Dealing with Mr. Arrogant

By atsilace

83.7K 3.1K 242

Daridulu, aku selalu terbiasa mendengar cemoohan dan tatapan merendahkan milik ibuku yang selalu ditujukan pa... More

Announcement
Prolog
Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam

Bab Tujuh

845 74 7
By atsilace

Alkohol memang musuh terbesarnya.

Itulah yang Ayna ketahui selama ini. Namun, sama seperti akan kebodohannya terhadap cinta, ia tidak pernah mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Ia tahu hal itu buruk baginya, namun ia masih saja meminumnya. Selama ini, ia mengira bahwa ia adalah seseorang yang masih dapat mengontrol dirinya sendiri. Selama ini, ia merasa ia tidak perlu takut untuk meminum alkohol. Awalnya memang begitu, hingga akhirnya ia sadar itu semua adalah kesalahan besar.

Sial, ia tidak akan menyentuh alkohol lagi setelah ini.

Ketika terbangun, hal pertama yang ingin ia lakukan adalah menjerit sekencangnya karena ia merasa terkejut ketika ia mendapati dirinya terbangun di tempat yang tidak ia kenali. Ia merasa lebih lega ketika mendapati dirinya ternyata berada di tempat Arga. Setidaknya ia tidak akan dilecehkan oleh orang - orang yang terkadang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Awalnya ia berpikir begitu, sampai ia menyadari bahwa hal itu adalah sebuah kesalahan terbesar.

Astaga, akan diletakkan dimana wajahnya nanti? Arga pasti akan meledeknya setelah ini. Dan ia akan merasa malu setengah mati setelah ini. Bagaimana tidak? Ingatannya akan malam tadi tiba - tiba masuk kedalam otaknya. Ia ingat bagaimana ia mengamuk ketika Arga berusaha membawanya pulang, lengkap dengan segala tendangan dan makiannya, juga tak lupa dengan insiden muntahnya yang sangat - sangat memalukan itu. Ayna menggelengkan kepalanya. Tidak, ia lebih baik tidak memikirkan hal tersebut. Hanya rasa malu yang ada jika ia tetap memikirkan hal tersebut.

Lebih baik ia memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari tempat ini. Jika ia beruntung, Arga mungkin sudah pergi bekerja, dan mungkin saja ia tidak perlu melihat wajah Arga setelah ini. Baiklah, pertama - tama, ia perlu mencari letak tasnya. Tidak, sepertinya ia perlu mencuci mukanya terlebih dahulu. Bagaimana pun, masih ada martabat yang harus ia jaga dan-

"Mau kemana?"

Suara Arga yang tiba - tiba muncul berhasil membuat Ayna menjerit kaget. Ayna yang sedang berjingkat - jingkat ke arah pintu kamar mandi langsung menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah pintu kamar yang dibuka oleh Arga. Ayna segera berdiri dengan tegak, sebelum menggaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum kikuk. "Eh Arga. Kok kamu disitu?"

Arga tersenyum geli mendengar ucapan Ayna. "Yah menurut kamu, kenapa aku bisa ada disini?"

"Ah. Ini kamarmu yah? Baiklah kalau begitu. Sebaiknya aku pergi. Kurasa tidak baik bagi seorang wanita-" ucapan Ayna terpotong karena Arga sudah menahannya yang berusaha keluar dari kamar itu terlebih dahulu.

"Mau kemana?" tanya Arga lagi, kini dengan nada geli di ucapannya. Ayna segera menutup wajahnya dengan malu. "Please, jangan membuatku malu. Please." ucapnya dengan nada memohon dibalik tangan yang menutup wajahnya.

Melihat hal tersebut mau tak mau membuat Arga terkekeh pelan. Arga memutuskan untuk tidak menggoda Ayna lebih lanjut dan mengatakan. "Akan kumaafkan jika kamu membuatkanku makanan. Aku lapar."

