ROSE QUARTZ

由 renitanozaria

2.8M 301K 43K

[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. H... 更多

#00
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
ear:gas:m
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
#29
#30
#31
#32
#33
epilog
Extra - Happy Now?
Extra - Crybaby

Extra - From Daddy With Love

81.8K 6.3K 917
由 renitanozaria

Keheningan di workshop Adrian siang itu terpecah ketika secara tidak sengaja sikunya menyenggol kotak wadah tube-tube cat minyak yang berada di atas meja. Suara berisik khas dari benda keras yang saling beradu langsung memenuhi seisi ruangan, menyisakan cipratan cat dalam wadah-wadah kaca di atas permukaan lantai. Adrian mengernyit, merasakan ada sebentuk firasat tidak enak menelusup ke dalam benaknya saat sedetik kemudian ponselnya berdering. Ada telepon dari rumah yang masuk dan tanpa pikir panjang, Adrian menjawabnya.

"Halo?"

Tidak ada kata-kata yang menjawabnya, namun jelas suara tangis di seberang sana adalah suara milik ibunya. Tanpa bertanya, Adrian langsung meletakkan kuas dan paletnya ke atas meja, lantas menitipkan workshop pada salah satu karyawannya dan mengemudikan mobilnya menuju tempat yang tadi sempat disebut ibunya di sela-sela isak. Dia beruntung kondisi jalanan tidak terlalu padat, karena jika dia harus terjebak kemacetan dalam situasi semacam ini, bisa dipastikan dia akan kehilangan kesabaran dan melakukan tindakan bodoh seperti melakukan pelanggaran lalu-lintas atau menyerempet kendaraan lain karena terlalu tergesa-gesa.

Adrian tidak pernah menyukai suasana rumah sakit, terutama setelah peristiwa beberapa tahun lalu saat Azalea mengalami kecelakaan tepat di depan gedung tempatnya mengadakan pameran fotografi. Lorong panjang rumah sakit yang berbau obat tidak pernah gagal membangkitkan kenangan buruk tentang darah Azalea yang melumuri kedua tangannya. Kini, dia kembali harus mengalaminya. Sekarang, dia kembali terjebak dalam situasi yang sama. Azalea berada disana, lagi-lagi meregang nyawa meski untuk penyebab yang benar-benar berbeda.

"Adrian!" Abby berseru saat dia melihat Adrian mendekat, kemudian langsung mendekap adik laki-lakinya itu dengan erat.

"Lea di mana?"

"Di dalam. Karena kamu sudah sampai di sini, mending kamu langsung nemuin dokter. Tadi beliau nyariin kamu."

Adrian punya firasat tidak enak soal ini. Namun dia menuruti kata-kata kakak perempuannya dengan mulut terkunci. Ditemani oleh Aileen yang turut menyertai mereka, kedunya menyusuri koridor rumah sakit lebih jauh dan berakhir di sebuah ruangan tempat dokter yang dimaksud menunggu.

Ternyata, dugaan Adrian terbukti benar. Meski terlihat menjelaskan dengan tenang, dari sorot mata sang dokter, Adrian tau jika kondisi Azalea tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah memberikan sederetan keterangan yang membuat kepala Adrian terasa pening, dokter tersebut meminta Adrian membuat pilihan tentang keselamatan siapa yang diutamakan. Azalea mengalami pendarahan hebat setelah jatuh di kamar mandi hari ini, membuatnya mengalami keguguran spontan. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu sekarang adalah dengan melakukan prosedur kuretase, yang berarti Adrian harus merelakan calon anaknya.

"Pak Adrian?"

Adrian menarik napas, lalu menatap dokter itu dengan mata kalut bercampur lelah. "Bagaimana pun caranya, dokter bisa melakukan apa saja untuk menyelamatkan istri saya."

"Saya tau ini keputusan yang sangat berat, tapi kita memang harus melakukan ini karena kalau tidak, kemungkinan besar kita tidak akan bisa menyelamatkan istri anda." Dokter itu berujar sambil memandang Adrian dengan pandangan menguatkan. "Saya turut berduka untuk kehilangan anda."

Adrian mengucapkan terimakasih sebelum beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan ruangan tersebut diikuti oleh kedua kakak perempuannya yang sama-sama tak mengatakan apa-apa. Mereka melangkah dalam keheningan hingga kembali tiba di deretan kursi ruang tunggu tempat kedua orang tua Azalea dan Mama Adrian berada. Mewakili Adrian—yang terlihat seperti sudah tidak punya energi lebih untuk bicara—Abby dan Aileen menjelaskan apa yang terjadi di ruangan dokter pada mereka. Adrian sendiri lebih banyak diam, sebelum akhirnya dia melangkah pergi dengan alasan ingin membeli secangkir kopi di kantin rumah sakit.

