The End of My Love

By AuthorHijrah

240 30 36

Terjebak dalam konflik keluarga dan perang cinta membuat hidup Isfany sering terombang - ambing. Hatinya seri... More

Prolog
Trio HDE
part 2
orientasi masalah
Haru biru
Emosi
Bertemu Nenek
Cast
Badmood
Buntut
Jogging
Episode 11
Episode 12
Episode 13

Konflik kecil

12 1 4
By AuthorHijrah

Pagi hari mentari menyapa dengan sinar hangatnya. Hari ini adalah hari Sabtu. Bagi sekolah negeri yang sudah menerapkan fullday school maka hari ini libur. Tapi karena SMA 7 Jakarta tidak menerapkan fullday school mereka tidak libur.

Pukul 7.00 semua siswa sudah harus berada di sekolah. Pelajaran akan dimulai tiga puluh menit setelahnya.

Di kelas XI IPA 1 yakni bangku Hana dan Isfany.

"Han, udah dong baca bukunya?." Pinta Isfany kepada Hana yang sedang membaca novel.

"Nggak ah." Hana tetap lanjut membaca.

"Iiih! Udah! Gue mau cerita." Rengek Isfany sambil memanyunkan bibirnya.

"Nanti aja deh." Hana tetap pada bukunya.

"Iiih, gue kemarin ketemu Papa." Isfany mengatakannya sedikit jengkel.

"Cerita apa?." Kini Hana lebih tertarik dengan cerita Isfany. Isfany tersenyum.

"Liat deh!." Isfany menunjukkan liontin di lehernya.

"Liontin baru?." Tanya Hana.

"He'em. Kemarin Papa jenguk gue. Papa kasih ini buat gue." Isfany terus memandang liontinnya.

"Serius? Papa lo pulang?." Hana menjadi antusias. Isfany mengangguk mantap.
"Ciee rindu lo udah terbayar. Traktirannya dong?." Ledek Hana.

"Traktir apaan? Ogah ya." Isfany ikut meledek. Hana mengerucutkan mulutnya.
"Hahaha. Lo mau liat nggak isi bandulnya apa?." Tawar Isfany.

"Emm, boleh." Hana mengiyakan. Isfany lalu perlahan membuka bandul liontinnya dan menunjukkan isinya.
"Kak Vana." Hana ikut tersenyum lebar melihat foto di dalam liontin tersebut. Isfany lagi lagi mengangguk mantap.

"Papa bilang ini akan jadi kenagan terindah gue. Gue bahagia banget." Isfany mulai menurunkan nada bicaranya.

"Gue ikut bahagia kalau lo juga bahagia. Selamat ya karena lo udah nebus semua rasa rindu lo." Hana merangkul Isfany.

"Makasih. Tapi penebusan rindu itu masih belum lengkap. Kak Vana nggak ikut dateng. Dia ada kegiatan sekolah." Raut wajah Isfany berubah sayu.

"Ooh. Ya lo jangan sedih. Suatu saat lo pasti bisa ketemu dia lagi. Percaya deh." Hana menyemangati.

"Aamiin." Balas Isfany.

>skip<

Kring kring kring!

Bel istirahat pertama menggema ke seluruh penjuru sekolah. Para siswa berhamburan menuju lokasi masing masing yang menurut mereka enak dijadikan tempat istirahat.

Seperti halnya siswa lain, Isfany dan Hana yang memang sudah sangat akrab memilih pergi ke kantin. Mereka ingin meresfreshkan otak dari rumus fisika yang telah menggerogoti sebagian memory. Isfany menarik tangan Hana agar mempercepat langkahnya ke kantin.

"Pelan pelan dong, Isfany!." Hana kesal dirinya ditarik melulu.

"Kita nggak bisa santai santai. Nanti keburu ramai." Isfany meyiratkan kepada Hana untuk lebih cepat.

"Tau gini mending gue enggak usah ikut lo ke kantin." Hana berdecak sebal.

"Sst! Diem! Rencana kita ke kantin hari ini enggak boleh gagal lagi kayak kemarin." Ujar Isfany sesekali melirik kepada Hana. Hana pun terpaksa terseok seok mengikuti langkah cepat Isfany.

Lima menit berjalan cepat, mereka tiba di sebuah meja kantin yang belum ditempati. Langsung saja empat kursi kosong di meja itu diduduki Isfany dan Hana. Mereka duduk saling berhadapan.

