AM

Od rarisss

288K 8.7K 899

Kalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang malam itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hu... Více

Prolog
AM | 1
AM | 2
AM | 4
AM | 5
AM | 6
AM | 7
AM | 8
AM | 9
AM | 10
AM | 11
AM | 12
AM | 13
AM | 14
AM | 15
AM | 16
AM | 17
AM | 18
AM | 19
AM | 20
AM | 21
AM | 22
AM | 23
AM | 24
AM | 25
AM | 26
AM | 27
AM | 28
AM | 29
AM | 30
AM | 31
AM | 32
AM | 33

AM | 3

7.5K 428 54
Od rarisss

Pagi ini, Clarissa merasakan tubuhnya tak baik-baik saja. Sedari tadi, gadis dengan bandana biru di kepalanya itu selalu bersin-bersin. Kepalanya juga terasa pening dengan mata yang terasa panas. Jika Darrel melihat wajah pucat dan mengenaskan ini, bisa bahaya. Cowok itu pasti akan mencecarnya dengan berbagai hal.

Pelembab bibir di atas meja rias menjadi perhatian Clarissa kini. Gadis itu segera mengambil benda bulat kecil tersebut, lalu mengoleskannya ke bibir tipis miliknya. Warnanya merah muda pudar, sehingga tak terlalu kentara di bibir Clarissa. Ia melirik pantulan wajahnya di cermin sebelum meraih kacamata hitam. Setidaknya, Darrel tak perlu melihat matanya yang tampak memerah.

Tak lupa Clarissa mengambil tas sekolahnya di atas tempat tidur sebelum melangkah keluar. Ia menuruni anak tangga dengan cepat, terlebih suara mesin mobil Darrel sudah terdengar. Di tangannya terdapat ponsel yang sedari tadi ia gulir. Clarissa mencari kontak Aurora untuk dihubunginya sekarang.

Me:
Ra, bantuin gue hari ini, ya. Gue kayaknya gak enak badan.

Clarissa mematikan ponselnya setelah mengirimkan pesan tersebut. Gadis itu tidak sarapan di rumah, karena Darrel selalu membawakan sarapan untuknya. Clarissa berlari menuju pintu utama. Darrel akan marah jika harus menunggu terlalu lama. Ah, Clarissa lupa bahwa Darrel tak pernah marah padanya.

Suara gerbang yang dibuka dalam sekali tarik membuat perhatian Darrel teralihkan. Ia memandang sosok gadis yang baru saja keluar dari sana dengan pakaian putih abu-abu dilapisi sweater rajut krem. Darrel tahu, itu pemberiannya semalam. Senyumannya mengembang tipis.

"Udah lama?" tanya Clarissa dengan napas agak memburu. Ia sudah lama sekali tidak berolahraga, wajar jika berlari beberapa meter membuat tubuhnya lelah.

"Kurang kerjaan! Ngapain lari-larian, sih?" Darrel menyodorkan sebotol air mineral yang telah dibuka penutupnya ke arah Clarissa.

"Aduh, makasih, pacar gue baik banget."

Clarissa fokus meneguk air yang terasa menyegarkan itu, sementara Darrel memandang wajah gadis itu lekat. Clarissa Leta Kirania, entah apa skenario semesta sesungguhnya. Darrel tak pernah tahu mereka akan bagaimana ke depannya. Hanya satu yang akan dilakukannya, bertahan di samping gadis itu, meski tahu tidak bisa selamanya.

Tatapan mata yang menghujam wajahnya masih mampu Clarissa sadari. Ia menyudahi kegiatan minumnya, lalu balik menatap Darrel yang pandangannya tampak kosong.

Clarissa memukul pundak Darrel pelan. "Pagi-pagi udah ngelamun, kurang kerjaan!"

Darrel tampak terkejut mendapat pukulan Clarissa. Tidak keras memang, tetapi dapat membuat Darrel kembali ke dunianya. "Berani bayar berapa pinjem kosakata begitu?"

"Males, pacar gue baperan."

Clarissa merotasikan bola matanya. Ia mencubit perut Darrel sebelum berlari memasuki mobil.

Ringisan keluar dari bibir Darrel. Tak tahukah gadis itu bahwa ia belum sarapan? Sakit dari cubitan itu rasanya menusuk sekali.

