The Sketch of BimAddiction

By algabiru_full

5.9K 393 168

Bima Ataya Hefian. Mimpi dewasa pertamanya, diserang laki-laki. Ayah angkat Bima baru saja mati, dan menitipk... More

Part 1. Basah
Part 1 (lanjutan). Gelisah
Part 2. Penasaran
Part 3. Kotak Tua
5. Lukisan Terakhir
6. Kata Terakhir
7. Rahasia
8. Pesan Suara
9. Bertemu Sakti
10. Ainul Siapa?
11. Rianti
12. Pengakuan
14. Dinara
Part 11. Bokek
Part 12. Pelukis Tampan
Part 13. Kelas dongeng
Part 14. Persahabatan Tak Terbantahkan
Part.15 Aikido
Part 16. Hutang Budi
Part 17. Calon Pacar
Part 18. Urusan Hati
Part 19. Si Baju Putih
Part 20. "Jadi Gue Nunggu?"
Part 21. Jangan Kecewain Orang Baik
Part 22. Rooftop
Part 23. Dinara
Part 24. Sakti Mandraguna
Part 25. "God"
Part 26. "Andai Gue Mati Kafir Malam Ini?"
Part 27. Syahadat
Part 28. Rahasia Kelurga
Part 30. "Nggak Semudah Itu Ngelupain Lo"
Part 31. Potong Anu
Part 32. Rasa Bima
Part 33. Mengajak Sakti
Part 34. Hotel Papalo
Part 35. Pengakuan Ainul
Part 36. Zacon
Part 37. Menyelamatkan Bima
Part 38. Tragis
Part 39. Terciduk
Part 40. Pengakuan Terdalam
Part 41. Kamar Daddy
Part 41 (Lanjutan). Nista
Part 42. Kemana Bima?
Part 43. Kilas Kejadian
Part 44. Apa Kabar Nak?
Part 45. Cafe Rooftop
Part 46. Putus Asa
Part 47. "Nggak Gini, Bim!"
Part 48. Belum Memaafkan
Part 49. Desas Desus
Part 50. Penasarannya Dinara
Part 51. Orang Yang Nyaris Gila
Part 52. Sang Guru
Part 53. Penasarannya Sakti
Part 54. Jenguk
Part 55. Cerita Bima
Part 56. Permintaan Alex
Part 57. Pengakuan Sakti
Part 58. Dokter Jay
Part 59. Sahabat Sejati
Terima Kasih Pembaca

Part 29. Kumat

50 5 2
By algabiru_full


Bima dan agama barunya, kadang-kadang tidak terlalu baru. Semua tergantung bagaimana manusia menilai detik ini dan apa yang dia pilih untuk dilakukan. Benar kata orang, identitas agama tidak lebih penting dari kepribadian ruhiyah yang sesungguhnya.

Pagi-pagi, belum terlalu terang. Sakti mengetuk pelan pintu kamar Bima. Dia sudah berani main ke kamar sekarang-sekarang ini.

"Mas... " panggilnya, "Mas Bima! Bangun Mas."

Dia akhirnya mengetuk lebih keras dan nyaring pada pegangan pintu yang terbuat dari tembaga.

"Mas Bima, hei...."

Dari dalam kamar terdengar suara ceracau yang berat. Benda-benda keras dibanting, seperti bantal yang bertabrakan.

"Hei,... Halo..."

Kepala Bima nongol dari balik pintu. Jambulnya berantakan, dengan kedua mata layu. Tidak salah lagi, dia bangun belum lama.

"Saya bawa makanan. Ayo sarapan!"

Melangkah gontai menuju ruang baca, Bima menuruti perintah. Nafas panas Bima masih terasa di udara, tenggorokan keringnya pun belum lega. Sementara sahabatnya itu seperti singa yang siap menerkam hewan buruan. Luar biasa semangatnya menyambut pagi ini.

"Beneran baru bangun nih? Nggak sholat subuh dong." ujar Sakti berusaha ceria.

"Masih susah, grogi. Enakan barengan lo aja."

"Hemm, begitu."

Sakti jadi orang yang paling sibuk melengkapi keberislaman Bima. Mengajari sholat, melafalkan bacaannya, mencontohkan gerakan, sampai menanyai aktivitas hariannya apa saja. Segenap rasa senang dan keseriusan, dia siap berkorban lebih banyak. Termasuk mengorbakan hati.

