Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO...

Av beliawritingmarathon

5.1M 521K 78.4K

[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku tak... Mer

01. Geigi!
02. Angan
03. Cowok Misterius
04. Familiar
05. Pukul 1 Dini Hari
06. Aku dan Dirgam
Bantu Pilih Kover, Berhadiah Satu Novel dari Bentang
07. Planet Merah
08. Malam Penuh Bintang
09. Bintang Jatuh
10. Telepon dari Dirgam
11. Saingan
12. Titipan Surat
13. Pertemuan
14. Namanya Mars
15. Tamu
16. Percakapan Malam Itu
17. Dandan?
18. Ajakan
19. Kecewa
20. Pulang Bareng
21. "Jadi cewek gue, mau?"
22. Obrolan Tentang Mereka
23. Kantin
24. Harapan yang Pupus
25. Pertemuan Keluarga
26. Malam Itu...
27. Liontin
28. Harmonis
29. Bercerita
30. Dalam Genggaman
31. Langit yang Sama
33. Saudara
34. Es, Geisha, & Planet Merah
35. Pada Akhirnya
36. Bianglala & Langit Malam
37. Pernyataan Rumi
38. Geigi-ku (end)
TESTIMONI GEIGI, akan ada 10 pemenang
Ekstra Part (wattpad)
SPECIAL ORDER NOVEL GEIGI. 24-31 Okt.

32. TIM!

96K 11.9K 1.2K
Av beliawritingmarathon


32. TIM!

___

Malam ini berakhir biasa-biasa saja. Mars mengantarku pulang ke apartemen Mama. Kemudian dia hanya mengucapkan perpisahan, lalu beranjak pergi.

Malam ini aku melihat Mars berbeda. Semenjak cerita panjang kami di rumah Eyang, aku melihatnya agak berbeda. Perubahan yang tidak besar. Hanya saja, dia lebih banyak terdiam dan merenung. Seperti ada sesuatu hal yang sedang dia pikirkan. Sesuatu hal yang mungkin berat, tapi Mars tidak cerita. Dia lebih memilih untuk mendengarkan cerita-ceritaku, apa pun tentangku, seperti ucapannya saat mengajakku ke loteng rumah Eyang.

Sementara dia, aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku juga ingin tahu segala hal tentangnya. Aku hanya tahu adiknya yang imut, Eyang, kemudian mamanya. Selebihnya aku tidak tahu. Aku sudah menceritakan semuanya sementara di sisi lain, aku berharap dia juga membuka kehidupannya lebih dari apa yang aku tahu.

Itu hanya harapanku untuk mengenalnya lebih jauh. Seperti dia yang ingin mengenalku lebih jauh.

Sudah lewat pukul 1 dini hari dan aku belum bisa tidur. Aku keluar menuju balkon. Memandangi bangunan pencakar langit yang menghalangi sedikit pandanganku dari langit malam. Aku belum pulang ke rumah Papa. Sejak dua hari yang lalu Mama bilang bahwa Papa terus menanyakan kabarku. Aku belum mau pulang. Di sini juga rumahku, bersama Mama. Andaikan waktu berputar beberapa tahun ke belakang, andaikan bisa, aku ingin menikmati waktu-waktu yang kulewatkan lebih banyak di kamar untuk berkumpul dengan Mama dan Papa yang saat itu masih baik-baik saja.

Aku menghela napas panjang. Apa begini perasaan Mama dulu kepada Papa saat awal-awal mereka bertemu?

Aku takut. Hanya itu yang aku rasakan sekarang saat aku makin yakin bahwa aku menyukai Mars. Di perjalanan pulang tadi, aku memerhatikannya. Terkadang senyumku terbit saat melihat tatapannya yang fokus ke jalanan. Tatapan yang selalu membuatku tak berani menatapnya lama.

Kemudian sebelum aku turun dari mobilnya, dia memanggil namaku. Saat kutanya kenapa, dia hanya memandangku dalam diam meskipun aku sempat melihat bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Kemudian dia menggeleng dan keluar membukakan pintu untukku.

Aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu, tapi entahlah.

Tak ada yang aku lakukan lagi selain mengambil ponsel dan mengecek semua pesan-pesan masuk. Tak ada hal yang penting selain percakapan-percakapan tak bertopik pada grup kelas dan ekskul. Aku menuju balkon, memotret apa yang ada di bawah sana. Kepalaku sedikit pening dengan ketinggian ini dan aku segera menegakkan tubuh. Aku mengirimnya di cerita WhatsApp. Memang kurang kerjaan. Tapi aku suka fotonya, gelap dan ada sedikit sinar cahaya lampu.

Aku duduk di kursi saat sebuah pesan masuk dari Dirgam muncul.

Dirgam

Belum tidur?