"Lo mau pesen apa?." Tanya Isfany sedikit lebih lembut dibanding sebelumnya.

"Kentang goreng aja kali ya. Sama es tehnya satu." Telunjuk Hana diletakkan di dagu sembari menjawab pertanyaan temannya.

"Oke. Lo tunggu sini." Isfany pergi ke meja pemesanan untuk melakukan kepentingannya. Lima menit menunggu akhirnya Isfany kembali ke tempat semula membawa nampan berisi dua porsi kentang goreng, satu es teh, dan satu es jeruk.

"Cepetan dimakan!." Isfany mengubah nada bicaranya yang tadi ketus menjadi ramah. Senyum simpul terukir di bibirnya.

Isfany dan Hana melahap mantap hidangan di depannya. Perut keroncongan yang membuat mereka sangat lahap.

"Gue udah selesai nih." Hana mengakhiri makannya dengan piring yang sudah kosong.

"Bentaran ya bayarnya. Mbak Nur masih sibuk ngurusin pembeli." Ucap Isfany dan diangguki Hana.

Selagi mereka bercerita mengusir kejenuhan, tiba tiba Bagas menghampiri.

"Hai, kalian." Sapa Bagas.

"Hai juga." Balas sapa Isfany tersenyum.

"Hai." Hana ikut membalas meski dengan senyum terpaksa.

"Kalian udah selesai makan?." Tanya Bagas duduk di kursi tersisa.

"Enggak liat piring kita udah bersih?." Hana berkata ketus. Entah kenapa Hana tidak pernah menyukai cowok bernama Bagas itu.

"Udah bayar?." Bagas kembali bertanya. Isfany menggeleng.

"Gue bayarin ya? Anggap aja traktiran pertemanan." Ucap Bagas.

"Eh, nggak usah. Nanti malah ngrepotin." Isfany merasa tidak enak.

"Enggak apa apa. Sekali kali lah nraktir temen." Bagas berkata sangat tenang.

"Nggak perlu. Kita masih punya uang kok. Buat apa kita minta bantuan orang lain kalau kita sendiri masih mampu?." Timpal Hana dengan nada sinisnya.

"Hana..." Isfany memperingatkan Hana.

"Niat gue cuma mau nraktir kalian." Bagas berkelit.

"Sorry ya Gas. Makasih sebelumnya buat tawarannya. Tapi kita masih bisa bayar sendiri kok. Gue juga nggak enak kalau harus dapat traktiran terus. Kemarin aja gue ngerasa nggak enak waktu David nraktir  tanpa sepengetahuan gue." Isfany menolak tawaran Bagas dengan cara yang lebih halus. Bagas menekuk bibirnya kecewa.

"Yaa, kalau itu keputusan lo gue nggak masalah. Tapi kalau nanti gue ajak lo pulang bareng mau nggak?." Bagas menarik simpati Isfany dengan cara lain.

"Mmm..." Isfany berpikir sebentar lalu mengangguk.

"Loh? Kok gitu sih?." Hana tidak terima dengan anggukan Isfany yang berarti menyetujui tawaran Bagas.

"Emang kenapa? Nggak masalah kan kalau gue pulang bareng Bagas? Toh juga lo nanti dijemput Papa lo." Isfany memberikan alibinya. Hana mati kutu dalam kekesalannya.

"Dah ya, gue mau bayar dulu. Sekalian balik ke kelas. Yuk?" Isfany bangkit sembari mengajak Hana ikut bangkit.

"Nggak. Gue ke kelas nanti aja ya. Sumpek di kelas." Hana berubah jadi cuek.

"Oke. Bye." Isfany meninggalkan meja menyisakan Hana dan Bagas.

Di meja itu masih ada ketegangan dari dua pihak. Seakan dua pihak itu tengah berseteru. Hana menatap tajam ke arah Bagas. Sedangkan Bagas tetap dalam keadaan santai.

"Lo kenapa sih liatin gue gitu banget? Naksir lo ke gue?." Bagas mengerutkan keningnya.

BRAK!

Tiba tiba Hana menggebrak meja kantin. Membuat dirinya menjadi pusat perhatian orang orang di kantin. Beruntung keadaan kantin saat itu sudah tidak begitu ramai.

"Jijik gue naksir ke orang kayak lo! Lo pikir gue nggak tau siapa lo? Gue jelas jelas masih inget siapa lo!." Hana tidak mempedulikan orang orang di sekelilingnya.

