Azhura's Bride

By SairaAkira

3M 107K 6.1K

Part 1 - 10 free publish untuk umum Part 11 ke atas akan di Privat hanya untuk follower Azhura Kahn.... Naman... More

Azhura's Bride Prolog : Azhura Kahn
Azhura's Bride Part 1 : Rendezvous ( Pertemuan )
Azhura's Bride Part 2 : Masih Beranikah Kau Mempertanyakan Kehendakku?
Azhura's Bride Part 4 : Awal Yang Baru
Azhura's Bride Part 5 : Armenia.....
Azhura's Bride Part 6 : Anugerah atau Kutukan..?
Azhura's Bride Part 7 : Kau isteriku, dan Aku Tidak Mau Ditolak
Azhura's Bride Part 8 : Zhura Al Gul
Azhura's Bride Part 9 : Ya atau Tidak, Armenia?
Azhura's Bride Part 10 : Tanda Kepemilikan
Tantangan untuk user zheanne27 dan sayembara untuk pembaca wattpad
Azhura's Bride Part 23 : PERTEMUAN TAKDIR
Azhura's Bride Part 24 : Azhura,Armenia,Yazza dan Cemburu

Azhura's Bride Part 3 : Membuang Untuk Melindungi

100K 7.9K 258
By SairaAkira

Part 1-10 Free Publish untuk umum. Part 11 ke atas Privat Publish hanya untuk follower  

Azhura's Bride Part 3 : Membuang Untuk Melindungi

Asoka, Pendeta tertinggi di kuil Azhura Kahn melangkah dengan hati-hati ke altar megah berhiaskan emas dan bebungaan yang harum. Dia sudah membicarakan dengan seluruh pendeta tinggi lainnya bahwa besok, seluruh anak-anak yang mengajukan persembahan pertama kemarin, akan dikumpulkan kembali untuk dimintai keterangan menyangkut hilangnya satu keranjang persembahan untuk sang Azhura.

Sang pendeta sudah berusia lebih dari setengah abad, dan seumur hidupnya mengabdikan diri sebagai pelayan dan pemimpin kuil Azhura. Dia menarik tudung jubahnya yang berwarna merah untuk menutup kepalanya, lalu membungkuk dengan hormat ke arah patung Azhura Kahn. Berdoa, memohon petunjuk, seperti yang selalu dilakukannya setiap hari.

Ketika sampai di altar, langkahnya terhenti dan meragu. Matanya memang sudah tua dan sedikit rabun, tetapi dia benar-benar melihat, sosok seorang lelaki bertubuh tinggi, sedang duduk dengan santai di atas altar yang sedianya digunakan untuk pemujaan kepada sang Azhura.

Sang Pendeta langsung menghardik dengan marah, karena tidak ada seorangpun yang seharusnya pantas untuk menyentuh altar itu, apalagi duduk di atasnya.

"Kau akan mendapat kutukan yang luar biasa karena bersikap kurang ajar terhadap junjungan kami." Asoka mengeluarkan suara tegas, meskipun sangat tua, tetapi semangatnya untuk membela sang mahadewa junjungannya tetaplah tinggi.

Lelaki di atas altar itu hanya menatap Asoka dengan ketenangannya yang hening. Kemudian ada senyum di sudut bibirnya.

"Apakah kau hendak melarangku, duduk di atas altar pemujaanku sendiri, Asoka?" seketika angin berhembus kencang di bagian dalam kuil itu, dan pandangan Asoka tercerahkan. Di depan matanya, duduk dengan begitu agung di atas altar, Sang Azhura Kahn sendiri dengan cahaya terang menyelubungi tubuhnya.

Seketika itu juga Asoka langsung jatuh tersungkur, tak berdaya di hadapan dewa yang Maha Agung. Jantungnya berdegup kencang, antara antusiasme dan penghormatan yang luar biasa terhadap sosok yang sekarang ada di depannya. Tidak dia sangka dia bisa mendapatkan kehormatan seperti ini, kehormatan untuk berhadapan langsung dengan sang Azhura Kahn.

"Hatimu dipenuhi pertanyaan." Azhura bergumam dengan suaranya yang agung, "Singkirkan semua pertanyaan dan keraguanmu Asoka.  Aku, punya caraku sendiri. Dan kau harus melakukan kehendakku."

"Apapun kehendak anda, Yang Mulia." Asoka menundukkan kepalanya dalam-dalam ke lantai, menunjukkan penghormatannya yang sedalam-dalamnya kepada Azhura Kahn.

"Kau akan mengumpulkan semua gadis-gadis dari seluruh negeri yang telah melakukan pemujaan padaku kemarin. Kuberitahukan kepadamu, akan ada seorang perempuan yang mengakui bertemu langsung denganku. Tetapi dia bukanlah isteriku, dia adalah perempuan palsu yang berhati dengki." Sinar keemasan seperti api di mata sang Azhura menyala, membakar. "Perlakukanlah perempuan palsu itu seperti calon isteriku, seolah kau tidak tahu apa-apa. Kau tidak boleh mengatakan kepada siapapun kenyataan yang kuberitahukan kepadamu, bahwa isteriku yang sesungguhnya akan dijauhkan dariku, sejauh mungkin, dan itu untuk melindunginya."

Sang pendeta, meskipun menyimpan banyak pertanyaan dalam hatinya, hanya berani memperdalam sujudnya, dalam kepasrahan.

"Hamba akan melaksanakan apapun yang anda perintahkan, oh Azhura Kahn yang mulia."

***

Malam itu begitu dingin, dan Azpasya bermimpi, dia berada dalam sebuah ruangan yang berkabut, lalu matanya menemukan sosok lelaki itu, sosok sang Azhura Kahn berdiri di sana, di depannya.

Azpasya langsung berusaha membungkuk untuk bersujud, tetapi sang Azhura mencegahnya, Dewa yang agung itu menyentuh dan menahan tangannya dengan lembut, membuat Azpasya membelalakkan matanya tak percaya, sang Azhura Kahn berkenan menyentuh tubuh fananya, tubuh manusia biasa!

"Jangan berlutut kepadaku, Ibu." Mata Azhura Kahn yang berwarna merah tampak meredup, lembut. "Maafkan aku, karena tidak bisa menyelamatkanmu. Karena sudah takdirnya bagi Armenia untuk menjalani ini semua."

Sang Azhura Kahn mendekatkan bibirnya ke telinga Azpasya, dan seketika itulah bisikan kebenaran terhembus di sana, kebenaran akan masa yang akan datang, kebenaran akan datangnya takdir menyedihkan yang tidak bisa diubah. Seluruh kebenaran itu menjalari tubuh Azpasya, memenuhinya dengan kepasrahan.

Dan kemudian, Azpasya terbangun dengan air mata mengalir dari sudut matanya,

Malam ini, dia akan mati  dan dia akan merasakan pengkhianatan keji dari orang yang dikasihinya.....

***

Azpasya merajut tali rami itu menjadi kepangan kuat membentuk sebuah kalung dengan jalinan khusus yang membentuk kantong kecil di bagian bawahnya. Dengan hati-hati, dia meletakkan liontin emas bertahtakan batu rubi merah itu ke dalam kantong kalung itu, dan kemudian termangu sambil menggenggam kalung tali rami itu erat-erat.

Benaknya masih berkecamuk, apalagi setelah mendengarkan pengumuman yang sampai kepada seluruh penduduk desa tadi pagi, bahwa sang Pendeta tertinggi telah memerintahkan pengumpulan kembali anak-anak perempuan yang telah memberikan persembahan pertamanya kemarin, untuk dimintai keterangan, menyangkut hilangnya satu keranjang persembahan kepada sang Azhura Kahn.

Tetapi kata-kata sang Azhura sendiri, yang lebih menyerupai janji, tertanam dalam di pikirannya.

Armenia adalah isteri sang Azhura, dan sang Mahadewa sendiri yang akan melindungi isterinya. Tiba-tiba saja, hati Azpasya terasa tenang. Siapakah yang paling bisa dipercaya untuk melindungi puterinya tercinta selain sang Mahadewa sendiri?

Dada Azpasya terasa nyeri, penyakitnya makin lama semakin parah, jantungnya memang sudah begitu melemah di tahun-tahun terakhir ini, dan dia tahu waktunya mungkin tidak lama lagi.

Satu-satunya yang membuatnya bertahan hanyalah karena dia memikirkan Armenia yang akan sebatang kara kalau dia tinggalkan, tetapi saat ini dia hanya bisa berpasrah, dan percaya kepada janji sang Azhura.

Pintu kamarnya terbuka, dan Armenia masuk dengan hati-hati,

"Ibu sudah bangun?" suara kecil dan lembut Armenia membuat senyum Azpasya terkembang, lupa akan rasa sakit yang menyengat dadanya.

"Kemarilah sayang." Gumamnya lembut sambil mengulurkan tangannya.

Armenia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan Azpasya mengalungkan kalung rami itu di dadanya.

"Apa ini ibu?" Armenia menyentuh kalung di dadanya, menyentuh liontin batu rubi yang terlindung di balik anyaman tali rami yang membentuk kantong pelindung, lalu mengerutkan keningnya.

"Liontin batu merah?" tanyanya polos

Azpasya tersenyum, mengecup dahi anak perempuan kecilnya dengan sayang.

"Apapun yang terjadi, jagalah kalung itu bersamamu. Itu adalah batu rubi, lambang sang Azhura Kahn yang agung, dan engkau akan selalu ada dalam perlindungannya."

Armenia menatap ibundanya dengan bingung, "Kenapa aku harus dilindungi ibu?"

"Karena banyak orang jahat di luar sana, banyak orang jahat yang berpura-pura menjadi baik, karena itu kau harus berhati-hati anakku." Azpasya merasakan air mata yang hangat mengalir di pipinya, "Maafkan ibundamu ini, Armenia. Ibu selalu ingin bersamamu, tetapi ternyata tugas ibu harus selesai sampai di sini, ibu sudah menyiapkan semuanya untukmu, ambilah tas di meja itu, dan kemudian pergilah ke kakek dan nenek Bargeto sang peternak di ujung desa, dia akan mengantarkanmu dengan kereta kudanya ke kerajaan Marata di seberang sana, kau akan berjumpa dengan Nenek Kareena, beliau dulu adalah guru dan perawat ibu, beliau akan merawatmu dengan baik."

Mata Armenia membelalak, "Kenapa aku harus pergi ibu? Aku tidak bisa meninggalkan ibu di sini, tidak mau." Armenia mulai merengek, bagaimanapun dia adalah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, seorang anak kecil yang tiba-tiba disuruh pergi meninggalkan ibunya, ke kerajaan lain yang jauh dan belum pernah dikunjunginya, bagaimana mungkin dia tidak kebingungan?

"Pergilah Armenia, percayalah kepada Ibundamu. Pergilah sekarang juga, bawa tas dan perlengkapan yang sudah ibu siapkan untukmu. Cepatlah, kakek dan nenek Bargeto sudah menunggumu."

Armenia tampak ragu, tetapi ibundanya tampak begitu serius, dengan enggan dia mengambil tas perlengkapan itu, lalu melangkah mundur,

"Aku akan berpamitan dulu dengan bibi Ruth dan Khaeva...." gumamnya pelan. Rumah Bibi Ruth dan Khaeva memang berada tepat di depan rumah mereka.

Wajah Azpasya memucat. "Tidak! Jangan anakku sayang jangan lakukan itu."

Armenia menatap bingung, sedikit cemas dengan wajah ibundanya yang pucat pasi.

"Kenapa tidak boleh ibu?"

"Kau harus pergi dengan rahasia, tidak boleh ada seorangpun yang tahu, pergilah lewat pintu belakang."

"Tapi.... tapi kenapa....?"

"Armenia. Pergilah! Sekarang!" suara Azpasya meninggi, membuat Armenia terlompat kaget karena bentakannya.

Azpasya menatap keterkejutan di wajah Armenia dan tersenyum sedih,

"Maafkan ibundamu ini anakku, pergilah sayang, percayalah kepada ibu, ini demi keselamatan kita semua. Dan sang dewa Azhura Kahn akan melindungimu." Napas Azpasya mulai tersengal, dia merasakan nyeri di dadanya, jantungnya seolah semakin lemah, tak mampu menopang kehidupannya.

Armenia sejenak akan membantah, tetapi karena dibesarkan sebagai anak yang baik dan selalu mematuhi orang tua, dia akhirnya menganggukkan kepalanya, meraih tas itu dan berjalan keluar. Ketika dia tiba di pintu, Armenia menoleh kembali dan menatap ibunya dengan penuh harap,

"Apakah ibu nanti akan menyusulku? Ke tempat nenek Kareena yang jauh itu?"

Air mata Azpasya berlinangan di pipinya yang pucat pasi, diserapnya wajah cantik anak perempuannya itu, anak perempuan bermata emas dengan rambut hitam panjang yang indah, dengan kulit yang halus bagaikan pualam, dengan kecantikan yang sempurna yang berasal dari hatinya yang tulus dan polos. Ketika besar nanti, Armenia pasti akan tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik.... sayang sekali dia tidak akan mendapat kesempatan melihatnya."

Senyum Azpasya terkembang, berusaha  memberikan senyum yang terbaik untuk dikenang oleh Armenia nanti,

"Pasti anakku, ibu akan menyusulmu, dan nanti ibu akan selalu ada bersamamu." Jawabnya serak, tersengal oleh perasaan haru dan kesedihan karena mungkin dia tidak akan bisa melihat Armenia lagi.

Jawaban itu rupanya cukup membuat puas Armenia, mengetahui bahwa ibunya akan menyusulnya sudah cukup untuknya, dia malahan jadi bersemangat, seperti memulai petualangan.

"Kalau begitu aku berangkat ibu." Senyumnya melebar, menatap ibundanya dengan matanya yang berkilauan indah.

Kenangan terakhir yang akan selalu disimpan Azpasya di dalam hatinya....

***

Ruth menatap Khaeva dengan  tatapan mata serius,

"Apakah kau sudah menghapalnya?" tanyanya tegas.

Khaeva tersenyum penuh percaya diri,

"Tentu saja ibu, aku sudah menghafal semua."

"Jangan sampai salah bicara, besok para pendeta akan mengorek informasi darimu dan memastikan kau tidak berbohong, kau harus tampak sangat meyakinkan." Sahut Ruth sambil menatap cemas ke seberang rumah, ke arah rumah Azpasya dan Armenia di depan sana. "Tugasmu adalah meyakinkan para pendeta bahwa kau adalah pengantin yang terpilih untuk Azhura, mereka akan memperlakukanmu bagaikan puteri raja, kau akan bahagia sayang."

Khaeva mengikuti arah pandangan ibunya dan ikut mengerutkan keningnya,

"Tapi ibu, bagaimana kalau Armenia dan bibi Azpasya mengatakan yang sebenarnya? Aku akan dituduh pembohong, dan bisa dihukum."

Mata Ruth menyala, kejam dan penuh kebencian.

"Tenang saja anakku sayang." Disentuhnya rambut Khaeva dengan lembut, "Ibu yang akan membereskan mereka berdua." Kebencian semakin membara di matanya,  "Kau sangat cantik, Khaeva, kau lebih cantik dari Armenia, seharusnya kaulah yang terpilih menjadi pengantin sang Azhura yang Agung. Pasti ada kesalahan, mungkin Sang Azhura salah melihat. Dan ibu, akan memastikan bahwa kaulah yang menjadi isteri Azhura kahn dalam legenda, bukan bocah kotor seperti Armenia."

Khaeva tersenyum lebar, mengangguk bersemangat.

"Aku pasti akan berhasil besok, ibu. Aku sangat bersemangat untuk menjadi pengantin sang Azhura Kahn!"

***

Malam itu Ruth menyelesaikan rencananya. Dia menuangkan racun ke dalam sup yang sedianya akan dibawakan untuk Azpasya dan Armenia. Dia akan membunuh ibu dan anak itu.

Pandangan matanya menerawang ke arah rumah Azpasya yang tampak dari jendelanya. Sinar kebencian di matanya sudah tidak dapat disembunyikan lagi.

Ya, dia adalah adik kandung Azpasya, tetapi nasibnya tidak seberuntung Azpasya. Azpasya sangat cantik, dengan anugerah mata keemasan, rambut hitam berkilaunya yang kontras dengan kulitnya yang sehalus pualam, dan kebaikan hatinya yang seputih salju. Sementara itu, Ruth biasa-biasa saja, membuatnya selalu tenggelam di bawah bayang-bayang kakaknya.

Sampai kemudian, dia harus merelakan, pemuda pujaannya, salah satu pemuda paling tampan dan paling dipuja di desanya, menjatuhkan pilihannya kepada Azpasya dan menikahinya. Ruth tenggelam dalam patah hati yang menyakitnya, menyimpan dendam dan kekecewaan yang tak berbatas pada kakaknya, kerena telah menghancurkan hatinya.

Ruth lalu menikah dengan pemuda biasa, seorang petani teman masa kecilnya. Pernikahan itu tanpa cinta tentu saja, dan dia harus selalu menahankan kepedihannya melihat kebahagiaan sang kakak dengan suaminya.

Lalu bencana longsor di desa mereka membuat suami mereka berdua sama-sama meninggal karena keduanya sedang mengolah lahan di kebun pertanian mereka. Banyak lelaki lain yang menjadi korban, dan mereka yang ditinggalkan ahkirnya harus terus bertahan.

Saat itu, dendam dan kebencian Ruth pada Azpasya yang seolah merenggut segalanya darinya sudah terpendam dalam. Toh sekarang mereka sama-sama janda tanpa suami.

Tetapi dendam itu menyala lagi, ketika Ruth mengetahui bahwa Armenia, anak Azpasyalah yang telah dipilih oleh Azhura Kahn untuk menjadi isterinya. Jika khalayak mengetahui semuanya, Armenia pasti akan diambil keluarga kerajaan, diperlakukan seperti puteri raja, menerima penghormatan sepanjang hidupnya, dan akan diperistri oleh sang Azhura Kahn yang agung..... sementara itu Khaeva anak perempuannya akan tumbuh menjadi perempuan biasa-biasa saja, mungkin menikah dengan petani seperti dirinya dan seumur hidup menghabiskan waktunya di desa sebagai perempuan petani.

Dia tidak bisa menerimanya!

Dulu dia selalu dikalahkan oleh Azpasya, dan sekarang anak perempuannya juga akan mengalami nasib yang sama?

Dia tidak akan membiarkan Khaeva mengalami kesakitan seperti yang dirasakannya.

Azpasya dan terutama Armenia harus dilenyapkan, dan ketika Armenia sudah mati, mungkin sang Dewa Azhura Kahn akan mengalihkan pilihannya kepada Khaeva. Ruth yakin itu, karena Khaeva tidak kalah cantik dan rupawan dibandingkan Armenia.

