MATAHARI API

By nadyasiaulia

57.6K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... More

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
4. Putri Salju
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
25. Guntur Menghilang
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
29. Ksatria Untuk Xena
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
45. Keinginan Terpendam
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl
62. Waktu Malam Itu

9. Pyjamas Party

1.4K 156 62
By nadyasiaulia

Pyjamas Party

•••

Lonceng kecil berwarna emas yang tergantung bergemerincing kala Gesna mendorong pintu kafe. Sembari melangkah masuk, matanya menyapu sekitar dan menemukan dua sahabatnya di kursi pojok.

"Lama banget, bemo!" gerutu Naraya sedangkan Asri hanya tertawa. "Lo jalan apa ngerayap?"

Gesna memonyongkan bibir tanggapi Naraya. "Macet, Nay. Lagian kenapa mesti di kafe ini, sih? Nggak sekalian kalian ngajak meet up di pinggir Selat Sunda?"

Di meja berbentuk bundar yang bergaya lawas, sudah ada dua cangkir minuman dan kudapan ringan.  Naraya menyesap cappuccino miliknya. "Ge, kita tuh mesti ngelihat dunia. Lo musti tahu kalau dunia tuh luas. Jangan mainnya di situ-situ aja," balas Naraya dengan tangan bergerak memperagakan bentuk lingkaran.

"Ya, lo memang tukang jalan," sahut Gesna sembari menyisir rambut pendek Naraya ke arah depan menjadi poni. "Nah, udah cocok. Naraya si petualang."

"Dora kali, ah. Mau ke mana kita?"

"Ke pantai," jawab Gesna dan Asri menirukan Dora.

"Mau ke mana kita?" ulang Naraya.

"Ke pantai!" Gesna dan Asri masih menjawab pertanyaan Naraya kemudian tertawa. Asri menyodorkan menu ke Gesna. "Udah, pesan dulu, gih. Baru habis ini bahas mau ngapain kita."

Naraya terlihat mencibir. "Gaya lo, Bocah! Lo yang paling nggak bisa ikutan apa-apa ya. KTP nggak punya, SIM pun tak ada."

"Kayak lo punya KTP aja," ujar Asri tidak mau kalah.

"Seenggaknya kami punya SIM walaupun KTP nggak tahu kapan jadinya. Ya, nggak, Ge?" Naraya meminta persetujuan Gesna.

Gesna hanya mengangguk sambil membaca menu. Selama ini memang Asri nggak bisa leluasa mengikuti mereka dugem, karena masih berumur lima belas tahun lebih sedikit. Kepintaran Asri membuatnya duduk di kelas sebelas pada umur yang sangat muda.

"Gue pengin dugem sih sebenarnya," ujar Asri pelan, melamunkan umurnya yang belum bisa apa-apa.

"Eh, Ge... Gue tadi ngelihat Guntur," potong Naraya seolah itu adalah kabar penting.

"Jangan, entar lo tua sebelum waktunya." Gesna tersenyum kecil ke Asri. Setelah memesan segelas capuccino, dia yang sangat penasaran dengan kabar Guntur, mencoba bertanya dengan santai. "Gimana tadi, Nay? Lo tadi lihat Guntur di mana, sama siapa?"

Naraya menyengir tipis. Seolah menunggu kalimat itu dari tadi. "Kepo banget apa kepo aja?"

"Biasa aja." Gesna mencomot kentang goreng Naraya agar tidak terlihat canggung. Selama ini, tidak ada satu pun yang tahu bagaimana perasaannya kepada Guntur dan Gesna ahli dalam menyembunyikan hal itu.

Naraya mesem-mesem menaikkan alis. "Sekelebat aja sih waktu gue di jalan tadi. Gue lihat Guntur bonceng cewek, dipeluk gitu dari belakang. Gimanapun gue kan hafal sama motor Guntur."

