APPETENCE - The Kingdom of Sh...

By PrythaLize

587K 91.6K 7.4K

[Fantasy & (Minor)Romance] Carmelize selalu berakhir bermimpi tentang sebuah kerajaan setiap malam. Hanya ad... More

Note
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
APPETENCE

24

18.2K 3K 218
By PrythaLize

Ada banyak hal yang mulai terjadi sejak kejadian itu. 

Pangeran Alax menyadari banyak perubahan yang terjadi kepada saudari kembarnya. Misalnya, saat mereka beradu sihir, Pangeran Alax dan Pangeran Vire bisa merasakan bagaimana kekuatan Putri River jauh lebih kuat dibandingkan dengan biasanya.

Putri River mungkin juga merasakan hal yang sama, itulah sebabnya dia mulai mengurangi penggunaan sihirnya dan mulai menghindari hal-hal berbau sihir yang bisa memacu kekuatan sihirnya yang semakin tak bisa dikendalikannya.

Putri River mulai merasa seperti bukan dirinya sendiri. Ada semacam perasaan tidak nyaman, setiap dia menggunakan kekuatan sihirnya sendiri. Dia juga berusaha untuk tidak membuat siapapun curiga, baik keluarganya atau pun Carmelize.

Malam itu, Pangeran Vire mendatangi kamar Putri River, karena kakak tertua itu juga merasakan hal yang aneh terhadap adik bungsunya. Ditanyanya secara langsung, begitu dia sudah mengetuk kamar adiknya tiga kali.

"Kau kenapa?" tanyanya.

Putri River merinding, bukan karena kakak tertuanya itu tiba-tiba menjadi perhatian dan baik hati kepadanya, tetapi karena Pangeran Vire yang biasanya tidak peka terhadap sekitarnya bisa menyadari hal yang dikhawatirkannya.

"Apanya yang kenapa?" Putri River mulai merasa tidak tenang.

Dia sangat ingat dengan apa yang dikatakan raja dan ratu tentang Pangeran Vire yang tampaknya tidak menyadari banyaknya putri dari kerajaan lain yang tertarik dengannya. Memang, usia Pangeran Vire saat ini hanya dua belas tahun, tetapi raja dan ratu dari kerajaan lain sudah menceritakan bagaimana putra mereka yang sepantaran dengan Pangeran Vire, sudah tertarik dengan lawan jenisnya.

Jika Pangeran Vire saja sudah bisa merasakan keanehannya, mungkin saja yang lain sudah mengetahuinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Pangeran Vire dengan nada serius.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, kak," imbuh Putri River sembari memalingkan wajahnya.

"Kau selalu membuang muka setiap berbohong," ucap Pangeran Vire sambil memincingkan matanya. "Sihirmu menjadi kuat, apa kau juga menyadarinya?"

Putri River terdiam selama beberapa saat. Jika memang Pangeran Vire juga menyadarinya, bukanlah itu berarti kekuatannya yang semakin kuat itu bukan hanya sekadar halusinasinya belaka? Bukankah itu artinya kekuatannya benar-benar menguat?

"Coba keluarkan sihirmu," pinta Pangeran Vire yang membuat Putri River tersentak. Padahal dia sudah melakukan banyak hal agar tidak perlu mengeluarkan sihirnya yang mulai terasa sangat mengerikan untuk dirinya sendiri.

"Tidak!" seru Putri River saat Pangeran Vire mencoba menarik tangannya.

"Kenapa tidak?"

"Kak Vire keluar!" Putri River berusaha mendorong Pangeran Vire keluar dari kamarnya.

"River! Keluarkan sihirmu!" titah Pangeran Vire yang memancing emosi Putri River.

"Keluar!"

Pangeran Alax yang mendengarkan keributan itu dari kamarnya akhirnya memutuskan untuk keluar dari sana. Pintu kamar Putri River setengah terbuka, namun tidak tampak keberadaan Pangeran Vire dan Putri River di sana.

Beberapa saat setelah Pangeran Alax nyaris mendekat, Putri River berhasil mendorong Pangeran Vire untuk keluar. Setelah itu, menutup pintunya dengan keras.

"Ada apa dengan River?" tanya Pangeran Vire sambil menatap ke arah Pangeran Alax yang menyimak dari kejauhan.

