Bitter and Sweet, Aren't We?

By anandaleaa

19.3K 3.2K 1.3K

[SLOW UPDATE] Bagi Aluna, Mahesa Damario terlalu manis untuk menjadi bagian dari kehidupannya yang pahit. Mul... More

Bitter and Sweet, Aren't We?
1 | Suara Dari Radio
2 | Bonjour, Paris!
4 | Achluophobia
5 | Nama Dalam Gembok
6 | Kepingan
7 | Tentang Patah Hati
8 | Campus
9 | Meet You Again
10 | Mahesa dan Sebuah Tanda Tangan
11 | Selangkah Lebih Dekat
12 | Alasan Untuk Tersenyum
13 | Hello You
14 | Jatuh Cinta Sendiri
15 | Me After You
16 | Menanti Sebuah Jawaban
17 | Perihal Mencintai dan Dicintai
18 | Between Us
19 | Perjalanan Terjauh

3 | Monsieur Mahesa

1.1K 202 75
By anandaleaa

CHAPTER 3: Monsieur Mahesa

"Everything will come, exactly as it does."
― Zen Proverb


Eiffel. Langit biru. Gumpalan awan yang terlihat seperti kapas. Rerumputan hijau. Orang-orang dari berbagai negara. Perfect.

Aku sudah kehilangan cara untuk menggambarkan kebahagiaanku. Rasanya, seperti separuh dari diriku melebur bersama angin dan hangatnya musim panas. Hamparan rumput di depanku begitu luas, seakan-akan menarikku untuk segera merebahkan diri di sana sambil menatap Eiffel yang menjulang tinggi.

Aku mengangkat kamera yang baru sempat kukeluarkan selama di kereta bawah tanah tadi―siap membidik menara setinggi lebih dari seribu kaki itu.

"Stop! Arrête!" (Berhenti!)

Sebuah teriakan dari sisi kiriku dan dua orang bertubuh gempal yang berlari terbirit-birit membuat fokusku teralih. Orang-orang berperut buncit yang nampak menyeramkan itu melewatiku dengan panik, sibuk saling mengoper sebuah tas coklat hingga isinya berceceran. Aku baru saja hendak memungut buku tipis yang menurutku terlihat seperti benda penting ketika tanpa diduga bokongku dihantam sesuatu dan aku jatuh secara tidak terhormat.

"Arrête, voleur!" (Berhenti pencuri!)

"Aish...." Aku meringis, masih dalam posisi telungkup. Telapak tanganku tergores, beberapa orang memperhatikanku dan terlihat hendak menolong. Sementara aku sendiri masih tidak paham apa yang sedang terjadi.

"Ils sont des voleurs putains!" (Mereka pencuri sialan!)

Aku mendongak, melirik sekilas pada pria tinggi yang berdiri di sebelahku. Ia mengumpat dalam bahasa Inggris berkali-kali, sejenak menciutkan nyaliku. Akhirnya, aku beringsut untuk berdiri sendiri dan menunda kemarahanku karena orang ini terlihat kesal dan terburu-buru.

"Ça va?" (Apakah kamu baik-baik saja?) Ia sedikit menundukkan wajahnya untuk melihatku. Sementara aku kebingungan, tidak tahu apa yang ia bicarakan dan bagaimana cara menjawabnya. "Are you okay?

Aku buru-buru mengangguk untuk mengisyaratkan aku paham bahasa yang ia gunakan sekarang.

"Is this yours?" Dan tahukah kalian apa yang ia tunjukkan padaku? Demi Neptunus, aku berumpah aku akan mencukur habis rambut laki-laki di hadapanku ini!

"HACRIT! KAMERA GUE!!!" Aku segera merebut kamera di tangannya, lensa kameraku pecah. "Piccolo, maafin Mami. Mami gak bisa jaga kamu, Mami salah―"

Tunggu, ini kan bukan salahku.

Aku mendengus melihat laki-laki di hadapanku ini masih sibuk memperhatikan ke depan, terlihat tengah mencari sesuatu. Ia benar-benar tidak merasa berdosa telah menabrakku dan membuat Piccolo hancur. "Emang ya, manusia-manusia akhir zaman tuh udah salah gak mau minta maaf. Kamera gue jadi begini dan lo cuma nanya are you okay?, jelas gak oke lah lo kira gue beli kamera pakai hasil ngepet apa, hah?"

Ia menatapku sambil menaikkan kedua alisnya.

