MEMORI

By heningaprilw

2.9K 51 0

Katanya kehidupan di SMA itu menyenangkan, masa-masa indah itu saat di SMA (entah aku mendengar kata-kata itu... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10

BAB 5

151 3 0
By heningaprilw


Keesokannya saat istirahat makan siang Arka menjemputku di kelas dan menangih janjiku untuk mentraktir dia di kantin. Sebetulnya bukan hanya kami berdua yang pergi ke kantin, tapi keempat temanku juga ikut bergabung dengan kami. Seperti biasa kami pergi ke warung Pak Nur dan memesan bakso dan minumannya. Kami mencari tempat yang muat untuk kami berenam, Arka yang mendapatkan meja kosong yang muat untuk kita semua.

"Kak, sejak kapan kakak dekat dengan Melia?" tanya Jane penasaran karena melihat kami asik ngobrol. "Ah... jangan-jangan kalian pacaran!!??" dan kata-kata terakhir Jane membuat hampir semua yang ada di warungnya Pak Nur menoleh ke tempat kami, tapi aku pastikan pandangan mereka tertuju padaku dan Arka.

"Tck... jangan sembarangan ngomong, Jane!" ucapku.

"Jadi apa hubungan kalian?" rasa penasaran Jane menular ke Ana dan bukan hanya Ana, Sukma dan Aldi pun menatap kami bergantian.

"Tenang saja, kami belum jadian kok." ucap Arka yang membuatku tambah shock.

"Belum? Berarti akan terjadi!?" ucap Aldi yang gak kalah heboh dengan Jane dan Ana, sedangkan Sukma malah bertepuk tangan dengan gembira.

"Oh... Astaga, tiba-tiba pusing kepalaku." ucapku sambil memijat-mijat kepalaku.

Setelah obrolan yang lumayan membuatku puyeng akhirnya pesanan kami datang, dan Arka sambil menikmati pesanannya dia memberi arahan ke Ana untuk pemilihan Ketua OSIS nanti dan masih terus berlanjut sampai bakso kami ludes sampai ke kuah-kuahnya.

"Pakle, berapa punya saya sama Arka?" tanyaku ke Pak Nur.

"Oh, udah dibayar semua, Neng." ucap Pak Nur.

"Loh, siapa yang bayar?" tanyaku.

"Iya, punya kami juga dibayarin, Pak?" tanya Aldi.

"Iya, punya Eneng-eneng sama Masnya udah di bayar juga." Jawab Pak Nur lagi.

"Kok, seperti dejavu ya!?" ucapku.

"Ahh... waktu kita masih di MOS juga pernah ada yang bayarinkan!?" ucap Sukma.

"Oh... ya ya ya!!" seruku.

"Aku yang bayar." ucap Arka dari arah belakang kami. "Kalian gak mau balik ke kelas?" tanyanya.

"Kak Arka yang bayar ini semua?" ucap Jane.

"Mm... dan makanan waktu kalian MOS juga." ucapnya sambil berjalan mendahului kami.

"Kenapa? Padahal waktu itu kami belum kenal kakak?" tanya Ana.

"Anggap saja kalian sedang beruntung saat itu. Aku pergi duluan ya, bye."

"Kenapa kita bisa beruntung?" tanya Aldi setelah Arka pergi menuju kelasnya.

"Iya, padahal saat itu kita habis di hukum sama wakilnya." dumel Jane.

"Mel, pulang nanti ikut aku sama Aldi?" tanya Sukma.

"Gak, aku masih ada urusan." tolakku.

"Oh... bareng kakakmu?" tanya Ana.

"Bukan."

"Terus? Urusan sama siapa?"

"Tck... Ana, kenapa kamu masih gak ngerti sih, dia janjian sama ketua OSISmu." canda Aldi.

"Ohhh... astaga, maaf aku baru konek sekarang."

"Sembarangan aja kalian ini." ucapku.

Jl. Pulau Balang No. 1, Kariangau KM. 13

Datanglah kesana dan kamu pasti merindukannya.

Alamat yang tertulis di kertas yang terselip di buku tulisku yang ada di laci meja. Saat bel pulang berbunyi aku langsung keluar dan di depan sudah menunggu ojek langganan yang biasa mengantar atau menjemputku kalau Raka sedang berhalangan.