"Cepetan! Lo mau kita telat, heh?"

Darrel berdecak sebelum memasuki mobilnya juga. Ia memperbaiki posisi duduknya setelah memasang sabuk pengaman. Cowok itu memutar kunci mobil dengan gerakan perlahan.

Saat sadar jika melupakan sesuatu, Darrel berbalik dan mengambil paper bag dari jok belakang. Ia menyimpan benda tersebut ke atas pangkuan Clarissa. "Belum sarapan, 'kan?"

Clarissa mengangguk. Tanpa ditanya juga, kekasihnya pasti sudah tahu akan jawabannya. Dibukanya paper bag itu. Isinya sebuah kotak makan berukuran sedang berwarna putih. Saat dibuka, dua potong sandwich langsung menyapa dengan aroma harumnya yang khas. Clarissa mengambil sepotong, lalu diarahkan pada Darrel.

"Mau-"

Perkataan Clarissa terhenti karena Darrel yang melepas paksa kacamatanya. Cowok itu tidak tersenyum sekarang, melainkan berwajah tanpa ekspresi. Perasaan Clarissa tak enak, ia bahkan menyimpan kembali potongan sandwich tadi. Ini merupakan pertanda buruk. Dapat Clarissa pastikan, Darrel akan mencecarnya bak seorang ibu pada anak yang nakal.

"Begadang sampai jam berapa semalam?"

Clarissa menelan saliva yang terasa bagai duri di tenggorokan. Situasi ini tak baik, kemungkinan Darrel akan mendiamkannya entah berapa lama jika mengetahui bahwa suhu tubuhnya juga hangat.

Mengalihkan pandangan ke arah lain, Clarissa tak mau memandang Darrel. Namun, keberuntungan memang tak mau menghampirinya saat ini. Gadis itu malah kembali bersin. Sial! Hidungnya terasa gatal sekarang.

"Semalam gak langsung masuk rumah?"

Bungkam, Clarissa benar-benar memilih untuk menutup rapat bibirnya. Jujur saja, ia mudah sekali dibaca, bahkan sebelum berbohong saja sudah sering diketahui oleh Darrel.

"Turun, sana!"

"Rel?" Clarissa dengan cepat menoleh. Gila saja cowok itu. Apa Darrel berubah menjadi sekejam itu karena ia sering berbohong? Jika iya, maka Clarissa sangat bodoh dalam berbohong.

"Gak usah sekolah, atau kita ke rumah sakit?" Darrel memandang Clarissa tajam.

Wajah Darrel tampak menyeramkan di mata orang lain, termasuk Clarissa. Benar kata orang, diam adalah cara marah paling menakutkan. Harus Clarissa akui, ia lebih memilih Darrel memaki sampai mulutnya berbusa, daripada diam dengan tatapan setajam itu.

Clarissa memejamkan mata ketika tangan Darrel bergerak ke arah wajahnya. Ia bahkan sudah bersiap untuk menerima pukulan atau apa pun dari kekasihnya itu. Ia sadar bahwa dirinya memang menyusahkan. Sedari awal menjalin kasih juga, Clarissa tidak pernah bisa tanpa membebani Darrel.

"Kurang panas, harusnya semalam gak usah masuk rumah, gak usah tidur juga sekalian." Darrel menjauhkan tubuhnya setelah memastikan suhu tubuh Clarissa.

"Darrel."

"Ayo ke rumah sakit!" Darrel memandang iris Clarissa yang selalu berusaha mengelak darinya.

Clarissa tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia tak berani untuk sekadar bertatapan dengan Darrel. Ketika Darrel bersiap akan menarik perseneling, saat itu juga Clarissa menahan tangannya.

"Jangan, dong. Janji gak bohong lagi."

Darrel kembali menatap Clarissa yang tampak ingin menangis sekarang. Tak ada kata yang dirinya ucapkan barang satu patah pun.

Clarissa semakin gelisah karena tatapan Darrel juga waktu yang kian mengikis. Percayalah, mereka bisa telat jika terus beradu argumen di sini. Tanpa berpikir panjang, Clarissa mengambil botol vitaminnya dari dalam tas. Ia mengambil satu butir lalu meneguknya bersama sebotol air mineral.