"What? Why did you see me? Look at my camera. Ini rusak, Bego!"

"Ahh," ia menarik sudut bibirnya―tersenyum miring. "Jadi lo orang Indonesia."

Lututku lemas seketika, dan seandainya mungkin, rahangku pasti sudah jatuh. Apa aku tidak salah dengar? Apakah aku, baru saja mengatai orang Indonesia dengan bahasa Indonesia? Tamatlah harga diriku.

Ma, harusnya kemarin aku cium tangan Mama lebih lama biar dapat barokah, aku membatin.

"Gue minta maaf soal kamera lo, tapi gue buru-buru, tas gue dijambret. Senang ketemu lo, bye!" Apa katanya? Aku benar-benar tidak percaya ia akan meninggalkanku tanpa penyesalan sedikit pun, maka sebelum ia jauh, kulemparkan saja sepatuku ke kepalanya. "Argh! Gila ya, lo?"

"Lo yang gila, dasar psycho!" Aku menghampirinya kemudian mengambil sepatuku yang tergeletak mengenaskan. Ia mengusap wajahnya dengan gusar, nampak tak sabar menungguku memakai sepatu. "Ganti rugi kamera gue, main kabur aja lo, Kuya!"

"Udah gue bilang tas gue dijambret, gue mau ganti rugi kayak gimana?"

"Itu sih urusan lo, derita lo." Aku mencebikkan muka.

"Oke." Laki-laki tinggi di depanku ini mengangguk berkali-kali, matanya mendelik licik. "Kalau gitu, kamera lo rusak juga urusan lo, derita lo. Paham?"

Ingin rasanya kusumpal bibir manisnya itu dengan kaus kaki bekas. Aku meniup poniku pelan, berusaha menahan emosi ketika ia membalikkan tubuhnya lagi.

"Oh siap, bosku. Silahkan, pergi aja gak apa-apa gak usah tanggungjawab. Anggap aja gue cuma iklan sedot wc yang nempel di tiang listrik, abaikan aja." Aku meremas buku tipis bersampul hijau yang tadi sempat kupungut, seperti yang kuduga, ini adalah benda penting. "Tapi, lo gak bakal bisa pulang ke Indonesia kalau paspor lo gue bakar, kan?"

Dan ia berhenti berjalan tepat di langkah ke tujuh.

Aku segera memasang wajah angkuh ketika ia menoleh kemudian berjalan ke arahku. Tatapannya tajam, napasnya memburu seolah ia sudah lelah menahan amarahnya. Hal berikutnya yang aku sadari adalah ketika ia menyentuh bahuku, menaruh kedua tangannya di sana dan memperpendek jarak di antara kami.

Hembusan napasnya hangat, aku menelan ludah menyadari betapa dekat wajah kami detik ini.

"Kenapa lo gak bilang daritadi kalau paspor gue ada di lo?" Ia berbisik, lalu bergerak menjauh dan melepaskan tangannya dari bahuku seolah-olah aku adalah kuman. "Buset, udah berapa hari lo gak mandi, wahai wanita?"

Aku mengerutkan hidung. "Emangnya kenapa?"

"Menurut lo aja gimana?"

"Maksud lo gue bau?"

"Nggak, cuma agak kecut." Kini, ia memandangku dengan jenaka. "Mana sini paspor gue? Thanks udah jaga paspor gue, gue kira gue bakal jadi gelandangan di Paris gara-gara paspor gue hilang."

Astaga, kepalaku sakit melihatnya. Kenapa juga aku harus berurusan dengan orang aneh ini?

"Paspor lo balik, kalau lo ganti kamera gue," tukasku.

"Harus berapa kali gue bilang, tas gue dijambret. Lo lihat sendiri preman-preman itu, kan?"

Benar juga, aku memang melihat insiden tadi. Tapi, kalau aku mengalah, ia akan pergi begitu saja tanpa bertanggungjawab. Apa yang akan kukatakan pada Mama kalau beliau tahu kameraku rusak parah begini? Lagipula, aku tidak punya uang untuk mengobati Piccolo, akan lebih bagus jika aku mendapat kamera baru.

Maka, kuputuskan untuk tidak menyerah. "Ya udah, gue minta uang tunai aja. Yang penting cukup buat beli kamera baru."

"Apa lo bilang?" Ia melotot. "Gue gak bawa uang tunai sebanyak itu, dan buat terakhir kalinya gue kasih tau lo, tas gue dijambret."