Pangeran Alax mengendikkan bahu, hampir saja memutuskan untuk masuk kembali ke kamarnya, sebelum akhirnya dia mendengarkan suara rintihan Putri River dari kamarnya.

"Uh ... apa ini," gumam gadis itu dari balik pintu, dengan nada kesakitan.

Pangeran Alax dan Pangeran Vire bersitatap selama beberapa saat, lalu Pangeran Vire yang berada di depan pintu langsung mendorong pintu itu kembali, untuk memeriksa adik bungsunya.

"River!" serunya, sebelum masuk ke kamar Putri River.

Entah apa yang dilihatnya, Pangeran Alax tidak dapat menebak apapun yang terjadi, namun dia segera berlari ke sana untuk memeriksa keadaan.

Matanya terbelalak saat melihat Pangeran Vire melayang tanpa ada bantuan apapun. Putri River menurunkan tangannya dan mulai terlihat panik saat menyadari bahwa dia tidak sengaja mengeluarkan sihirnya untuk kakaknya, dan dia sama sekali tidak tahu caranya untuk menurunkn kakaknya.

"River, apa yang kau lakukan?" tanya Pangeran Vire, tak percaya bahwa dirinya terbang hanya karena berniat mendekati Putri River.

Pangeran Alax yang nyaris mendekat, langsung dihentikan secara serampak oleh kedua saudaranya.

"Di sana saja!" cegah keduanya bersamaan.

Pangeran Alax berhenti melangkah. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai macam pemikiran untuk menghentikan perseteruan mereka (walaupun Pangeran Alax tahu bahwa mereka bukan sedang bertengkar).

"Kak, jangan bergerak," ucap Putri River pelan-pelan, dengan agak ketakutan.

Seumur hidup Pangeran Vire dan Pangeran Alax, rasanya mereka berdua belum pernah sekalipun mendengar suara Putri River yang sepelan itu. Hal itu membuat mereka berdua tersadar bahwa hal yang dialami Putri River bukanlah hal sepela yang mudah diselesaikan.

Putri River mengulurkan tangan kepada Pangeran Vire, mencoba membantunya turun.

Pangeran Alax menunggu dengan sabar, sambil berharap tidak ada hal buruk yang terjadi terhadap keduanya.

Tanpa bisa menduga apapun, begitu tangan Putri River bersentuhan dengan tangan Pangeran Vire, petir besar menyambar di antara mereka berdua.

Putri River menjerit, ingin melepaskan Pangeran Vire, namun Pangeran Vire tetap mengenggam tangannya, seolah tahu bahwa akan ada sesuatu yang berbahaya terjadi kepada Putri River jika dia melepaskan tangannya.

Usai itu, Pangeran Vire tidak lagi melayang, melainkan terjatuh di atas lantai marmer kamar Putri River, dalam keadaan darah keluar dari tubuh dan ujung bibirnya.

"KAK VIRE!"

Dan Pangeran Alax akhirnya masuk untuk memberikan pertolongan. Di sana, dia menyadari bahwa bukan hanya kekuatan Putri River yang semakin menguat.

*

Siang itu, Putri River duduk sendirian di tempat biasa dia bersembunyi. Pangeran Alax memperhatikan dari jendela kamarnya. Untuk pertama kalinya, rasanya baru kali ini Pangeran Alax melihat Putri River semurung itu.

Pintu kamarnya terketuk. Pangeran Alax sama sekali tidak berharap bahwa pintu kamarnya akan terketuk tiga kali--tanda kedatangan Pangeran Vire--atau lima kali (karena dia baru saja melihat Putri River duduk dengan sedih di bawah sana.

"Masuk saja," lirihnya.

Kali ini dia tidak lagi menyembunyikan buku-buku yang bertumpuk di atas mejanya, karena Pangeran Alax telah memutuskan untuk mengakui semuanya kepada raja dan ratu, tentang apa yang ia tahu tentang hal yang terjadi hingga hari ini.

"Alax, bisakah kita bicara?"

Raja menyapa dari balik pintu, yang membuat Pangeran Alax langsung menghampiri pintu dan membukanya lebar-lebar, "Ada apa, Ayah?"