"Gue udah minum vitamin. Ayo sekolah!"

Darrel mendengkus, sebelum mengalihkan pandangan kembali ke depan. "Kurang kerjaan nurutin perintah tukang bohong."

Sisa air yang ada di tangan Clarissa berpindah ke wajah Darrel. Darrel memejamkan mata ketika tetesan itu jatuh perlahan membasahi celana abunya. Ia mendongak guna memandang Clarissa yang masih menggenggam botol air mineral kosong dengan senyuman khasnya. Dia yang bersalah, tetapi haruskah Darrel yang mendapatkan ganjarannya?

****

Ponsel yang berada di atas meja terus menampilkan panggilan dari orang yang sama. Namun, Darrel tak peduli. Ia sedang berkutat dengan Turbidity Meter dan air berwarna sedikit kecokelatan. Nanti juga benda itu akan mati sendiri, pikirnya.

Darrel mengambil catatan kosong beserta pena di dekatnya. Jemari lentik itu menggoreskan rangkaian huruf yang rapi. Sesekali iris kelam Darrel tertuju pada hasil alat ukur. Setelah menuliskan beberapa patah kata, ponselnya kembali berbunyi. Jujur saja, ia paling tidak bisa fokus melakukan sesuatu saat di sekitarnya gaduh.

Berdecak kesal adalah hal pertama yang Darrel lakukan. Nomor yang tertera di layar adalah nomor tanpa nama. Ralat, tak ada satu pun nomor yang Darrel simpan di ponselnya. Itulah alasan mengapa banyak yang tidak menyukai Darrel. Katanya, cowok itu angkuh, susah diajak kerja sama, dan sering kali seperti benda mati. Iya, Darrel tak pernah sekali saja berbaur di grup kelasnya. Menyimak pun hanya sesekali, hanya saat ada info penting.

Meski begitu, Darrel tahu siapa yang menghubunginya. Itu adalah nomor kekasihnya, Clarissa. Darrel sudah teramat hapal dengan rangkaian nomor gadis itu. Hampir satu tahun mereka bersama, sudah cukup waktu juga untuk saling mengetahui segala hal.

Panggilan berhenti tak lama kemudian. Darrel menyimpan ponselnya lagi ke tempat semula-di atas meja panjang tak jauh dari alat penelitiannya berada.

Ruangan ini kosong hari ini, tak ada pembelajaran yang dilaksanakan di laboratorium kimia. Alasan mengapa Darrel dapat keluar dari kelas di jam belajar adalah guru yang mengajar di kelasnya sedang berhalangan hadir, terlebih tak ada tugas yang dititipkan melalui guru piket. Berada di kelas yang berisiknya setara dengan pasar, tentu bukan pilihan yang baik untuk Darrel. Baginya, keramaian adalah musuh, dan kesendirian adalah teman sejati.

Pintu laboratorium didorong dengan keras dari luar. Darrel mengumpati orang yang berani mengganggu kegiatannya dalam hati, sebelum berbalik. "Lo punya sopan santun?"

Sosok Aurora yang berusaha mengatur napasnya hanya mampu mengepalkan tangan memendam rasa kesal. Kekasih sahabatnya ini memang tidak seramah itu pada dirinya, bahkan pada seluruh manusia di muka bumi ini juga, hanya Clarissa dan beberapa orang guru yang dikecualikan olehnya.

"Sialan! Clarissa sakit, bego!"

"Di mana sekarang?" Darrel mengalihkan perhatiannya pada sosok Aurora sekarang.

Aurora mendengkus. Lihat, Darrel bahkan membutuhkan dirinya juga. Ia sempat tak setuju Clarissa menjadi kekasih Darrel, tetapi ia bisa apa ketika kabar hubungan mereka tercium bahkan ketika Aurora belum mengetahui perihal itu.

"Dia di kelas, tapi gak mau gue anterin balik tadi. Demamnya makin tinggi, tuh."

Darrel dengan cepat meraih jaket denim hijau tua miliknya. Tak lupa ia mengambil ponsel. Penelitiannya yang baru saja dimulai, Darrel abaikan. Ada hal lain yang lebih penting, Clarissa.