"Hana, lo apa apaan sih! Kenapa lo tiba tiba marah ke gue? Gue buat kesalahan apa ke lo? Maksud lo inget gue apa?." Bagas bertanya karena tidak mengerti.

"Lo itu nggak usah pura pura nggak kenal siapa gue!." Kecam Hana.

Keributan di ujung kantin terdengar ke telinga Hanif yang kebetulan sedang membayar pesanannya. Ia hanya sendiri. David dan Evan tidak bersamanya. Mereka sedang ada urusan lain. Hanif berjalan menghampiri sumber keributan.

"Lo itu kenapa sih selalu deket deket ke Isfany? Lo itu harusnya paham kalau Fany nggak suka dideketin lo!." Hana berkata lantang di depan wajah Bagas.

"Emang Fany pernah bilang ke lo kalau dia nggak suka sama gue? Terus apa salahnya kalau gue suka ke sahabat lo? Lo cemburu?." Bagas bertanya. Hana makin membulatkan kedua bola matanya.

"Kayaknya bukan Fany deh yang nggak suka ke gue. Tapi justru elo yang nggak suka ke gue?." Bagas kembali bertanya lebih menjebak.

"Enggak! Gue itu tau apa maksud lo deketin Fany. Gue nggak akan biarin lo ngerusak kehidupan Fany." Hana menunjuk wajah Bagas.

"Lo punya bukti?." Tanya Bagas.

Hana kehilangan kata kata, oh bukan, Hana tidak bisa mengatakan apa yang dia ketahui tentang Bagas. Karena ia yakin, jika ia mengatakannya sekarang pasti tidak akan ada yang percaya. Ia memang butuh bukti. Hanif datang bak seorang malaikat. Hanif berdiri di sebelah Bagas.

"Ada apa ini? Lo ngapain gangguin Hana?." Tanya Hanif kepada Bagas yang notabanenya adalah musuh.

"Gue nggak ngapa ngapain dia. Dia aja yang cari masalah sama gue." Bagas berdiri menunjuk cewek di hadapannya.

"Nggak usah ngacungin telunjuk lo!." Hanif menurunkan telunjuk Bagas.

"Emang gitu kok kenyataannya. Dia sengaja cari masalah sama gue. Pakai nyuruh gue jauhi Isfany. Padahal dia sendiri yang cemburu ke sahabatnya." Ucap Bagas dengan nada mengejek.

"Buat apa gue cemburu sama sahabat gue ke orang kayak lo? Percuma! Jijik." Hana membantah penyataan Bagas.

"Ssst!." Hanif menempelkan telunjuk kanannya di bibir Hana memintanya diam. Biar ini jadi urusannya. Hana pun sontak sedikit terkejut.

"Cewek kayak Hana nggak mungkin lah suka sama cowok kayak lo. Dia justru benci sama cowok kayak lo. Dia benci sikap sikap lo. Lo tau kenapa? Karena orang kayak lo, diam diam menakutkan. Lo itu berandal yang nggak terdeteksi. Lo emang jarang berantem, tapi otak lo dipenuhi keinginan berantem sama musuh lo." Hanif menyatakan hal tersebut dengan lugas dan intonasi yang menusuk.

"Kurang ajar lo Nif!." Bagas mengangkat kepalan tangannya berniat menonjok Hanif. Belum sampai kepalan itu mendarat di pipi mulus Hanif, Hanif sudah menghentikan aksinya dengan berkata, "Hahaha, lo udah buktiin semua ucapan gue barusan." Hanif menyeringai lebar.

Bagas makin panas. Jika saja di kantin hanya ada dirinya dan Hanif, sudah ia tonjok berkali kali cowok di depannya. Demi eksistensi sebagai cowok baik, Bagas menurunkan sekaligus membuka kepalannya.

Hanif mengalihkan pandangannya ke arah Hana.
"Tempat ini udah enggak nyaman buat lo. Kita pergi." Hanif menyambar tangan Hana membawanya pergi dari area kantin. Menyisakan Bagas yang masih memerah wajahnya.

>skip<

Hanif membawa Hana ke satu tempat faforitnya bersantai. Rooftop sekolah. Di rooftop tersebut ada satu bangku panjang. Bangku itu Hana gunakan untuk menumpahkan semua kekesalannya. Ia menyesali perbuatannya.

"Hiks hiks hiks." Hana menutupi wajahnya yang berair dengan telapak tangannya. Ia menangis menyesal.

Hanif yang bersandar di pojok tembok dari situ hanya memperhatikan. Terbesit dalam hatinya bisa memeluk dan menghapus air mata cewek itu.

"Aaaah!." Hana berteriak kencang melemparkan kecamuk hatinya.
"Gue bodoh! Manusia bodoh! Kenapa gue bisa sebodoh ini?!." Hana terisak dalam setiap kata katanya.

"Emang nyatanya lo bodoh kok." Celetuk Hanif menatap halaman sekolah yang terlihat dari rooftop.

"Heemmm hiks hiks hiks...ehg ehg hiks.." Hana makin mengencangkan tangisnya. Kini suara tangisnya lebih terdengar seperti balita merengek minta dibelikan mainan.

"Makanya kalau nggak bisa debat enggak usah sok bisa. Kena getahnya kan? Lo nggak bisa jawab jebakan pertanyaan yang lo buat sendiri kan?." Hanif beranjak dari sandarannya lalu duduk di sebelah Hana.

"Terus....ngapain lo bantuin gue? Pada akhirnya lo bakal ngejek gue kan." Tanya Hana menunduk masih diselingi isaknya. Air matanya satu per satu ia hapus.

"Karena lo bodoh. Makanya gue bantuin lo biar lo nggak keliatan makin bodoh!." Hanif menekan dua kata terakhirnya. Bibir Hana jatuh mendengar kata kata itu. Sedikit tersayat perasaan Hana mendengar kata itu.

"Hemhemhem." Hanif terkekeh mengejek.
"Gue boleh tanya sesuatu?." Tanya Hanif. Hana tidak menjawab. Ia masih kesal atas perkataan Hanif.
"Oke, gue minta maaf udah ngomong kayak tadi. Lo mau maafin gue kan?." Hanif mengangkat dagu Hana menghadap ke wajahnya. Meminta maaf. Hana mengangguk pelan.

"Menurut gue, lo itu kayak benci banget ke Bagas? Boleh gue tau kenapa?." Hanif berlagak lebih serius.

"Apa urusannya buat lo?." Nada tanya Hana masih terdengar ketus.

"Ckck, emang lo baru tau kalau gue itu musuhnya Bagas? Kita kan udah musuhan dari awal ketemu. Wajarlah kalau gue cari cari masa lalu dia. Dan ternyata lo lebih kenal dia dibanding gue." Jawab Hanif.
"Cepet ngomong, ada apa sama Bagas?." Lanjutnya.

"Masa lalu." Hana langsung menjawab lemah.

"What? Maksud lo? Lo pernah punya masa lalu sama Bagas?." Hati Hanif terasa tergores pisau tajam mendengar jawaban Hana.

"Lo nggak bisa ambil kesimpulan apa pun sebelum orang mengakhiri ceritanya. Lagi pula masa lalu nggak harus selalu tentang cinta kan?." Hana mengkode Hanif bahwa dirinya belum selesai bercerita. Hanif meminta maaf.

"Kok lo tau sih gue ngomongin soal cinta?." Hanif sedikit kaku menanyakan hal tersebut.

"Ya tau lah." Hana nyolot.
"Gue itu temen satu SMPnya Bagas. Gue lebih kenal Bagas dibanding orang orang di sini. Termasuk lo dan temen temen lo. Dia bukan cowok baik baik yang selama ini kita tau. Dia emang pinter. Tapi dia juga bodoh." Hana lanjut bercerita. Kerutan muncul di dahi Hanif.
"Bagas itu nakal banget di SMP. Hampir semua siswa satu angkatannya pernah kena batu dari cowok itu. Dia itu jahil, suka ngerjain orang. Pikirannya suka kotor. Bagas bahkan pernah berbuat senonoh ke seorang cewek. Lo pasti tau kan maksud gue? Cewek itu akhirnya mutusin pindah sekolah. Dan yang paling bahaya, dia itu orangnya nekad kalau udah punya keinginan." Hana mendetailkan.

"Gue harap cewek itu bukan lo!." Hanif menangkup kedua bahu Hana menghadap kepadanya. Ia belum pernah seserius ini. Hana tersenyum tipis.

"Emang kenapa kalau itu gue?." Hana menyeringai.

"Gue habisin Bagas!." Hanif makin serius sembari mengencangkan tangkupannya.

"Hahahaha." Hana tergelak.

"Lo jangan bercanda, Han!." Hanif tidak suka ditertawakan disaat seperti ini.

"Kok lo peduli banget ke gue?." Hana menyemburkan senyum heran.

