MATAHARI API

By nadyasiaulia

57.8K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... More

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
9. Pyjamas Party
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
25. Guntur Menghilang
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
29. Ksatria Untuk Xena
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
45. Keinginan Terpendam
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl
62. Waktu Malam Itu

4. Putri Salju

1.5K 163 64
By nadyasiaulia


Putri Salju

•••

Semenjak kasus apel dan parkiran, hidup Gesna terasa tidak tenang. Adit seperti debu yang bisa melayang di mana-mana. Padahal kantin anak kelas dua belas yang disebut kantin biru, tidak bersinggungan sama sekali dengan koridor yang biasa dia lewati. Namun, kali ini, saat dia keluar kelas ketemu Adit, jalan di koridor ketemu Adit, ke koperasi juga ada Adit.

Bukan itu saja, yang menjengkelkan adalah Adit selalu meminta orang lain untuk menyambut kedatangannya. Seperti barusan, waktu Gesna hendak masuk koperasi, Adit berkata kepada yang lain agar menyingkir.

"Pinggir, pinggir. Kasih jalan buat Putri Salju," ujar Adit membuat pengunjung koperasi memberi jalan kepadanya. Ada juga yang menoleh dan memperhatikan dia. Niat banget membuat dia malu.

Gesna sudah menahan makian dalam hati dan berusaha cuek, tetapi cowok itu semakin terlihat senang.

"Eh, bukan Putri Salju, tapi Kepala Putik," tambah Adit sembari bersiul. "Putik-putik melati alibaba. Merah-merah delima pinokio."

Gesna menarik napas, berusaha menulikan telinga sendiri. Ya Tuhan, garing banget lo, Bambang!

Pulpen yang akan dibeli sudah di tangan dan dikantongi. Setelah mengantongi pulpen, Gesna terdiam sesaat untuk mengingat-ingat. Tadi, bukankah dia membawa buku sketsa? Kenapa tidak ada, sekarang?

Kakinya berbalik secepat mungkin untuk meneliti koridor yang telah dilewati. Siapa tahu buku sketsa dia sudah terjatuh. Buku buluk itu adalah buku gambar kesayangan. Tempat Gesna menumpahkan segala rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.

Badan Gesna hampir menabrak badan Adit yang sedang membaca dan bersandar di pintu koperasi. Dia memutar bola mata. Membaca kok di depan koperasi? Nggak sekalian aja di tengah lapangan? rutuknya sambil berlalu dan kembali melihat kanan kiri.

"Nunduk melulu. Cari recehan, Non?" Seseorang menyejajarkan langkah di samping. "Atau cari ini?"

Gesna sigap menoleh. Buku yang dicarinya sudah ada di tangan Adit. Bola mata Gesna membulat. Ada ekspresi khawatir di sana. Astaga, jadi tadi bukunya sudah dibuka Adit?

"Kenapa bisa ada di lo? Gue cariin dari tadi juga." Tangan Gesna menjulur, hendak mengambil buku sketsa bersampul putih yang berada di genggaman Adit.

"Eits, tidak bisa." Tangan Adit lebih dahulu mengangkat buku itu tinggi-tinggi, membuat Gesna berjinjit dan berusaha menggapai buku. "Cebol juga lo," ejek Adit tersimpul.

Gesna berdecak. "Balikin, Bang."

"Nggak konsisten lo. Kadang manggil pakai Bang, kadang elo-eloin gue." Cowok itu mengecimus sambil segera menyelipkan buku Gesna ke dalam bajunya. "Ambil coba."

Alis Gesna sudah berkerut dan mukanya garang. "Udahlah. Nggak lucu, tahu nggak lo? Gue nggak bercanda."

"Oh, lo mau yang serius-serius aja?" tanya Adit masih tidak merasa kalau Gesna sudah tidak berminat bicara dengannya. "Ya udah, gue serius. Ambil nih bukunya."