Raja memasuki kamar Pangeran Alax, tak lupa menutup pintunya sebelum memulai perbincangan yang tampaknya akan berakhir serius. 

"Silakan duduk, Ayah."

Pangeran Alax mempersilakan raja duduk di atas bangku panjang empuk tempat biasa ia membaca buku. Raja duduk di sana, Pangeran Alax menyusul. Raja langsung mengungkapkan maksud dan tujuannya kemari.

"Ayah tahu kau mengetahui sesuatu tentang ini, Alax," ucap raja sembari memperhatikan sekeliling kamar putra keduanya. "Tampaknya kau tahu lebih banyak tentang ramalan River daripada Ayah."

Pangeran Alax terdiam selama beberapa saat, "Aku hanya menduga-duga, belum pasti mengetahuinya," ungkapnya apa adanya.

"Katakan, apa yang kau tahu."

"Bahwa River adalah bayangan...?" jawab Pangeran Alax langsung pada intinya, meskipun terdengar ragu.

Raja tersenyum tipis, lalu mengelus kepala Pangeran Alax, "Sudah kuduga, kau putraku yang paling berbahaya," ucapnya bercanda.

"Jadi itu benar?"

"River adalah Bayangan, dan dia punya Cahaya di sekitarnya. Kau pasti tahu, bahwa bayangan akan sangat kuat dengan Cahaya yang sangat terang ...."

Pangeran Alax hanya diam, menyimak.

"Saat ini, Cahaya-nya mungkin sedang lemah karena River menyerap banyak kekuatannya. Kita harus memisahkan Cahaya dan River."

"Tapi kalau kita memisahkan mereka--"

Ucapan Pangeran Alax di sela oleh raja, "Ya, Ayah tahu. Bayangan tanpa Cahaya akan menjadi Kegelapan. Dan kegelapan akan menjadi kehancuran untuk Negeri ini."

Kamar Pangeran Alax mendadak berubah menjadi sangat kelam, karena Pangeran Alax langsung dapat menangkap maksud raja.

"Bagaimana kalau kita gagal?"

"Kita punya Alax, bagaimana mungkin kita gagal?" gurau raja sambil menepuk pundak putra keduanya.

"Mengapa mengambil langkah ini? Apakah tidak ada jalan lain?"

"Ada banyak, tapi hanya ini yang bisa ayah pikirkan untuk kebahagiaan kita semua." Raja menatap lurus ke arah jendela kamar Pangeran Alax yang menampakkan langit biru yang cerah. "Dan aku juga tidak mau Cahaya-nya kesakitan karena River. River akan sedih kalau tahu itu."

Pangeran Alax bisa menangkap semuanya dengan baik. Raja bermaksud untuk memisahkan Putri River dan Carmelize karena keadaan Carmelize saat ini sangat tidak sehat, sedangkan Putri River memiliki kekuatan yang terlampau besar dan dia tidak akan bisa mengendalikannya dalam usia sedini ini.

Ini akan membuat Kerajaan Bayangan hancur, cepat atau lambat.

Andaikata raja dan ratu tidak memikirkan keadaan Carmelize, gadis yang notabene-nya adalah pemberi cahaya bagi River akan meninggal dunia. Itu sama saja membiarkankan Putri River menjadi kegelapan.

Dalam kasus ini, apapun yang dilakukan oleh mereka akan membuat Putri River menjadi kegelapan. Namun, raja telah memikirkan keputusan yang panjang.

"Mungkin memang, Kerajaan Bayangan cukup sampai di sini saja," ucapnya sambil menatap tepat di manik amber Pangeran Alax. "Lebih baik kita kehilangan kerajaan ini daripada River."

Pangeran Alax dulu pernah berpikir bahwa ayahnya yang tegas akan memaksa mereka menjadi pemimpin yang baik untuk semuanya, namun ternyata dia salah. Raja sangat mencintai keluarganya dan rela melepaskan ramalan Pangeran Vire dan Pangeran Alax karena tidak ingin Putri River menderita.

Karena saat Putri River menjadi kegelapan dan menghancurkan Kerajaan Bayangan, maka seluruh Negeri Bayangan pasti akan ...

"Ngomong-ngomong, bagaimana caranya kau tahu tentang Cahaya dan Bayangan?"