"Hana!." Hanif meminta perempuan di depannya untuk serius.

"Bukan kok. Gue cuma pernah sekali dipalak lima puluh ribu sama Bagas. Tapi dia udah nggak inget kayaknya." Hana menggeleng. Legalah hati Hanif.
"Semenjak kejadian itu, sekolah memanggil polisi untuk menindak kasus ini. Tapi karena Bagas masih di bawah umur jadi dia cuma diberi pembinaan selama tiga hari di sel. Dan konsekuensi yang Bagas dapat, ia dikeluarkan dari sekolah. Sejak saat itu gue udah nggak pernah lagi dengar kabar dia. Tapi itulah takdir. Kita bertemu lagi di sekolah ini. Mengejutkan gue harus satu kelas sama dia. Beruntungnya, dia nggak terkejut begitu tau nama gue. Otomatis dia udah lupa siapa gue." Nada bicara Hana terdengar mendesah. Tidak suka.

"Emang sekolah ini enggak tau masa lalu Bagas?." Tanya Hanif.

"Di zaman kayak gini apa pun bisa dilakukan. Gue harap lo nggak tanya apa pun lagi tentang ini. Karena gue juga bingung sekolah mana coba yang mau nerima anak bad kayak dia? Dapat ijasah dari SMP mana dia sampai bisa masuk SMA ini?." Hana menutup ceritanya dengan sebuah pertanyaan.

"Yang jelas, gue nggak mau Isfany terjebak perangkap licik Bagas. Dia itu nggak bener bener cinta. Dia cuma cari sensasi." Emosi Hana kembali keluar.

"Gue nggak nyangka, orang yang selama ini jadi musuh gue ternyata berandal kelas kakap yang bermusafir jadi baik. Tapi kebaikan itu cuma sementara. Cuma topeng." Hanif geleng geleng kepala.

"Lo tenang aja. Gue dan temen temen gue bakal bantu lo jagain Isfany. Gue nggak akan biarin berandal itu berkeliaran di area gue." Hanif menepuk-tepuk bahu Hana. Hana tersenyum tanda setuju. Namun, sedetik kemudian kerutan di dahi Hana muncul.

"Maksudnya area lo?." Tanya Hana.

"Gue nggak akan biarin berandal itu hancurin temen temen gue. Termasuk lo." Jawab Hanif dan dijawab 'oh' pendek dari Hana.

"Gue anter lo ke kelas ya. Gue yakin sekarang berita di kantin bakal cepat menyebar. Dan tokoh utama yang akan mereka perbincangkan pasti lo. Gue nggak mau lo menahan malu selama perjalanan ke kelas. Lo tau sendiri kan cewek cewek alay di sekolah ini kalau udah nyinyir gimana?." Hanif bangkit dari duduknya. Hana menurut.

>skip<

Seperti yang telah diduga. Setiap langkah Hana menuju kelas diiringi tatapan penuh kesinisan dari para siswi. Kejadian di kantin dengan begitu cepat tersebar. Lorong kelas IPA yang dipadati siswi benar benar menyesakkan untuk Hana. Ia sangat malu. Tindakan bodohnya membuat dirinya terjebak minyak panas.

Hanif menyadari ketidaknyamanan Hana. Dengan sigap, Hanif menggenggam jemari Hana. Hana menoleh ke Hanif. Hanif memberi tatapan sendu memintanya untuk tetap tenang.

"Ih alay banget sih tuh cewek."
"Dia itu cewek apaan sih? Udah Bagas direbut sekarang nggebet Hanif."
"Nggak ceweknya nggak cowoknya sama sama bad. Cocok."
"Cewek brengsek!."

"Lo jangan takut. Selama ada gue di samping lo, mereka nggak akan berani bermain mulut ke lo." Hanif menenangkan Hana. Hana menghembuskan nafas untuk mengatur hatinya.

"Eh cewek brengsek!." Seorang siswi menghentikan langkah Hanif dan Hana. Siswi itu juga sempat menarik kasar tangan Hana yang digenggam Hanif.
"Murahan banget sih lo jadi cewek! Bisa bisanya lo nikung sahabat lo sendiri. Sekarang lo juga mau jebak Hanif di perangkap buaya lo. Cewek nggak tau diri!." Gertak siswi tadi. Ia lah salah satu siswi terpopuler di kelas IPA setelah Isfany.

"Lo yang nggak tau diri. Nuduh orang tanpa tau kejelasan ceritanya. Semua yang lo denger belum tentu itu kenyatannya. Bisa aja semua itu manipulasi." Hanif berkata tegas di depan wajah siswi itu.

Hanif kembali menggenggam jemari Hana dan membawanya menjauh dari tempat itu.

"Lo bisa lepasin genggaman lo? Itu bisa memicu gosip baru." Pinta Hana dengan menunduk.

"Nggak akan sebelum lo sampai di kelas. Terserah mereka mau berpikir apa." Tolak Hanif yang justru mengencangkan genggamannya.

Lima langkah setelah perbincangan di atas, tibalah mereka di kelas XI IPA 1. Hanif tetap menggeret Hana masuk ke kelas bersamanya. Semua siswa di kelas terkejut melihat kedatangan Hana yang bergandengan dengan Hanif.

"Hana!." Isfany berteriak spontan. Isfany bangkit dari duduknya.

"Sorry gue telat ke kelas." Hana duduk begitu saja di bangku depan bersama Isfany.

"Lo darimana aja? Gue khawatir." Isfany bertanya panik.

"Gue yang tadi ajak Hana ke rooftop." Hanif menjawab. Isfany melirik sekilas Hanif.

"Han, apa bener lo buat keributan di kantin?." Isfany bertanya pelan. Tapi rautnya menyiratkan kekecewaan. Hana mengangguk lemah.

"Hana. Lo kenapa harus cari masalah kayak gini sih? Lo liat di depan sana! Semua orang ngomongin lo. Lo jadi bahan gosip." Isfany menunjuk arah luar kelas. Kini wajah Isfany benar benar menunjukkan rasa kecewanya.

Belum ada yang menjawab pertanyaan itu, Bagas datang. Dia baru saja menenangkan diri di belakang sekolah. Dia melengos begitu saja ke tempat duduknya. Hanif melirik tajam saat Bagas melewatinya dengan cuek.

"Fan, gue harap lo nggak salah paham. Lo nggak berpikiran buruk tentang sahabat lo. Dia ngelakuin semua ini demi kebaikan lo. Karena gue baru aja dengar fakta mengerikan salah satu murid dari kelas ini." Hanif berbicara kepada Isfany sambil menekankan kalimat terakhir. Isfany mengerutkan dahi.
"Kalau lo sampai salah paham, lo akan nyesel seumur hidup lo. Karena lo akan terjebak di kandang buaya lapar." Lanjut Hanif yang makin membuat Isfany tidak mengerti.

"Dan buat kalian semua di kelas ini. Gue peringatin satu hal ke kalian! Sekali aja di antara kalian ada yang mencemooh Hana, habis kalian! Dan camkan baik baik! Sesuatu yang kalian lihat, belum tentu itu kebenarannya. Semua bisa jadi manipulasi." Hanif memelototkan bola matanya. Tentu saja semua murid di kelas itu sontak senyap.

Hanif kemudian menatap lembut wajah Hana yang masih menunduk. Hanif sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badan Hana saat duduk. Hanif menyentuh pundak Hana.
"Ingat kata kata gue. Lo aman. Jangan merasa bersalah. Lo nggak salah. Lo udah buat sesuatu yang benar. Lo nggak perlu takut saat lo ada di jalan yang benar. Gue akan selalu dukung niat lo." Hanif memotivasi Hana untuk tetap semangat. Hana mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. Tentu itu terpaksa.
"Gue balik ke kelas." Hanif meninggalkan kelas XI IPA 1.

Suasana kelas kembali santai setelah bad boy itu pergi. Tapi Isfany masih penasaran dengan apa yang terjadi.

>skip<

Sekolah sudah memasuki jam pelajaran terakhir. Beberapa kelas mendapat jam kosong karena guru tidak masuk ke kelas setelah dzuhur. Salah satunya yakni kelas XI IPS 1. Jadilah kegaduhan sana sini di kelas itu. Untung saja pembatas antar kelas adalah tembok. Sehingga suara gaduh kelas itu tidak terlalu kencang didengar kelas sebelah.

"Bagas keterlaluan!." David menanggapi cerita Hanif. Ya. Hanif telah menceritakan semua kejadian di sekolah hari ini.

"Songong banget tuh anak!." Timpal Evan.

"Gue juga nggak nyangka kalau musuh kita punya masa lalu yang ..... menjijikan." Hanif bergidik ngeri.

"Ternyata rekor gue sebagai badboy di sekolah udah terpecah sama orang itu." David malas menyebut nama Bagas lagi.

