukan, perasaan yang dulu pernah datang padaku, perasaan penasaran, perasaan mengenai sesuatu yang salah dengan kesaksian yang di berikan Ical saat itu, kini aku melihatnnya lagi, ekspresi itu.

"Kamu yang dulu menculik Melia juga kan?" tanyaku penasaran.

"Apa yang kau bicarakan, Raka!? Bagaimana bisa aku menculiknya, aku sangat menyayanginya bagaimana mungkin aku menculik Melia dan menakutinya seperti itu." jawabnya.

"Tidak, ekspresimu saat ini sama seperti saat itu." ucapku.

"Kau ini bicara apa..."

"Dimana Melia?" tanyaku.

Ical hanya diam dan memandangku, menatapku dan menatap Aldi yang sedang membantu Arka di sebelahku.

"Dimana Melia!?" ulangku.

Aku tersadar kalau bukan kamar ini yang jendelanya pecah tadi, lalu kalau bukan ruangan ini, mungkin ruangan yang kacanya pecah tadi adalah ruangan Melia di sekap.

"Sampai adik ku terluka, aku yang akan membunuhmu!" ancamku sambil mencengkram pakaian Ical.

"Kamu kakak yang bodoh, kamu kakak yang tidak berguna, kamu tidak pantas menjadi kakaknya, kamu bahkan tidak bisa menjaganya dengan baik seperti aku menjaga dia." jawabnya dengan nada mengejek dan tatapan menantang.

Aku melepaskan cengkramanku dan keluar dari ruangan itu, mencari ruangan yang kacanya pecah. Baru saja aku keluar dari ruangan, seseorang menabrakku.

"Arrhg!" teriak cewek yang menabrakku itu.

"Melia!" seruku. Saat mengetahui kalau Melia yang menabrakku.

"Kak..."

"Mati, kamu harus mati." suara seseorang yang keluar dari ruangan tempat Melia keluar tadi, seorang cewek dengan belati di tangannya.

"Cewek itu gila." ucap Melia yang langsung sembunyi di belakangku.

"Kamu harus mati..." ucapannya tergantung, dia terdiam di tempat dengan ekspresi ketakutan.

Aku menoleh ke belakang dan ku dapati Ical sudah menjambak rambut Melia, menarik Melia menjauh dariku.

"Aku sudah bilang kalau kamu harus pulang kan!?" ucap Ical kepada cewek yang ingin membunuh adikku.

"Maaf. Maaf, kak... aku... aku hanya ingin memnbantu..." jawab cewek itu sambil sedikit menunduk.

"Dan kamu sudah ku bilang untuk menjauh dari Melia, jangan pernah menyentuh Melia. Tapi sepertinya kamu berani menentangku!"

"Tidak, kak... tidak akan ku ulang. Aku hanya menakutinya saja." ucap cewek itu.

"Berengsek kalian berdua! Kamu, lepaskan adikku!" ucapku kesal dengan drama mereka berdua.

"Aku tidak akan melepaskan dia lagi, dia akan bersamaku. Aku yang akan menjaganya mulai sekarang, karena kamu tidak bejus menjadi kakaknya." ucap Ical.

"Kak... aahh!" rintih Melia sambil memegangi rambutnya yang di tarik oleh Ical.

Tunggu, di mana Aldi, kenapa dia tidak membantuku? Kenapa dia tidak mencoba menyerang Ical dari belakang? Apa yang sudah terjadi dengan Aldi dan Arka? Mereka tidak matikan?

Ical yang mulai mundur perlahan dengan Melia yang masih dalam genggamannya, aku mencoba maju agar bisa melihat keadaan di dalam ruangan tempat aku menemukan Arka dan Ical. Dua orang sedang tergeletak disana, Arka dan Aldi. Aku tidak masuk ke dalam aku hanya melihat mereka dari luar, memperhatikan punggung mereka yang naik turun˗˗syukurlah mereka masih bernafas. Aku kembali fokus ke Ical, Melia dan cewek yang tidak ku tahu siapa namanya.

Kini Ical dan Melia berada di dekat cewek tersebut, Ical terlihat kesal karena cewek itu ikut campur. Melia menatapku dan aku membalas menatapnya, Melia menarik nafas bersiap-siap melakukan perlawanan kecil. tangannya yang bebas, dia mengayunkannya ke belakang, siku Melia mengenai perut Ical yang membuat Ical otomatis menunduk sedikit dan serangan selanjutnya, Melia mendorong kepalanya ke belakang dan telak mengenai wajah Ical. Tangan yang sebelumnya mencengkram rambut Melia kini terlepas dan memegangi hudungnya yang kini mengeluarkan darah segar. Melia berlari ke arahku dan cewek yang bersama Ical membantu Ical yang kesakitan.

"Tangkap mereka, Bodoh!!" perintah Ical.

Cewek itu mengejar kami, hingga ke lantai dasar, masih dengan belati kecil yang sedari tadi dia pegang. Tidak ada tempat untuk melarikan diri di lantai dasar, kalau pun mau keluar harus sedikit memanjat tembok agar bisa keluar melalui jendela yang sebelumnya sudah aku dan Aldi hancurkan.

"Aku tidak bisa memukul wanita, jadi, bisakah kamu melepaskan kami saja!?" ucapku.

"Laki-laki bodoh." ucap cewek dengan belati. "Aku akan membunuh kalian."

Dia mencoba menyerangku, tapi Melia secara tiba-tiba memukul cewek itu dengan sebuah balok ke arah pundak cewek tersebut.

"Kakak ku tidak akan memukul wanita, tapi aku yang akan memukulmu." ucap Melia dengan nada sedikit kesal.

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.8M 128K 49
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 81.8K 37
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...