"Mas Ical..." panggilku ke ojek yang sudah menungguku di atas motor meticnya.

"Kenapa, Mas Raka gak bisa jemput, Eneng ya?" tanya Mas Ical selaku tukang ojeng pribadiku yang lain.

"Iya, dia sibuk." ucapku.

"Mau langsung pulang, Neng?"

"Gak, tolong antar aku ke alamat ini." Aku menunjukan alamat yang ku dapat, tapi tulisan dibawah alamat itu sudah ku robek lebih dulu.

"Siap, pake helmnya dulu, Neng, baru kita lets go." ucap Mas Ical.

Kami menyuri perjalanan yang cukup jauh, belum lagi macet dan panasnya matahari hari ini. Tapi itu tidak membuatku mundur, aku ingin tahu tempat seperti apa dan siap yang menyelipkan kertas itu di bukuku. Perjalanan kami membawa kami ketempat yang di penuhi dengan peti kemas.

"Neng, mau ngapai di tempat seperti ini?" tanya Mas Ical bingung.

"Gak ngapain-ngapain, maju lagi mas dan tolong masuk ke sana." tunjukku ke salah satu jalan yang bercabang.

Mas Ical membelokkan motornya sesuai perintahku, kini kami memasuki tempat yang sudah terbengkalai dengan peti kemas yang sudah berkarat di sana-sini.

"Stop!"

"Kenapa, Neng? Disini tempatnya, Neng?" tanya Mas Ical. "Kayanya di sana pernah terjadi sesuatu, masih ada bekas garis polisi, mau lihat ke sana, Neng!?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Ical, tidak, aku tidak bisa menjawabnya karena tenggorokaanku tiba-tiba kering, badanku menggigil dan tanganku mencengram jaket Mas Ical.

"Neng Melia... kenapa? Kok pucat gitu?" tanya Mas Ical yang mulai khawatir saat menoleh ke arahku.

Aku berusaha membasahi tenggorokan ku dengan air liurku agar aku bisa mengucapkan sepatah kata ke Mas Ical.

"Mas, putar balik... aku... aku mau pulang..." ucapku gemetar.

"Oke, oke, kita putar balik."

Mas Ical memutar motornya dan meninggalkan tempat itu, sepanjang jalan aku hanya diam dan mencengkram pakaian Mas Ical dengan erat. Saat kami berada di jalan raya, aku memintanya untuk berhenti sebentar. Aku turun dari motor dan melepaskan helm yang ku kenakan, aku berlari ke tepi parit dan memuntahkan semua makan siangku. Mas Ical yang khawatir berlari ke arah warung kecil dan membelikanku air putih dan tisu. Dia menepuk-nepuk punggungku sambil memberiku tisu.

"Neng, mau saya antar ke dokter?" tanyanya yang hanya ku jawab dengan gelengan.

Setelah aku sedikit lega, Mas Ical mengantarku pulang. "Mas, tolong rahasiakan hari ini dari Raka dan Mama. Kalau perlu, Mas, lupain aja kalau saya pernah meminta Mas buat antar saya ke tempat tadi."

"Mm... baik, Neng. Tapi, Neng, yankin gak mau pergi ke dokter dulu? Muka, Neng masih pucat loh!?"

"Gak, Mas, aku baik-baik aja. Makasih udah di antarin pulang." ucapku sebelum masuk kedalam rumah.

"Eh, kenapa telat pulangnya?" tanya Raka saat melihatku baru pulang.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya berjalan menuju kamarku, saat berada di dalam kamar aku langsung mengunci pintu kamarku. Aku berjalan menuju sisi tempat tidur menatap keluar jendela kamar menatap taman yang ada di luar kamar, memeluk diriku sendiri, berusaha menenangkan diri. Buku-buku tanganku terasa dingin seperti es, badanku masih saja gemetar dan menggigil mengingat tempat yang baru saja aku datangi, air mataku jatuh membasahi pipi, aku berusaha meredam suara tangisku agar tidak terdengar Raka yang ada di luar.

"Melia, Melia..." aku terbangun karena panggilan dan ketukan pintu dari mamaku yang sedang berada di balik pintu kamarku."...apa kamu sedang tidur? Kenapa pintunya di kunci?" ucap mama masih berusaha membuka pintu kamarku.