Adit berhenti di depan dia sambil membusungkan dada. Seolah berpikir kalau Gesna ini mau-mau saja diusili. Dia melengos panjang dan menantang mata Adit. "Kalau lo pikir gue sama kayak dedek-dedek gemes yang screaming-screaming nggak jelas karena lo tegur, lo salah! Ambil tuh buku! Malas gue mau berurusan sama lo!" semburnya sambil pergi.

Gesna tidak peduli apakah ada yang melihat kemarahannya tadi. Bila perlu sekalian saja ada reporter BOS yang meliput berita itu. Jika si Adit berpikir bisa seenak jidat kepada dia karena bergelar Kepala Suku, salah besar. Mau kepala naga pun, Gesna akan hadapi. Dia memang suka tertawa dan bercanda, tetapi bukan berarti Adit bisa seenaknya bercandai dia dengan cara yang tidak sopan seperti tadi.

Itu termasuk pelecehan seksual atau pelanggaran HAM, ya? Ah, Gesna bingung. Dia menggaruk kepala dan berjalan kembali ke kantin Pespel untuk berkumpul dengan Asri dan Naraya.

Ketika hampir sampai kantin, ponselnya bergetar. "Apa?" sahut Gesna begitu melihat Gustav yang telepon.

"Astoge. Gue telponin dari tadi ya, nyet!" seru Gustav di telinganya.

Gesna mendesis, menjauhkan ponsel. "Gue lagi nyari buku, tadi. Kenapa?"

"Ini lo di mana?"

Gesna berdecak. Ini masih jam sekolah, ya jelas dia berada di sekolah, dong. Gimana, sih?

"Gue? Gue berada di pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," jawabnya setelah berada di pintu kantin.

"Oke. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka ... gue menyatakan bahwa entar siang, gue jemput di sekolah." Gustav memberi arahan dengan basa-basi berbelit yang membuat Gesna ingin muntah.

"Tumben? Ngapain?" tanya Gesna penasaran.

"Ada, deh. Nanti lo juga tahu."

"Jemput ke basecamp aja, biar gue nitip skuter di sana."

"Ya udah, jangan lama pulang sekolahnya. Jam dua langsung gue jemput."

"Asiiiiaaaaap," balasnya cepat dan tertawa ketika mendengar umpatan Gustav yang tidak suka mendengar kata-kata itu. Dia lalu duduk di samping Naraya yang sedang menyantap bakso.

"Dari mana lo, Ge?" Asri yang datang bersama sepiring siomai juga duduk di meja yang sama.

Gesna menyengir, malas menceritakan panjangnya proses yang dijalani hingga sampai ke kantin saat ini. "Gue? Dari turunannya Adam dan Hawa."

Asri mencibir, Naraya menaikkan kepala dan melirik malas.

"Beneran. Suer," tambahnya sambil mengangkat telunjuk dan jari tengah, seolah sedang bersumpah.

Jawaban yang kemudian ditanggapi Naraya dengan mempertemukan handgrip kesayangan cewek itu ke kepala Gesna.

***

Ada rasa mengusik yang susah dijelaskan atas ajakan Gustav. Begitu bel pulang sekolah, dia langsung memacu skuter menuju basecamp. Saat sampai, seperti biasa, direbahkan badan di sofa. Riko bahkan belum kelihatan batang hidung. Ponsel Gesna bergetar, Gustav kembali menelepon. "Di mana, Bang?"

"Lo di mana?"

"Udah di basecamp, mau shalat jenazah."

"Hah?! Siapa yang meninggal?" seru Gustav.

Gesna memutar mata sambil terkekeh. "Dompet, Bang. Udah RIP dia. Nggak ada nyawa."

Selama ini, uang jajannya memang diatur oleh Gustav. Abangnya ini akan mengirim dua minggu sekali. Gesna yakin jika Gustav ada di hadapan pasti lelaki itu akan memitingnya tanpa ampun.