"Hahaha. Di saat kayak gini lo masih mikirin rekor badboy lo." Evan tergelak spontan.

Di sudut lain yang tak jauh dari gerombolan HDE, ada segerombol cewek yang sedang menggosipkan sesuatu.

"Gila tuh cewek. Gue kira dia itu dari dulu pendiem. Jago juga nyalinya cari masalah di sekolah ini." Ucap salah seorang cewek berambut panjang di meja itu.

"Siapa ya namanya? Emm...Hana kayaknya." Ucap cewek berkacamata di gerombolan itu.

"Sangar tuh cewek jadi bahan gosipan sekolah. Tau rasa dia! Cemburu ke sahabatnya sendiri." Cewek berambut pendek mengeluarkan opininya.

"Hahaha. Kasian si Fany. Punya sahabat eh nikung dari belakang. Sok cantik tuh cewek. Pengkhianat." Cewek berambut panjang berucap lagi.

Hanif yang berada di dekat gerombolan itu merasa panas. Hatinya mendidih. Kepalan tangan ia tunjukkan. Rahangnya mengeras dan matanya melotot.

"Nif." Evan meminta Hanif tetap tenang. Ia tau jika Hanif sudah mulai panas.

Hanif tersenyum kecut. Ia tiba tiba merobek selembar kertas buku di depannya. Ia meremasnya lalu melemparnya ke gerombolan cewek itu.

Puk!

Tepat sasaran. Remasan kertas itu menimpuk kepala cewek berambut panjang. Hanif tersenyum puas.

"Apaan sih Nif?." Cewek berambut panjang itu menoleh ke Hanif dengan wajah sebal.

"Di kepala lo ada tikus." Ucap Hanif dingin.

"Gila lo Nif. Mana mungkin ada tikus di kepala gue." Cewek itu berdecak kesal.

"Tikus itu ada di dalam otak lo. Dia udah nggerogoti jalan pikir lo. Makanya cara pikir lo sedikit edan." Cicit Hanif seraya mengejek.

"Maksud lo apa sih Nif? Perasaan dari tadi gue nggak ganggu lo." Cewek itu makin kesal. Kekesalannya didukung dia temannya yang ikut menatap sebal ke Hanif.

"Lo udah ganggu kenyamanan batin gue." Balas Hanif menunjuk tiga cewek itu.

"Hah?." Ketiga cewek serempak berucap.

"Hahaha. Cewek kayak mereka nggak mungkin tau kode kode dari lo. Mereka butuh kejelasan." David menimpali sambil terbahak.

"Dasar nggak jelas!." Cewek rambut panjang itu melotot. Lalu ia kembali menghadap dua temannya melanjutkan rumpi.

"Cewek edan!." Tambah Evan.

"Percuma juga gue jelasin ke mereka. Buang buang tenaga." Lirih Hanif ke dua temannya.

"Lo tenang aja, Nif. Masalah Hana bakal kelar dalam sekejap. Kita bakal bantu lo bungkam mulut para provokator." Evan menepuk nepuk bahu Hanif.

"Apa? Hana? Nggak salah denger gue?." Cewek berambut panjang kembali menghadap ke Hanif setelah mendengar nama 'Hana'. Hanif mendengus.

"Jadi tadi lo nimpuk gue karena nggak terima kita ngomongin cewek itu. Kenapa? Lo suka sama cewek itu? Selera lo murahan Nif." Cewek itu tertawa licik.

"Bilang aja lo cemburu karena gue nggak pernah naksir lo." Ketus Hanif.

"Awalnya gue emang pengin ditaksir sama lo. Tapi setelah tau selera lo murahan, gue jadi ogah deket deket sama lo." Cewek rambut panjang itu mengejek.

"Siapa juga yang mau naksir ke lo." Balas Hanif tak kalah mengejek.

"Murahan lo Nif. Cewek penikung gitu kok lo demen." Tandas cewek itu sambil berbalik badan.

"Gue bakal buat tuh cewek menarik kata katanya." Hanif menekan ucapannya.

"Udah tenang. Jangan emosi terus. Kita bakal bersihin nama Hana di sekolah ini. Sekaligus bakal gue ungkap siapa sebenarnya Bagas. Ini bakal jadi film yang seru." David bertekad.

>skip<

Waktu pulang untuk SMA 7 Jakarta telah tiba. Bel pulang menggema ke seluruh ruangan. Para siswa berhamburan keluar area sekolah.

