R untuk Raffa

By narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... More

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[9] Pantaskah Disebut Kesialan?
[10] Pergolakan Batin
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[15] Pelarian, Tersesat, Pulang
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[17] Pintu Ruang Hati
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[23] Tik-tok, Tik-tok
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[38] Melangkah

1.6K 123 16
By narsakarsa

Sedari awal, kamu memang tidak pernah ditakdirkan untuk menetap.

***

Bising di sekelilingnya seolah meredam ketika suara dari dalam aula terdengar. Gilang berhenti tepat sebelum tangannya meraih handle pintu. Langkahnya tiba-tiba meragu. Ia terdiam selama beberapa saat, sebelum mengambil dua langkah mundur dan menyandarkan tubuhnya pada tembok.

Suara Rena terdengar samar-samar, namun Gilang mendengarnya seolah gadis itu ada tepat di sampingnya. Ia memejamkan mata, membayangkan bagaimana ekspresi Rena saat ini. Mungkin gadis itu gugup. Mungkin gadis itu menghindari tatapan keramaian. Mungkin gadis itu berusaha tersenyum meski canggung. Segala kemungkinan ini di kepalanya—dan tak satupun Gilang tahu yang mana yang pasti.

Secarik kertas yang ia berikan pada Rena adalah penentu akhir dari ceritanya nanti. Ia sudah menetapkan hati. Ia tak bisa berjalan balik. Ia tak boleh menengok ke belakang. Ia harus berjalan ke depan.

Ia harus merelakan apa yang harus ia relakan.

Lagi. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Satu napas ditarik. Gilang tersenyum tipis.

Ia melangkah meninggalkan tempatnya.

Suara Rena masih terdengar seiring tubuhnya menjauh, tetapi satu yang ia tahu; Rena melakukan penampilannya dengan amat baik.

Gilang tidak perlu melihat untuk mengetahui hal tersebut.

***

Koridor itu sepi. Raffa berjalan sendiri. Tangannya dilesakkan ke dalam saku celana. Kepalanya menunduk seolah sedang menghitung langkah; satu, dua, tiga. Ia berhenti tepat di depan kelas. Kemudian pandagannya beralih pada pemilik sepasang sepatu yang berada tepat di hadapannya.

Raffa mengangkat wajah, kemudian mundur selangkah.

"Sorry?" Alisnya terangkat. "Lo ngalangin jalan."

Dari semua murid di sekolah, Gilang adalah orang terakhir yang ingin Raffa temui.

Laki-laki itu tampak berbeda dari pagi tadi. Matanya memperhatikan Raffa dengan cara aneh sebelum menggeser tubuhnya dan mempersilakan Raffa masuk. Ia kemudian hanya berdiri di sana; menyandarkan tubuh di pintu kelas sedangkan Raffa langsung berjalan ke tempat duduknya.

Sungguh atmosfir yang membuat Raffa jengah. Maka ia buru-buru mengambil keperluannya sebelum hendak berjalan keluar kelas lagi. Tapi Gilang menahan.

"Apa?" Raffa mundur ketika Gilang memegang bahunya. Seingat Raffa, mereka tidak seakrab ini.

Gilang tersenyum tipis. "Ada banyak hal yang mau gue omongin."

Bulu roma Raffa berdiri. Pasalnya, Gilang menatapnya dengan amat serius, dan ia langsung membayangkan seribu skenario paling absurd. "Ngomong apa?"

"Soal Rena."

Raffa menurunkan tangan Gilang dari bahunya. "Oh ya, lo temennya ya."

"Iya, gua temennya," sahut Gilang cepat, dengan penekanan di kata terakhir, yang sepertinya tidak Raffa sadari.

"Mau ngomong tentang apa?" Raffa bergerak menuju meja paling dekat dan duduk di atasnya. Santai, santai, katanya dalam hati. Ada sesuatu yang baru Raffa sadari saat itu; ia sudah terlalu lama tidak berinteraksi orang-orang baru. Ia terlalu lama bergumul dengan masa lalu, hingga saat seperti ini... entah mengapa terasa canggung. Padahal Gilang terlihat amat santai, meski sesuatu tampak mengganggu pikirannya.

Gilang masih pada posisinya bersandar pada pintu, tangan dimasukkan ke saku celana, bibir tersenyum tipis. "Lebih tepatnya sih, gue mau minta tolong."

Raffa tidak menjawab, alih-alih menunggu Gilang melanjutkan kalimatnya.

Saat itu Gilang mulai berpikir, mungkin Raffa tidak seburuk yang ia kira. Ya, Raffa meninggalkan Rena. Ya, Raffa pergi tanpa pamit. Tapi mungkin Raffa memiliki alasannya sendiri. Dan entah bagaimana.. Gilang mulai mengerti sesuatu.

"Tolong jaga Rena ya."

Raffa mengerutkan kening. "Maksud lo?"

Gilang menghela napas. "Dia tuh susah banget kalo gua yang bilangin. Udah berkali-kali dibilang jangan tidur kemaleman, tapi pasti kalo di chat jam 12 langsung bales. Udah dibilang jangan belajar mulu, tapi tetep aja seringnya ngurung diri di kamar sambil meluk buku. Diingetin harus makan yang teratur, jangan skip sarapan, kenyataannya maag bolak-balik kambuh sampe hampir collapse. Tolong kasih tau, jaga kesehatan, jangan lupa bahagia. Tolong yakinin, dia berhak dapet yang dia mau. Tolong ingetin, dia punya masa depan, dan dia gak seharusnya melepas cita-cita cuma karena menghukum diri."

Raffa mengerjap.

Gilang melanjutkan, "There is a war between her head and her heart, I can't help her to go through it. But maybe you can. If you can't do that for me, do that for her."

"Why?"