Entah sejak kapan aku mulai tertidur, saat menangis tadi tiba-tiba saja mataku jadi berat dan berakhir dengan aku tertidur di lantai.

"Kecapean kali, Ma." ucap Raka yang saat ini sedang berada di depan pintu kamar bersama Mama. "Dari tadi juga udah ku panggil-panggil tapi gak ada sahutan."

"Mel, ayo buka pintunya, kamu harus makan malam dulu!?" ucap mama.

"Melia gak lapar, Ma." jawabku dari dalam kamar.

"Oh... udah bangun dia! Heh, buka pintunya. Kamu bahkan belum mandi kan, keluar mandi dan makan malam sana." teriak Raka.

"Raka, jangan teriak-teriak gitu, sakit kuping mama!!"

"Oh, maaf, Ma."

"Sayang, buka pintunya dulu. Mama mau lihat wajah anak mama, hari ini mama gak sempat lihat wajah anak perempuan satu-satunya mama." ucap mama.

Aku berjalan dengan lunglai mendekat ke pintu.

"Ma, tolong biarkan Melia sendiri dulu ya." ucapku dari balik pintu tanpa membukanya.

"Sayang, ada apa? Apa terjadi sesuatu di sekolah?"

"Gak ada, Ma. Melia cuman capek dan pengen sendiri, Melia akan makan kalau Melia lapar, Ma."

"Tapi..."

"Ma, biarkan saja, dia tadi pulang sore mungkin habis ada latihan eskul, makanya dia kecapean. Ayo kita makan duluan saja, Ma." bujuk Raka ke Mama.

Aku mendengar protes yang mama lontarkan ke Raka karena memaksanya untuk menjauh dari kamarku, aku bisa mendengar langkah-langkah kaki mereka yang semakin jauh.

Keesokan harinya.

"Mel, bangun. Kamu gak siap-siap berangkat sekolah?" ucap Raka.

"Melia, apa kamu sakit, Nak?" tanya Mama.

"Ma, bisakah aku ijin untuk hari ini?" tanyaku dari dalam kamar.

"Melia, buka pintunya dulu. Dari kemarin kamu ngunci diri di kamar terus, buka pintunya sekarang!!"

"Raka, jangan bentak seperti itu!?"

"Ma, dia dari kemarin sore gak ada keluar kamar, gak ada makan, kalau di memang sakit, kita bisa bawa dia berobat. Eh, buka pintunya jangan coba-coba ngebolos sekolah kamu, Mel..."

"Sudah-sudah kamu berangkat sekarang sana, nanti kamu malah terlambat."

"Tapi, dia bagaimana?"

"Biarkan saja, hari ini biar di ijin. Mama akan telpon Wali kelasnya untuk minta ijin, sudah sana berangkat cepat."

Aku bisa mendengar percakapan mereka berdua dari dalam kamarku. Raka akhirnya berangkat sekolah sedangkan mama sebelum pergi ke kliniknya dia sempat menelpon Wali Kelasku dan meminta ijin kalau aku tidak bisa masuk hari ini.

"Sayang, mama pergi ke klinik. Keluar dan makanlah sesuatu, di meja makan mama sudah siapkan makanan. Melia, telpon mama kalau ada apa-apa ya?"

"Iya, Ma."

Kini hanya aku sendiri di rumah, aku berusaha untuk duduk tapi kepala terasa berat. Semalam aku terus bermimpi buruk, kenangan mengerikan saat itu kembali menghantuiku, walau samar tapi cukup membuatku ketakutan, orang itu kembali mengincarku. Lebih buruknya dia berada di sekolah yang sama denganku dan mungkin saja di kelas yang sama!? tunggu, kalau dia berada di kelasku itu lebih buruk lagi. Aku tidak pernah benar-benar melihat wajah orang yang menculikku, tidak saat itu dia pernah membuka topengnya, tapi kenapa aku tidak bisa mengingat wajahnya. Polisi tidak bisa menemukan orang yang sudah menculik dan menyekapku di gudang itu, yang aku tahu dia seumuran denganku dan saat itu mengenakan seragam batik yang sama denganku, polisi sampai harus susah payah meminta keterangan para siswa di sekolahku saat itu, tapi tidak mendapatkan hasil apa pun.