Arga segera meninggalkan Ayna dikamar, memberi waktu bagi gadis itu untuk mencuci mukanya. Ayna memanfaatkan waktu itu untuk segera berlari ke arah kamar mandi, dan mencuci wajahnya serta melakukan hal apapun yang ia anggap dapat membantu wajahnya agar terlihat lebih segar. Ia juga mengikat rambutnya tinggi.

Baiklah, ini lebih baik.

Ketika ia keluar, ia mendapati Arga sedang asik duduk di bar stool, lebih tepatnya menuggu sarapan yang akan dibuatkan Ayna. Ayna berdeham pelan dan hal tersebut berhasil membuat Arga menoleh dari handphonenya.

"Kamu ga kerja?" tanyanya sambil melihat isi kulkas lelaki itu. Ia memilih beberapa hal yang ia anggap bisa ia gunakan untuk membuat sarapan ketika ia mendengar jawaban Arga. "Kamu lupa ini hari Sabtu? Lagipula tidak mungkin aku meninggalkan kamu sendirian disini."

"Padahal aku tidak apa - apa kalau sendiri." gumam Ayna yang terdengar oleh Arga. "Seandainya kamu tahu apa yang terjadi kemarin malam."

Ayna bisa merasakan pipinya memerah ketika mendengar ucapan Arga. Ayna berdeham. "Apapun yang terjadi kemarin malam, itu karena aku mabuk."

"Aku kira kamu adalah wanita yang kuat minum, Ayna."

"Kukira kamu sudah berjanji untuk tidak menggodaku lagi." ucap Ayna tanpa membalikkan badannya. Ia merasa sungguh malu. Lihat, apa yang ia prediksikan benar terjadi. Arga menggodanya.

"Aku tidak menggodamu. Lagipula, kamu tidak ingatkan pada apa yang terjadi semalam?"

Ayna tersedak mendengar ucapan Arga. Ayna menoleh dan menatap Arga dengan pipi yang merah. "Memangnya apa yang kulakukan semalam? Apakah terjadi sesuatu?"

Arga tersenyum lebar. "Memangnya kamu menginginkan sesuatu terjadi?"

Pipi Ayna semakin memerah. "Sudahlah. Aku juga tidak mengingatnya. Ja-jadi kurasa lebih baik kita menganggapnya sebagai efek dari alkohol yang-"

"Lebih baik kamu tidak mengingatnya. Mengingat hal tersebut hanya akan membuatmu merasa semakin malu dan membuatmu merasa semakin berhutang budi padaku. Wah. Aku ingin menangis jika mengingat hal itu lagi." potong Arga dengan kekehan, melihat Ayna yang terbata - bata untuk mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.

Ayna mengangguk setuju. Ia kembali memfokuskan dirinya pada masakannya sebelum akhirnya meletakkan makanan tersebut dihadapan Arga.

"Terimakasih." ucap Arga.

Ayna mengangguk. Ia segera menyendokkan makanannya dan kemudian ia mendengar suara Arga. "Kalau begitu, kita impas?"

Ayna menaikkan alisnya bingung. "Impas?"

"Aku kan sudah sering membuatmu menangis. Anggap saja kamu menyiksaku semalam dan kita impas."

Ayna mengangguk semangat. "Tuh! Kamu kan juga suka membuatku menangis. Dan yang kemarin aku lakukan pasti belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan kepadaku. Tapi karena aku adalah orang yang paling baik hati di dunia ini, aku akan anggap semuanya impas. Jadi kamu harus mengingat kebaikan hatiku ini. Oke?" jelasnya panjang lebar tanpa rasa malu.

Arga tertawa. "Wah, kamu orang yang paling tidak tau malu, Ayna."

"Memang benar begitu kan?" balas Ayna semangat.

Arga tertawa kencang. "Astaga, kamu lucu sekali. Wah, kamu pasti akan menyesal mengatakan hal tersebut jika kamu tahu apa yang kamu lakukan semalam."

"Memangnya apa yang kulakukan? Memuntahimu? Baiklah, aku minta maaf. Memangnya ada lagi yang aku lakukan selain itu? Karena seingatku, aku tertidur dengan tenang setelah itu."

Tawa Arga masih belum reda bahkan ketika Ayna menyelesaikan kalimatnya. Masih dengan kekehan geli dibibirnya, Arga berkata. "Ayna, apapun yang terjadi, jangan pernah minum dengan orang lain. Jangan minum, jika bukan denganku. Oke?"

Ayna tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, namun ia memutuskan untuk mengangguk. Dan mendadak, Ayna penasaran dengan kebodohan macam apa yang ia lakukan kemarin malam.

* * *

Ayna sedang asyik membersihkan dapur dan aku pun memutuskan untuk mandi. Dan tanpa dapat kucegah, pikiran ku kembali melayang dan mengingat kejadian kemarin malam. Aku kembali tersenyum ketika mengingat hal tersebut. Nyatanya, Ayna tidak tidur dengan tenang sama sekali. Dan jujur saja, itu tidak hanya menguji kesabaranku, tapi juga menguji pertahananku sebagai lelaki. Bagaimanapun itu, aku juga lelaki. Melihat gadis mabuk pasti membuatku berpikiran yang tidak - tidak. Apalagi jika mengingat apa yang dilakukan oleh Ayna. Tidak hanya keributan yang dibuat oleh Ayna, seperti menangis tanpa alasan yang membuatku bingung setengah mati, atau bahkan tertawa tidak jelas yang membuatku heran sendiri, ia juga menggodaku.

Awalnya, ketika Ayna akhirnya tertidur dengan tenang selama satu jam, kuputuskan untuk merebahkan diriku di sofa. Ketika aku hampir tertidur, kudengar suara langkah kaki yang terdengar semakin kencang. Segera kubuka mataku dan kudapati Ayna sudah berada di sampingku. Lebih tepatnya, berlutut sehingga wajahnya sejajar dengan wajahku.

"Kamu mau ngapain lagi?" tanyaku lelah saat itu. Aku bahkan tidak repot - repot untuk bangun dari posisi tidurku. "Udah yah, udah malem, besok aja lanjut mainnya." ucapku persis seperti ketika aku sedang menasehati anak kecil yang nakal.

Ayna malah mengerucutkan bibirnya lucu dan menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri. "Jangan tidur. Aku masih mau main." ucapnya saat itu.

"Main apalagi? Aku capek, Ayna."

Ayna terkekeh tidak jelas. "Om tampan, kok om bisa tau namaku?" ucapnya sebelum kemudian meletakkan wajahnya di kedua tangannya yang ia tumpukan di sofa.

Mau tak mau, aku tersenyum mendengar ucapan Ayna. "Jadi, menurutmu aku tampan?"

Ayna mengangguk semangat meskipun matanya terpejam. "Tadinya, aku mau cari susu. Tapi ada om tampan jadi aku lebih milih liatin om tidur deh."

Aku tertawa kecil. "Om, apa om udah punya pacar? Mau jadi pacarku?" lanjut Ayna dengan suara seperti anak kecil. Aku terkekeh. "Bukannya kamu udah punya pacar Ayna?"

Ayna tertawa lagi. "Gamau ah. Gamau ama dia. Dia nya aja kabur - kaburan. Ayna kan gasuka main petak umpet." Astaga, Ayna benar - benar terlihat lucu. Kalau begini ceritanya, dirinya rela membuat Ayna mabuk setiap harinya. Ayna bahkan masih terlihat cantik ketika ia mabuk seperti ini.

Ayna kemudian menutup wajahnya dan membuka tangannya kembai. "Cilukba! Ih, kok om tampan ga ilang - ilang? Kalau begini ceritanya kan aku jadi yakin kalau om manusia."

Aku tertawa kencang ketika mendengar ucapan Ayna. "Memangnya kamu pikir aku ini apa, Ayna?"

"Om tampan bukan malaikat yah? Sejak kapan banyak manusia tampan di dunia ini?"

Aku hanya bisa menggeleng - geleng pasrah. Astaga, Ayna memang sudah mabuk. Aku segera bangkit dari posisi tidurku dan berdiri. "Om mau kemanaa??? Jangan tinggalin Ayna. Ayna takut."

Aku tertawa geli dan segera mengangkat Ayna dan menggendongnya. "Sudah. Kamu udah mabuk banget. Aku bisa gila kalau kamu terus - terusan begini."

"Om, om mau ngapain? Kata mamaku, kalau bawa cewek ke kamar itu gabagus." bisik Ayna yang mau tak mau membuatku tertawa semakin kencang. "Hapus pikiran anehmu itu Ayna."

Aku meletakkan Ayna diatas kasurku dan kemudian berlutut dan menatapnya. "Dasar. Pasti kamu akan malu setengah mati kalau mengingat hal ini."

Ayna masih menggigau tidak jelas sebelum akhirnya mengucek matanya yang terlihat sayu dan tertidur. Aku tersenyum dan memutuskan untuk menarik selimut agar ia merasa lebih nyaman. Aku hanya memerhatikannya yang telah tertidur nyenyak. Dan tanpa kusadari, aku telah meletakkan tanganku dan mengelus lembut kepala Ayna.

Memikirkan hal tersebut membuatku kembali bertanya - tanya. Harusnya aku keberatan. Namun anehnya, aku tidak. Padahal menghadapi Ayna yang sedang mabuk jauh lebih berat dibandingkan menghadapi Ayna yang sadar. Namun entah mengapa, aku merasa senang. Aku merasa senang karena dapat melihat sisi Ayna yang seperti itu. Kembali memikirkan bahwa mungkin saja ada lelaki lain yang melihatnya mabuk seperti ini membuatku merasa marah.

Untung saja ia setuju ketika aku memintanya untuk tidak minum dengan lelaki lain. Kalau tidak, mungkin aku bisa mengamuk seharian. Memikirkan hal tersebut saja sudah membuatku tidak dapat tidur semalaman. Apalagi jika ia tidak menyetujui permintaanku? Wah, aku bisa gila jika itu benar - benar terjadi.

Aku segera menghilangkan berbagai pikiran konyolku sebelum akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan ritual mandi pagiku. Setelah beberapa menit, aku segera keluar dari kamarku dan mencari Ayna. Aku tersenyum ketika mendapati Ayna sedang asyik duduk dan menonton televisi yang kini sedang menayangkan drama Korea.

"Sudah berapa kali kubilang untuk mengurangi hobi menontonmu?"

Ayna menoleh dan memasang wajah cemberut ketika mendengar komentar ku. "Ini hari sabtu tahu. Kamu gatau kalau hari ini adalah hari bersantaiku?"

Aku tertawa kecil. "Memangnya harus dihabiskan dengan drama Korea?"

"Kurasa itu urusanku." balasnya datar sebelum kembali memfokuskan matanya ke televisi.

Aku segera duduk disebelahnya. "Jadi," ucapku sambil melipat kedua tanganku didada. "apa kamu tidak memiliki rencana lain?"

"Menurutmu? Kurasa ini adalah sebuah rencana terbaik yang kumiliki." balasnya datar.

Jawaban cerdas Ayna mau tidak mau membuatku terdiam. Wah, gadis ini. Benar - benar tidak dapat dipercaya. Aku berdeham pelan. "Kalau begitu, ayo pergi."

Mendengar jawabanku, Ayna segera menoleh dan menatapku dengan tatapan horror. "Kamu bercanda?"

Aku tersenyum. "Kamu maunya gimana?"

"Menurut kamu, aku mau pergi dengan baju yang sama seperti kemarin?"

Aku tertawa kecil. "Menurutmu, apakah ada orang yang akan menyadarinya?"

"Ada. Dan orang itu adalah aku."

Aku menggeleng tak percaya. "Wah, aku tak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulutmu."

"Memangnya jawaban seperti apa yang kamu harapkan?" balas Ayna.

"Kalau masalah baju, aku bisa mengatasinya. Jadi bagaimana? Apakah kamu bersedia menemaniku hari ini?"

Tatapan Ayna sudah seratus persen beralih kepadaku. Ia menopangkan kepalanya di tangannya yang ia letakkan di bantal dan menatapku heran. "Apa kamu tidak punya kamus istirahat dirumah yah, Arga?"

"Di dalam kamusku, selama ada kamu, maka aku akan pergi jalan - jalan."

Ayna menatapku sebal. "Kenapa sih kamu hobi menyiksaku?"

Aku menatapnya horor. "Kamu tuh yah, jangan suka berlebihan. Aku mengajakmu jalan, bukan memaksamu untuk kerja rodi loh."

"Sabtu adalah hari istirahat. Titik." tuntas Ayna.

Aku tersenyum. "Gapake koma?"

"Gapake." Ayna berkedip sebentar. "HEY. Jangan bercanda. Aku serius."

Aku tersenyum. "Sebenarnya aku tidak ingin menggunakan cara ini, namun karena kamu bersikeras maka aku terpaksa melakukannya."

"Jangan bilang kamu akan menggunakan kekuasaanmu?"

Aku menatapnya bangga. "Ternyata kamu sudah bisa membaca pikiranku yah."

Ayna mendesah lelah. "Sumpah, aku berharap, akan datang hari dimana aku lebih berkuasa dibandingkan dirimu."

Aku tertawa pelan. Namun satu hal yang kusadari. Kurasa hari itu tidak akan lama lagi. Hari dimana permintaan Ayna menjadi perintah bagi diriku.

* * *

"Ayolah, tidak seburuk itu."

Ia benar - benar benci untuk mengakuinya, tapi memang benar ini semua tidak seburuk itu. Setelah perdebatan yang panjang, yang hanya menguras hati nurani dan ketenangan batinnya, ia akhirnya terpaksa mengikuti kemauan Arga.

Arga membawanya berkeliling, menikmati ibukota tak lupa dengan kameranya yang selalu setia ditangannya. Saat ini, mereka sedang berjalan - jalan di trotoar dan sesekali Arga nampak membidik kameranya kesana kemari. Ia sendiri lebih memilih menikmati suasana ibukota yang tumben - tumbenan terasa sejuk.

Namun, ia benci kalah. Oleh karena itu, ia memilih untuk diam sepanjang perjalanan. Anggap saja sebagai salah satu bentuk balas dendamnya pada Arga yang tidak pernah mendengarkan perkataannya.

"Ayna, jangan diam saja. Aku berasa sedang berjalan dengan hantu, tahu?"

Ayna berdecak pelan. Lelaki ini, memang tidak bisa membiarkannya larut dalam pikirannya. "Dasar penganggu."

"Penganggu?"

"Aku sedang menikmati suasananya. Tapi kamu merusak semuanya." balas Ayna kesal.

Arga tersenyum. "Jadi kamu mengakui bahwa kamu tidak menyesal mengikuti kemauanku?"

Ayna mendengus. "Dari semua hal, kenapa hal itu yang kamu pikirkan?"

Arga mengangkat bahu. "Tidak tahu. Mungkin karena aku pintar."

Ayna menatap Arga gemas. "Hubungannya apa coba?"

"Tidak tahu. Cari tahu saja sendiri."

Sungguh sebuah jawaban yang bisa memancing emosi seseorang. Jika saja Ayna berada di tempat yang lebih familiar, ia tidak akan segan - segan memukul Arga saat ini juga. Karena setelah itu, jika Arga mengancam akan meninggalkannya, ia tidak akan peduli. Ia bisa saja pergi dengan mudah.

"Untung aku bukan ketua RT. Kalau tidak, sudah kuajak semua wargaku untuk menyerangmu."

Arga tersenyum kecil. "Menyerangku? Secara fisik, atau yang lain?"

Pipinya memerah mendengar jawaban Arga yang terkesan menyeleneh tersebut. Ayna berdeham dan berusaha mengalihkan topik. "Kenapa kamu selalu membawa kamera setiap kita jalan? Memangnya kamu bercita - cita jadi fotografer?"

Arga mengangguk. "Kok kamu tahu?"

Kini gilirannya yang menatap Arga heran. "Beneran? Aku cuman asal menebak padahal."

Arga menghembuskan nafasnya pelan sebelum berbicara. "Kamu tahu, awalnya aku ingin menjadi fotografer. Tapi orangtuaku lagi - lagi mengarahkanku ke dunia bisnis. Aku tidak pernah menyerah dengan keinginanku ini sampai akhirnya aku menyadari bahwa orangtuaku, pada akhirnya hanyalah orangtua yang menginginkan anaknya untuk meneruskan apa yang telah mereka bangun. Jadi aku akhirnya menyerah, dan menganggapnya sebagai hobi diwaktu luang."

Lagi - lagi ia melihat sisi lain dari Arga. "Apa kamu menyesal?" tanyanya penasaran.

"Menyesal? Tidak. Tidak ada penyesalan dalam kamusku. Lagipula, aku masih dapat memegang kamera sekarang. So, nothing to lose."

Ayna terkekeh. "Tidak ada penyesalan? Kalau begitu, bagaimana dengan mantan terindahmu itu?"

Arga berhenti berjalan dan terdiam. Tanpa Ayna sadari, ia ikut menghentikan langkahnya. Ayna baru saja akan meminta maaf karena pertanyaan yang terkesan menyinggung tersebut, namun Arga sudah lebih dulu berbicara. "Kurasa, aku juga tidak menyesal tentang hal itu. Justru aku berterimakasih karena dia mengajarkanku bagaimana sakitnya dikhianati."

Mau tak mau Ayna mengangguk. "Oh, Arga sudah dewasa ya ternyata." ujarnya sambil menyenggol lengan Arga pelan dengan harapan hal tersebut dapat mencairkan suasana yang sedikit suram akibat ucapan Arga.

Arga terkekeh. "Dasar."

"Kalau begitu, selama ini waktu senggangmu dihabiskan dengan memotret?"

Arga terdiam sebentar sebelum tersenyum dan menatapnya dengan penuh arti. "Tidak. Hanya baru - baru ini. Belakangan ini aku kembali menemukan objek yang bagus untuk difoto."

Ayna menatap Arga bingung, namun Arga hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti. Aku akan menceritakannya nanti, nanti setelah semuanya terasa jelas bagiku."

* * *

Hari berlalu, tanpa Ayna sadari.

Hari Sabtu kemarin dapat dikatakan sebagai hari terakhir ia berbicara dengan Arga. Setelah hari itu, mereka berdua sama - sama tenggelam dalam pekerjaan mereka. Ditambah lagi dengan kepergian Arga keluar negeri untuk mengurusi perusahaannya serta menghadiri rapat - rapat penting di luar sana, komunikasi diantara mereka benar - benar terputus.

Ayna mendesah pelan. Seingatnya, ia merasa bosan dan marah jika terus - terusan diganggu oleh Arga. Namun jujur, belakangan ini ia malah memikirkan Arga. Tidak, lebih tepatnya ia memikirkan ucapan Arga. Apa yang sebenarnya dimaksud oleh lelaki itu? Sudah nyaris seminggu Ayna memikirkan hal tersebut.

Jika saja lelaki itu tidak mengatakan hal yang aneh, mungkin saja ia tidak akan memikirkan lelaki itu. Ayna kembali mendesah pelan. Memangnya sejak kapan lelaki itu pernah membuat dirinya merasa tenang? Bahkan ketika lelaki itu tidak berada di dekatnya, lelaki tersebut sanggup membuat pikirannya jungkar balik.

Sumpah demi segala hal yang ada di dunia ini, Ayna benar - benar akan mengutuk Arga dan merongrong lelaki itu habis - habisan saat lelaki tersebut kembali dan Ayna berhasil bertemu dengan lelaki itu.

"Ayna?"

Ayna menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Rekan kerjanya, ternyata. Ah, sepertinya waktu memang tidak mengijinkannya untuk berdiam diri dan memikirkan ucapan lelaki itu. Baiklah, kalau begitu. Lebih baik ia menyibukkan diri dibanding harus kesal karena terus - terus memikirkan ucapan Arga.

* * *

"Habis ini, mau kemana?"

Ayna tersenyum kecil. "Memangnya kenapa?"

"Ayo jalan, Ay. Bosen gue." Rena terlihat serius ketika mengatakan hal tersebut. Ayna mau tidak mau tertawa. "Memangnya cowok kesayangan lo itu kemana?"

Rena memainkan rambutnya kesal. "Sibuk doi. Kesel deh gue, kenapa sih sibuk mulu setiap weekend?"

Ayna tercenung. Astaga, apa katanya? Sudah mau weekend? Ayna mengecek ponselnya dan melihat hari yang tertera. Jumat. Astaga. Waktu berlalu dan ia benar - benar tidak menyadarinya.

Ini karena Arga!

"Ay, kok diem?"

Ayna terkekeh. "Gue baru sadar ini Jumat." Ucapan Ayna tersebut membuat Rena segera menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Astaga, untung gue ingetin. Kalau tidak, taruhan lo pasti besok datang kerja."

Ayna tertawa. "Ga separah itulah. Lagian, kan doi sibuk pas weekend. Kalau begitu, ajak jalan aja pas weekday."

Rena merengut kesal. "Ah gatau lah Ay. Logic darimana weekday gabut? Kalau weekend aja sibuk, bagaimana weekdaynya? Aduh gatau ah, menyesal gue ngobrol sama lo."

Ayna terkekeh sebelum kemudian ia menoleh melihat jam. "Yaudah deh yah, gue cabut dulu. Gue butuh istirahat parah, jadi sorry yah gue gabisa diajak jalan."

Rena hanya mengangguk dan membiarkan dirinya pulang. Dalam perjalanannya ke rumah, Ayna kembali memikirkan Arga. Astaga, ia benar - benar harus berhenti memikirkan lelaki itu karena kalau tidak, otaknya benar - benar akan meledak.

Tanpa ia sadari, mobil yang ia tumpangi telah sampai ke depan perkarangan rumahnya. Ayna segera membayar taksi yang ia tumpangi sebelum turun dari taksi tersebut. Baru saja Ayna melangkah masuk, langkahnya langsung terhenti. Dan ia benar - benar tidak tahan untuk tidak melongo.

"Hai Ayna. Apa kamu merindukanku?"

Itu dia. Lelaki yang membuatnya tidak fokus seminggu belakangan ini.

Ya, itu Ivander Arga Devandro, yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyuman lebar yang membuatnya kesal setengah mati.

* * *

HEI HEI! MAAF YAH UPDATE NYA LAMA BANGET!

TERIMAKASIH KARENA MASIH NUNGGUIN CERITA ABAL INI! THANKS A LOT FOR YOUR SUPPORT!

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT!

MUCH LOVE FOR YOU, GUYS!

Continue Reading

You'll Also Like

719K 96.4K 35
Sebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai ya...
5M 272K 54
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
616K 98.6K 39
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.4M 115K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...