Gesna mengangguk. Anak-anak OSIS yang kerjanya rapat melulu itu pasti sering pulang sore dan pasti saling mengenali kendaraan teman-temannya. Apalagi motor Guntur memakai plat yang mudah diingat. "Adeknya kali, si Pelangi," sahut Gesna ringan. Tidak ada yang tahu jantungnya mencelus.

Asri mengamati Gesna dan Naraya, mencoba menyimak pembicaraan di antara keduanya. "Gesna itu sahabatan sama Guntur, Nay."

Naraya terkekeh berdengkus, khas cewek itu. Jika orang tidak kenal, mungkin akan merasa dikerdilkan dengan gaya barusan.  "Awalnya memang berteman-teman, lama-lama bisa demen."

Gesna berdecak malas sambil meraih kentang lagi. "Tolong ya, Nay. Itu sih kasus lo. Jangan dipepet-pepetin sama gue. Memang enak disukain sama teman deket sendiri?" serangnya.

"Paten bener mulut lo, Ge. Pengin gue sate," desis Naraya sementara Gesna tertawa lepas.

"Aih, sudahlah, Nay. Lo tuh cocok sama Kak Adji." Kali ini Gesna yang terkekeh, merasa bisa memutar balik pembahasan di meja. "Jangan muna."

Pesanan Gesna datang dalam cangkir yang mengepul. Mereka sudah lama sekali tidak berkumpul seperti ini. Naraya semakin sibuk dengan pelatnasnya dan Asri disibukkan dengan persiapan OSN.

Naraya berprestasi dengan OSIS dan pelatnas panjat tebing. Asri berprestasi untuk Olimpiade Fisika juga aktif di basket. Di antara mereka, hanya Gesnalah yang tidak memiliki prestasi tinggi. Kalaupun dia pernah menang pertandingan basket, itu karena kerja tim yang di dalamnya juga ada Asri.

"Kenapa jadi bahas itu, ya? Geblek. Jadi, ngapain kita habis ini?" tanya Naraya serius.

Gesna mengedikkan bahu dan menyerahkan keputusan kepada yang lain. Tangannya meraih kotak rokok yang ada di saku hoodie dan mengambil sebatang. "Sori. Gue lagi pengin ngerokok," izinnya.

Dia tahu baik mata Asri ataupun mata Naraya hampir keluar melihat bibirnya mengebulkan asap, tapi Gesna memilih tidak peduli.

"Sejak kapan lo ngerokok?" Naraya memandang dengan tatapan penuh selidik.

"Semenjak Boboiboy menyelamatkan galaksi," jawabnya asal. Naraya membalas dengan mendorong belakang kepala Gesna. "Buset, kasar amat, Nay."

"Kalau mau yang lembut-lembut, buih capuccino juga lembut," balas Naraya tidak kalah asal.

Jawab-jawaban ngawur itu terhenti ketika Asri menyentik jari. Gesna dan Naraya menoleh. "Gue ada ide. Daripada kalian dugem melulu, pyjamas party aja yuk di rumah gue."

"Yang dugem melulu itu siapa? Gege, tuh. Gue sih kagak," dalih Naraya. "Lo aja tahu gimana jadwal gue, 'kan, Ci? Jelaslah siapa Ratu Dugem di antara kita."

"Ratu Dugem pala lo peyang?! Ingat, Nay. Gue dulu kenal Splash juga dari lo."

"Udah... Udah..." Asri melerai kembali. "Jadi, gimana? Setuju, nggak?"

Naraya diam sesaat lalu mengangguk. Cewek itu lalu memberi syarat. "Boleh tapi no boys, ya. Kalian nggak usah habisin waktu teleponan sama para luwak."

Gesna menoyor kepala Naraya. "Palingan lo nanti dicariin Kak Adji!"

Naraya melengos. "Nggak usah ngebantalin gue. Entar juga lo yang dicariin Petir tercinta."

"Geledek aja sekalian. Ganti nama orang seenak jidat. Potong kambing bokapnya Guntur itu." Gesna lalu meraih capuccino di hadapan dan mulai menyesap pelan.

"Cie, dibelain banget kayaknya," ejek Naraya tidak mau kalah.