Aku susah payah bangun dari tempat tidur, menatap pantulan diriku di cermin, betapa buruknya diriku saat ini. Bekas air mata di pipi, mata bengkak, bahkan aku belum ganti pakaian dan mandi sejak kemarin sore. Aku mengambil handuk dan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi, membersihan diriku, lalu berpakaian. Aku mengisi tasku dengan beberapa barang-barang penting dan beberapa barang yang mungkin aku butuhkan. Aku berjalan menuju jalan raya sampai aku menemukan tukang ojek yang mangkal tidak jauh dari blok tempat aku tinggal, aku memberikan alamat tempat yang ingin ku tuju. Sampai di alamat yang ku tuju, aku meminta ojek untuk berhenti di penggir jalan, setelah membayar tukang ojek, aku pun berjalan masuk menyusuri jalan yang sedikit rusak. Cukup jauh untuk masuk ke tempat tujuanku dengan berjalan kaki, matahari semakin terik tepat di atas kepalaku. Aku melewati beberapa peti kemas yang sudah tidak di gunakan lagi dan berkarat, aku melangkah terus sampai tiba di tempat aku pernah di sekap. Seperti yang di bilang Mas Ical disana masih ada sisa-sisa dari garis kuning polisi, aku mendekati gedung yang cukup besar dan sudah lama terbengkalai itu, menarik nafas sebelum aku benar-benar mebuka pintu gudang tersebut. Pintu berderik saat aku membukanya, bau apek menyebar ke hidungku. Aku memasuki salah satu ruangan yang berada di lantai atas paling pojok, setiap aku menapaki anak-anak tangga, anak-anak tangganya selalu berderik. Ku putar kenop pintu, aku bisa merasakan tubuhku bulai gemetar dan kakiku mulai lemas. Aku membukanya dan di sana masih ada rangka tempat tidur, setiap dinding bahkan sudut dinding hingga pintu di pasang peredam suara semuanya masih di sana, aku hanya memandangi ruangan itu dari depan pintu, aku tidak berani untuk melangkah masuk kedalam sana.

Aku bersandar ke dinding, menenagkan diri. Aku menutup kembali pintu ruangan tersebut dan beralih ke ruangan lainnya, aku membukanya dan menatap setiap sudut dinding di ruangan tersebut. Seingatku dulu di sana terpajang foto-fotoku entah itu saat aku sedang olahraga, saat aku sedang belajar di dalam kelas, saat di kantin, saat di taman dengan teman-temanku, bahkan ada foto dimana saat itu aku sedang bersama dengan kakak kelas atau adik kelas saat itu sedang menyatakan rasa suka meraka dan ada juga foto-foto saat aku dan Raka sedang jalan di salah satu Mall atau saat aku dan Raka sedang jogging sore di Lapangan Merdeka. Kini dinding-dinding itu kosong tak menyisahan satu pun foto yang dulu sempat terpajang di sana, aku tidak tahu apa yang polisi lakukan dengan foto-foto itu. Di ruangan ini juga aku pernah di tampar dan di pukul oleh orang itu, tapi setelah dia memukuliku dia langsung meminta maaf, namun tidak serta merta dia tidak memukuliku lagi, saat aku ketahuan untuk melarikan diri, dia bahkan pernah hampir membunuhku. Dia mencekikku dengan tali, saat aku hampir ke hilangan kesadaranku dia melepaskan cekikannya dan kembali meminta maaf, lalu setelah itu aku di kurung di kamar kedap suara tadi. Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah itu, hal terakhir yang ku ingat beberapa polisi datang dan aku di bawa ke dalam ambulan, bahkan kabar mengenai orang itu hanya ku dengar dari keluargaku.

"Siapa kamu? Sedang apa di tempat seperti in?" seorang pria setengah baya mengejutkan ku.

"Oh..."

"Kamu mau buat mesum ya? Atau mau ngelem ya disini!?" seru pria itu galak. "Oh... kamu kan..."

"Bukan... saya... saya akan pergi, maaf... per... permisi." Aku memotong ucapan orang tersebut dan langsung menuruni tangga, meninggalkan tempat itu.

Berjalan menyusuri jalan sebelumnya yang aku lewati menuju jalan besar, alih-alih mencari angkot atau ojek aku malah terus berjalan di sepanjang trotoar. Bayangan-bayangan itu kini memenuhi kepala ku, kenangan-kenangan yang tidak ingin ku ingat, kenangan yang membuatku selalu bermimpi buruk, kenangan yang membuatku mengikuti latihan Kickboxing, kenangan yang tidak pernah lengkap...

"Melia!!"

Aku menoleh ke arah suara yang tidak asing di telingaku, ku dapati sebuah mobil sedang berjalan perlahan dan ku lihat wajah seseorang yang berada di dalam mobil. Mobil yang perlahan berjalan kini mulai berhenti dan orang yang memanggilku tadi keluar menghampiriku.

"Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu tidak masuk sekolah tadi? Kata teman sekalasmu, kamu sakit?" tanya Arka. "Mel... ada apa? Kenapa nangis?"

Arka membawaku masuk ke dalam mobilnya dan memberikan arahan kepada supirnya untuk ke alamat yang di berikan. Sepanjang jalan menuju rumah, aku hanya menagis. Sampai saat mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumahku dan aku melihat Raka dengan motornya sepertinya akan keluar lagi. Tapi saat aku dan Arka keluar dari mobil, Raka langsung mengurungan niatnya dan mensandarkan motornya lalu berlari menuju ke arah kami.

"Melia!! Dari mana saja kamu? Kamu tahu aku khawatir sekali waktu kamu gak ada di rumah dan kenapa ponselmu gak aktif!? serbu Raka dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya. "Kamu menangis? Heh, kamu apain adik ku!!" ucap Raka dengan kesal ke arah Arka.

"Aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya melihatnya berjalan dan memberinya tumpangan." jawab Arka cepat.

"Kak, Arka gak salah."

"Kamu gak usah ngebelain dia!!"

"Kak, aku gak ngebelain, tapi beneran dia cuman memberiku tumpangan." ucapku.

"Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita masuk ke dalam." Raka membantuku. "Dan kamu terima kasih sudah memberi adikku tumpangan." ucapnya ke Arka.

"Raka... aku tidak ingin pergi ke sekolah lagi." ucapku saat kami sudah berada di kamarku.

"Apa kamu di kerjain lagi di sekolah?" tanya Raka.

"Tidak..."

"Tunggu sebentar aku harus menghubungi Aldi dulu, aku tadi meminta dia dan teman-temanmu untuk mencarimu. Tunggu sebentar ya." Raka pergi keluar kamar ku untuk beberap saat, sebelum dia kembali lagi ke kamarku. "Sekarang ceritakan padaku, ada apa denganmu?"

Aku mulai menceritakan dari malam saat pulang latihan, saat aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasi dan mengikuti ku, sampai ke jadian surat yang berisikan alamat tempat aku di culik dulu. Bahkan aku menceritakan juga saat aku meminta Mas Ical untuk mengantarku dan untuk merahasiakan hal itu. Aku juga menceritakan apa yang ku lakukan siang ini, saat dia tahu aku baru saja kembali dari tempat itu, Raka sangat marah karena menghawatirkan ku.

"Maafkan aku, Ka, aku ke sana hanya ingin menghilangkan rasa takutku..."

"Lalu apa hasilnya? Apa kamu sudah tidak takut lagi sekarang!?" ucap Raka, aku hanya membalasnya dengan gelengan kepala.

"Raka, kenapa aku tidak bisa mengingat wajah orang itu? Waktu itu, dia sempat membuka topengnya beberapa kali, tapi kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingatnya? Dan kejadian sesaat sebelum polisi datang, aku juga tidak ingat. Bagaimana bisa polisi menemukanku saat itu!?"

"Itu karena kamu tidak ingin mengingatnya dan kamu memiliki trauma karena kejadian itu. Jangan memaksakan kepalamu untuk menginganya, nanti kepalamu bisa sakit lagi" ujar Raka. "Aku akan minta mama untuk memindahkanmu dari sekolah itu..."

"Tunggu, kalau kamu minta Mama untuk memindahkanku, itu berarti kita harus menceritaka semua kejadian ini ke mama!?"

"Tentu saja kita harus menceritakan semuanya ke Mama dan Papa pastinya."

"Jangan, aku tidak mau mereka jadi khawatir."

"Itu adalah kewajiban mereka untuk merasa khawatir terhadap anak-anaknya, dan mereka punya hak untuk mengetahui ini semua, Mel." ujar Raka. "Lagi pula mau sampai kapan kamu dan aku menyembunyikan hal ini ke Mama dan Papa?" lanjut Raka.

"Raka, aku takut." rengek ku, Raka dengan lembut menarikku ke dalam pelukkannya.

"Tenanglah, aku gak akan biarin siapa pun melukaimu dan aku akan pastikan kejadian dulu gak akan terjadi lagi." ucapnya mencoba menenangkanku.

Hari ini sebenarnya aku masih tidak ingin untuk pergi ke sekolah, tapi aku gak bisa terus-terusan ijin hanya untuk menghindari orang yang mengirimkan surat itu. Seperti biasa Raka mengantarku sampai gerbang sekolah dan dia berjanji akan menjemputku saat pulang sekolah nanti. Semalam saat selesai makan malam aku yang di bantu Raka menceritakan semua kejadian yang menimpaku di sekolah sampai ke masalah surat yang berisikan alamat yang di selipkan di buku ku. Mama sebenarnya memintaku untuk tidak masuk sekolah hari ini dan dia berjanji akan mengurus ke pindahanku hari ini juga, tapi aku melarangnya. Memang awalnya aku yang meminta untuk di pindahkan ke sekolah lain, tapi, kalau pindahnya mendadak seperti ini, aku berasa tidak enak. Apa lagi sebagian diriku sebenarnya tidak ingin pindah, disini aku sudah punya beberapa teman dan sahabat, dan aku menyayangi mereka. Aku meminta Mama untuk memberiku waktu, aku berjanji jika sudah siap aku akan meminta bantuan Mama untuk menguruskan kepindahanku.

"Melia." sapa Ana saat aku masuk ke kelas.

"Melia, kamu sakit apa?" tanya Jane sambil memelukku.

"Kemarin kamu kemana? Raka sampai menelponku untuk minta bantuan mencari kamu?" tanya Aldi.

"Kami sangat khawatir saat Raka meminta bantuan ke kami dan kami lega saat Raka bilang kamu sudah pulang." sambung Sukma.

"Maaf, aku membuat kalian khawatir."

"Pulang sekolah nanti biar aku sama Sukma yang antar." ucap Aldi.

"Gak usah, Raka bilang dia akan menjemputku."

"Oh, baiklah kalau gitu."

"Melia..." sapa Arka yang berjalan masuk ke kelas kami. "Kamu gak apa-apa? Kenapa kamu masuk, kamu bisa ijin dan istirahat di rumah saja." ucapnya sambil mengelus rambutku. Aku tidak tahu kenapa dia melakukan itu, kepadaku, di kelasku dan di depan teman-teman sekelasku.

"Aku gak apa kok, Ka, aku sudah agak baikkan." jawabku.

"Jadi kamu beneran sakit, Mel?" tanya Ana.

"Hm... sedikit, tapi sekarang udah baikkan kok."

Selama jam pelajaran berlangsung aku masih kesulitan konsentrasi, aku masih memikirkan siapa yang menyelipkan surat itu. Sesekali aku menoleh dan memandangi teman-teman sekelasku terutama yang cowok dan aku tidak melihat kalau mereka terlihat familiar dimataku bahkan sekali pun saat kejadian itu aku tidak terlalu ingat wajahnya tapi suara orang itu terkadang masih terngiang di kepalaku, tapi tidak satu pun teman-temanku yang cowok disini memiliki suara yang sama dengan orang itu. Beberapa saat kemudian bel istirahat pertama berbunyi, beberapa temanku keluar untuk membeli makan ringan dan minuman.

"Mel, ayo ikut kita beli cemilan." ajak Jane.

"Permisi. Maaf, Melia bisakah kamu membantuku membawa buku-buku tugas ini ke ruang guru dan Pak Gus tadi memintaku memanggilmu untuk menemui beliau." ucap Ria.

"Oh, baiklah. Maaf, kalian ke kantin aja, aku harus bantu Ria dan menemui Pak Gus." ucapku ke Jane dan yang lainnya.

"Oh, oke. Aku akan membelikanmu minuman dan cemilian." ucap Jane.

"Sini biar aku bantu bawa bukunya." tawarku ke Ria. "Ini pertama kalinya kita jalan berdua seperti ini ke ruang guru dan ngobrol." ucapku membuka obrolan.

"Hm..." jawab Ria singkat.

"Kamu gak ke kantin? Kalau kamu mau ke kantin aku bisa menggantikanmu mengantar buku-buku ini."

"Tidak perlu, guru meminta bantuanku jadi aku harus membantu beliau."

"Oh..." ujarku. "Tapi biasanya saat istirahat kamu dan saudari kembarmu selalu pergi ke kantin bersama kan, apa tidak apa-apa dengan kembaranmu!?"

"Tidak apa-apa, terkadang kami juga sering jalan sendiri-sendiri." jawabnya.

"Kalian benar-benar kembar identik ya, kami bahkan tidak bisa membedakan kalian, kecuali kalau kalian menggunakan seragam sekolah." ucapku. "Karena di seragam kalian ada nama kalian." sambungku. "Kalian memang selalu mengenakan semua hal yang sama ya? Bahkan potongan rambut kalian juga sama."

"Bukankah itu wajar, kami kan kembar."

"I... iya juga sih." Tapi kenapa adiknya Ana tidak selalu mengenakan hal yang sama!

"Sini aku akan menaruh bukunya dan kamu bisa menemui Pak Gus." ucap Ria sambil mengambil alih buku-buku yang aku pegang.

"Oke." Aku berjalan menuju meja Pak Gus dan membicarakan beberapa hal dan beliau juga memintaku untuk meningkatkan nilai Matematika ku yang saat ini berada dalam keadaan yang memprihatinkan.

Setelah beberapa hari meliburkan diri dari latihan, hari ini akhirnya aku mengikuti latihan. Aku tidak tahu kalau malam ini akan menjadi malam yang cukup mengerikan buatku, segerombolan pria mendatangi saat aku selesai latihan, saat aku berniat menunggu jemputan di tempat biasa. Sekitar sepuluh orang pria berbadan cukup kekar mengerumbuniku, awalnya mereka hanya menggoda biasa saja. Tapi saat aku tidak memperdulikan mereka, salah satu dari mereka menarikku ke tempat yang jarang orang lewati. Pria tersebut mendorong ku hingga punggungku terbentur tembok.

"Kalau dilihat-lihat kamu manis juga..." ucap orang yang mendorongku tadi. "... tapi sayangnya wajah ini harus kami beri sedikit polesan."

Aku terkejut dengan ucapannya yang terakhir, aku tidak masalah kalau melawan mereka satu persatu, tapi bagaimana kalau mereka main keroyok aku pasti langsung tewas.

"Too..." belum selesai aku berteriak pria yang mendorongku langsung membungkam mulutku dan aku memberi dia tendangan tepat diantara kedua pahanya. Melihat temannya tersungkur kesakitan pria lainnya mengerumuniku, aku memasang kuda-kuda walau aku tidak yakin akan menang melawan mereka semua. Perkelahian akhirnya tidak bisa ku hindari, beberapa lawan kewalahan melawanku, kini bukan satu lawan satu lagi. Mereka mencoba menyerangku bersamaan, aku cukup kewalahan juga melawan pria-pria kekar ini. Beberapa kali aku kena pukul tendangan bahkan aku sampai tersungkur untuk beberapa saat.

"Hei!! Apa yang kalian lakukan sama teman kami!?" anak-anak muda yang waktu itu memalak Arka.

"Oh, jadi kalian temannya cewek ini! Kalau begitu kalian juga harus kami hajar." Beberapa dari pria kekar itu menghampiri ke tiga orang yang tadi di bilang sebagai temanku, mereka bertiga mati-matian melawan beberapa pria kekar itu. Aku bahkan mencoba untuk melawan sisanya, setelelah beberapa saat ketiga orang itu akhirnya terkapar dengan wajah babak belur termasuk aku, aku bahkan tidak bisa mengangkat satu jari pun.

"Sebaiknya mulai sekarang kalian harus berhati-hati, terutama kamu..." ucap pria yang selangkangannya sempat ku tendang tadi, dia menarik rambutku hingga kepalaku terdongak kearahnya. "... kami tidak akan membunuhmu, untuk saat ini sampai di sini saja, lain kali mungkin mereka akan memerintahkan kami untuk melakukan lebih dari ini, bersiaplah. Ayo kita pergi," ujar pria itu dan meninggalkan kami begitu saja.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.6M 313K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.4M 123K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...