"Saya bakal temani Mas Bima sampai benar-benar bisa, sampai betul-betul paham." ucap Sakti penuh kesungguhan. "Minimal sholatnya, nggak boleh tinggal. Pembeda muslim itu memang disitu."

"Thanks banget lo mau nemenin." jawab Bima agak sungkan, "Jujur, ibadah lima kali per hari itu berat banget buat gue. Karena gue..... Ya, karena gue ngga pernah gitu-gitu amat sebelumnya."

"Nanti juga terbiasa. Bakalan ngerasa butuh ngelakuin ibadah."

Bima mengangguk. Di tengah ketidakmengertiannya dengan jalan pikiran orang-orang fanatik agama seperti Sakti, dia mencoba melihat sisi lain dari perjalanan spiritual orang lain. Berkumur di bawah keran pencuci tangan, Bima melirik mentari pagi yang mengintip malu-malu. Dia merasa malu dengan cahaya di luar sana. Sudah lama tidak ada yang membangunkannya seperti pagi ini. Indahnya dicintai, punya seseorang yang memperhatikan.

"Yuk sarapan, Mas. Masakan Dinara. Maaf-maaf aja kalau kurang pas rasanya."

Sakti membuyarkan lamunannya. Setangkup telur asin dioles sambal pedas, terhidang bersanding dengan sayur-mayur yang entah apa namanya. Segumpal nasi putih di rantang bagian bawah. Sesuap demi sesuap, dua sahabat itu bertukar cerita. Tentang Dinara yang sudah digumuli aktivitas perkuliahan. Rasa terimakasih terdalam atas semua bantuan Bima untuk keluarga Sakti tempo hari. Hanya menunggu waktu, Sakti resmi bergelar sarjana. Pekan lalu, dia baru saja dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan.

"Jangan lupa ngundang gue ke acara wisudaan."

"Pasti, Mas!"

Beririsan dengan kebahagiaan orang lain, sejenak beban di dadanya hilang. Sedikit demi sedikit, Bima mempelajari maksud Tuhan kemana arahnya. Simfoni indah di rumah yang dia huni enam bulan belakangan ini. Merapikan buku seperti merapikan dirimu sendiri. Mensejajarkan nomor-nomor panggil, membuka-buka halaman seolah sapaan selamat pagi bagi makhluk bernyawa. Bima pergi mandi, membiarkan kucuran air mengaliri seluruh tubuh tanpa terkecuali. Dingin, membangunkan pori-pori, sejenak lalu ada nafas-nafas yang bangkit. Mengingat-ingat perasaan macam apa yang hadir berlarian. Kengerian mimpi yang teredam, sisa-sisa ingatan, dan jawaban yang akhirnya dia pilih. Sebagai orang yang sejak awal kosong dari spiritual agama-agama, masuk ke dalam agama islam seperti mengisi bejana kosong. Dialiri, diisi, penuh secara alami. Semoga hanya butuh waktu baginya untuk menerima total seluruh konsekuensi beragama. Tidak pernah mudah, sekalipun kau mempelajari agama lebih banyak dan lebih dalam lagi. Agama bukan matematika, atau premis-premis ilmu fisika. Tidak melar seperti produk-produk sastra. Ya, tidak sebebas itu, tidak kompromistis juga pastinya. Kesendirian di kamar, Bima mengangkat takbir untuk sholat dua rakaat. Jenis sholat yang dia tidak tahu apa, ya sholat aja. Anggaplah sholat untuk ganti waktu subuh yang tadi ketinggalan. Canggung dengan posisi rukuk yang membuka kedua kaki. Bangkit dengan takbir, dia sibuk menghafalkan gerakan. Al Fatihah, satu surah itu saja yang bisa sedikit-sedikit nempel di kepala. Menjatuhkan kepala ke tanah, bersujud, itu bagian tercanggung dari seluruh rangkaian gerakan sholat. Mata nyalang sekalipun, dia tak melihat apa-apa. Mata batinnya harus bicara, keintiman hamba dan pencipta benar-benar diuji. Bima lekas-lekas menyelesaikan sholat, berucap salam selepas tahyat akhir. Memanjatkan satu doa yang begitu singkat, "Ya Allah... apa lagi setelah ini? Mohon yang terbaik aja, lancarin semuanya. Pengen sejahtera, pengen lega jadi manusia. Dan jauhkan aku dari godaan setan yang terkutuk."