"Namanya Carmelize," sambung Pangeran Alax--tidak kuat mendengar istilah Bayangan dan Cahaya berulang kali.

"Nama apa?"

"Nama Cahaya."

"Eh, tunggu. Kau juga melihatnya?" tanya raja agak kaget.

"Iya, tapi untunglah aku tidak berbicara dengannya. Kalau aku berbicara dengannya kemarin, dia akan kesusahan sekarang, menjadi cahaya untuk dua bayangan."

Raja tidak bisa menahan diri untuk tidak menepuk kepala putra keduanya itu, walaupun dia tahu bahwa tidak ada satupun dari putra dan putrinya yang suka dipegang kepalanya. Tetapi dia benar-benar bangga memiliki mereka bertiga.

"Jadi apa yang Ayah rencanakan sekarang?"

"Pertama, beritahu Vire kalau River adalah cahaya. Kau tahu, dia sangat nekat jika itu menyangkut nyawa River."

"Aku tahu," balas Pangeran Alax sembari mengingat kejadian kemarin, saat Pangeran Vire yang merasa keberadaan Putri River sedang terancam dan dia tidak . "Setelah memisahkan mereka, apa lagi?"

"Setelah itu kita akan kumpulkan semua prajurit dan pelayan. Kita akan memberikan mereka kebebasan untuk pergi. Lalu, kita akan berpindah ke dimensi tempat Cahaya berada."

.

.

.

.

Carmelize datang untuk menjenguk Pangeran Vire. Pangeran Alax melihat gadis kecil itu menatap ke arah Pangeran Vire dengan tatapan cemas.

Pangeran Alax menatap ke arah sang kakak yang tampaknya memang tidak melihat Carmelize, lalu menatap ke arah Carmelize lagi.

Dan mereka tanpa sengaja saling bertatapan.

Itu membuat Pangeran Alax merasa seperti tengah dibekukan oleh sebuah kekuatan yang hebat, lalu tanpa bisa menahan dirinya, Pangeran Alax menghampirinya, lalu melewatinya.

Dengan jelas pula dia bisa melihat Carmelize merasa gugup karenanya.

"Aku mau mencari River dulu," ucap Pangeran Alax sembari menatap punggung Carmelize.

Sebelum menatap pintu pun, Pangeran Alax masih mengingat bagaimana rasanya bertemu secara langsung dengan Carmelize, walaupun mereka belum pernah berkomunikasi sekali pun.

Yang Pangeran Alax pikirkan hanyalah menyayangkan bahwa mereka belum sempat berbicara sebelum mereka berpisah, karena tampaknya Carmelize adalah anak yang baik dan menarik.

Biarlah tatapan mereka menjadi yang pertama dan terakhir kalinya, pikir Pangeran Alax sembari menghampiri Putri River yang sedang menangis.

Tbc

28 Juni 2018

a/n

Sebenarnya 25 chapter itu cukup buat ending, tapi kayaknya kalian nggak bakal lega kalau aku nggak menceritakan ever after setelah mereka bertemu lagi di dimensi manusia.

Akhirnya semuanya sudah jelas, kan?

Buat yang kemarin kesel karena Alax nggak ngomong sama Carmel siapa hayooo.

BTW ini 1700an words lhoo wkwkwk. Kesurupan apaan aku nulis panjang gini.

APPETENCE tamat di chapter 26 ya, teman.

Tidur duluuu. BESOK KERJA WKWKKWK



Cindyana


Continue Reading

You'll Also Like

489K 105K 83
[Fantasy & Minor Romance] Setelah mati, Stella malah terbangun sebagai karakter di cerita terakhir yang dibacanya. "The F...
58.2K 9.5K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...
69.6K 13.6K 32
[Fantasy - Adventure] Orang tua Viona sudah meninggal sejak lama, sejak ia kecil. Namun, di umurnya yang ke-19 ini, sebuah rahasia besar baru terungk...
COUNTDOWN By vavi

Fanfiction

655K 41.1K 48
"Magic is real. Trust me." Kalau kau mengira bahwa sihir hanya ada dalam dongeng dan film yang tak masuk akal, itu berarti kau salah. Sihir itu meman...