"Lo gak bawa uang cadangan? Di celana lo mungkin, atau di koper lo itu." Aku menunjuk kopernya dengan daguku, berharap ia akan mengiyakan ucapanku bahwa ada uang di koper hitamnya. Harapanku pupus tatkala ia menggeleng pelan. Mama benar, ternyata membawa uang itu memang harus dipisah-pisah. "Oke, sekarang lo boleh kejar tukang jambret tadi, gue tunggu di sini."

Hening. Hingga beberapa detik kemudian, ia tertawa hambar.

"Lo lagi ngelucu? Ini udah lama, tuh preman-preman juga udah keburu sampai Mesir, mana mungkin kekejar," katanya.

Aku tertunduk lemas, memilih duduk meratapi kameraku yang bahkan belum sempat kupakai memotret Eiffel. Saat itulah, sebentuk wajah asing yang menjadi alasan kesedihanku di hari pertama menginjak Paris tersenyum padaku. Rautnya lebih bersahabat, dan tatapannya lembut. Ia berjongkok di depanku, lalu mengulurkan tangannya.

"Apa?" tanyaku.

"Gini aja, deh. Gue pinjam hp lo buat nelpon seseorang, gue bakal transfer uang ganti rugi kamera lo langsung ke rekening lo, gimana?"

Entah kenapa aku tak menolak. Biasanya, aku paling tidak suka jika ada yang meminjam ponselku―untuk alasan apapun. Aku hanya tidak suka meminjamkan benda-benda yang menjadi privacy-ku. Tapi tidak kali ini. Kuberikan ponselku pada laki-laki yang namanya saja entah apa, ia mulai menekan-nekan tombol, lalu mengernyit sejenak.

"Lo gak lupa buat ganti kartu, kan?"

"Hah? Ganti kartu?" Aku melongo.

"Ini, gak ada sinyal." Ia menyerahkan ponselku, sementara aku membelalakkan mata. Ya ampun, pantas saja tidak ada telepon dari Radif, pasti karena aku lupa tidak mengganti kartu. Silly me.

Melihatku menepuk jidat berkali-kali, orang asing ini mendecak.

"Lo udah nyewa hotel?" Aku mengangguk. "Dimana? Ayo, ke hotel."

"Ngapain lo ngajak gue ke hotel?"

"Gak usah mikir yang iya-iya, lo mau emangnya tidur dijalanan? Gue sih ogah." Ia menarik kopernya, kemudian mulai berjalan meninggalkanku yang masih terduduk di atas rumput.

"Lo mau kemana? Emangnya lo tau hotel gue yang mana?" Aku buru-buru menarik koperku dan menyejajarkan langkah dengannya. Ia menggeleng, lalu getar tawanya yang hangat itu menyambutku.

"Nggak, makanya hotel lo dimana?"

Tak ayal, aku mendecih juga. Kutunjukkan alamat hotel yang diberikan Radif padaku sebelum aku terbang, ia membaca sekilas, kemudian mengangguk.

"Agak jauh dari sini, tapi bisa jalan kaki." Aku tak menjawab, sibuk menyamakan langkah kakinya yang lebar-lebar. "Jadi, nama lo siapa?" Ia menoleh padaku, aku tahu meski aku tak melihatnya balik.

"Aluna," jawabku, sengaja membuatnya menunggu. "Dan lo sendiri?"

Ia menyeringai sejenak sebelum menjawab, "Mario," ujarnya.

Aku merogoh saku celanaku, diam-diam membuka paspornya―hanya penasaran. Langkahku terhenti dan keningku berkerut tak karuan, laki-laki ini mempermainkanku. "Kalau mau bohong itu yang keren dikit dong, Monsieur Mahesa." (Tuan Mahesa)

Kuberitahu pada kalian, namanya adalah Mahesa. Dan sekarang ia sedang tertawa.


Jangan lupa tinggalkan jejak ya, aku nulis juga butuh moodbooster dari kalian :")))

Bonus Picture.

Mahesa Damario
(Tingkat tiga F. Kedokteran, holang kaya, jail, insyaallah bukan bad boy.)

Ps. Mahesa kalo difoto emang gak pernah bener heran ;(

Continue Reading

You'll Also Like

Ervan By inizizi

Teen Fiction

1.6M 114K 76
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

412K 19.8K 47
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.8M 224K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2M 119K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...