Seperti yang lo lihat hehe. Lo kenapa belum tidur, Gam?

Baru bangun, sih. Lo?

Belum bisa tidur

Eh! Gue keinget sama lomba!

Oh iya, dari kemarin kemarin mau gue bahas bareng lo. Tapi kita gak sempet ketemunya.

Gimana? Gimana? Lo udah nemu satu orang??

Em.. belum, sih. Lo ada saran?

Temanya sains dan komputer, kan?Adaa yaampun pas banget. Dia anak olimpiade astronomi. Namanya Mars. Setuju nggak? kalau lo setuju, besok gue kenalin. Eh, lo pernah ketemu sih. Mungkin sekali. Tapi kayaknya lo belum kenalan kan sama dia?

Oke.

Oke?

Iya, oke. Gue setuju setuju aja

Thank you!!!

Senenggg

Yang penting lo seneng

hehehe. tapi makasih, lho!

Sama-sama.

Gue gasabarrr

Gue juga

***

"Perhatian.... Diberitahukan kepada siswa Nusa Cendekia yang bernama Yasa Niagara Yudhistira diharapkan segera menuju ke ruang ekskul jurnalistik. Sekali lagi, bagi yang merasa bernama Yasa Niagara Yudhistira harap ke ruang ekskul jurnalistik. Sekarang!"

Aku berdiri di depan mading saat suara dari pengeras suara dari ruang pusat informasi terdengar. Aku tengah memandangi pamflet lomba yang Dirgam maksud waktu itu, ternyata sudah ada di mading pemberitahuan entah sejak kapan.

Aku menepuk jidat saat sadar seharusnya aku ada di Lantai 2. Seperti janji pertemuan antara aku, Mars, dan Dirgam. Tadi pagi, aku memberitahukan tentang lomba ini kepada Mars. Awalnya Mars tidak tertarik, tapi aku memohon hingga akhirnya aku melihat senyum di wajahnya terbit.

Dia mau. Tak ada kata lain yang menggambarkan suasana hatiku selain kata senang. Apalagi melihatnya tersenyum seperti itu.

Aku kembali ke Lantai 2. Rumi tidak bersamaku. Kami berpisah di Lantai 1 tadi karena dia terus ke kantin bersama seorang teman kami, Nindy, kelas XI IPA 4 juga. Sementara tadi aku meneruskan langkah melihat pamflet di mading karena Dirgam yang mengatakannya pagi tadi bahwa pamflet lomba itu ada di sana.

Aku berhenti melangkah saat kulihat Dirgam dari belakang. Dia berdiri sembari menyandarkan lengan mereka pada balkon. Aku mempercepat langkah dan berhenti tepat di sampingnya.

"Hai!" sapaku antusias. Dia hanya menoleh kepadaku dan aku melebarkan senyuman saking senangnya dengan tujuan kami. TIM! Bersama Dirgam dan Mars adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Terakhir aku lomba pergrup adalah saat SD. Cerdas cermat dan hanya mendapatkan juara harapan 2 yang sama saja juara 5 karena kebodohanku waktu itu seperti orang bingung.

Pernah mendengar bahwa kepintaran seseorang bisa diambil jika memegang sebelah bahu dan menginjak kakinya?

Saat itu, sebelum aku dan teman-temanku maju, seorang guru dari sekolah lain mengatakan sesuatu yang aku tak dengar jelas. Dia menepuk bahu kananku. Yang aku ingat, beberapa saat kemudian guru tersebut berusaha menginjak kakiku dari belakang bangku yang didudukinya. Aku hanya gelisah dan tidak bisa berkata-kata karena tak berani.

Aneh. Tapi aku tak mungkin mengingatnya sampai sekarang jika aku tak benar-benar mengalaminya.

"Temen lo yang namanya Mars mana?" tanya Dirgam. Aku melebarkan senyum saat melihat seseorang berhoodie hitam keluar dari kelas XI IPA 2. Seketika, mataku menyipit. Hoodie. Dia benar-benar mirip dengan si cowok misterius malam itu.

"Itu dia orangnya." Aku menunjuk Mars yang makin mendekat. Dirgam menoleh ke Mars dan mereka bertatapan sampai akhirnya kami bertiga berkumpul di balkon Lantai 2 yang agak sepi karena masih istirahat.

"Dirgam, ini Mars." Aku menatap Dirgam dan beralih menatap Mars. "Mars, ini yang tadi pagi gue maksud. Dirgam. Anak IPA 1. Tetangga kelas lo."

Mars menaikkan tangannya. Mereka bersalaman dan aku hanya tersenyum kikuk.

"Mars."

"Dirgam."

Aku tak tahu harus melakukan apa lagi karena dua cowok ini sama-sama diam setelahnya. Mars memasukkan kedua tangannya pada kantong hoodie dan menutup kepalanya dengan tudung. Sementara Dirgam, kulihat dia menoleh sesaat ke Mars kemudian berpaling kepadaku.