Dengan penuh tekad dibawanya baki berisi dua mangkuk sup yang sudah dicampur racun mematikan, racun yang diramunya dari daun kubikh, daun dari pohon hitam kubikh yang sangat beracun yang hanya tumbuh di bagian terdalam hutan. Ruth merelakan waktu dan tenaganya untuk mencari daun ini, demi meramu racun yang mematikan untuk melenyapkan Azpasya dan puterinya. Tidak akan ada yang curiga, racun ini membunuh dengan halus, Azpasya dan Armenia akan mati dalam keadaan tidur pulas, tidur selamanya dan tidak akan terbangun lagi.

Ya, memang kendala tebesar Ruth ada pada kakak-kakaknya yang lain, mereka mempunyai anak-anak perempuan yang banyak jumlahnya, dengan usia di atas Armenia dan Khaeva, dan anak-anak perempuan mereka dibesarkan seperti kakak adik bersama-sama dengan Armenia dan Khaeva. Ruth akan mengatakan bahwa Azpasya menderita penyakit yang mematikan, dan penyakit itu menular pada Armenia, karena itulah mereka mati bersama. Para keluarga dan sepupu-sepupu Armenia dari kakak adik mereka yang lain pasti akan menerima kematian Azpasya dan puterinya tanpa bertanya-tanya, karena mereka tahu, bahwa Azpasya begitu lemah dan sakit-sakitan.

***

Ketika melangkah masuk ke rumah Azpasya, Ruth mengerutkan keningnya karena rumah itu sangat sepi dan hening. Lampu-lampu belum dinyalakan, padahal hari sudah beranjak gelap

Sambil menyalakan lampu minyak satu persatu, Ruth berjalan ke arah kamar Azpasya dan membuka  pintunya. Kamar itu sama gelapnya, dan tampak sosok Azpsya terbaring di ranjang berselimut tebal, tampak hening bagai siluet dalam kegelapan.

"Kakak?" Ruth bertanya ragu, lalu melangkah masuk ke dalam kamar itu, diletakkannya nampan berisi sup beracun di meja, dia lalu menyalakan lampu minyak di tepi ranjang,

Ketika itulah di terkejut melihat wajah Azpasya yang pucat pasi, terbaring damai dengan mata terpejam rapat seolah tidur di ranjang itu. Dengan cepat disentuhnya tubuh Azpasya,

....dingin... sedingin es....

Diperiksanya napas Azpasya, dan ketika tidak menemukan napas, denyut nadi ataupun detak jantung di sana, yakinlah Ruth bahwa Azpasya sudah meninggal.

Sejenak senyum puas tersungging di bibirnya, ternyata dia dipermudah, kalau begini hanya satu yang harus dia bereskan. Dia langsung teringat kepada Armenia, dengan cepat Ruth membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar Azpasya dan mulai memanggil-manggil nama Armenia di sepanjang lorong,

"Armenia sayang? dimana kau nak?" berpuluh kali nama itu disebutkannya, tetapi tetap saja tidak ada jawaban.

Ruth kemudian memeriksa sampai penjuru rumah, semuanya sepi, tidak ada tanda-tanda kehadiran Armenia di sana. Dia lalu menuju kamar Armenia, dan membukanya.

Kamar itu kosong, tertata rapi seperti tidak pernah ditiduri, dahi Ruth mengerut kebingungan,

Kemana Armenia? Kenapa dia menghilang?

Continue Reading

You'll Also Like

2M 83.4K 49
kecelakaan saat balapan yang ternyata sudah di rencana kan sejak awal oleh seseorang, membuat jiwa Elnara terlempar ke dalam tubuh Kinara yang ternya...
963K 81.5K 39
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
1.2M 117K 32
Lelah melawan penyakit selama bertahun-tahun, Bella berdoa kepada Tuhan untuk segera mencabut nyawanya dan diberikan kehidupan baru yang lebih baik...
10M 1.2M 61
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...