Renata Keyla ✔

By fihaainun_

40.8K 2.2K 1K

[Squad Series 1 - Completed√] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa... More

1. Prolog
2. GUE
3. Bad Luck
Visualisasi
4. Devin Sialan!
5. Punishment
Bukan Update
6. Nge - Date
7. Why Mama?
8. Solitude
9. Sweet Dreams
10. Nongki - Nongki
11. Who Is She?
12. April
13. Confession
14. Fact
15. Correctness
16. Seolah Kembali Nyatanya Pergi
17. Lepaskan!
18. Kak Andrew
19. The Big Secret
21. My Mother
22. Family
23. Please! Don't Come Back Again
24. Truth
25. Distance
26. What?
27. Misunderstanding
28. He is My Boyfriend
29. Suggestion
30. A Former Lover
31. Love Mama
32. Rhythm After Summer
Cuap-cuap author
33. Epilog
Devino Xavier
DEVINO XAVIER 2
BACA DULU
Antologi Cerpen
Memoria
Novel Memoria

20. Enough I'm Sick at Heart

819 46 6
By fihaainun_

“Biarkan aku yang tersakiti.
Jangan! Jangan mereka,
cukup aku yang sakit hati di sini.”
- Renata Keyla





~~~








Gue mengerjap perlahan merasakan sinar matahari yang masuk lewat jendela kini mengenai mata. Satu hal yang gue ingat hari adalah, sekarang gue tidak berada di kamar gue sendiri, melainkan di kamar Ara. Gue bangkit perlahan lalu mulai melirik jam di atas nakas. Masih jam delapan pagi.

“Natt!” pekik seorang perempuan yang kini sukses membuat gue menoleh ke arah pintu yang terbuka. “Gimana keadaan lo? Lo gak apa-apa, kan?” tanyanya bertubi-tubi lalu meraih tubuh gue untuk dipeluknya.

Tubuh gue menegang. Tidak biasanya gue seperti ini ketika dipeluk Yuna. Nggak! Gue bukan marah karena Yuna sudah merebut Devin dari gue. Bahkan sedari awal pun Devin memang bukan milik gue, jadi Yuna berhak untuk mendapatkan Devin.

Tapi, ini semata-mata karena gue merasa sangat bersalah pada Yuna sekarang. Seharusnya gue lebih mengontrol diri sendiri saat bersama Devin kemarin. Tidak seharusnya gue menangis di hadapan Devin, membiarkan Devin memeluk gue. Seharusnya gue ingat status Devin yang sekarang pacarnya Yuna.

Tapi, kenapa walaupun gue ingat tentang itu, gue tetap melakukannya? Ah! Gue benar-benar merasa bersalah sekali pada Yuna.

“Gue khawatir sama lo, Natt,” seru Yuna sambil melepas pelukannya dari gue lalu langsung menghapus air matanya.

Gue tersenyum. Gue berterima kasih pada Tuhan. Seenggaknya walaupun gue kehilangan Devin, gue masih punya sahabat yang sangat menyayangi gue. Dan rela tak rela, gue tetap harus merelakan Yuna bahagia dengan Devin. Gue akan mencoba untuk ikut senang melihat kebahagiaan sahabat-sahabat gue.

“Semalem Kak Andrew dateng ke rumah gue dan nanyain lo,” celetuk Yuna sambil sedikit menjauhkan tubuhnya dari gue.

Gue sudah menebak itu. Karena di antara sahabat-sahabat gue, cuma kediaman Yuna yang Kak Andrew tahu.

“Terus? Lo bilang apa sama dia?” tanya gue.

Yuna menggeleng. “Nggak, gue gak bilang apa-apa. Gue kan gak tau lo di mana!” gerutu Yuna sambil menepuk pelan tangan gue yang berhasil membuat gue terkekeh pelan.

“Semalem gue panik pas denger kabar kalo lo kabur dari rumah, makanya gue langsung hubungi Devin.”

Gue tersenyum miris. Tentu saja orang pertama yang dihubungi Yuna adalah Devin, Devin kan pacarnya.

“Terus gue hubungi yang lainnya juga, dan kita berpencar buat nyari lo,” ucap Yuna yang berhasil membuat gue terdiam. Ternyata gara-gara ulah gue yang kabur dari rumah, semua orang jadi khawatir karena gue.