"Ampas! Gue pikir beneran. Ya udah, nanti gue transfer. Gue udah dekat." Tanpa menunggu jawaban Gesna, panggilan langsung dimatikan Gustav.

"Nggak ada sopan-sopannya jadi orang tua," geleng Gesna lalu beranjak ke dapur dan meneguk air mineral. Sayup, dia mendengar sesuatu.

"Ada apaan, Ketua? Gue tahu, gue sama Bara memang kadang nggak waras, tapi bukan berarti kami nggak bisa dipercaya."

Terdengar percakapan mereka. Sial! Kenapa Gesna merasa jadi menguping pembicaraan?

"Udah, nggak apa-apa. Kita lihatin aja," jawab sebuah suara lagi. Terdengar bantingan sebuah benda di meja dan percikan korek api gas. Gesna melirik ke kanan dan kiri. Ini dia tidak sengaja mendengar, 'kan?

"Nggak apa-apanya ngegas." Bara menghentikan ucapan. "Aura lo beda. Gue sama Miko bukan sehari dua hari kenal sama lo sih, ya."

"Kayaknya gue tahu nih, Bar. Si Anjing dan komplotan dari ngapain?!"

Gesna yakin itu suara Miko. Ada langkah kaki mendekat ke ujung balkon. Dia menjadi waspada, dan menempelkan badan rapat ke pintu sudah seperti detektif di film aksi. Tanpa banyak berpikir, Gesna dapat memprediksi suara itu adalah Bara, Miko dan Adit.

"Ya udah kalau lo nggak mau cerita. Yang jelas, kalau dia main kotor lagi. Jangan halangin gue buat habisin dia," ancam Bara membuat Gesna bergidik dan menajamkan pendengaran lagi, tapi saat dia menunggu kalimat selanjutnya, ponsel di kantongnya malah berbunyi keras.

"Woy! Siapa itu?!"

Gesna lari secepat mungkin ke arah luar karena mendengar pergerakan kaki di balkon. Untung saja dia nggak tertangkap. Waktu berlari keluar, tepat sekali mobil Gustav datang. Gesna mengusap peluhnya yang terasa dingin, lalu menetralisir ketakutan dengan mengganti dering ponsel agar tidak dicurigai mereka.

Gesna memang nggak pernah melihat Adit berkelahi di sekolah. Aura cowok itu yang tenang dan dingin saja sudah membuat banyak murid menciut. Hanya saja, Gesna tahu Bara. Siapa yang nggak pernah dihajar Bara? Mereka bertiga itu seperti tiga kekuatan besar. Adit simbol pemimpin, Bara si panglima tempur dan Miko seperti perdana menteri. Anak buah mereka juga cukup banyak.

Anak-anak kelas sepuluh dan sebelas menunduk hormat kepada mereka bertiga. Hanya junior-junior yang memiliki beking senior kuat yang tidak menjilat kepada kedudukan Adit. Salah satunya anak Pespel seperti Naraya. Kekuatan Pespel bisa dibilang imbang. Beruntunglah Naraya memiliki senior seperti Adjam. Meski cukup galak, Adjam selalu mem-backup juniornya dalam salah sekalipun.

Dulu, anak basket juga ditakuti. Namun, semenjak Adji yang menjadi kapten basket. Stigma itu berubah. Adji tidak selalu membela anak basket, apalagi kalau tindakannya salah menurut Adji.

"Kita mau ke mana, sih?"

Pertanyaan itu beberapa kali ditanya Gesna dan Gustav tidak jua menjawab. Saking lelahnya, Gesna lalu memilih diam daripada pertanyaan yang sama diulang terus dan bakal dapat payung cantik sebagai hadiah doorprize. Dia meraih kotak CD dan memilih album mana yang cocok diputar, hari ini. Tangannya lantas memilih Iwan Fals. Tak lama, dia tersenyum singkat, teringat seseorang.

"Napa lo senyum sendiri?" tanya Gustav pelan seperti kehabisan tenaga.