"Kita jadi pulang bareng kan?." Bagas menghampiri Isfany di bangku depan ruang kelas. Isfany masih menata barang bawaaannya. Isfany mengangguk.

"Makasih ya udah terima tawaran gue hari ini." Ujar Bagas yang dibalas senyuman tipis dari Isfany.

"Hana, gue duluan nggak apa apa kan?." Isfany pamit ke Hana yang masih belum selesai mengemas.

"Enggak apa apa kok. Lagian gue juga dijemput." Jawab menoleh sambil menatap datar Bagas.

"Lo hati hati ya di jalan, Han. Siapa tau pengikut bibir nyinyir masih nunggu lo.." Bagas bersimpati.

"Gue juga tau, kok." Hana berkata sinis.

"Dah, Hana. Jangan pikirin yang mereka omongin ya." Isfany bangkit dari duduknya. Ia dan Bagas melangkah ke pintu keluar kelas.

Mendadak langkah mereka terhenti di ambang pintu. Ada seseorang yang menahan langkah mereka. Orang itu berniat masuk ke kelas XI IPA 1.

"Dav?." Isfany menyebut nama orang itu.

"Hai." David menyapa dengan mimik wajah tidak seperti biasanya. Jika biasanya ia terlihat ceria, kali ini raut wajahnya nampak datar. Lebih serius. Tidak seceria saat bertemu Isfany.

"Lo ngapain ke sini?." Tanya Isfany.

"Jangan bilang lo mau ajak Isfany pulang bareng lo! Dia udah sama gue." Tiba tiba Bagas menggenggam jemari Isfany. Isfany terkejut dan merasa tidak nyaman. Tapi hanya diam yang bisa ia lakukan.

David tersenyum manis ke arah Bagas.
"Lo nggak usah khawatir. Gue nggak akan rebut jatah lo hari ini."

"Jatah?." Lirih Isfany. Jujur, ia merasa tersinggung dibilang demikian.

"Terus mau lo apa ke sini?." Bagas bertanya baik baik.

"Hana!." David memanggil Hana yang sedang meresleting tasnya.

"Gue?." Hana menunjuk dirinya.

"Ya iyalah. Yang namanya Hana di sini kan cuma elo." David memiringkan bibirnya.

"Ada apa?." Hana masih di tempat.

"Sini!." David melambaikan tangan meminta Hana mendekat. Hana kemudian menghampiri David.
"Ada hal yang mau gue omongin ke lo. Sesuatu yang penting." David mengatakan kalimat itu sambil melirik Isfany. Isfany yang merasa dilirik langsung memalingkan wajahnya dari David.

"Lo mau ngomong apaan sih? Gue nggak bisa lama lama. Gue hari ini dijemput. Papa gue pasti udah nunggu gue di depan." Hana berubah menjadi orang yang tengah tergesa gesa.

"Gitu ya? Emmm, ke depan aja yuk. Gue minta ijin ke bokap lo buat ngomong sebentar sama lo." Ucap David.

"Oke. Tapi lo harus berjuang keras buat dapat ijin dari Papa gue." Balas Hana. David mengangguk.

Sejurus kemudian David meraih jemari Hana. Sontak Hana dan Isfany terkejut. Ada sebersit rasa tidak nyaman di benak Isfany melihat adegan itu. Ia menggigit bibirnya.

"Yuk!." David membawa Hana keluar dari latar adegan barusan.

"Pengkhianat." Desis Bagas.

"Jangan sebut Hana kayak gitu." Isfany tidak suka Bagas berkata demikian.

"Itu buktinya! Dia nuduh gue yang enggak enggak. Terus dia sekarang deket sama cowok yang selama ini ngejar ngejar lo. Apa itu namanya kalau bukan pengkhianat?." Ucap Bagas dengan keyakinan.

"Jaga bicara lo! Lama lama gue males pulang bareng lo." Isfany menggertak Bagas.

"Oke. Sorry kalau gue udah lancang." Bagas meminta maaf.

"Gue tunggu di gerbang sekolah." Isfany berjalan mendahului Bagas.

~bersambung~

Typo! Kesalahan kalimat anggap saja benar, wkwk. Thank for your attention. Vomentnya ya

Continue Reading

You'll Also Like

37.2K 2.4K 17
Akankah lian kembali membuka hati untuk salma? ikuti cerita aku terus yaa
29.6K 2.1K 26
Baca aja! Siapa tau kalian tertarik
590K 56.1K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
16.6M 795K 68
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...