“Dan beruntungnya Devin berhasil nemuin lo,” serunya lagi. “Gue lega sekarang.”

Gue menegang. Yuna memangnya tidak merasa cemburu mendengar Devin bersama gue semalam? Apa dia tak pernah tahu permasalahan gue dan Devin dulu? Apa dulu hanya Adin yang tahu kalau Devin pernah suka sama gue?

Nggak! Mungkin itu cuma akal-akalan Adin untuk mengelabui gue. Kalau seandainya Devin benar-benar suka sama gue, tidak mungkin dia meninggalkan gue seperti ini.

Apa Devin juga sudah tahu kalau gue sudah tak memiliki hubungan lagi dengan kak Juna? Ahh, biarlah! Walau dia tahu pun tak akan merubah apapun di antara gue dan Devin.

Gue memicingkan mata menatap Yuna. “Lo gak—”

Ucapan gue langsung terputus mendengar suara teriakan gadis lainnya yang memasuki kamar dan langsung menghambur ke pelukan gue. Padahal gue tadi hendak menanyakan apakah Yuna tak cemburu mendengar gue dan Devin bersama semalam.

“Natt!” pekik Sesil sambil menghambur ke pelukan gue.

Gue tersenyum lalu perlahan melepas pelukannya. “Kok lo di sini?” tanya gue.

Sesil mendengus. “Itu jelas karna gue khawatir sama lo, Donat!” gerutu Sesil yang kini memposisikan duduk di sebelah kiri gue sementara Yuna berada di sebelah kanan gue.

Gue terkekeh pelan. “Maaf udah buat kalian semua khawatir.”

“Gak usah minta maaf,” dengus Sesil sambil menepuk pelan tangan gue. “Wajar kita khawatir. Lo kan sahabat kita.”

Gue cuma tersenyum mendengar ucapan Sesil. Gue benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti mereka.

“Udah yuk turun. Chef Dio sama Ara lagi siapin makanan,” celetuk Yuna yang langsung membuat gue terkekeh geli.

***

Gue perlahan mulai berjalan ke arah ruang tamu bersama Yuna dan juga Sesil. Gue tersenyum begitu mendapati semua sahabat gue tengah bercanda ria di ruang tamu. Gue tersenyum karena Mereka benar-benar selalu ada di saat gue membutuhkan mereka.

“Natt, udah bangun ternyata,” seru Joshua yang lebih dulu melihat keberadaan gue.

Gue hanya menjawabnya dengan senyuman. Gue langsung ikut duduk dan memilih untuk duduk di lantai bersama dengan Adin dan Malik, padahal jelas-jelas di sofa panjang sebelah Devin masih kosong. Biasanya gue akan duduk di sebelah Devin. Tapi untuk sekarang, keadaannya sudah berbeda, gue sudah tak bisa duduk berdekatan dengan Devin lagi. Ada orang lain yang akan tersakiti nanti.

Lagi pula, bukannya semalam Devin sudah secara resmi melepas gue?

Gue beralih menyeruput segelas coklat dingin yang tadi berada di genggaman Adin dan membuat Adin langsung terkejut melihat tingkah gue.

Adin mendengus sebal sambil menatap sinis ke arah gue. “Itu coklat gue!” serunya sambil menggerutu pelan.

“Natt! Jangan makan yang dingin-dingin. Lo kan sakit!” celetuk Joshua.

Gue berdecak pelan. “Fisik gue sehat, hati gue yang sakit!” seru gue lalu langsung kembali meneguk coklat dingin itu dengan sekali tegukan.

Hati gue sakit karena masalah dengan Mama, termasuk dengan Devin juga. Kira-kira, sampai kapan hati gue akan bertahan karena terus-terusan disakiti seperti ini?

“Di mana Ridwan?” tanya gue yang sedari tadi tak melihat Ridwan.

“Ada,” jawab Malik si kembarannya. “Lagi bantuin Dio sama Ara masak.”

“Yakin bantuin masak?” tanya Yuna yang duduk di sofa panjang bersama Devin. Ia kini menatap Malik sambil memicingkan mata.

“Tenang aja, Ridwan pasti bantuin masak kok. Ridwan gak akan berani kalau sudah mendapat tatapan tajam dari Dio!” celetuk Sesil yang membuat gue terkekeh pelan.