Setelah melewati jalanan padat kota Jakarta, mereka sampai rumah Asri pukul delapan malam. Gesna langsung merebahkan badannya yang lelah, Naraya memeluk guling milik Asri. Sang pemilik kamar yang membawa air mineral dan camilan lantas bergeleng.

"Gue undang kalian ke sini bukan buat langsung tidur ya."

"Bawel." Gesna menutup matanya. "Lo dari tadi cuma duduk manis ya di mobil Nay. Gue sama Nay yang ngelawanin macet."

Sehabis Gesna misuh-misuh, pintu kamar Asri tiba-tiba terbuka. Suara ramah nan renyah menggema, membuat Gesna dan Naraya menoleh. "Hello, girls! Long time, no see."

"Kak Zella!" pekik mereka berdua bersamaan.

Zella tertawa ringan, menampakkan giginya yang rapi, rambutnya pendek setelinga berlayer dan sedikit teracak. Kakaknya Asri itu selama ini berkuliah di Singapura. "Wow. Adek-adek gue udah gede, ya. Udah bisa ngerokok," gumamnya.

Ketiga cewek itu mematung. Zella kembali tertawa melihat kekakuan yang ada. "C'mon, dipikir gue bloon apa nggak bisa nyium bau rokok di baju kalian? Take it easy, none of my business. Gue juga kadang ngerokok, kok."

Zella merebahkan diri di samping Naraya dan Gesna. "Ini lo bertiga jomlo, ya? Malam Minggunya begini."

"Astaga, Kak. Jangan diingetin banget napa?" Gesna protes sembari meraih kotak keripik pisang yang tadi bawa Asri.

"Kami single, bukan jomlo, Kak," bela Naraya.

Zella mesem-mesem. "Ketebak. Lo mau bilang jomlo itu nasib, single itu pilihan, 'kan?"

Asri ikut duduk di samping lain, tertawa. "Kak Zella ini cenayang. Belom lo ngomong, dia udah ngerti, Nay."

Zella terkekeh kemudian bangkit, duduk dan menghadap cewek-cewek itu. "Bukan cenayang, tapi gue puas bandel waktu muda. Kalau alesan begituan, kliselah. Lagian menurut gue, jadi cewek jangan gampangan. Lebih baik jomlo daripada pacaran sama sembarang orang."

"Nah, mumpung kalian jomlo, gue lebih enak mendoktrin kalian," tambah Zella lagi.

"Doktrin yang gimana, nih?" Naraya mulai tertarik sedang Gesna memperhatikan Zella lekat-lekat.

"Gue nggak suka lihat cewek lemah yang sedikit-sedikit langsung nyerah. I mean, memang kita makhluk yang halus. Etdah bahasa gue, hantu kali makhluk halus." Zella terkikik. "Maksud gue, hati kita tuh selembut sutera tapi bukan berarti mudah dirobek orang apalagi sama cowok. Kalau bisa, kita yang setir cowok. Jangan kita yang disetir atas nama perasaan. Hari gini, jadi cewek mesti berlogika, jangan andalin perasaan doang."

Naraya mencomot keripik dari tangan Gesna. "Seru nih, seru. Lanjut, Kak."

"So... Girls must be bitchy and badass. Bitchy maksud gue bukan lo mesti murahan terus jadi wanita penggoda. Lo pada udah pernah baca buku Why Men Marry Bitches?"

Serempak, mereka bertiga menggeleng. Zella melanjutkan doktrinnya. "Cewek akan lebih menarik kalau dia punya harga diri dan bangga sama dirinya sendiri. Jangan jadi cewek lemah, pasrah, dikesetin sama cowok. Itu sama sekali nggak menantang mereka. Ingat, cowok suka tantangan."

Seakan mendengar penjelasan dari guru, mereka bertiga serempak diam memperhatikan.

"Jujur, gue suka lihat kalian. Dan gue percaya kalian itu tipe yang nggak mudah menyerah. Nah, adek-adek gue ini tinggal dipoles aja sama doktrin dikit biar langsung jadi."  Zella ikutan meraih keripik pisang sambil terus berbicara. "Badass yang gue maksud bukan harus liar yang gimana-gimana, ya. Tapi, kuat dan tangguh dalam menaklukan yang harus dikalahkan. Bila perlu membalas, ya balas! Dengan cara yang elegan, bertaktik."

Mereka bertiga mengangguk, kehilangan kata.

"Cewek itu makhluk yang kuat, kuat nggak mesti harus pukul-pukulan melulu," ujar Zella sambil menunjuk kepalanya. "Kita perlu rencana, taktik, bila perlu intrik."

"Dalam segala hal?"

"Kalau susah dalam segala hal, minimal untuk hal-hal penting. Cewek itu harus punya pemikiran panjang. Bukan cuma buat hari ini atau besok aja,  tapi rencana buat setahun atau sepuluh tahun lagi."

Naraya membuka mulut. "Lo pernah disakitin cowok, Kak?"

"Pernah, dong. Memangnya hati gue batu?" Zella tersenyum kecil.

"Terus ada rencana lo balas?"

"Gue bakal lihat case-nya dulu. Kalau case-nya cuma gue yang kebaperan, gue ngaku salah sama diri sendiri dan diam aja. Tapi, kalau memang cowoknya berengsek, nah, gue beresin pakai cara gue sendiri."

"Lo apain, Kak?" Gesna penasaran.

Zella tersenyum miring, melirik Gesna. "Nggak diapa-apain, sih. Palingan ada yang tanpa sepengetahuan dia, SIM dan KTP-nya gue gunting-gunting. Ada yang gue blongin remnya. Ada yang kerampokan. Ada yang dipukulin pacar selingkuhannya. Ada yang gue siram minuman di depan cewek barunya. Macam-macamlah."

Mereka bertiga ternganga. Dari segitu banyak yang dilakukan Zella, apa itu pantas dibilang 'nggak diapa-apain'?

"Gue penasaran. Lo pernah suka sama teman dekat nggak, Kak?" tanya Gesna.

"Pernah." Zella meneguk air mineral setelah puas mengunyah keripik. "Kalau suka sama teman dekat, lo mesti mantapin hati dulu. Mau maju apa mundur? Lihat dulu peluangnya. Kalau sinyal dia positif, dan lo mantap maju, majulah. Tapi, kalau sinyal nggak jelas. Saran gue jangan, nyesal nanti. Nggak semua orang bisa balik asyik kayak dulu lagi kalau udah pernah ada ikatan emosional."

Gesna dan Naraya mengangguk paham. Tangan mereka masih menyuap keripik sembari menyimak ulasan Zella. Bagaimanapun Zella lebih tua dan sepertinya pengalaman Zella cukup banyak.

"Memang sih nggak enaknya kalau mundur sebelum usaha itu bikin penasaran. Iya, 'kan? Jadi berandai. What if—" Ucapan Zella terhenti dan gadis itu memperhatikan Gesna dan Naraya. "Lo berdua lagi suka sama temen dekat?"

Tanpa aba-aba, Gesna dan Naraya sama-sama tersedak keripik pisang.

***

Setelah mengganti baju dengan piama milik Asri. Mereka mengumpulkan ponsel masing-masing. Benda itu dimasukkan ke keranjang dan ditutup. Sesuai kesepakatan, ketika mereka berkumpul harus seminimal mungkin memegang ponsel agar lebih seru. Namun, dering tetap dihidupkan untuk berjaga-jaga siapa tahu ada panggilan darurat.

Sebelum keranjang ditutup, sebuah ponsel berdering. Mereka mengintip pemanggil di ponsel Naraya.

"Tuh, kan. Kak Adji." Tawa Gesna membahana. Merasa tebakannya terbukti, dia mendorong kepala Naraya.

Naraya memonyongkan bibir, tidak mengangkat panggilan. Hingga panggilan dari ponsel Naraya mati.