Aku kembali kaku setelah beberapa saat lalu diselimuti rasa senang yang berlebihan karena di antara mereka tak ada yang bicara.

"Jadi, lomba itu pergrup. Tiga orang. Dari syaratnya tiap sekolah boleh ngutus beberapa grup untuk lomba. Kemungkinan kita bakalan ngelawan grup dari Nuski yang lain kalau ada yang ikut," kataku pada akhirnya.

"Ada. Di kelas gue ada beberapa yang rencananya juga mau daftar," kata Dirgam.

"Oh, pantes." Aku mengangguk-angguk. "IPA 1 sering ikut gitu kan kalau ada lomba-lomba dari luar? Rombongan biasanya."

Dirgam mengangguk. "Nanti gue yang ngomong sama Pak Ridwan," katanya. "Soal pendaftarannya."

"Untuk persiapannya gimana?" tanyaku kepada mereka berdua.

"Belajar bareng. Di rumah gue aja." Dirgam bergerak maju dan menarik tanganku menjauh dari sana. Saat tak sengaja aku melihat Mars, dia menatap kami berdua dengan raut yang tak kumengerti.

Dirgam menjauh dari sana. Aku sadar dia ingin mengatakan sesuatu hal yang tak ingin Mars atau siapa pun itu dengar. "Besok atau lusa. Atau terserah. Kalau kalian nggak sibuk. Gi?"

"Iya?"

"Sekalian gue mau bicara sama lo. Pengin nyelesaiin apa yang masih menggantung." Dirgam menatap ke dalam mataku. "Dan sepertinya sekarang lo nggak bisa bicara empat mata sama gue. Gue duluan dulu, ya? Nanti kita bicarain lagi di WA. Lo buat grup kita bertiga aja biar nggak ada yang miskom. Bye."

Perlahan, tangan Dirgam yang masih menyatu di tanganku mulai merenggang. Lalu dia pergi dari sini. Dirgam berhenti sebentar di dekat Mars dan mengatakan sesuatu yang tak aku dengar. Sementara Mars mengangguk.

Setelahnya, Dirgam melanjutkan langkah menuju tangga Lantai 1. Dari sini aku menatap Mars yang masih terdiam. Dia kemudian mendekatiku dan berhenti di depanku. Tudung hoodie yang dipakainya segera dia buka hingga aku bisa menatap seluruh wajahnya yang tadi sebagian tak terlalu terlihat karena bayangan.

"Ngekhawatirin sesuatu?" tanyanya. Ada senyum tipis yang terbit di wajahnya. Refleks, aku balas tersenyum dan menggeleng.

"Ngekhawatirin apa memang? Kenapa lo mikir ke sana?"

"Bagus." Mars mengacak rambutku hingga cepolannya rusak. Aku meringis dan segera melindungi rambutku.

"Gue balik ke kelas dulu, ya." Dia mundur, melambaikan tangan sesaat padaku hingga akhirnya berbalik menuju kelasnya.

Aku masih termenung menatap kelas XI IPA 2 sampai akhirnya dengan tanpa kusadari tanganku naik ke rambut. Senyumku terbit mengingat bagaimana dia mengacak rambutku.

Aku berbalik menuju tangga terdekat dan senyuman itu tak hilang. Namun, langkahku terhenti saat kulihat Sandra berada tak jauh dariku. Dia mendekat. Kantung matanya terlihat bengkak. Yang aku tahu... kantung mata sebesar itu ada karena menangis selama beberapa jam atau bahkan semalaman.

"Gue mau bicara, please...," katanya sambil menahan tangis.

Dan aku berpikir bahwa Sandra sedang tidak baik-baik saja.

***

an:

Gara-gara Rumi yang berubah, aku jadi lupa caranya menulis karakter Rumi yang bawel. Tadinya mau aku munculin kebawelannya, tiba-tiba blank karena kebayang tentang Rumi yang agak beda sejak beberapa hari/minggu yang lalu.


Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

5.5M 107K 11
[SUDAH TERBIT!] Denovano Dirta Derova adalah siswa SMA yang banyak kita temui di sekolah-sekolah lain. Badboy? Most-Wanted? Cool? Tampan? Karisma ya...
987 205 45
MSAF 'BRO >>> "My story' and friend." bakalan ada kisah di balik MSAF. komedi mesti ada tapi jangan sampe ketinggalan momen 'romance' "kalo pilih c...
5.6M 85.6K 10
[DIPRIVATE! FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Di dunia ini gak ada yang mustahil." "Ada." "Apa?" "Lo." "Gue?" "Lo mustahil untuk jadi milik gue." Tentang mere...
798K 79.8K 43
[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd...