Lovakarta

By imaginayii

888K 95.1K 5.5K

[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 d... More

Cerita Kita
Sebelum mulai membaca...
Sajak Jogjakarta
Awal Kisah - Jakarta
Awal Kisah - Jogjakarta
1 - Satu Diantara Seribu
2 - Dua Cerita di Bawah Rinai Yang Sama
3 - Takdir Yang Sempit
4 - Satu Meja Untuk Berdua
5 - Nana, Ingat Kaka?
6 - Kata Tiga Hati
7 - Yang Tak Tersadari
8 - Hati Yang Terombang-ambing
9 - Hujan Kala Senja
10 - Sudah Ditemukan!
11 - Sisi Tersembunyi
12 - Ketidaksanggupan
13 - Definisi Bertahan
14 - Daun Yang Terlanjur Jatuh
15 - Setelah Pergimu, Senjaku Hanya Sekumpulan Awan Rindu
16 - Berdua Namun Tak Menjadi Kita
17 - Pembentuk Mutiara: Luka
18 - Mencicipi Luka
18(b) - Mencicipi Luka
19 - Sebab Pahit Adalah Penyeimbang Rasa
20 - Semesta dan Rencananya Yang Tak Terbatas Angka
21 - Sebatas Fatamorgana Bahagia
22 - Peran Perantara
23 - Perih Yang Berarti
24 - Menderas Hanya Untukmu
26 - Wedhang Manis Yang Romantis
27 - Caranya Menghujankan Cinta
Akhir untuk sebuah awal
Thanks & Cast
Notice From Kaka
Cerita Kita; Yang Berlanjut Pada Jilid Dua
Satu Pertanyaan Untuk Lebih Mengenal
Kadang Saya Patah Hati
1 - Cinta Pertama, Teristimewa
2 - (Masih) Belum Jadi Punya Saya
3 - Laki-laki Yang Melindungi
4 - Kuat, Mulai Hari Ini!
5 - Yang Bukan Pemeran Utama, Yang Hanya Bisa Mengalah
6 - 1:1=Skor Cintaku, Melawan Setiamu Pada Masa Lalu
7 - Nada Tak Akan Terpatahkan, Perkara Satu Senar Kau Putuskan
8 - Sandaran Hati
9 - Tetes Peringan Luka
10 - Curah Pengacau Cerah
11 - Bukan Salah Hujan
12 - Matahari Malam Hari
13 - Malam Ini, Musik Dilengkapi Lirik
14 - Perlahan, Waktu Membantu
14(b) - Perlahan, Waktu Membantu
15 - Kompetisi Patah Hati
16 - Juara Dua
17 - Kusiapkan Peluk Utuh, Untuk Setiap Jatuh Yang Melukaimu
18 - Legal Mencintai
19 - Sepuluh Mei
Visualisasi
20 - Draft Yang Kehilangan Inspirasi
21 - Maaf Tentang Cemburuku
22 - Jatuh Menujumu
23 - Malang Datang Menjungkir Balikan
24 - Tukar Peran
25 - Jadi Alien Saja!
26 - Jatuh Cinta Sebagai Hujan Seutuhnya
Selesai Untuk Kembali Memulai
IQRA!
Lovakarta #3 (?)
New Novel by Ainur Rahmah

25 - Karena Semesta Adalah Sekutu Cintanya

7.5K 1K 24
By imaginayii

“Huhu... sedih banget! Sekarang perutku nggak dapat asupan cokelat lagi setiap pagi...” begitulah ekspresi dramatis Epeng yang sedang kecewa berat karena lagi-lagi ia tidak menemukan sebatang cokelat di loker meja Dika.

Karena aksi Dika menawarkan diri sebagai pacar ‘berbayar’ pada Bunga waktu itu, memang si gembul lah yang didera rugi kemudian. Bunga jelas sudah malas melanjutkan kebiasaannya setelah dibuat sakit hati.

Pram memutar bola mata. Digeplaknya punggung Epeng dengan cukup keras. “Huh makanan mulu yang dipikirin! Lagian, kamu tuh nggak akan mati cuma gara-gara nggak makan cokelat lagi!”