Bima baru selesai melipat sajadah, lantas dering selular berbunyi. Sebuah nama mematut-matut di layar datar telepon canggih itu.

Oh, anak kampret.

"Salemlekom, brotha....."

"Asem...."

"Ih, dijawab doang salamnya."

"Lafadznya nggak bener, makanya asem."

"Ciee.. cie.... Udah kenal lafadz nih ye."

"Lama. Lo lama. Makanya keburu gue pinter. Terus lo kaget deh, gue pinter kayak gini."

"Sorry, Lex. Chat sama telepon dari lo nggak kebalas. Asli, gue nggak sempat pegang handphone beberapa hari ini. Sibuk banget."

Bima menampakkan bibir manyun via video call. Layanan telepon video salah satu sambungan favorit mereka berdua. Sayang melewatkan gelak antar sahabat humor begitu saja.

"Yaa, elo kan bos. Gue maklum."

"Jadi? Lo beneran masuk Islam. Serius?"

"Gue nggak serius kan sama lo doang. Urusan ke orang lain, ya seriusan."

"Ya ampun, Bima. Mimpi apa sih lo? Kerasukan jin mana?"

"Kalau aja lo dapat mimpi yang sama, mungkin lo jadi alim juga."

Alex mengangguk-angguk membayangkan kengerian mimpi yang dibicarakan Bima dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, dia tak berhenti takjub pada perubahan signifikan Bima yang sekarang. Pergaulannya, cara dia bicara, tempat nongkrong. Ya,,, dia tahu Bima mungkin terpenjara dengan tempat baru. Tapi bukan berarti kebiasaan seseorang bisa langsung lenyap begitu saja. Alex sadar. Ada yang berubah dari Bima, yang Alex tidak tahu jelas itu apa.

"Hemm.... Bim... jujur nih! Lo jujur ya."

"Ya, gue jujur. Apa?"

Satu pertanyaan ini jadi kunci buat Alex. Bima udah total berubah atau belum sih?

"Lo masih doyan?"

"Apa? Bokep? Terakhir kali sebulan lalu."

"Wuee.... Keren. Tiga kali sehari kan dosis lo."

"Yes. Tau lo ya."

"Hemm... tapi bukan itu sih sebenarnya yang pengen gue tanya," ujar Alex tertahan, menelan ludahnya satu kali. "Lo masih naksir doski? Yang baju putih itu loh."

Bima membuang muka ke udara. Menjauhi arah telepon, berlalu meninggalkan tampang Alex yang memanggil-manggil.

"Woi, jangan kabur lo, pisang ambon!"

Bima menatap pantulan di cermin. Meneliti keadaannya, makhluk tuhan yang dipuji-puji orang. Wajah tampan dan tangan seninya yang lihai. Pertanyaan yang memunculkan ketegangan. Setruman-setruman lisrtrik endorpin bermunculan.

"Nggak lah, gue nggak kabur."

"Jadi? Masih?" tanya Alex terus mengejar.

Diam. Bima cuma diam. Jalaran hormon dari dada ke daerah pusar, masih terus turun ke bawah. Aliran ini membuat Bima diam. Tapi kali ini tidak. Logikanya cepat bertindak. Dia manusia yang merdeka. Dia bertekad untuk yang satu itu.

"Yaudah kalau lo nggak mau jawab." ucap Alex canggung, akhirnya.

Mereka kemudian saling diam, saling lihat, bicara lewat tatapan mata digital.

"Lex...."

"Hemm..."

(Huff,, hempas nafas Bima berembun di udara)

"Masih.... Gue masih naksir." ucap Bima tertunduk. "Kalau gue berhasil bikin dia sayang juga, gimana?"

"Jiah! Agresif lo."

Alex memijat kerutan-kerutan di jidat yang mendadak kumat. Nih anak setannya kuat amat. Bima... Bima... Udah gue duga! []

Continue Reading

You'll Also Like

308K 13.6K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
42.2K 5.8K 33
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
222K 13.2K 63
DI LARANG KERAS UNTUK PLAGIAT!!! tiktok: @viorraaa_ Instagram: @rintikaksara Singkatnya menceritakan tentang kehidupan seorang gadis desa yang di tak...
646K 19.6K 53
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...