"Dih, bisa ngomong juga lo Patung Pancoran?!" cela Gesna yang dihadiahi keplakan Gustav semena-mena di bahunya. "Abang kayak apa yang kasar bener begini? Gue jual juga nanti ginjalnya biar cepat kaya."

Gustav hanya melirik Gesna dan kembali diam. Mobil yang dikendarai masuk ke sebuah kantor pemerintah. Ada plang besar di halaman kantor itu tapi tidak sempat dibaca Gesna. Setelah parkir, dia hanya mengikuti Gustav tanpa banyak tanya.

Di tempat itu, ada ruangan-ruangan tertutup dan bangku panjang di muka. Dinding-dindingnya berwarna putih kaku dan bangku-bangku panjang itu hanya berwarna cokelat tua monoton. Nggak asyik, nggak Instagramable.

Langkah Gustav terhenti. Abangnya itu meraih lengan dan menggenggam jarinya. Persis seperti saat mereka berdua sedang menyeberangi jalanan ketika kecil. "Apaan gandeng-gandeng kayak tronton?"

"Diam lo, bawel."

Gustav mengajaknya masuk ke sebuah ruang yang diisi beberapa orang. Di bagian depan, ada meja panjang dan tiga orang duduk berjajar. Di seberang meja panjang itu ada kursi yang dilengkapi mikropon.

Tempat ini seperti ... pengadilan?

Gesna menoleh dan amati sekitar. Ini memang pengadilan! Dan orang yang berada di depan dua mikropon itu adalah ... mama dan papanya!

Gesna merasa perlu mengedip agar kelenjar air mata membasahi korneanya yang kering. Mungkin saja salah melihat. Berulangkali Gesna mencoba berkedip, tetapi apa yang dilihatnya masihlah sama. Dia menurut saja ketika Gustav menariknya untuk duduk di bangku belakang.

Mereka menonton sidang perceraian kedua orang tua dalam bungkam, dengan binar mata yang meredup dan dada yang terasa sangat terbakar.

Selama ini, Gesna terlalu terbiasa melihat hal aneh di rumahnya. Rumah yang seharusnya nyaman dan hangat itu malah terjadi pertengkaran saat papa dan mama bertemu. Papa yang bertugas di Balikpapan dan mama yang memilih tinggal di rumah yang dibangun oleh hasil keringatnya sendiri di Bandung, selalu bertengkar acap kali bertemu. Padahal pertemuan mereka belum tentu terjadwal sebulan sekali. Apa tidak rindu?

Kadang Gesna bergurau dalam hati kalau sebenarnya kedua orang tuanya itu saling rindu, dan melampiaskan dengan cara bertengkar. Hubungan asmara orang dewasa ternyata sangat rumit. Akan tetapi, Gesna tidak menyangka kalau kalimat yang sering terucap antara dua orang itu akhirnya terbukti juga.

Perceraian.

Jika boleh jujur, Gesna bosan dengan mereka berdua dan dia pernah berdoa supaya kedua orang tuanya bercerai saja agar tidak perlu berkelahi lagi. Namun, saat mendengar keputusan itu dibacakan di depan matanya, ada rasa jeri yang tidak terdefinisi. Apalagi mengetahui kalau Gandhi, sang adik, akan dipisahkan darinya.

Selama ini, baginya, keluarga adalah Gustav dan Gandhi. Mereka terbiasa hidup bertiga tanpa orang tua. Gandhi yang kelas 2 SD dibesarkan oleh baby sitter dari bayi. Mereka tidak pernah mendapatkan peran ayah dan ibu dalam hidup seperti yang dijabarkan dalam buku sosiologi.

Setelah palu diketuk tiga kali dan keputusan yang menghancurleburkan keluarganya dibacakan, Gustav mengantar dia kembali ke basecamp.