“Tapi aku kan masih dalam masa pertumbuhan, harus dapat cukup asupan gizi dong!”

“Walah! Badan segede ini masih dalam masa pertumbuhan? Kamu tuh sudah mirip gajah Asia! Memangnya kamu mau tumbuh sampai sebesar apa lagi? Mau saingin gajah Afrika?”

“Ye sewot! Dasar manusia tusuk gigi kurang gizi!”

Sena terkekeh sendiri melihat bagaimana Epeng dan Pram saling memelototi dengan sama-sama duduk berkacak pinggang. Baru juga sampai di kelas, dan pagi-pagi begini Sena sudah dapat tontonan lawak gratis. “Ribut terus, awas jatuh cinta loh!” celetuk Sena bercanda.

Epeng dan Pram langsung menatap gadis yang masih berdiri di samping kiri meja itu, sedetik kemudian, mereka kembali menatap satu sama lain sambil bergidik ngeri. “Amit-amit! Naudzubillah!” teriak keduanya bersamaan. Sena tergelak saat beranjak duduk menempati kursinya karena Pram baru saja berdiri. Yah, setelah bolos sekolah beberapa hari lalu, berita baiknya, Pram dan Epeng memang sudah akur dengan Sena. Lebih dari akur malah, mereka dan si singa betina sudah akrab sekarang.

“Sen, nanti pulang sekolah aku sama Pram mau jenguk Dika, lagi... ikut yuk! Kita ajak Ratih juga!” dengan antusias Epeng mengajak. Pram hanya manggut-manggut membenarkan.

“Eh?” pupil mata Sena bergerak kesana-kemari. Tampak berpikir sebelum menjawab.

Ini sudah hari kedua Dika dirawat di rumah sakit, dan Sena memang belum menjenguk laki-laki yang harus babak belur karena membelanya siang itu. Sebetulnya, dari kemarin Epeng dan Pram juga sudah mengajak, tapi Sena langsung menolak dengan ekspresi yang seolah bilang, “Nanti dia GR lagi!” dan untuk ajakan kedua ini, Sena sendiri tidak paham kenapa hatinya berdebat dan tidak langsung menolak seperti kemarin.

Gadis itu memang tidak akan mau mengaku, tapi nyatanya, ada sebagian hati Sena yang menyimpan ingin. Detik ini juga, Sena tegaskan kalau ingin itu mungkin muncul karena dirinya merasa bersalah. Lalu detik selanjutnya, dengan lucu ia malah bertanya-tanya dalam hati, Kenapa aku ngerasa bersalah? Kan aku nggak minta tolong juga! Si Alien itu aja yang sok pahlawan!

Terus? Inginnya karena apa dong? Sena menggeleng cepat untuk menyingkirkan satu pertanyaan yang tiba-tiba membuat otaknya memikirkan hal-hal tidak masuk akal.

“Lah? Kok malah bengong toh?” tanpa sungkan Epeng menepuk tangan di depan wajah Sena sehingga gadis itu terbangun dari lamunannya.

“Tahu, deh! Kalau ada alasan bagus baru aku jenguk.” Jawab gadis itu akhirnya.

“Alasan bagus?” ulang Pram tidak mengerti.

“Yah, yang sekiranya bisa bikin aku nggak kelihatan datang jenguk karena peduli.”

Pram dan Epeng saling lirik penuh arti mendengar jawaban Sena yang bernada cuek. Dan si usil Pram yang tiba-tiba menemukan kalimat bagus langsung menimpali, “Benci terus, awas jatuh cinta loh!” tawanya langsung menyembur sedetik kemudian. Sekarang satu sama. Epeng ikut tergelak melihat Sena sok bergidik.

💧💧💧💧

“Eh stop! Stop!” Baru saja Ratih dan Sena hendak melangkah keluar kelas, tapi Epeng tiba-tiba muncul dan memblokir jalan dengan tubuh gempal juga rentangan tangannya yang lebar. “Kita mau bantuin kalian jualan dong!” katanya seraya merangkul Pram narsis.