“Natt,” panggil Yuna yang membuat gue kini menoleh menatapnya. “Kita semua udah tau tentang masalah lo.”

Ucapan Yuna sukses membuat tubuh gue membeku. Semalam gue memang menceritakan semuanya pada Devin. Tapi, apa Devin juga ikut menceritakannya pada semua sahabat gue?

Gue tatap Devin sebentar yang terlihat menggelengkan kepalanya pelan ketika mendapat tatapan tajam dari gue.

“Kita tau dari Kak Andrew, Natt,” seru Joshua menjelaskan.

Gue tatap mereka satu persatu meminta penjelasan. Kenapa Kak Andrew bisa memberi tahu pada mereka tentang masalah gue?

Nggak! Gue gak marah, toh semuanya juga pasti akan tahu tentang masalah ini. Hanya saja ini terlalu cepat, dan gue cukup terkejut.

“Kak Andrew tadi pagi ke sini, dia khawatir banget sama lo,” celetuk Adin. “Dan dia juga terpaksa menceritakannya. Dia pikir, seenggaknya kita harus tau permasalahannya agar kita bisa hibur lo, gitu.”

Gue tersenyum lalu mendongak menatap Adin dan yang lainnya secara bergantian. “Gue gak marah, lagi pula gue juga berencana bakal ceritain ke kalian. Kalian kan sahabat gue, mana mungkin gue merahasiakan ini sementara kalian juga selalu terbuka ke gue.”

Sontak setelah mendengar ucapan gue, Malik langsung memeluk tubuh gue yang tepat berada di sampingnya. “Makasih udah anggep gue sahabat. Cuma lo doang soalnya yang anggep gue sahabat. Sementara mereka, cuma anggep gue babu mereka doang!” celetuk Malik yang membuat gue langsung terkekeh.

Gue menepuk pelan kepala Malik, dan tepukan itu lama kelamaan tergantikan oleh jitakan yang sukses gue berikan padanya. Malik terkejut dan langsung melepaskan pelukannya dari gue.

“Apa? Mau marah?” tantang gue sambil menaikkan dagu. “Awas lo berani sentuh gue lagi!” seru gue sambil menunjuk tepat ke arahnya.

Terlihat Malik yang tadinya hendak marah langsung bergidik ngeri setelah mendapat tatapan tajam dari gue. Dia langsung bangkit dan beralih memilih duduk di sofa panjang bersama Devin dan Yuna yang membuat teman gue yang lainnya hanya tertawa pelan melihat tingkah Malik saat ini.

“Lo mau nginep lagi malam ini?” tanya Joshua.

Gue menggeleng pelan. “Nanti sore gue mau balik, gue pengen cepet-cepet menyelesaikan masalah ini sama Mama,” jawab gue. Gue menunduk. “Dan gue ingin menanyakan di mana keberadaan nyokap kandung gue,” lanjut gue dengan suara yang tercekat.

Semuanya yang mendengar ucapan gue hanya bisa terdiam tak berani menimpali. Oke, kali ini yang harus gue lakukan hanya bisa menerima. Karena seberapa keras pun kita menolak takdir, takdir itu akan tetap terus menghampiri kita, kan?

***

Gue melepas helm lalu memberikannya pada Adin. “Makasih,” seru gue sambil tersenyum tipis pada Adin.

Tadi sebenarnya Devin yang hendak mengantarkan gue pulang, namun gue tolak itu dan lebih memilih meminta Adin yang mengantarkan. Gue hanya sudah tidak mau mempunyai urusan lagi dengan Devin. Devin hanya masa lalu gue, bahkan tidak bisa dikatakan masa lalu juga karena dari dulu pun Devin hanya sebatas sahabat gue, kan?

“Lo yakin gak apa-apa?” tanya Adin sambil menunjukkan raut khawatirnya.

Gue tersenyum tipis. “Gue gak apa-apa.”

“Ya udah, kalo gitu gue balik ya...,” seru Adin sambil kembali memakai helmnya, namun pergerakannya segera terhenti ketika mendengar suara seorang pria yang memanggil gue.