Ditemani secangkir kopi panas yang tak kunjung disentuhnya, Adrian menatap hampa pada udara kosong. Tidak, dia bukannya disambangi nelangsa karena dia terlampau sedih merelakan calon anaknya tak jadi terlahir ke dunia. Apa yang lebih dipikirkan Adrian sekarang adalah tentang bagaimana perasaan Azalea nanti saat dia sudah sadar. Perempuan itu pasti akan menangis atau mungkin marah padanya. Adrian tidak siap menghadapi itu semua. Dia tidak bisa melihat perempuan menangis, terutama jika perempuan itu adalah perempuan yang dia cintai.

Adrian tetap duduk sendirian di sana hingga satu setengah jam berikutnya. Laki-laki itu hampir tidak bergerak. Jika saja matanya tak berkedip, mungkin orang-orang akan mengira sosoknya merupakan sebentuk patung lilin yang entah bagaimana dibiarkan berada di salah satu kursi kantin rumah sakit. Kopi di atas meja sudah mendingin tanpa sempat Adrian sentuh. Pikirannya bekerja keras, mencoba memilah-milah cara paling tepat untuk menyampaikan berita duka ini pada Azalea setelah perempuan itu sadar.

"Adrian," Satu remasan dari tangan Aileen tiba-tiba saja menarik Adrian dari lamunan. Dia tenggelam dalam angannya sendiri terlalu dalam, hingga tak mendengar suara langkah Aileen yang mendekat mau pun menyadari kehadirannya.

"Iya?"

"Lea udah dipindah ke ruang perawatan biasa."

Adrian mengembuskan napas. "Oke." katanya sambil beranjak bangkit dan meraih cangkir kopinya. Laki-laki itu menelan tiga-empat teguk, lalu meletakkan kembali cangkir tersebut di atas meja sebelum berjalan mengikuti Aileen melintasi koridor menuju kamar yang dimaksud. Kedua orang tua Azalea, Mama dan Abby telah berada di depan kamar perawatan saat Adrian tiba di sana. Wajah mereka diselimuti mendung, namun sebelum Adrian berjalan masuk ke kamar perawatan, ayah mertuanya sempat meremas pelan bahunya sambil memberikan satu anggukan yang menyiratkan dukungan moral. Gestur itu di balas Adrian dengan satu tarikan senyum muram sebelum tubuhnya hilang di balik pintu kamar yang segera ditutup.

Azalea terlihat sangat pucat dalam balutan pakaian rumah sakit biru langitnya. Rambutnya yang dipotong sebahu tergerai di sekeliling kepalanya. Warnanya hitam, membuat kulit wajahnya terlihat kian sakit. Tidak ada rona di pipinya. Matanya terpejam. Ada jarum infus menusuk punggung tangannya.

Adrian berdehem pelan, berusaha melegakan tenggorokannya yang terasa tersumbat oleh gumpalan pahit. Tangannya meraih jemari Azalea yang terasa dingin di bawah sentuhannya. Lantas Adrian menarik napas panjang sambil membawa jari-jari lunglai perempuan itu ke hidungnya. Matanya menutup sementara dia menarik napas dalam-dalam, seperti berusaha menghirup apa pun yang bisa dia hirup dari tangan Azalea.

"I'm so sorry, Sweetheart." Bisiknya dengan pedih. "I'm so sorry. But I can't let something bad happens to you. You have every rights to be angry with me. I deserve it. But please, don't cry."

Seolah menjawab semua ucapannya, jari-jari Azalea bergerak pelan, disusul matanya yang kemudian terbuka. Pandangannya amat sayu, namun perempuan itu tetap berusaha memaksakan senyum lemah. Menyaksikan ekspresinya yang seperti itu, ada bagian dalam dada Adrian yang seolah-olah ditusuk berkali-kali dari dalam.

"Hello."

Adrian berusaha memaksakan senyum. "Hello."

"Aku tidur kelamaan ya?"

"Nggak." Adrian mengusap punggung tangan Azalea dengan sepenuh rasa sayang. "Nggak apa-apa. Akhir-akhir ini aku juga banyak bikin kamu capek. Nggak apa-apa. Tidur aja lagi. Aku bakal selalu ada disini nemenin kamu."

Azalea menggeleng. "Acil... gimana?"

"Kita omongin ini nanti aja, ya? Sekarang kamu tidur aja."

"Kalau kamu ngomong kayak gitu, sepertinya aku udah bisa nebak artinya apa." Azalea menggigit bibirnya. "Acil... udah nggak ada, kan?"

"Azalea—" Kata-kata yang hendak terlontar dari mulut Adrian langsung terhenti seketika ketika dia melihat air mata meleleh di kedua belah pipi Azalea. Dengan cepat, tetesan air mata perempuan itu diikuti oleh sedu-sedan hebat hingga bahunya bergetar tanpa kontrol. Duka menghimpit dada Adrian melihat Azalea yang seperti itu. Menggigit bibirnya sendiri untuk menahan kesedihannya, Adrian meraih kepala Azalea ke dadanya. Laki-laki itu mendekap Azalea dengan erat, seperti ingin menahan agar gadis itu tak pecah menjadi kepingan-kepingan. "Sayang, jangan begini. Ini bukan akhir dari semuanya. Kamu masih punya aku, oke? Aku akan selalu ada buat kamu."

Azalea tidak menjawab karena napasnya telah sesak oleh isak.

"Lea, Sayang, dengerin aku. Nggak apa-apa, oke? Nggak apa-apa. Kita bisa coba lagi. Bukan berarti kamu nggak boleh sedih, tapi tolong..." suara Adrian kian mengecil. "... tolong jangan begini. Demi aku."

Namun Azalea tetap saja menangis. Gadis itu seolah tidak mendengar ucapan Adrian sama sekali. Air matanya membanjir, terus mengalir tanpa henti hingga baju Adrian basah kuyup dibuatnya.

*

"Husband, bangun."

Sentuhan hangat di pipi Adrian adalah apa yang membuat mimpinya pecah menjadi kepingan-kepingan berantakan sebelum pelan-pelan terganti oleh sosok seorang perempuan berambut hitam sebahu yang membungkuk, mengernyit padanya setelah meletakkan kotak Tupperware di atas meja—tepat di sisi kepala Adrian yang tergeletak di atasnya berbantalkan lengan.

"Lea?"

"Kamu ketiduran." Azalea berujar lembut sambil membuka tasnya, menarik sehelai tissue basah dari sana untuk membersihkan bekas noda cat yang mengering di pipi Adrian. "Aku tadi telepon asisten kamu di sini. Tapi dia lagi keluar buat makan siang. Katanya tadi kamu lagi sibuk melukis. Kamu suka lupa waktu kalau melukis, jadi aku pikir sebaiknya aku kesini, bawain makan siang buat kamu—eh, kamu kenapa? Pipi kamu basah. Kamu nangis?"

"Oh, ini." Adrian menyentuh pipinya sendiri, sadar jika kini wajahnya basah oleh air mata. "Kayaknya karena aku mimpi."

"Mimpi?"

"Iya. Tadi aku mimpi sedih."

"Itu gara-gara akhir-akhir ini kamu keseringan nyuekin aku sama Acil dan terlalu sibuk ngurusin kerjaan di workshop dan di kantor." Azalea bergurau. "Kamu kualat sama Acil. Acil kesal kali, soalnya papanya lebih milih ngurus kerjaan daripada merhatiin dia."

"Mungkin." Adrian bergumam penuh rasa syukur karena ternyata peristiwa menyedihkan itu hanya mimpi. "Kamu kesini sama siapa?"

"Minta dianterin sama Kak Aileen. Tapi dia udah pergi. Katanya mau ketemuan sama pacarnya."

"Mmm..." Adrian bergumam. "Kamu masak sendiri?"

"Iya."

"Masak apa? Bukan tumis rebung, kan?"

Azalea memutar bola matanya. "Kamu setrauma itu ya sama tumis rebung buatan aku? Apa rasanya emang se-nggak enak itu?"

"Bukan gitu." Adrian berusaha mencari alasan walau faktanya, tumis rebung yang dibawakan Azalea minggu lalu dalam kotak makan siangnya memang masakan Azalea dengan rasa paling absurd. "Rasanya nggak sejelek itu, kok. Cuma aku kan emang nggak suka rebung."

"Halah, pada dasarnya kamu emang nggak doyan sayur." Azalea mendengus. "Tapi hari ini aku nggak masak rebung. Aku bikin sambel ati-kentang-pete, perkedel jagung sama kangkung rebus buat kamu. Khusus untuk kangkung rebusnya harus dihabisin. Kalau nggak, nanti Acil marah."

Adrian menarik napas, lalu berujar. "Iya, Sayang. Iya."

"Tapi emangnya kamu mimpi apa, sih?"

"Nggak apa-apa. Lupain aja."

"Yaudah kalau kamu emang nggak mau cerita." Perhatian Azalea teralih pada lukisan setengah jadi yang terpampang di depannya. "Kamu nggak melukis aku ya?"

"Nggak."

"Ini pesenan klien?"

"Nggak juga."

Azalea mengerucutkan bibir. "Ih, kok nggak ngelukis aku?"

"Hm, emangnya aku harus selalu melukis kamu?"

"Bukan gitu." Azalea meremas-remas jarinya, membuat Adrian terkekeh karena menurutnya tingkah Azalea sangat cute. "Tapi biasanya kan kamu ngelukis aku."

"Untuk lukisan yang ini, nggak. Coba tebak, aku ngelukis siapa?"

"Siapa?"

"Tebak."

"Bukan Aries, kan?" Pandangan Azalea berubah jadi mematikan. "Kalau kamu sampai ngelukis dia—"

"Aku bingung ini bawaan bayi atau emang karakter kamu," Adrian berdecak. "Tapi aku nggak melukis Aries. Aku melukis... seseorang yang lebih spesial lagi. Masa kamu nggak nyadar sih? Coba kamu perhatiin dulu."

Ucapan Adrian membuat Azalea memiringkan wajah dan mengamati lukisan setengah jadi tersebut dengan teliti. Kemudian, dalam hitungan detik, kesadaran menghantamnya dengan telak. Diantara gambar kasar kelopak bunga, Azalea melihat gurat-gurat yang membentuk lukisan seorang bayi. Posisinya meringkuk seperti posisi janin dalam kandungan, lengkap dengan lukisan tali pusar di bagian perutnya. Di sekelilingnya, ada warna jingga pastel yang meengelilingi, membuat lukisan tersebut terkesan begitu lembut.

"Kamu..."

Adrian membungkukkan badan, menyentuh perut Azalea dengan telapak tangannya diikuti satu tarikan senyum lebar yang membuat kedua matanya membentuk lengkungan serupa bulan sabit. "Lukisan pertama Papa buat Acil."

"Untuk pertama kalinya, Papa bikin Mama cemburu sama Acil." Azalea menyahut sambil menyeka bawah matanya sebelum dia betul-betul menangis karena haru.

"Biarin. Biar Mama terbiasa." Adrian terkekeh, kemudian melanjutkan. "Anak Papa harus kuat ya. Pokoknya anak Papa nggak boleh kenapa-napa. Anak Papa nggak boleh cengeng, jadi nanti bisa bantuin Papa ngejagain Mama."

Azalea tersenyum lembut. "Anak Mama harus pintar juga, biar bisa bantu Mama ngejagain papanya dari perempuan-perempuan ganjen di luar sana."

Jawaban Azalea membuat Adrian tertawa. Lantas dia sengaja berlutut, membiarkan telinganya melekat pada perut Azalea seperti tengah berusaha mendengar respon calon anaknya dari dalam sana. Lalu secara tidak terduga, laki-laki itu mengecup pelan perut Azalea dengan penuh kasih. "Papa loves you. Mama loves you. But take your time in there to grow, okay? Be healthy. Be strong. Papa and Mama will see you when the time comes. Deal, Kiddo?"

"Namanya Acil, bukan Kiddo. Dia kan nggak terbuat dari Kinderjoy." Azalea protes.

"Aku lebih suka Kiddo."

"Pokoknya namanya Acil!"

Adrian kembali berdiri, lalu memeluk Azalea erat-erat sambil berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan membiarkan satu pun peristiwa dalam mimpinya barusan menjadi nyata. "Iya, Sayang. Iya."

Azalea tertawa gembira sebelum balik melingkarkan lengannya pada tubuh Adrian, mendekap suaminya erat-erat dan membiarkan dirinya lebur dalam pelukan hangat. 





a.n: hehehe, masih belum ada yang mati ternyata. 

adrian loves you. 

azalea loves you. 

ps: sebenernya extra ini gue rencanakan ada untuk mereka yang bakal beli buku KITA but well, as you know sampe sekarang bukunya belum keluar (dan gue sendiri nggak tau bukunya bakal kapan keluar) (and honestly, udah nggak bersemangat juga lol) jadi gue posting aja disini buat kalian. 

sekian sampai ketemu di cerita lainnya dan chapter berikutnya. ciao. 

继续阅读

You'll Also Like

68.3K 12.2K 55
🏅1 in Teenlit Indonesia [8/11/19] (Follow sebelum baca) Di Brazil ada sebuah kota bernama Nao-me-Toque yang artinya "Don't touch me". Bagiku, kota...
37.1K 3K 34
[SELESAI] Drama para berandal sekolah dimulai disini! Namun cinta segitiga ini lebih rumit daripada ujian Matematika puluhan bab. Kalau kau tak siap...
359K 39K 22
Milo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu...
1.2M 177K 23
Seorang siswi teladan berkenalan dengan anak badung satu sekolah yang sudah rajin mengisi catatan guru BK, hanya untuk mengetahui bahwa orang yang di...