"Duit udah gue transfer, ya. Jangan balik malam-malam lo. Gue nggak pulang, mau bikin maket," ujar Gustav setelah Gesna membuka pintu mobil. Gustav yang berada di semester lima tersebut memang sibuk dengan berbagai tugas sebagai mahasiswa arsitek.

Gesna hanya mendengkus. Jangan pulang malam bagaimana? Saat ini, sudah menunjukan pukul tujuh malam. Apanya yang jangan pulang malam?

Gesna hanya mengangkat alis cuek. "Iya, subuh aja sekalian, 'kan?"

"Pintar!" sindir Gustav.

Gesna melangkah keluar dan menutup pintu mobil dengan kaki sebagai respon dari balasan cowok itu.

"Beneran nggak ada manisnya lo jadi cewek, astaga!"

Gesna menjulurkan lidah dan berbalik. Dia meringis dalam hati. Bagaimana bisa manis, memangnya dia sakarin?

Sahabat di basecamp semua laki-laki, adik kakaknya juga laki-laki. Sekali punya sahabat perempuan juga tipenya seperti Naraya dan Asri yang tomboi dan tidak memedulikan sekitar. Ditambah seseorang yang harusnya mengajarkan Gesna menjadi gadis manis malah menelantarkan dia dan sibuk selalu dengan bisnis. Lengkap bukan kemanisan dan tata krama yang tertanam di dirinya?

Pelan, Gesna menapaki tangga teras dan terduduk di kursi, menunduk serendah mungkin dengan menutup kedua tangan di muka.

Sesuatu terasa menyentil jantung. Perih ketika mengingat bagaimana kiprah seseorang yang disebutnya mama dalam hidup ini. Gesna lupa kapan mamanya memeluk dia. Gesna lupa kapan terakhir dia bercerita dan bercengkrama, boro-boro membahas masa muda. Ah, Gesna juga lupa minta diajari bagaimana perempuan seharusnya bersikap sehingga dianggap manis.

Dada Gesna terasa nyeri, katup-katup dalam organ itu seperti berhenti memompa darah saat ini. Dunianya sudah tidak bulat lagi. Tadi di persidangan, hak asuh Gesna dan Gustav jatuh ke tangan papa. Sedangkan hak asuh Gandhi, jatuh ke tangan mama. Apa orang tuanya tidak merasa sedih memisahkan mereka dengan Gandhi yang saudara sekandung dan sealiran darah?

Dia meraih ponsel dan menekan nomor Guntur. Dalam pikirannya cuma Guntur.

Sekali, dua kali, tiga kali. Tanpa jawaban.

Ah, iya. Ini Jum'at malam. Guntur pasti akan menaruh ponselnya di dalam laci. Gesna mendesah, bingung harus bagaimana. Dia penat, tetapi tidak ingin pulang. Di rumahnya sudah tidak ada siapa-siapa selain Gustav. Kalau Gustav tidak pulang, rasanya seperti kuburan.

Gesna mengirimkan pesan ke Guntur. Berharap Guntur sekali saja melirik layar ponsel dan mendapati pesannya. Dia sedang ingin ditemani orang yang mengerti, saat ini. Hanya Guntur yang mengerti itu.

Sembari meluruskan kaki di kursi teras, Gesna memandang langit gelap yang kosong. Seperti itu juga hidupnya. Sepi sudah menjadi sahabat sejati sejak lama.

🌺🌺🌺

XOXO,
Nadya sang Putri Salju

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 87.1K 54
BOOK 1 > Remake. 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘱𝘢𝘬⚠️ ⚠️𝘥𝘪𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘰𝘮𝘰𝘱𝘩𝘰𝘣𝘪𝘤 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵...
911K 83.5K 31
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
701K 1.7K 35
menceritakan tentang perjalanan aira si gadis polos , yg menjadi lonte karna dititipkan dirumah om nya, yuk baca 20#sadis 28#bxg 9#binal 120#kejam 1...
6.4M 367K 65
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Nanzia Anatasya harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dinikahi diam-diam oleh seorang Gus di pesantren tem...