"Because it's you."

Gilang menegapkan tubuhnya dan menatap Raffa sambil tersenyum lebar. "She listens to you, not me. No matter how much I care about her, in the end, I'm only the third person."

Setelah mengatakan hal itu Gilang berjalan ke luar kelas. Meninggalkan Raffa yang masih duduk di atas meja dengan bibir terkatup rapat.

***

Bohong jika Rena bilang ia tidak memikirkan percakapannya dengan Raffa di backstage setelah mereka turun dari panggung. Dadanya masih berdebar ketika ia mengungkit perihal penjelasan, dan Raffa menjawab "I can give you that."

Perutnya bahkan mulas. Ia tidak pernah membayangkan memberikan Raffa kesempatan kedua. Tetapi mungkin penjelasannya nanti yang akan menentukan hal tersebut. Di satu sisi Rena bertanya-tanya, kenapa baru sekarang?

Setelah sekian lama waktu berjalan, setelah Raffa menentukan tembok di antara yang dulu dan yang sekarang, ia tiba-tiba seolah kembali dan mengulurkan tangan untuk melewati tembok tersebut. Tembok yang sudah susah payah dibangun di atas keegoisan diri masing-masing.

"Ren," Risa mengibaskan tangannya tepat di depan mata Rena. "Melamun lo?"

Rena mengerjap. "Gak. Kata siapa gue melamun?"

Risa memutar bola mata. Ia kemudian menarik Rena yang tanpa sadar berhenti di tengah kantin. Laras ternyata sudah mencari tempat duduk dan memesan makanan untuk ketiganya.

"Masih mikirin penampilan lo tadi? Udah gue bilang kan, keren sist!" ujar Risa sambil menggandeng Rena untuk menghampiri Laras dan duduk di sana bertiga. Laras menyengir lebar menanggapi, "Iya Ren, gak usah ditanya. Ya walau lo keliatan gugup gitu sih, tapi gapapa menurut gue bagus."

"Yee, gak usah dibilang bagian itunya kali!" tegur Risa pada Laras.

Rena hanya tertawa. "Gue udah lama gak tampil, jadi gugup. Gapapa, gue sadar kok." Di hadapannya sudah tersedia semangkuk baso dan segelas es teh. "Gue gak laper."

Laras melotot. "Laper gak laper, makan!"

Risa menyikut rusuk Rena. "Apa harus disuapin sama..."

Rena dengan cepat beralih menatap Risa dan memberinya tatapan tajam.

Risa tertawa.

"Lo sama Raffa ada apa sih sebenernya?" tanya Laras to the point. Pertanyaan itu akhirnya terucap juga. Meski bukan di situasi yang paling tepat. Dan setelah apa yang keduanya lihat tadi, sepertinya Rena juga tidak bisa menghindar.

Maka dengan mengambil napas panjang, Rena menjawab, "Dia temen masa kecil gue."

Risa dan Laras langsung menajamkan pendengaran.

"Yah, ... gimana ya jelasinnya? Haha, gue gak pinter cerita." Rena menggaruk lehernya dan bertopang dagu dengan mata menerawang. "Hm, intinya, gue dan dia dulu temenan. Dan entah karena apa, dia tiba-tiba menjauh dan pergi gitu aja. Gue menuntut penjelasan. Kenapa gak pamit? Kalo gue ada salah, kenapa gak bilang? Tapi dia bener-bener menghilang. Dan gue marah. Gue marah karena gue tau, pasti ada sesuatu yang gak beres."

Risa mengerutkan kening. "Tapi terus sekarang dia balik lagi?"

"Iya."

Laras mengangguk-angguk. "Terus sekarang lo mau balikan gitu sama dia?"

"Balikan apanya!" Rena menepis Laras. "Gue cuma mau dia jujur ke gue. Itu aja. Sederhana."

"Tapi gimana kalo hal itu malah lo sakit hati? Lo tetep mau dia jujur?"

Rena terdiam sejenak sambil mengaduk es tehnya dengan pelan. Sebelum akhirnya menjawab, "Mungkin lebih baik sakit hati karena kejujuran, daripada merasa hampa karena gak tau apa-apa." Ia meminum es tehnya sedikit. "Karena di saat dia pergi... gue gak tau harus marah ke siapa. Dan akhirnya gue cuma bisa luapin semua kesalahan ke dia."

"So that's why." Risa menjentikkan jari.

Rena menoleh dengan alis terangkat.

"Kalian berdua kayak perang dingin. Tapi barusan gue liat, dinginnya udah mulai mencair ya, Ren? Digantikan sesuatu yang hangat?"

"Apaan sih." Rena tertawa.

Laras menunjuk mangkok yang berada di hadapan mereka. "Udah dimakan dulu itu basonya, woi! Keburu dingin."

"Iya, iya." Rena dan Risa menyahut kompak.

Ting!

Satu pesan singkat masuk.

Rena kira, Gilang membalas pesannya yang terakhir.

Raffa: This message was deleted.

***

[ RUR ]

17/9/2018

I know, it's Monday.
I make and break my own promises.
My apologies.

Continue Reading

You'll Also Like

7M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
1.3K 134 27
"Hanya sekedar beberapa kalimat,namun sangat berarti bagi mereka yang belum pernah tahu makna isi hati" Puisi ini dibuat berdasarkan pengalaman dan p...
1.6M 199K 42
[BOOK 2 OF WHEN THE BADBOY MEETS THE FANGIRL] Kata Johnny Deep, "Jika kau mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan, pilihlah orang kedua, kare...
36.7K 6.9K 9
❛❛Aftan tidak sengaja bertemu dengan Naisha pada siang yang panas di lab kimia. Lalu, di antara rak-rak yang dipenuhi tabung reaksi, diantara kursi k...