Tanpa ucapan terima kasih, maupun basa-basi lain, Darrel berlari keluar dari sana. Aurora bahkan dibuat cengo ketika Darrel malah menjauhkan tubuh rampingnya dari pintu. Memang Darrel yang tak mempunyai sopan santun di sini.

Darrel melangkah cepat ketika menyusuri koridor lantai dua sekolahnya. Rasanya kelas Clarissa begitu jauh dari tempatnya berpijak sekarang, padahal hanya tinggal beberapa meter saja.

Ketika Darrel memasuki kelas Clarissa yang lebih berisik dari kelasnya, suasana mendadak senyap. Suara sepatu sneakers abu-abu milik Darrel yang beradu dengan lantai terdengar nyaring. Teman sekelas Clarissa ada yang pura-pura sibuk, atau memandang Darrel jengah. Dari awal kelas sebelas, mendapati Darrel yang datang sudah biasa bagi sebagian orang.

Clarissa sedang menenggelamkan kepala di atas lipatan tangan. Rambut gadis itu tampak lepek karena keringat. Darrel berjalan mendekat, lalu mendudukkan diri di samping gadis itu.

"Ra, gue udah bilang gak mau balik," lirihnya.

Mendengar nada suara itu sudah cukup membuktikan pada Darrel bahwa sakit Clarissa bertambah parah. Suara batuk gadis itu juga semakin meyakinkannya.

"Pulang, ya? Istirahat di rumah."

Clarissa dengan cepat menegakkan tubuh. Sesaat kemudian, ia meringis ketika kepalanya terasa berat. Demam sialan. Jika tubuhnya masih seperti dulu, ini tak akan jadi masalah serius sebenarnya. Namun, sekarang semuanya berbeda. Clarissa lemah jika sudah sakit.

"Ayo!" Darrel meraih tangan Clarissa yang terasa panas. Kini, ia bisa merasakan bagaimana penderitaan kekasihnya itu.

"Barang-barang gue belum diberesin."

"Itu urusan gue. Lo udah dapet izin juga dari guru piket, udah pulang sana." Aurora yang baru datang langsung bergabung dalam percakapan.

Clarissa bangkit dibantu oleh Darrel dan Aurora. Wajah pucatnya kentara sekali sekarang. Darrel yang akan membopong tubuh Clarissa ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Terkadang Darrel tak mengerti dengan Clarissa. Kontradiktif sekali jika berkata takut merepotkan, padahal Darrel selalu menawarkan diri, bukan karena paksaan Clarissa.

Setelah melewati undakan tangga dan koridor gedung utama, mereka sampai di kawasan parkiran juga. Aurora masih setia memegangi tangan kiri temannya, sedangkan Darrel menuntun tangan sebelahnya lagi. Darrel mengambil kunci dari saku jaket ketika kendaraannya sudah dalam jangkauan mata. Darrel menarik pintu mobil bagian depan, lalu membantu Clarissa untuk duduk di sana.

"Gue pulang duluan, ya, Ra. Jangan males lo."

Aurora berdecak lalu menutup pintu dengan keras. Persetan jika sang pemilik akan mengumpati dirinya. "Pacar lo resek, sama kayak lo."

Darrel tak mau menanggapi. Dia segera memasuki pintu di seberang Clarissa. Cowok dengan rambut kecokelatan berantakan itu melihat sosok Clarissa yang memejamkan mata. Wajah pucatnya terlihat damai saat terlelap.

Darrel mengeluarkan mobilnya dari deretan kendaraan lain yang terparkir. Ia meninggalkan area gedung sekolah tepat ketika jam istirahat pertama tiba, entah untuk keberapa kalinya lagi. Clarissa memang sering seperti ini. Namun, gadis itu tak pernah mau belajar dari kesalahan. Clarissa akan tetap keras kepala jika menyangkut keinginan untuk beraktivitas seperti dulu, meski tahu bahwa tubuhnya sudah tidak sempurna lagi.

****

Gimana part ini? Darrel lebih uwwu gak?

Jangan lupa vote sama komentarnya, ya. Sampai bertemu Jumat malam. See you.

Salam hormat,
rarisss

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

2.5M 257K 61
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
309K 23K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
283K 11.6K 31
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
1.3M 74.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...