Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4

By Black_december

72.2K 2.9K 245

Hanya berisi kumpulan cerita Nathan dan Cheryl yang akan memulai hidup baru mereka bersama dalam ikatan perni... More

Author Mau Bilang Hal yang PENTING
Ditolak Ayah
Jangan Menyerah
Sedikit Bersabar
Gara-Gara Kertas
Mencintaimu
Sang Masa Lalu
Cedric
Si Tuan Cinta Pertama
Tidak Percaya Padamu
Tunangan
Cinta Saja Tak Cukup
Tidak Siap Menikah
Oh Sial!
Kembali Padamu (1)
Kembali Padamu (2)
Kembali Padamu (3)
Dia yang Br*ngsek
Aku Tidak Ingin Memaksamu
Jangan Lepas Cincinnya
Situasi Gawat (1)
Situasi Gawat (2)
Nasib Piring Kotor
Bersama dalam Rinai Hujan (1)
Bersama dalam Rinai Hujan (2)
Ketahuan
Dansa (1)
Dansa (2)
Jika Kau Mau Menikah Denganku
Setelah Menikah
Sisi Lain
Ingin Punya Anak (1)
Ingin Punya Anak (3)
Ingin Punya Anak (4)
Kerja Lembur (1)
Kerja Lembur (2)
Gelisah (1)
Gelisah (2)
Gelisah (3)
Terusir (1)
Terusir (2)
Terusir (3)
Untuk Menemukanmu (1)
Untuk Menemukanmu (2)
Untuk Menemukanmu (3)
Untuk Menemukanmu (4)
Untuk Menemukanmu (5)
Untuk Menemukanmu (6)
Kalau Cheryl Tidak Ada
Marah Padamu
Bagaimana Kalau Sekarang?
Reuni (1)
Reuni (2)
Reuni (3)
Reuni (4)
Reuni (5)
Reuni (6)
Reuni (7)
Honeymoon Suit Bencana
Percaya Padaku
Anak Kecil yang Menangis
Hilang Percaya Diri
Noel (1)
Noel (2)
Noel (3)
Noel (4)
Noel (5)
Berubah (1)
Berubah (2)
Berubah (3)
Berubah (4)
Berubah (5)
Berubah (6)
Sebuah Putaran Baru
Apa yang Salah?
Apa Yang Tidak Cukup?
Penyusup (1)
Penyusup (2)
Penyusup (3)
Anak Perempuan dan Laki-laki
Melewati Batas (1)
Melewati Batas (2)
Melewati Batas (3)
Melewati Batas (4)
Melewati Batas (5)
Bukan Aku (1)
Bukan Aku (2)
Bukan Aku (3)
Bukan Aku (4)
Bukan Aku (5)
Sebelum Hancur
Tidak Akan Cukup
Pulanglah Padaku
Mengapa Dia Harus Pulang?
Jalan Untuk Pulang (1)
Jalan Untuk Pulang (2)
Jalan Untuk Pulang (3)
I Miss You
I Want You Back
Meledek Seperti Kuda, Melenguh Seperti Anak Sapi
Ragu
Ini Rahasia
Ride Your Heart and Come Back To Me (1)
Ride Your Heart and Come Back To Me (2)
Ride Your Heart and Come Back To Me (3)
Pause? (1)
Pause? (2)
Unpause?
Masa Depan (1)
Masa Depan (2)
Rumah (1)
Rumah (2)
Labor Sucks (1)
Labor Sucks (2)
Labor Sucks (3)
Labor Sucks (4)
Aku Tidak Siap
Lily (1)
Lily (2)
Lily (3)
Lily (4)
Once
Twice
Trice
The Longest Pause (1)
The Longest Pause (2)
The Longest Pause (3)
Ayo Unpause!
Sejarah Tentang Kita Berdua
Author: Dari Dunia First Untuk Kalian

Ingin Punya Anak (2)

965 30 0
By Black_december

Ingin Punya Anak (2)

(Cheryl)

Aku tak sempat lagi mengajak Nathan bicara soal keinginan punya anak ini selama beberapa hari kemudian. Aku tahu ini masalah serius dan seharusnya sudah kami bicarakan sebelum pindah kemari atau sebelum Nathan menagih “jatahnya” di beberapa malam. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan kadang hanya waktu sebelum tidur yang kami punya untuk diri sendiri.

Tetapi itu cukup sulit jika kau punya suami tampan dan manja seperti Nathan, memelas meminta “jatah”, mengalihkan fokus pikiranmu, lalu membuatmu lupa untuk membicarakan hal-hal serius soal pernikahan kalian. Kemudian keesokan harinya, kau mendapati dirimu sendiri, meringkuk di bawah selimut dalam keadaan polos. Terkurung dalam pelukan suamimu sendiri.

Selama berhari-hari aku hanya bisa merutuki diri dan berkata, “Kenapa aku lupa lagi mengajaknya bicara?!”

Waktu pagi tentu bisa jadi kesempatan untuk mengobrol, tetapi kami juga harus buru-buru berangkat kerja sebelum pembicaraan ini selesai. Maka dari itu, aku berinisiatif untuk melakukan pembicaraan serius kami saat akhir pekan. Ini saat yang tepat, bukan?

Nathan dan aku sama-sama libur, waktu kami sangat longgar untuk hari itu. Biasanya akhir pekan itu adalah hari untuk bermalasan. Kadang ada sampai beberapa jam di pagi hari, Nathan tidak membiarkanku ke luar dari kamar karena kau tahu … untuk berhubungan intim. Kami akan berbaring saja di bawah selimut, berbagi kehangatan dan tak melakukan apapun sampai menjelang siang jika Nathan sudah menagih kelaparan.

Beruntungnya, akhir pekan kali ini aku memilih bangun lebih dulu dari Nathan. Jadi, aku bisa fokus mempersiapkan waktu untuk membuat sarapan dan kata-kata yang tepat untuk mengajak Nathan melakukan “pembicaraan serius” ini.

“Tumben bangun pagi, Cher?” kata Nathan muncul di samping kulkas dan memperhatikanku memasak. Lengkap dengan kaos biru tua dan celana pendek hitamnya.

Kuselipkan sebagian helai rambutku ke belakang telinga. Jangan salah tingkah hanya karena dia sedang memperhatikanmu! Kuingat diri sendiri.

“Aku hanya …,” Aku bingung harus mengatakan apa. “Aku lapar.”

Itu alasan yang cukup masuk akal bukan? Setidaknya Nathan tidak protes soal ini.

Untuk sarapan pagi ini aku berencana membuat olahan tumis ayam. Jadi, untuk membuatnya aku memotong-motong beberapa jenis sayur sebagai bahan tambahan.

“Kenapa kau masak sayur lagi?” tanya Nathan yang kurasa sudah berpindah berdiri di belakangku.

“Aku sudah bilang, kamu harus banyak makan sayur,” kataku fokus memotong beberapa brokoli.

Aku bisa mendengar suara dengusan napasnya di balik punggungku. Dasar Nathan, umur sudah 26 tetapi disuruh makan sayur saja kadang susahnya minta ampun. Ini bukan seperti aku pemasak yang buruk. Malahan, masakanku cukup enak dan ….

“Aku nggak mau brokoli, Cher,” bisik Nathan kemudian menyelipkan kedua tangannya di pinggulku. Membuat napasku berhenti ketika kurasakan punggungku menyentuh dada bidangnya. Aku tidak ingin memberi rinciannya bagaimana bentuk tubuh Nathan sekarang. Tetapi, Oh Tuhan … aku bisa merasakan otot perutnya menggesek punggungku begitu halus. Membuatku teringat bagaimana panasnya percintaan kami di beberapa malam.

Ah, biar sudah menjadi istrinya, tetap saja rasanya malu. Aku harus mengendalikan diri, Tuhan!

“Nathan, aku sedang memasak,” kataku memberinya isyarat agar jangan mengganggu konsentrasiku.

Nathan lalu meletakkan dagunya di bahuku, “Kenapa aku bisa ditakdirkan menikah dengan istri menggemaskan seperti kamu, huh?”

Aku terkekeh. Apa dia sedang merayuku atau menjahiliku?

“Kau menyesal menikah denganku?” kataku dengan nada meledek.

Lelaki itu menggelengkan kepala dan diam.

Pasti dia sedang memikirkan sesuatu, entah apa itu. Sepertinya cukup membebaninya. “Kau mau membicarakannya?” tanyaku sedikit memancing suasana.

Nathan diam lagi.

Aku menghembuskan napas panjang, “Kalau nggak mau, ya … nggak apa-apa.” Aku mulai memasukkan semua sayur ke dalam mangkuk yang tersedia. “Aku akan selalu di sisimu sampai kamu mau bicara.”

“Kamu …,” kata Nathan memberi jeda, “akan selalu di sisiku, apapun yang terjadi?”

“Aku sudah bersumpah menjadi istrimu, ‘kan?”

“Bahkan kalau aku punya kekurangan?” kata Nathan selanjutnya.

“Semua orang punya kekurangan, Nath,” kataku kemudian menyentuh sisi wajahnya yang sepertinya sedang cemberut, “dan aku memilih untuk menikahi kekuranganmu juga.”

Kali ini kurasakan pegangan tangannya di pinggulku semakin erat. Bahkan jika harus kukatakan, tangannya mulai nakal dan naik mengelus perutku. Memberikan sensasi geli.

Aku ingin memekik menyuruhnya berhenti menggerayangi tubuhku semaunya. Namun, lelaki itu kembali merapatkan tubuhnya dan membuatku semakin tak bertenaga mendapat sentuhan-sentuhan ini.

“Aku ingin kau mengandung anakku, Cher,” bisiknya terdengar begitu sensual terutama ketika ia mengatakan kata “mengandung” itu dan di saat yang sama dia meraba perutku.

Aku tak tahu harus menjawab apa selain mengangguk, tak sanggup lagu berkata-kata selain mengatur napasku yang memanas.

“Aku jadi ingin menidurimu lagi, kau tahu?” katanya terkekeh.

Oh yang benar saja, apa itu saja yang ada di dalam pikiranmu ketika melihat istrimu sendiri?!

Lelaki itu kemudian melanjutkan, “Tapi, ada masalah yang harus kuselesaikan hari ini, aku harus pergi.” kata Nathan mengejutkanku di saat yang sama dia melepas dekapannya di tubuhku.

“Di akhir pekan?” Aku mengklarifikasi. Bahkan mungkin ada nada keengganan di suaraku ketika tahu dia akan pergi.

“Yup!” Suara Nathan sudah berpindah ke dalam kamar mandi.

Aneh, keningku mengerut. Ada urusan sepenting apa sampai Nathan harus pergi di akhir pekan seperti ini? Bukankah semua orang harusnya berlibur atau semacamnya? Kuputuskan untuk meninggalkan semua pekerjaan dapur dan menyusulnya. Menanyai Nathan lebih lanjut.

Namun, tak lama aku menyesali tindakanku itu.

Karena sekarang aku menemukan pemandangan luar biasa anehnya di balik pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Memperlihatkan seorang laki-laki sedang melepas kaosnya hingga bagian atas tubuhnya membuatku kehilangan napas.

“Cher?” panggil Nathan menyeringai sembari memamerkan bentuk tubuhnya di depan mataku. “Mau mengintip suamimu mandi?”

Aku segera menggeleng, “Ka-kau mandi saja sana …!! A-a-aku akan …,” Jemariku menunjuk dapur. Walau mataku kadang melirik Nathan yang untungnya masih mengenakan celana.

Agh! Malu! Malu! Malu!

Asataga ini canggung sekali! Cepat kabur dari sana!

“Cher, tunggu!” Napasku sekali lagi berhenti ketika lelaki itu berhasil meraih tanganku dan menyeret tubuhku ikut masuk ke kamar mandi bersamanya.

“Nathan! Ngapain sih?! Udah mandi sendiri sana!” kataku berusaha melepaskan diri. Bahkan jika harus kukatakan, mataku sekarang mendapat pemandangan eksklusif dari tubuh laki-laki dewasa yang sudah kulihat setiap malam.

Lelaki yang sudah menyentuh setiap jengkal tubuhku dan memberinya jejak kenikmatan.

Oh, Tuhan. Apa kamar mandi memang terasa sepanas ini?!

“Lihat aku, Cher,” katanya terkekeh.

Aku lebih memilih menatap dinding dari pada melihat suamiku sendiri tanpa kaos atasan. Aku tahu ini aneh! Aku sudah resmi menjadi istrinya dan harusnya pemandangan eksklusif ini sudah membuatku terbiasa. Tetapi susah sekali terbiasa apalagi jika kepalaku selalu memutar ingatan bagaimana tubuh lelaki inilah yang meniduriku di malam temaram. Di bawah cahaya bulan yang bisu dan napas hangat yang memburu di balik selimut.

Bagaimana aku bisa bisa terbiasa coba?!

“Cher, lihat saja wajahku,” katanya kembali tertawa dan menarik bawah daguku agar wajah kami bertemu. “Ada apa, Cher? Kau mau bicara atau mau …,” Kalimatnya menganggantung dan lirikan matanya berpindah pada tubuhku.

Seolah dalam imajinasinya sendiri, dia sedang menelanjangiku.

“A-aku hanya penasaran,” kataku menyentak menjauh. Tetapi Nathan malah semakin merapatkan dirinya padaku, hingga membuatku tak punya pilihan selain mundur.

“Penasaran sama apa?” godanya lagi.

“I-itu soal ….”

Bugh ….

Hentakan pelan itu membuatku terhenyak, kala punggungku sudah bersentuhan dengan dinding. Oh astaga, dia sukses memojokkanku!

“Soal apa?” tanya Nathan menyeringai puas dan mengurung tubuhku mungilku di antara kurungan tangan besarnya.

Deg … Deg … Deg ….

Ah, dia begitu dekat! Kenapa dia selalu seperti ini sih?! Apa dia ingin membuatku meninggal karena tak bisa mengendalikan detak jantungku sendiri?!

Terutama dada bidang dan perutnya yang berotot itu, Tuhan! Sejak kapan Nathan rajin olahraga sampai membentuk tubuhnya sampai begitu mengagumkannya?! Wanita manapun pasti akan menahan napas kalau melihat perut roti sobek yang tercetak jelas itu!

“Nathan, jangan terlalu dekat!” kataku terpaksa memajukan kedua tanganku, sampai mendorong dadanya agar memberi kami jarak.

Jangan tanya apa yang sedang kusentuh! Aku tidak ingin menjelaskannya!! Argh! Malunya!!

“A-a … aku cuma mau nanya kamu mau pergi ke mana hari ini?! Kamu harusnya libur, ‘kan?!”

Nathan mengangguk dan tertawa geli melihat kelakuanku.

Sialan, dia menikmati ini! Ugh!!!

“Jangan tertawa!” kataku sebal, “jawab aku! Kamu mau pergi ke mana?”

“Aku akan pergi menemui seorang teman,” jawabnya membuatku tak mengerti.

Teman yang mana? Sean? Dean? Lyon? Atau yang mana?

“A-a … aku boleh ikut?” tanyaku merasa konyol sendiri. Kalau benar ini pertemuan para laki-laki, maka aku sebagai wanita mau ngapain di sana?

“Nggak boleh,” jawab Nathan langsung membuat kedua mataku membulat.

Oh, aku tahu ini. Dia menemui seseorang yang tak boleh kuketahui dan dia bahkan melarangku ikut! Semakin mencurigakan saja.

“Kau mau pergi menemui wanita, ya?” kataku menyipitkan mata padanya. “Meninggalkan istrimu sendiri di rumah lalu keluyuran sama wanita lain, begitu?”

Bukannya menjawab dengan benar, tawa Nathan malah meledak. Aku sudah berpikir keras bagaimana bicara denganmu soal mempertimbangkan untuk memiliki anak, dan kau malah pergi meninggalkanku kesepian di rumah. Sekarang, kau juga menertawakanku?

“Aduh, istriku ternyata tipe pecemburuan, ya?” katanya mengejekku.

“Iih! Cepetan jawab!” kataku mulai memukul dadanya agar dia berhenti.

Jangan mengira punya suami Nathan, kehidupan sosial kami akan lebih menyenangkan. Apa aku harus mengingatkannya insiden ketika aku memergokinya sedang dirayu oleh pegawai toko seminggu lalu? Jelas bukan? Semua wanita di dunia ini sepertinya berharap kalau Nathan belum menikah!

Walau Nathan sudah berjanji tidak akan berpaling dariku, atau dia hanya bersikap baik pada wanita lain, kecemasanku terus saja muncul.

Nathan masih saja tertawa, dan membuat aku menahan kekesalanku dengan menggembungkan pipi. Tetapi detik selanjutnya, kesabaranku meletup habis. Tanganku bergerak menangkup wajah Nathan di kedua sisi dan membuat lelaki itu beralih menatapku.

Aku ingin dia hanya melihatku seorang. Bukan kepada wanita lain atau hal lainnya. Aku istrinya dan aku berhak atas itu.

“Nathan, lihat aku,” kataku dan otomatis Nathan akhirnya berhenti.

Aku sangat mencintaimu, apa kau tahu itu? Aku harap bisa berani dan mengatakannya ribuan kali agar kau tahu itu. Aku tidak ingin lelaki lain menyentuhku seperti kau menyentuhku. Aku tidak ingin wanita lain melihat seenak hati. Ada banyak hal yang ingin kuungkapkan andai aku lebih berani. Dan kalau Tuhan mengizinkan … aku juga ingin … melihat anak yang mewarisi wajahmu.

“Aku melihatmu, sayang,” katanya lalu memajukan wajahnya sampai kening kami bertemu. “Aku selalu melihatmu, sejak SMP,” katanya.

Benar dan ketika kita tidak bertemu, aku harap aku bisa melihatmu lagi. Mataku selalu mencarimu. Perasaanku selalu saja tertarik padamu. Pikiranku selalu saja kembali mengingatmu. Merepotkan tahu! Aku tidak bisa jatuh cinta pada laki-laki lain hanya karena satu pernyataan cintamu di hari itu.

Tanpa sadar jemariku bergerak, menyusuri wajah tegasnya dan seketika satu jemariku terhenti di sudut bibirnya. Bibir yang selalu saja berhasil membuat mabuk akan sentuhannya. Satu ciuman yang mengisahkan banyak kenangan.

“Kau mau?” kata Nathan seolah tahu maksudku menyentuh bibirnya.

Aku menggeleng, “Tidak, sebelum kau menjawab mau pergi ke mana.”

Aku masih penasaran.

Nathan malah nyengir, “Kau beneran mau tahu?”

Aku mengangguk.

“Baiklah,” katanya menyerah, “aku mau menemui dokter pribadiku. Konsultasi sebentar.”

Mataku seketika melirik ke dada bidangnya. Tempat di mana sebuah luka bakar dan jahitan bekas operasi berada. Kembali membuat benakku mengingat bagaimana Nathan dulu kesakitan ketika serangan jantung itu mengalahkannya. Itu kenangan yang tak bisa kucegah akan selalu muncul ketika aku melihat bekas luka-luka yang ia miliki.

“Jantungmu … sakit lagi?” kataku hampir seperti lirihan.

Mendengar nada bicaraku yang berbeda, Nathan hanya tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin melakukan pemeriksaan.”

“Aku mau ikut,” kataku memelas. Aku sebelumnya belum pernah menemani Nathan ke rumah sakit untuk konsultasi soal masalah jantung lemahnya. Mungkin sudah jarang bagi Nathan sendiri setelah menjalani terapi pengobatan jantung buatan itu hingga dia dinyatakan cukup sehat.

Kenangan soal rumah sakit dan Nathan selalu saja membawa perasaan sedih. Namun, aku ingin mendukung dan tetap berada di sisinya. Aku tidak tahu bagaimana sakitnya mempunyai jantung yang lemah, andai bisa aku ingin Nathan membagi sakit itu bersama

Itu artinya menikah, bukan? Bukan hanya kekurangannya, tetapi aku juga menikahi masalah Nathan.

“Nanti saja, oke?” kata Nathan memamerkan senyum terbaiknya. “Lelaki itu tidak suka memperlihatkan kelemahannya di depan wanita yang ia cintai. Kalau nanti aku siap, aku pasti akan mengajakmu. Sekarang belum saatnya, Cher.”

Aku tahu dari nada bicaranya, Nathan serius tidak ingin aku ikut. Aku ingin menolak, tetapi kalau sudah serius seperti ini, memaksa pun tiada guna. Akan lebih baik jika Nathan sudah siap dan mengajakku masuk ke dalam salah satu dunia yang mengajarkannya betapa berharganya arti dari sebuah degup kehidupan.

Sekarang aku hanya bisa bersabar.

“Mandilah sana,” kataku kemudian mulai bergerak melepaskan diri dari Nathan.

Butuh lebih banyak waktu agar kita saling terbuka, bukan?

“Kau tidak jadi ingin kucium?” tanya Nathan nyengir, masih bersikeras menahanku.

Mood-ku sudah turun sejak mengingat bahwa kau ingin pergi ke dokter, “Nathan, mandi saja. Jangan buang waktu lagi.”

Lelaki itu hampir membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu lagi. Tetapi ia mengatupkan bibirnya lagi dan beralih mengecup puncak kepalaku. Setelah itu, Nathan akhirnya mengizinkanku lepas darinya dan kembali memasak di dapur. Ada kata-kata yang ia tahan tadi, aku tahu itu.

Namun, aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya perlu mempercayai Nathan. Aku tahu dia akan membicarakan masalahnya jika dia siap.

Kuhela napas panjang dan menyalakan api di kompor. Melanjutkan masakanku agar Nathan siap menemui dokternya hari itu. Dalam benakku menerawang, kurasa pembicaraan soal “anak” ini perlu ditunda sementara waktu.

***

Continue

Vote dan komen lah apabila karya tulis saya pantas untuk mendapat dukungan 😉


Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 15.9K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
182K 25.1K 43
"Sejauh apapun gue berlari baliknya ke lo juga." A sequel to Move On
50.7K 3K 26
Dua insan dengan kepribadian bertolak belakang di satukan dalam pernikahan yang diatur. mereka tak saling mengenal sebelumnya, lantas mau dan mampuka...
13.3K 270 50
First published: 18 Oktober 2020 Namanya Kirania Rosalind, oleh orang-orang terdekatnya sering dipanggil Kara, perempuan berusia 25 tahun yang harus...