“Natt!” pekiknya sambil menghampiri lalu segera memeluk gue sebentar.

Gue hanya terkekeh geli sambil melepas pelukannya.

“Awas lo kabur-kaburan lagi!” ancam Kak Andrew. “Bikin gue khawatir aja!”

Gue terkekeh pelan. “Tumben lo khawatir sama gue?”

Mendengar ucapan gue sukses membuat Kak Andrew langsung menjitak kepala gue. “Gak sopan, gak manggil Kakak!” seru Kak Andrew membuat Adin yang sedari tadi diam langsung tertawa melihat kelakuan Kak Andrew, sementara gue langsung menggerutu pelan dan memalingkan wajah.

“Makasih ya udah anterin adek gue balik,” seru Kak Andrew sambil menepuk pelan bahu Adin.

Adin hanya tersenyum ramah lalu segera permisi untuk pulang.

“Hati-hati!” teriak gue ketika Adin mulai menjalankan motornya dan berlalu pergi dari depan rumah gue.

“Kamu gak apa-apa, kan?” tanya Kak Andrew.

Gue tersenyum lalu menggeleng. “Gak apa-apa. Ayo masuk,” ajak gue. Lalu kami langsung segera melesat pergi memasuki rumah.

Baru saja gue melangkahkan kaki memasuki rumah, kini gue dikejutkan oleh keberadaan seorang perempuan yang tengah sedikit berlari menghampiri dan langsung memeluk gue.

“Kak Sica!” seru gue kaget ketika melihat Kak Sica yang kini sudah berada di rumah. Bukannya Kak Andrew sendiri yang mengatakan kalau Kak Sica pulang sebulan lagi dengan Papa?

“Kak Sica kok udah pulang?” tanya gue yang membuat Kak Sica langsung melepas pelukannya.

“Gue khawatir, lo sih pake kabur-kaburan dari rumah segala!” gerutunya sambil mencubit pelan lengan gue.

Gue tersenyum getir. Kak Sica bahkan langsung pulang ketika mendengar kabar kalau gue kabur dari rumah, Kak Andrew juga sangat panik melihat gue kabur seperti itu hingga dia langsung meminta bantuan sahabat-sahabat gue untuk mencari gue. Padahal mereka tahu kalau gue berbeda ibu dengan mereka, tapi kenapa mereka tetap sebegitu perhatiannya ke gue?

Baru saja gue hendak menanyakan apakah Papa juga ikut pulang, gue justru langsung dikejutkan oleh suara Papa yang berada dari dalam kamar. Napas gue tercekat ketika mendengar suara Papa yang sepertinya tengah bertengkar dengan Mama.

Gue melangkah untuk mendekati kamar Mama, namun Kak Sica dan Kak Andrew kompak langsung menahan tangan gue.

“Natt...,” panggil Kak Sica lirih. “Masuk kamar,” perintahnya.

Gue menggeleng pelan. “Gue harus ngomong sama Mama....”

“Jangan sekarang, Natt!” perintah Kak Andrew lalu langsung mendorong pelan tubuh gue agar segera menaiki tangga untuk memasuki kamar.

Gue menggigit bibir pelan berusaha untuk menahan tangisan. Sesekali gue menatap ke arah Kak Andrew dan Kak Sica yang masih memperhatikan gue yang tengah menaiki tangga. Lalu tatapan gue beralih ke arah kamar Papa dan Mama yang masih terdengar ribut karena suara pertengkaran mereka.

Saat ini, gue hanya meminta satu hal pada tuhan. Tolong! Jangan biarkan keluarga gue terluka, jangan biarkan mereka merasa sakit hati. Jangan, jangan mereka. Cukup gue yang merasa sakit hati di sini, jangan mereka.

***

Tunggu chapter selanjutnya yaa....
Di chapter selanjutnya bakal dijelasin siapa Renata, terus siapa ibu kandungnya. Pokoknya, tunggu chapter selanjutnya aja😊






XOXO

FIHA IM

Continue Reading

You'll Also Like

720K 67.4K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2M 327K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...
4.3M 256K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...