“Mumpung lagi kurang kerjaan kita!” tambah Pram. Disingkirkannya lengan Epeng yang benar-benar bikin berat di bahu.

Sena dan Ratih saling lirik sambil tersenyum geli. Tapi, soal permintaan Epeng dan Pram, keduanya jelas tidak keberatan sama sekali. “Berarti kita jadi dua tim. Satu ikut aku, satu lagi ikut Ratih.” Ujar Sena. Ratih manggut-manggut saja.

“Nggak masalah! Ayo, Rat, kita ke area kelas satu terus ke kelas dua!” tidak pakai minta persetujuan, Epeng merangkul pundak Ratih dan langsung menariknya ke arah utara.

“Hm... berarti kita jualan di sekitar sini. Yuk deh, Pram!” ajak Sena bersemangat. Tapi baru juga maju selangkah, gadis itu mundur lagi dengan sebelah alis terangkat karena menyadari laki-laki di hadapannya masih terus menatap punggung Epeng dan Ratih dalam diam. Seolah tidak dengar kalau habis diajak bicara. Pram baru menoleh setelah mendapat satu tepukan di pundak dari Sena.”Pingin sama Ratih ya?”

Tebakan Sena yang tepat sasaran sontak membuat Pram salah tingkah. “Hah? Nggak kok. Sena atau Ratih sama aja. Yuk!” laki-laki itu berjalan lebih dulu ke arah selatan. Walaupun tahu Pram bohong, Sena putuskan tidak meneruskan pembahasan yang sama sebab paham Pram tidak ingin. Jadi ia pun segera ikut melangkah.

💧💧💧💧

Mata Pram melebar melihat Eva, Tika, dan Sarah sedang berjalan bersisian dari arah berlawanan. Karena tangannya memegang nampan, Pram jadi tidak bisa mencolek Sena untuk menyadarkan gadis itu. Tapi Pram tidak kehabisan akal, ia mendesis-desis sampai akhirnya Sena yang sedang menghitung uang menoleh. “Kita puter arah aja yuk!” ajak Pram.

Mata Sena mengikuti gerak samar dagu Pram, ia refleks menelan ludah mengetahui apa yang coba Pram tunjukkan. Tapi bukannya segera memutar badan, Sena justru menahan Pram untuk tetap melangkah lurus. “Udah nggak apa-apa, aku kan udah nggak ada urusan sama mereka.”  Bisik gadis itu dengan seulas senyum tipis.

Jarak tinggal semeter lagi, Pram ketar-ketir sendiri. Seumpama jarak masih cukup jauh, Pram pasti akan menukar posisi dengan Sena karena jujur ia khawatir. Gank Eva memang belum pernah lagi mengganggu Sena setelah kejadian di belakang gudang sekolah, dan meskipun Sena juga benar kalau urusan hutangnya sudah selesai, tapi itu tidak akan menjamin kalau tiga gadis itu tidak akan berulah lagi, kan?

Karena gank Eva tampak tidak ingin menyingkir, Sena dan Pram sama-sama mengambil ancang-ancang untuk bergeser ke arah yang berbeda. Hanya saja, niat mereka urung karena Eva tiba-tiba saja bersuara. “Ada ya, penjual yang menghindari dari calon pembeli?” Pram dan Sena melongo menatap Eva. Kedua kaki mereka sudah diam menuruti Sarah dan Tika yang mulai memilih kue-kue basah di nampan.

Dua uang dengan nominal cukup besar Eva sodorkan. “Meskipun mungkin ada alasan yang besar, lo tetap salah karena udah bikin banyak kebohongan. Tapi perbuatan gue di belakang gudang bener-bener di luar batas. Jadi, sorry, Sen...” ujarnya sedikit melirih. Sarah dan Tika menunjukkan raut sesal yang sama.

Sena terhenyak. Eva si ratu kejam meminta maaf lebih dulu? Gank populer yang hobi menindas itu menunjukkan penyesalan? Sulit dipercaya, orang-orang di sekitar koridor pun tampak keheranan. Mulut Pram sampai menganga lebar. Yang baru saja terjadi jelas melenceng jauh dari dugaannya tadi.