Selepas ponsel Naraya, giliran ponsel Gesna yang nyaring berbunyi. Naraya terbahak. Cewek itu hafal dengan dering khusus di ponsel Gesna yang akan berbunyi bila ditelepon Guntur. "Cie... Petir Guntur Gemuruh tersayang," balasnya sambil balik menoyor Gesna karena merasa tebakannya juga benar.

Gesna lalu menutup keranjang dan menaruh benda kotak itu di bawah tempat tidur. Asri yang sedari tadi mengutak-atik channel di televisi akhirnya menemukan film yang dimau.

"Aci! Lo tahu 'kan kami anti film Korea?!" protes Naraya.

Asri hanya cuek. "Tahu, makanya mau gue kenalin yang ini dulu. Coba ditonton dulu. Ini beda pokoknya!" Cewek itu memutar serial TV yang menjadi favorit tahun 2016, Decendants of the Sun. Awalnya Naraya dan Gesna tidak suka. Namun, begitu terlihat barisan tentara dan adegan laga. Mereka menonton dalam diam.

"Gimana? Cocok?" goda Asri.

"Gue pikir film Korea tuh isinya cinta-cintaan melulu," gumam Naraya.

Asri tertawa kecil dan langsung diminta Gesna diam. Mata Gesna tidak mengedip melihat tokohnya yang berseragam tentara.

"Anjay, nggak kuat gue lihat abang itu." Gesna menunjuk sebelah kanan layar. "Rasanya pengin bilang 'rahim gue anget' kayak cewek-cewek jablay gitu."

Mata Gesna melebar tidak berkedip melihat seseorang yang berperan sebagai Sersan Soe Dae Young.

"Sexual harassment itu, bodoh!" Naraya kembali mendorong kepala Gesna.

"Kalau gue suka Kapten Yoo Shi Jin," ungkap Asri sambil menunjuk tokoh utamanya.

"Ambil buat lo, gue Sersan ini aja," kata Gesna santai.

Naraya menoleh. "Berisik banget lo semua. Coba diam dulu. Nggak bisa konsen gue."

Zella terkekeh geli melihat keributan yang ada. Sebuah ponsel berbunyi lirih dari keranjang. Mereka tidak memedulikannya. Setelah panggilan pertama diabaikan, panggilan kedua datang lagi.

"Etdah, Aci. Siapa yang nelpon lo itu? Ribut amat," tukas Gesna.

"Bukan hape gue, ya," ujar Asri tidak terima. Ia dan Gesna menoleh ke Naraya.

Naraya melotot, sadar kalau ponselnya yang dituduh. "Enak aja! Bunyi hape gue juga nggak gitu."

Karena penasaran, mereka menarik keranjang ponsel dan membukanya. Layar ponsel Gesna menyala, menampilkan deretan nomor asing.

Naraya kembali menggeplak Gesna. "Hape lo, Oneng!"

Gesna menyengir. Dia lupa kalau kemarin sempat mengganti dering karena takut ketahuan menguping Kepala Suku.

"Angkat gih, siapa tahu penting," ujar Zella yang sedari tadi diam. "Sekalian ngetes, seberapa bitchy dan badass lo. Gue yakin ini yang nelpon cowok."

"Cowok nyasar mana yang mau nelpon Gesna?" ejek Naraya yang disambut toyoran Gesna.

Ponselnya berdering lagi, masih nomor yang sama.

"Buruan, angkat." Zella mengedikkan dagu, membuat Gesna mau tak mau menjawab panggilan.

"Halo," sapa Gesna dengan mengaktifkan pengeras suara.

Suara di seberang terdengar asing. "Halo, ini Gesna?"

"Bukan ini Michelle," jawabnya santai. Kadang-kadang Gesna suka merasa dirinya adalah titisan Michelle Ziudith.

Zella, Asri dan Naraya menahan tawa sembari melempari bantal.

"Ha?" seru penelponnya terdengar bingung lalu mematikan telepon karena merasa salah sambung.

Gesna terkekeh. Ponselnya berbunyi lagi dan diangkat kembali. Lagi-lagi, ketika ditanya apakah yang mengangkat telepon bernama Gesna, jawabannya masih sama. Hal tersebut berulang sampai tiga kali.

Di telepon keempat, barulah Gesna merasa mau tahu siapa penelpon itu.

"Halo? Ini masih Michelle?"

"Iya, udah tahu Michelle kenapa cari Gesna deh?!" Dia mengatupkan bibir untuk sembunyikan senyum geli.

"Sori, tapi, tadi gue dikasih tahu teman gue, kalau nomor Gesna ya nomor ini. Ini beneran bukan Gesna?"

"Siapa nama teman lo?"

"Miko," jawab cowok itu. "Benar ini bukan Gesna?"

Akhirnya Gesna merasa kasihan juga. Tidak baik menjaili orang yang tidak bersalah. Siapa tahu cowok ini mau menyampaikan berita penting. "Ini siapa?" tanyanya.

"Adit," jawab sang penelepon membuat Gesna membulatkan mata sementara Naraya sibuk membekap mulut Asri yang hampir kelepasan memekik.

"Oh, lo. Kenapa?" sahut Gesna malas.

"Jadi benar ini Gesna?"

Gesna hanya bergumam mengiakan.

"Ganggu nggak?" tanya Adit terdengar basa-basi.

Zella berkedip memberi kode dan Gesna menangkap baik kode itu. "Ganggu banget."

"Gue sebenarnya mau ngajak lo keluar," ungkap Adit.

Gesna memutar mata yang jelas-jelas nggak akan bisa dilihat penelepon. Dia masih ingat bagaimana gaya mengesalkan Adit, tadi. Cara mengusap-usap helm mahal dengan dramatis itu nggak akan Gesna lupakan. "Ngapain?"

"Ngajakin lo jalan aja."

Mendengar ajakan Adit, taring Gesna seolah tumbuh dengan cepat dan tanduknya langsung keluar. Adit mau mengisengi dia lagi? Oh, tidak akan dia biarkan cowok itu menang. "Jalan? Capek dong kalau jalan terus, nanti pegal kaki gue. Apalagi sama lo, dobel capeknya," jawabnya ketus.

Penonton masih menguping sembari menutup mulut dengan tangan agar tidak kelepasan berkomentar atau tertawa.

Terdengar Adit menghela napas. "Kok jadi marah sama gue?"

Gesna melengos. Kalau Adit berpikir dia berhutang budi karena ditolong tadi, itu pemikiran yang salah. Cowok itu nggak tahu ya dia bisa membalas perlakuan menjengkelkannya? "Siapa yang marah? Buat apa gue buang energi sia-sia? Untuk orang yang unfaedah kayak lo."

Adit meringis di seberang telepon. Mungkin cowok itu tidak menyangka reaksi Gesna akan seperti ini. "Ya ampun, serius amat."

"Gue Gesna bukan Serius apalagi Amat," potong Gesna.

Penonton mulai memegang perut masing-masing, menahan geli.

Tanpa Gesna ketahui, Adit melengkungkan senyum lagi di seberang telepon. Cowok itu tidak habis pikir bisa-bisanya selera humor dia serendah ini. Padahal jika teman-temannya yang ucapkan terasa biasa saja. "Ya udah, deh. Sori, kalau gue ganggu lo..."

"Halah, udah panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume, baru minta maaf," balas Gesna judes.

"Lo jutek banget, sih."

"Urusan lo?" tembak Gesna frontal. Dia melihat Zella sudah mengangkat jempol ke arahnya, pertanda misi pertama berhasil.

"Jadi urusan gue," jawab Adit, "karena semakin lo jutek, gue semakin suka."

🌺🌺🌺

Eleuh eleuh.. 😚😚

Udah lama nggak dibaperin Kepala Suku.

Acu tuh rindu..

Kalo kamu?

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 167K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
794K 42.1K 75
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
3.2M 265K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.3M 256K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...