Karena Sena hanya diam, Eva langsung meraih satu tangan gadis itu untuk meletakkan uangnya. “Gue nggak akan kasih kembaliannya buat lo. Tapi gue juga nggak akan minta. Pakai kembalian itu buat beli buah, roti, atau apapun yang sekiranya pantas dibawa buat jenguk orang sakit.”

“Maksudnya?” serius, Sena jadi makin bingung sekarang.

Pupil mata Eva bergerak memutar. “Seumpama Dika nggak dateng dan berhentiin aksi gue, mungkin gue bakal kena masalah yang besar karena ngelakuin penganiayaan. Dan yah, gue merasa hutang budi aja soal itu. Jadi...” Gadis itu menjeda dan tersenyum penuh arti. “Tolong wakilin gue buat jenguk Dika ya...” menghiraukan ekspresi Sena yang mempertanyakan kenapa tidak ia sendiri yang langsung menjenguk Dika, Eva kembali meneruskan jalan dengan Sarah dan Tika membuntut.

Sementara Sena masih asyik melongo, Pram menggeleng kecil dengan mata menerawang ke area luar koridor. Ia tertawa dalam hati melihat semesta yang bahkan sampai repot-repot merubah Eva demi sebuah keinginannya tentang Dika dan Sena.

💧💧💧💧

Kedua tungkai kaki Sena maju teratur menyusuri lorong-lorong rumah sakit, sedang satu tangannya erat menggengam sekantung buah-buahan yang lima belas menit lalu baru ia beli di pinggir jalan. Mata gadis itu berpendar kesana-kemari mencari ruang rawat inap Dika berbekal petunjuk dari seorang resepsionis yang ia tanyai di lobi tadi. Yah, karena sudah berucap sendiri kalau sebuah alasan bagus datang maka dirinya akan mejenguk Dika, sekarang Sena benar-benar melakukannya. Ada titipan dari Eva yang harus ia sampaikan untuk laki-laki itu.

Pram, Epeng, dan Ratih sudah langsung berangkat selepas bubar sekolah. Sementara Sena memang sengaja berangkat satu jam setelah mereka. Gadis itu berharap ketiga temannya sudah pulang sekarang, supaya tidak ada yang rese dan berceletuk menggodainya waktu menemui Dika nanti—terutama si cungkring dan si gembul itu.

Ruangan yang Sena masuki tak hanya diisi oleh satu orang. Sebab Dika memang tidak berada di ruang kelas eksklusif yang bayarnya mahal, ia dirawat bersama sekitar tujuh pasien lain dengan sakit yang berbeda-beda. Kebanyakan sih, tyfus dan demam berdarah. Beberapa keluarga pasien lain melirik Sena ketika gadis itu berjalan menghampiri laki-laki yang tengah memejamkan mata di ranjang paling pojok, sebelah kanan.

Dia lagi tidur! Aku taruh aja buah ini kali ya, terus langsung pulang! Sebuah ide muncul di benak Sena. Dan ia langsung memelankan langkah agar sol sepatunya tidak berdecit terlalu bising. Ada sebuah meja di dekat tempat Dika berbaring, jadi Sena letakkan saja bawaaannya diatas meja dan langsung berbalik hendak pergi lagi.

“WUHUU!! SENA DATANG JUGA AKHIRNYA!!”

Teriakan itu sukses mengagetkan Sena. Seperti seorang maling ayam yang terpergok, kakinya membeku dan garis mukanya pun tegang seketika. Astaga! Mereka belum pulang ternyata! Gerutu Sena dalam hati saat melihat Epeng, Pram, Ratih dan seorang anak perempuan berjalan ke arahnya. Mereka baru masuk lewat pintu yang Sena lewati tadi.

“Heh! Ini rumah sakit, bukan hutan! Nggak usah teriak-teriak!” omel Pram tak lupa memberi geplakan ringan ke punggung Epeng. Ratih geleng-geleng sendiri, Pram itu menasihati Epeng untuk memelankan suara, tapi caranya bicara barusan sama sekali tidak bisa dikategorikan pelan.

Sena masih di pijakannya, belum bergeser barang sesenti saja, sedang heboh berteriak—di dalam batinnya, PRAM! EPENG! JANGAN RIBUT NANTI SI ALIEN...

“Saya senang bangun-bangun begini ada kamu, Na...”

Suara Dika yang khas bangun tidur membuat Sena refleks memejamkan mata, KAN BANGUN BENERAN! Omelnya entah pada siapa.

Pram mengangkat sebelah alis karena dari balik punggung Sena ia dapat melihat Dika menggerak-gerakkan dagu. Dan kalau Pram tidak salah, sahabatnya berusaha menunjuk ke arah pintu. Laki-laki bertubuh cungkring itu butuh beberapa waktu untuk berpikir sampai akhirnya sadar kalau sedang Dika berusaha memberi kode. Dika mau dibiarkan berdua dengan Sena.

“Wah wah, kayaknya Dila pingin jalan-jalan ke taman rumah sakit ya? Yuk deh, Peng, Rat, kita temenin Dila!” seru Pram dan langsung mengamit tangan Dila.

Anak perempuan yang ada di samping Ratih itu tampak bingung. Padahal dirinya baru saja kembali dari taman, tapi kok diajak kesana lagi? begitu kiranya pikir Dila. Namun tak ayal ia ikut saja. Ratih dan Epeng bisa langsung paham setelah melihat Pram sempat mengedip aneh. Mereka membuntut keluar dan meninggalkan Sena begitu saja.

Secuil senyum tercetak di wajah Dika yang masih dipenuhi lebam, perutnya geli betul melihat Sena masih dalam mode patung. “Yang sakit disini, Na...” kata Dika, berusaha menahan tawa.

Sena memutar tubuh dengan kaku, gadis itu sempat mendengus sebelum akhirnya menarik kursi dan duduk dengan angkuh. “Aku kesini gara-gara Eva nitipin buah-buah itu. Kata Eva, makasih karena kamu udah berhentiin aksinya di belakang gudang.” buru-buru ia menjelaskan. Yah, sebelum Dika besar kepala.

“Oh gara-gara Eva...” komentar Dika sembari mengangguk-angguk sendiri. “Tumben mau?”

Pertanyaan Dika membuat mata Sena membelalak lucu. “I-itu...” gagapnya.

Dika menyeringai samar, “Kok nggak suruh Eva sendiri yang kesini?”

Telunjuk Sena bergerak mengetuk lutut sembari memaksa otak menemukan jawaban. Sial! Kok aku tadi nggak kepikiran buat protes ke Eva ya? Ternyata gadis itu baru sadar kalau sebetulnya selain ‘mau’ ia tadi punya pilihan untuk ‘menolak’.

Tatapan Dika yang menyudutkan bikin Sena semakin mati kutu. Dan kalau sudah begitu, yang selanjutnya terjadi adalah wajah Sena langsung memerah seperti kulit sebuah tomat masak. “Aku pulang aja deh!” putusnya dengan nada kesal.

Tapi belum juga berhasil menegakkan tubuh, tarikan tangan Dika sudah membuat Sena terduduk kembali. “Dilarang pulang! Kamu kan belum berterima kasih ke saya?” seloroh Dika mencegah.

“Berterima kasih buat apa?” balas gadis itu dengan mengangkat dagunya.

“Buat kerelaan saya babak belur begini.”

“Huh! Itu sih salahmu sendiri pakai sok pahlawan segala!”

“Kok sepertinya nggak kedengaran seperti kalimat terima kasih ya?”

Astaga ini orang...! rasanya Sena geregetan ingin menjungkir kasur Dika. Entah bagaimana laki-laki itu bisa sangat hebat dalam urusan memaksa. “Ya udah! Ma-ka-sih! Puas?” Dan entah bagaimana, Sena pasti kalah.

Nada tidak ikhlas itu memancing kekehan Dika. Namun tak ayal, ia mengangguk menujukkan puas hati.

“Buruan lepasin tanganku! Aku udah berterima kasih dan sekarang aku mau pulang!”

Dika menggeleng lagi menanggapi permintaan Sena. “Izin pulang dari saya nggak cuma-cuma.” Begitu tegasnya. Tangan kiri Dika semakin erat melingkari pergelangan tangan Sena.

Sena mendengus keras, Prandika Jawahari adalah laki-laki paling pintar yang pernah Sena kenal sejauh ini. Iya pintar, pintar memanfaatkan keadaan. Lihat saja, saat sakit begini pun Dika masih saja sempat mencari kesempatan. “Cepet! Kamu sudah hafal kan batasan buat permintaanya apa saja?” yah, gadis itu jelas langsung bisa menebak kalau Dika pasti akan minta sesuatu seperti yang sudah-sudah.

Siku salah satu tangan kanan Dika yang terpasang infus menekuk ke belakang, diraihnya sebuah kertas dari bawah bantal untuk diberikan kepada Sena. “Terima dan simpan ini. Sama... janji ke saya kalau mau diantar pulang pas saya sudah masuk sekolah nanti.”

“HAH?!” Sena berteriak, menunjukkan kalau dirinya keberatan.

“Diantar pulangnya sekali saja.”

“Tapi itu—“

“Tapi nggak apa-apa sih kalau kamu pilih temani saya disini... sampai besok...”

Gigi-gigi Sena bergemelatukan menahan kesal. Untuk kesekian kali. Adu mulut dimenangkan Prandika Jawahari. Dan sebagai pihak yang selalu kalah, lagi dan lagi Sena dengan segala keterpaksaan hanya bisa menyetujui.

“Sebelum keluar dari area rumah sakit, suratnya sudah harus dibaca ya!” pesan Dika ketika mulai mengendurkan cengkraman.

Sena tahu dirinya hanya akan dilepaskan dengan satu kata kunci, “IYA!” tawa renyah Dika mengiringi langkah Sena yang lebar-lebar meninggalkan ruangan.

Jalan raya yang ramai sudah kelihatan dari tempat Sena berdiri saat ini—tepat satu langkah sebelum menginjak gerbang depan rumah sakit. Gadis itu berhenti dan minggir ke samping kanan agar tidak terlihat bodoh dengan berdiri di tengah-tengah sehingga menghalangi jalan keluar-masuk kendaraan. Ditatapnya surat dari Dika yang masih terlipat rapi dengan malas. Terkadang Sena benci dengan sifatnya yang selalu anti melanggar janji. Sejak bertemu Dika, sifat itu membuat Sena harus melakukan hal-hal kurang penting.

Setelah cukup lama hanya diam dan merutuk-rutuk dalam hati, akhirnya tangan Sena bergerak membuka surat tersebut. Yah, lagi-lagi sifat anti melangggar janji itu menang. Sebuah arsiran wajah dari gadis berambut sebahu yang sedang tersenyum memantul di beningnya kornea mata Sena. Tentu saja yang tergambar itu tidak lain adalah Sena sendiri. Lalu, sekarang—saat membaca tulisan di bawah gambar—ekspresi lucu antara geli dan bingung memenuhi wajahnya.

Tahu kenapa? Karena tidak seperti surat-surat sebelumnya yang berisi bait-bait puisi. Kali ini, yang Dika tulis justru serangkai huruf arab. Doa sebelum naik kendaraan.

💧Lovakarta💧

Ayii: Ucapan hati-hati di jalannya Kaka ganti pakai doa aja ya😂😍

Continue Reading

You'll Also Like

553 167 56
Selalu dikelilingi kemewahan dan diremehkan keluarganya saat mendapatkan jabatan membuat Alaska-pewaris One Star Group bertekad melamar pekerjaan di...
2M 121K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
268K 40.8K 37
"Katanya, kalau kita nulis nama orang yang kita suka diatas penghapus, terus pake penghapusnya sampai habis, cinta kita akan berhasil." Rachel masuk...
976K 164K 75
Kisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelm...