NAVILLERA [SELESAI]

By Amandapcleo_

2.4M 153K 110K

Parallel Universe dari Falling For A Gangsta | ๐——๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ๐˜ ๐—ฑ๐—ถ๐—ฏ๐—ฎ๐—ฐ๐—ฎ ๐˜๐—ฒ๐—ฟ๐—ฝ๐—ถ๐˜€๐—ฎ๐—ต Ini bukan cerita dala... More

Navillera
Prolog
|Part 1: Big Enemy
|Part 2: Marked
|Part 3: Gossip & Manipulative Girl
| Part 4: Two Sociopath
| Part 5: Deal With The Devil
| Part 6: Frenemy
| Part 7: Mr. & Mrs. Possessive
| Part 8: Be Your 911
| Part 9: Illegal Things
| Part 10: Before They Break Up
| Part 11: Pretty Karma
| Part 12: The Planning
| Part 13: Puppy Kiss
| Part 14: Into the 54
| Part 15: Video Call Date
| Part 16: ๐ƒ&๐‚elatti
| Part 17: Kill Me Heal Me
| Part 18: Once Upon a Time
| Part 19: Lighter & Candy Birthday
| Part 20: Favorite Crime
| Part 21: His Character
| Part 22: Masquerade Ball
| Part 23: Domino Effect
| Part 24: All She Want
| Part 25: The Clouds in His Room
| Part 26: Type of Relationship-Toxic
| Part 27: Drama Queen
| Part 28: Love Her More Than Ever
| Part 29: Body Talk
| Part 30: Tattoo, Butterflies, and Hickey
| Part 31: Speeds 210 mph
| Part 32: Mistake Like You
| Part 33: How To Get Money?
INFO PENTINGโ€ผ๏ธ
| Part 34: Seven Sins Above The Sky
| Part 35: Hi, Backstabber!
| Part 36: Clyde & Bonnie (49 Days)
| Part 37: The Devil's Hours (49 Days)
| Part 38: My Ride Or Die
| Part 39: Ce Sera Notre Petit Secret
| Part 40: Rich Kid Problems
| Part 41: Pretty Little Lies
| Part 42: All Of Us Is Lying
| Part 43: Extracurricular
| Part 44: His Annabelle
Part 46: Two Butterflies
Part 47: Melbourne (END)
Epilog
Hola at Me!
After Drunk Text

| Part 45: Ramen, Beer, and Deep Talk

21.8K 1.4K 2.3K
By Amandapcleo_

a/n: Happy reading dan tandai typo, yaa!! Istg, part ini lumayan intens. Jadi, pelan-pelan aja bacanya.

⚠️ TW | Adult language, alcohol, and kiss contact.

🦋🦋🦋

Hilton Hotels & Resorts , Jakarta
5 AM |

Ibu Kota mendung.

Buruk sekali. Bila sesuai dengan ramalan BMKG di bulan November, sebentar lagi pasti hujan deras.

Cello rasa supir Grab-car mana pun akan menganggap dirinya dan Sea adalah sepasang murid nakal yang suka bolos. Mengingat jika Cello dan Sea masih mengenakan seragam identitas Candrawana, tetapi tidak dengan tas sekolah.

Soalnya lupa dibawa.

Namun, tenang! Cello sudah meminta Aldan untuk membawa pulang tas miliknya dan Sea.

Omong-omong perjalanan dari makam Alyssa menuju tempat tinggal Sea, ternyata memakan banyak waktu. Terlebih lagi keduanya perlu mampir ke apotik untuk membeli obat pereda mual. Karenanya, Grab-car yang mereka tumpangi baru sampai di lokasi hotel setelah adzan magrib berkumandang.

"Tadi gue udah kabarin Gaska buat dateng, sebentar lagi pasti nyampe," ucap Cello setelah mengantar Sea sampai ke depan kamar bernomorkan 515.

"Thank you, Cell." Sea tersenyum tulus. "Btw, lo pulang nanti aja. Biar dianter Gaska."

Mendapati jika diluar sudah hujan deras, gadis itu tak mungkin tega melihat Cello pulang dengan transport online.

Well, mengingat bagaimana keadaan ekonomi Sea sekarang ini, biaya Grab-car ternyata cukup mahal. Dan sebanyak 10.000% Cello yang lokasi rumahnya masih jauh, pasti setuju dengan pendapatnya.

Sea mengeluarkan kartu akses dan membuka pintu kamar. Dengan canggung, gadis itu berdehem ke arah Cello.

"Mau masuk?"

Cello menggeleng. Memilih tetap di depan pintu. "Gue nunggu Gaska di sini."

"Okay."

Bersamaan dengan langkah Sea yang hendak masuk ke kamar, kedatangan mendadak Gaska langsung mencuri seluruh atensi milik Sea dan Cello.

Keduanya kompak mengerutkan dahi. Bukan apa-apa, pasalnya Gaska datang dalam keadaan basah kuyup. Oh! Jangan lupakan luka-luka di wajah tampan itu. Mirip korban tsunami.

Tanpa sadar alis Cello tertekuk.

"Gaska, kok baju lo..?" tanya Sea dengan suara menggantung.

"Hujannya deres banget dari Jalan Diponegoro. Ck! Tau gini gue pake mobil aja tadi," sesal Gaska yang datang-datang memberi keluhan seperti anak kecil.

Ajaibnya, ekspresi kesal di wajah Gaska langsung lenyap, begitu melihat Sea.

"Hey?"

Sea tersenyum gemas.

"Hey!"

"Gimana? Masih mual? Pusing?" Sambil meletakkan punggung tangan di kening Sea, Gaska tak bisa menahan diri untuk tidak menghujami Sea dengan tatapan khawatir.

"Kita ke dokter, ya? Gue pesenin taksi."

Sea langsung menggeleng. Tak lama ia mengangkat kantong plastik putih berlogokan apotek yang berisikan obat mualnya.

"Tadi udah dibeliin obat sama Cello."

Helaan nafas legah keluar dari bibir Gaska.

"Thank you, ya, Cell!" ucapnya kepada Cello yang sejak tadi diam memandangi wajahnya.

"Muka lo kenapa?"

Pertanyaan Cello itu langsung membuat Gaska dan Sea terkesiap. "Kena pukul."

"Sama siapa?" sahut Cello kelewat cepat.

"Bukan siapa-siapa. Kemarin malem waktu nganter barang ke Aldeoz, gue agak ada crash sama penjaganya"

Gaska menggaruk telinga kirinya tanpa sadar.

"Salah gue juga sebenernya, tapi gapapa. Aman! Udah diobatin sama Sea," lanjutnya.

Di sisi lain, kedua mata gelap dan tajam milik Cello yang semula memancarkan skeptisitas atas penjelasan Gaska, mulai mereda karena hal lain.

"Lo nggak masalah sama kerjaan pacar lo?"

Pertanyaan itu Cello lontarkan kepada Sea.

Melihat bagaimana Gaska bercerita secara gamblang perihal pengiriman barang di hadapan Sea, membuat Cello perlu memastikan satu hal.

"Masalah kenapa?" sahut Sea tak paham.

Cello mengedikkan bahu. "Karena dia hasilin duit dengan cara kotor."

"Sttt!! Cell... " tegur Gaska sambil menoleh was-was ke sekitar. Takut jika ada yang mendengar percakapan ambigu ketiganya.

"Gue cuma mastiin sesuatu. Setahu gue, cewek lo selalu bertingkah kayak Princess yang sempurna."

Dari Gaska, Cello beralih menatap kedua mata Sea.

"Hal kriminal kayak gini jelas nggak masuk di daftar hidupnya."

"Hamil di usia 17 tahun juga awalnya nggak masuk di daftar hidup gue," balas Sea lantas tersenyum getir. "Tapi lihat gue sekarang... "

" ...bukan hal baru kalau realita dalam hidup, nggak sejalan sama rencana, Cell."

"Gue udah nggak peduli duitnya dateng dari mana. Yang terpenting gue dan Gaska bisa secepatnya ke Aussie."

Hening sejenak.

"Nice! Pembahasan selesai," tukas Gaska menengahi.

Cowok itu lantas merangkul pundak Sea dan Cello untuk meruntuhkan atmosfer tak bersahabat di antara mereka. "Sekarang bisa kita masuk? Karena jujur badan gue mulai mati rasa gara-gara kedinginan."

Sea mengangguk setuju. Gadis itu juga perlu cepat-cepat meminum obat pereda kramnya.

Berbeda dengan respon Cello, setelah ia tanpa sengaja melihat ke arah arloji di pergelangan tangan Gaska. Dalam sekali lihat, Cello tahu bila sekarang sudah hampir jam 7 malam.

Huftt ... gawat! Ibu Cello bisa marah kalau putranya pulang terlambat.

"Gue pulang aja."

Baik Gaska mau pun Sea spontan menoleh, begitu Cello melerai rangkulan Gaska sebelum menarik satu langkah menjauh.

"Ibu gue pasti udah nyariin."

Gaska menggeleng tak setuju. "Di luar hujan deres banget, Cell. Gue bahkan nggak kaget kalau Jakarta bakal banjir lagi."

"Gue bisa naik taksi."

"Naik taksi itu mahal tarifnya," tambah Sea.

Cello mendesis geli menatap lovebird di depannya. "Gue punya duit."

"Yaudah okay," balas Gaska yang sebetulnya khawatir jika Cello pulang dengan cuaca ekstrim begini, tetapi gengsi jika harus menahan-nahan cowok itu. "Ati-ati, ya, Cell langsung kabarin kalau udah sampai rumah!"

"Sekali lagi makasih udah nolongin Sea."

Cello hanya mengangkat jempolnya, lalu memacu langkah untuk pergi dari sana.

Selepas kepergian Cello, Sea langsung menarik lengan Gaska untuk segera masuk ke kamar. Hal pertama yang gadis itu lakukan adalah menyiapkan baju ganti untuk Gaska.

"Gila! Gue rasanya mau mati seharian deket-deket sama Cello. Gue takut kalau tiba-tiba dia bahas soal duit."

"Tapi dia kelihatan santai banget. Gue rasa dia belum sadar kalau duitnya udah nggak ada di kotak sepatu," balas Gaska yang saat ini melepas sweater basahnya melewati kepala.

"Secepatnya lo harus balikin duit Cello." Sea berucap sembari memberi pakaian ganti kepada Gaska. "Besok, ya? Gue takut dia tahu."

"Mendadak aja hubungan gue sama Cello mulai membaik. Dia udah nggak dingin dan udah mau ngobrol sama gue, kayak dulu."

Gadis itu menunduk. "Gue cuma nggak mau kalau hubungan gue sama dia jadi buruk lagi," bisik Sea yang langsung mendapat anggukan oleh Gaska.

"Ini cuma salah gue, Se. Lo nggak bakal terlibat. Tapi... "

"Tapi apa?"

"Besok kalau gue pulang-pulang babak belur atau sekarat, langsung obatin gue, ya?"

Sea tak tahu harus tertawa atau menangis, jadi gadis itu memutuskan untuk memukul lengan Gaska.

"You stupid! But okay, I'm always here for you."

"Geez! You're too sweet to handle," gumam Gaska sambil menatap Sea dalam. "Jadi pengen peluk cium - peluk cium."

Gadis bermata abu-abu menawan itu spontan tertawa.

"Sini! Sini! Sini!" Sambut Sea sambil merentangkan kedua tangan.

Tak mengulur satu detik pun, Gaska mendekat untuk memeluk Sea. Memberi banyak kecupan manis di kedua pipi gadisnya. Mereka sama-sama tak ingin melepaskan, beruntungnya mereka ingat jika Sea harus cepat minum obat dan Gaska harus mengganti pakaian.

"Kiss me again later!" goda Sea sambil menggigit piercing di telinga kiri Gaska.

Gaska tersenyum.

Keduanya saling melerai jarak dan melakukan kegiatan masing-masing. Setidaknya hingga suara melengking milik Sea terdengar dari dalam dapur.

"Pacaaaar!!! Laper mau makan!"

Jika boleh berkomentar, seruan Sea barusan terdengar seperti rengekan.

Selesai berganti dengan pakaian kering, Gaska berjalan ke arah dapur. Di sana ia bisa menemukan Sea sudah duduk manis di kursi makan, sambil memegangi segelas air hangat.

"Mau makan," tukas Sea sambil mencebikkan bibir. "Pacar mau masakin aku, kan?"

Ah! Kalau ada maunya saja langsung bicara manis dan pakai Aku - Kamu. Gaska sampai sudah hafal.

"Mau makan apa, cantikku? Sayangku? Cintaku?"

Sea tak bisa menahan tawa gelinya ketika Gaska membalas perlakuan manjanya secara berlebihan. Bahkan, pacarnya itu bertanya sambil mengusap-usap kepala Sea.

"Ew, geli tahu!!"

"Yaudah. Tuan Putri Sea mau makan apa?" ulang Gaska mengganti kalimat di pertanyaannya.

"Hmmm .... hujan-hujan gini enaknya makan ramen."

Langsung saja Gaska memberikan hormat sebagai tanda patuh. "You'll get it in 15 minutes."

Lantasnya, dapur hanya didominasi oleh suara alat masak Gaska, celotehan yang dibagi dengan perdebatan, godaan, dan lelucon konyol milik mereka.

Sampai di menit ke delapan...

TING!

Bel pintu kamar Sea berbunyi. Membuat si pemilik kamar terpaksa meninggalkan zona nyamannya untuk membuka pintu.

Well ... tebak siapa yang kembali datang!

"Kenapa balik lagi?"

"Jalanan di luar banjir. Nggak ada taksi atau Grab-car yang dateng," jelas Cello dengan wajah menahan kesal.

Sambil terkekeh pelan, Sea membuka lebih lebar pintu kamarnya. Tak lama ia berseru ke arah dapur.

"GASKA!!! MASAK 1 BUNGKUS RAMEN LAGI, KITA KEDATANGAN TAMU!"

🦋🦋🦋

Tiga mangkuk ramen, dua botol cola, satu gelas air hangat, serta backsound dari series Gilmore Girls menemani Gaska, Sea, dan Cello hingga di penghujung malam.

Jakarta masih diguyur hujan. Baik Gaska maupun Cello sama-sama terjebak di kamar hotel Sea.

"Mampus! Bokap gue udah nelpon 29 kali."

"Ibu gue udah vid-call 30 kali."

Sea meringis ngeri.

"Well ... kalau mama gue nggak pernah telpon atau VC. Kayaknya dia nggak simpen nomor gue di HP-nya."

Gaska dan Cello kompak menatap Sea dengan tatapan tak enak.

"By the waaaaay... " Sea beranjak dari posisi duduknya yang berada di tengah Gaska dan Cello. "I wanna go sleep."

Sekarang sudah hampir jam 10 dan Sea sudah sangat mengantuk.

"Semoga hujannya cepet reda, biar kalian bisa pulang."

Setelah memberi ciuman di pipi Gaska, Sea berlalu ke kamarnya. "Good night, boys!"

Kemudian dapur hanya menyisakan presensi Gaska, Cello, dan bekas alat makan mereka.

"Dia pasti nggak pernah cuci piring," tebak Cello yang langsung mendapat anggukan dari Gaska.

"Selama ada gue, dia bahkan nggak perlu manggil housekeeping."

*Housekeeping adalah pekerja yang membersihkan dan merawat kamar hotel.

Cello sih nggak kaget mendengar pengakuan Gaska. Princess satu itu kan memang terbiasa manja dan suka memberi perintah, bahkan sejak kelas 6 SD.

Membantu Gaska membawa mangkuk, sumpit, dan gelas ke wastafel, Cello berdiam diri saat memperhatikan Gaska mencuci bekas alat makan mereka.

Menit berlalu. Sementara si pemilik kamar dipastikan sudah tertidur nyenyak, Gaska dan Cello justru bingung ingin melakukan apa. Parahnya, hujan belum menunjukkan tanda-tanda ingin reda.

Sejujurnya Cello dan Gaska bisa saja bermain game online seperti PUBG di ponsel masing-masing. Namun Cello dan Gaska sama-sama tak yakin, bila mereka bisa bermain game tanpa berisik atau meloloskan umpatan keras.

W0ops! Si putri tidur jelas tak akan mentoleransinya.

Berada di balkon kamar Sea, membuat Gaska dan Cello kompak memandangi langit gelap yang hujan tanpa adanya bintang dengan tatapan tak minat.

"Rokok?" tawar Gaska setelah kembali dari dalam kamar Sea.

Cello menggeleng. Sesuai dugaan Gaska. Fyi, cowok pendiam itu memang tidak merokok sama sekali.

Berbanding terbalik dengan Gaska yang sudah menyelipkan satu puntung rokok di antara bibirnya. Menyalakan pemantik api dan membakar ujung puntung rokok. Kedua mata Gaska spontan menyipit ketika mulai menghisap rokoknya.

Cowok itu seakan menikmati sensasi tembakau dan nikotin yang menabrak dinding kerongkongannya.

"Bosen!" keluh Gaska sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

Guess what? Cowok bermarga Domani itu mulai memikirkan banyak hal menyenangkan yang bisa dirinya lakukan bersama Cello.

"Mau minum beer nggak, Cell?"

Tawaran yang menyesatkan.

Sialannya, Cello tak bisa menyembunyikan kilat ketertarikan dari kedua mata gelapnya.

"Di sini?"

Gaska mengangguk dan menyeringai tipis. "Tapi jangan sampai ketahuan Sea," bisiknya pelan.

Satu anggukan.

Setelah mematikan puntung rokoknya yang masih panjang, Gaska tahu-tahu kembali masuk ke dalam. Berjalan dengan langkah hati-hati agar tak membangunkan Sea, menuju ke lemari pendingin dan kembali dengan beberapa kaleng beer.

Meletakkan semua minuman beralkohol itu di meja kecil balkon, Gaska pun membuka dua satu kaleng beer untuknya sendiri dan Cello.

Ditemani hembusan angin malam yang menerpa wajah keduanya, Gaska dan Cello duduk di bangku kecil di antara meja balkon, sambil bersandar pada tembok putih pada belakang mereka. Sedikit demi sedikit hanyut dalam keheningan dan larutan beer yang mulai membakar tenggorokan mereka.

"Gas?"

"Apa?"

"Ini kandungan alkoholnya berapa persen?"

"Nggak sampai 5%"

"Oh."

Hening kembali. Hanya terdapat suara gemericik curah hujan.

"Cell?"

"Hm?"

"Gue boleh tanya sesuatu?"

"Gak."

"Anjing!" Gaska sambil melirik kesal ke arah Cello. "Balikin beer gue!" guraunya seakan ingin merebut kembali minumannya. Namun, dengan cepat Cello bisa menghindar dan bahkan tersenyum tipis.

"Tanya apaan?"

"Lo bisa tahu cara jualan narkoba dari siapa?"
Pertanyaan itu mengalun dari bibir Gaska yang mulai pekat akan aroma alkohol.

"Bokap," jawab Cello begitu lugas, hingga membuat Gaska tersedak cairan beer.

"What the... ?!"

Cello tertawa geli melihat ekspresi terkejut Gaska saat ini. Kedua matanya melotot dan bibirnya terbuka seperti ikan koi.

"Muka lo tolol banget," komentar Cello yang langsung membuat Gaska mengontrol raut wajahnya.

"Sial!"

"Serius gue, Cell!"

Cello menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya. "Lo pikir jawaban gue candaan?"

"So-sorry, Cell ... gue nggak tahu dan nggak maksud buat bahas almarhum bokap lo."

Gaska langsung merasa tak enak dan mengutuk mulutnya sendiri. Cowok itu berpikir untuk diam dan lebih baik tak membuka obrolan, tetapi tanpa diduga Cello justru melanjutkan obrolan mereka.

"Bokap gue dulunya Letnan Kolonel sekaligus pecandu obat-obatan."

Seakan Cello ingin membagi cerita hidupnya kepada Gaska, bersama 4,8% kandungan alkohol di masing-masing tubuh mereka.

"Bokap selalu bangga sama lambang dua melati emas di bahunya. Dia dikenal sebagai pemimpin batalyon yang tegas, berprinsip, dan selalu siap mati buat lindungi negara."

Lalu dengusan lolos bersama tawa getir.

Hati Gaska remuk kala Cello berbisik, "Tapi sayang, Gas ... Letnan Kolonel hebat itu nggak tahu cara lindungi keluarga kecilnya sendiri."

"Lo tahu cara bokap gue lolos tes urine setiap ada pemeriksaan?"

Gaska menoleh ke arah Cello. Untuk sejenak, suaranya nyaris tidak keluar dari tenggorokan.

"Gue nggak tahu, Cell."

Menyematkan satu cengiran di sudut bibirnya, Cello melanjutkan ceritanya. "Selain pakai suap, bokap juga kadang minta gue atau Cassie buat kencing di cup―"

"God!" racau Gaska seakan tak sanggup mendengar lebih banyak.

"―urine anak usia 13 dan 11 tahun pasti lolos di tes narkotika."

Untuk pertama kalinya Darian Cello Rishandi berbicara kelewat banyak. Sekaligus memberi efek yang kelewat menyakitkan. Gaska menelan ludah, tiba-tiba ia kehilangan keberanian untuk memberikan sebuah respon.

"Omong-omong, gue sama Noah sering lihat bokap konsumsi narkoba kalau dia lagi ada cuti dan keadaan rumah lagi sepi. Ibu nggak pernah tahu, karena selalu nemenin Cassie les renang."

"Bokap pasti mikir kalau anak cowok sama keponakannya cuma tahu tiduran atau mainan PS kalau lagi di rumah... "

Cello masih bisa tertawa, sambil membuka kaleng beer keduanya. Namun, Gaska tahu jika Cello tengah mati-matian menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar.

" ...Waktu itu gue yang masih polos dan bego, sama sekali nggak tahu apa yang bokap lakuin. Untung Noah cukup pinter buat ngerti dan jelasin semuanya ke gue."

Tegukan terakhir dari beer kaleng ke dua Cello, sekaligus mengakhiri cerita cowok itu.

Gaska tertunduk.

Menyembunyikan kedua matanya yang berkaca-kaca. Cowok itu hanya mampu memandangi beer miliknya yang masih sisa setengah kaleng dengan tatapan kosong.

"I'm sorry for you, Cell."

Gaska tak berani menatap Cello. Karena hanya mendengar suara yang mengisyaratkan luka dan timbunan kesedihan mendalam, sudah membuat Gaska teringat akan kesalahannya kepada Cello.

Perihal uang. Gaska sadar itu kesalahan fatal dan sulit dimaafkan.

🦋🦋🦋

Pukul satu dini hari, ketika hujan sudah reda.

"Anjing, Cello!!!" geram Gaska dengan suara tertahan. Cowok itu resmi frustasi dan hanya mampu menjambak rambutnya sendiri.

Okay! Singkat cerita Gaska dan Cello deep talk hingga sama-sama setengah mabuk karena minum beer. Sementara salah satu masalah terbesarnya adalah ternyata Cello tak memiliki toleransi alkohol yang kuat dan berakhir teler.

"HUEK!!"

Oh, great! Sekarang Cello muntah di lantai kamar Sea.

Seakan kaleng-kaleng kosong dan pot pecah yang masih mengotori teras kamar Sea, tak cukup buruk untuk mereka berdua.

Gaska sampai membekap mulutnya sendiri dengan gerakan dramatis. "What the hell! "

Jika Sea sampai terbangun dan melihat semua kekacauan ini ... tawat riwayat Gaska!

"Cell, bangun! Jangan tiduran di sini!" Gaska perlu menampar pelan pipi Cello berkali-kali agar kesadaran cowok itu kembali.

Sialannya, setelah jatuh dan terperosok Cello justru tertawa-tawa, sebelum menangis, lalu meracau tentang anak ayam ayam, Kinderjoy, hingga latto-latto.

Beneran mabuk si batu nisan!

"Woi, Cell! Bangun!"

"Gue gak mau jadi latto-latto," rengek Cello dengan wajah memerah akibat pengaruh alkohol. "Hiks! Pengen jadi Kinderjoy aja."

"Sadar anjing! Latto-latto itu makanan apa? Lo juga nggak mungkin bisa jadi Kinderjoy, tolol"

"Cell, sumpah ya! Kalau Sea liat mati kita―"

Makian Gaska tertahan di udara begitu mendengar suara langkah kaki mendekat.

Serius! Ini mirip atmosphere di film horor atau pembunuhan. Gaska menelan ludahnya dengan susah payah. Apalagi tiba-tiba saja seluruh lampu di ruangan itu menyala.

Tak lama Sea muncul dengan baby doll imutnya.

"What the... "

Dengan wajah galak dan suara khas dari orang yang terpaksa bangun dari tidurnya, Sea menatap Gaska dan Cello dengan tatapan membunuh.

" ... fuck are you guys doing?!

Gaska hanya bisa memberikan satu cengiran. Ugh! Begitu tolol dan menyebalkan di mata Sea sekarang.

"Can you help me?"

Sambil memasang wajah fake innocent andalannya, Gaska mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. "Please, pacar... "

Pada akhirnya, sekali pun artinya Gaska harus menerima jeweran dan omelan tanpa henti―Sea bersedia membantu Gaska mengurus Cello dan segala kekacauan yang cowok itu sebabkan, karena dalam pengaruh alkohol.

Memutuskan untuk berbagi tugas. Sementara Gaska membersihkan muntahan Cello, Sea yang membersihkan bagian balkos yang tak kalah chaos.

*chaos artinya kacau.

"Kepikiran apa sih sampai ngajakin Cello minum?" Dari luar balkon Sea masih menggeram kesal.

"Maaf, aku kira dia nggak gampang teler. Orang sekali ditawarin beer langsung mau."

"Gimana nggak gampang teler? Cello itu nggak pernah minum alkohol. Dia punya asma, Gaska."

Huh, what?

Gaska maupun teman-temannya yang lain sama sekali tidak tahu itu.

"Aku nggak tahu. Maaf."

Gaska sungguhan pasrah menerima segala khotbah dari Sea yang tak kunjung berhenti.

Sekalipun begitu Sea benar-benar membantu Gaska dan tak membiatkan cowok itu kesusahan seorang diri. Setelah kamar itu kembali bersih, Sea langsung menyiapkan pakaian ganti milik Gaska untuk Cello pakai.

Sea melemparkannya ke arah Gaska, agar pacarnya itu yang menggantikan seragam Cello.

Oh! Kalian tak perlu khawatir soal Cello yang kemungkinan tengah cosplay menjadi latto-latto atau Kinderjoy, pasalnya cowok itu sudah tertidur pulas di atas kasur.

Baterai aktifnya sudah habis.

Harus Gaska dan Sea akui, jika Cello begitu cerewet saat sedang teler. Unexpected.

"Untung mulut dia nggak sampai keluar busa gara-gara ngomong terus," kekeh Gaska menatap Cello yang terlihat nyaman dengan posisi tidurnya.

Berbeda dengan Sea yang kesal karena rasa kantuknya mulai hilang dan tempat tidurnya yang resmi dijajah.

"Terus sekarang kita tidur di mana?" tanya Sea sebelum menguap.

Gaska menunjuk satu-satunya kasur di ruangan itu. "King size, kan? Bisa muat tiga orang."

"Hell? No!" Sea menggeleng keras. "Gue nggak mau tidur sama orang teler. Nggak ada yang tahu kalau tiba-tiba Cello kesurupan jadi latto-latto."

"Latto-latto itu apa sih?" tanya Gaska dengan wajah bingung.

"I don't know. Maybe sejenis serangga," tebak Sea asal.

"Ooh ... gue kira makanan," gumam Gaska pelan.

Sea mendesis. "You super stupid! Anyway, gue nggak mau tidur sama Cello. Dia jadi cerewet kalau mabuk."

"Cello udah tidur, Se. Dia nggak bakal bangun sampe pagi. Gue yang ditengah, okay?"

Dengan sangat terpaksa Sea mengangguk. "Okay."

Well ... mau tidur di mana lagi dirinya jika tidak mengalah untuk berbagi tempat tidur dengan Cello dan Gaska?

"Omong-omong mulut lo bau alkohol. Sebelum tidur sikat gigi dulu!"

Gaska mengerang kesal, tetapi tetap menuruti ucapan Sea dan berjalan ke kamar mandi untuk gosok gigi.

Dan malam itu Sea merelakan tempat tidur kesayangannya ditempati tiga orang. Baik dirinya dan Cello berada di masing-masing sisi kasur, sementara Gaska terlihat begitu tak keberatan untuk tidur di antara mereka.

"Geser ke sini biar nggak jatuh!" ucap Gaska sambil menarik pinggang Sea agar merapat kepada tubuhnya.

Gaska membisikkan, "Selamat tidur" di sisi wajah Sea. Alhasil gadis itu langsung memeluk perut Gaska dari samping. Posisi lengan Gaska kini sudah Sea jadikan bantal kepala.

Nyaman sekali...

"Let's stay like this until I fall asleep," gumam Sea sambil merapatkan tubuhnya kepada Gaska. Berharap mendapatkan lebih banyak kehangatan.

Tanpa memberikan respon berupa vokal, Gaska mulai mengelus tubuh Sea. Bukan tipikal belaian menggoda atau sejenisnya, ini hanya usapan sayang yang diharapkan bisa menenangkan Sea hingga gadis itu terlelap.

Kamar itu hening. Menyisakan nafas tenang milik Cello, Gaska, dan Sea yang bersahutan. Hingga suara serak Sea menyisir indra pendengaran Gaska.

"Nggak bisa tidur," keluh gadis itu mencebikkan bibirnya kesal.

Gaska tersenyum gemas. Cowok itu spontan menunduk untuk mencuri satu ciuman dari bibir Sea.

"Mau peluk cium - peluk cium lagi nggak?" Gaska berbisik di bawah nafas, sambil memainkan rambut coklat Sea.

Sea menggigit bibir bawahnya. Sejenak melihat ke arah Cello yang 104% masih terlelap.

"Takut kalau tiba-tiba Cello bangun," cicitnya.

"Nggak akan, Se. Percaya sama gue."

Kemudian dini hari terasa sangat panjang saat Gaska dan Sea berakhir dengan ciuman, sentuhan setengah telanjang, dan hilang kewarasan.

🦋🦋🦋

Cello terbangun dari tidurnya dengan keadaan kepala pusing dan mual hebat. Pagi itu kacau sekali, dirinya bangun pukul 7 yang berarti sudah pasti terlambat sekolah.

Soal Gaska dan Sea? Mereka masih tertidur lelap dengan posisi saling berpelukan.

Sebelumnya Cello yakin jika dirinya bukan berada di Las Vegas. Jadi, mendapati bagaimana dirinya tidur semalaman bersama Gaska dan Sea, ugh! Begitu menjijikkan. Cello mendadak merinding.

"Gas, bangun!" seru Cello sambil menendang pantat Gaska dari belakang. Cowok itu terus melakukannya sampai si empu menggeliat dan terbangun.

"Bangun! Anterin gue balik!"

Gaska yang nyawanya belum terkumpul sempurna justru tertawa melihat wajah Cello.

"Morning, Cell!"

"Morning mata lo! Cepetan bangun!"

Sumpah emosi banget Cello liatin Gaska yang masih santuy padahal sudah tak pulang rumah semalaman. Karena tak bisa berbohong, Cello takut diamuk oleh ibunya―Agnia, setelah ini.

Oh, tidak! Mungkin juga nama Cello akan dicoret dari KK.

"Sekarang jam berapa?" tanya Gaska sambil menguap lebar.

"Tujuh," jawab Cello tanpa beban.

Kedua mata langsung Gaska melotot sempurna.

"Mampus telat sekolah kita!" Setelah langsung membangunkan Sea yang masih tertidur pulas, Gaska dan Cello pun turun dari tempat tidur.

Ribut sendiri mencari kunci motor, sepatu dan seragam sekolah Cello, hingga kartu parkir hotel.

"Kenapa kalian nggak bangunin gue dari tadi, sih?" omel Sea yang sudah menarik handuk dan langsung berlari ke kamar mandi.

"Udah bagus gue bangunin!" desis Cello sambil menahan mual di perutnya. Efek alkohol benar-benar hebat.

Cello jadi berpikir untuk mencari obat mual milik Sea, yang semalam mereka beli dan meminumnya sebelum pulang ke rumah.

"Jangan galak-galak sama cewek gue!" tegur Gaska sambil memakai sepatunya yang sejujurnya masih basah karena tak di jemur semalam.

"Ayo, Cell! Minum di jalan aja!" Gaska buru-buru menarik lengan Cello yang sedang minum obat, agar cepat bergegas.

"Pulang dulu, Se!! I love you!!" teriak Gaska sebelum pergi.

"I love you too!!!" balas Sea dari dalam kamar mandi.

Woah! Benar-benar picisan.

Sejujurnya mau secepat apapun pergerakan Gaska, Cello, dan Sea untuk bersiap ke sekolah, pasti lah percuma. Mereka bertiga jelas terlambat, lantaran bel masuk sekolah berbunyi pukul 7:15 WIB.

Parahnya Jakarta selalu macet. Sisa banjir tadi malam pun masih ada di beberapa titik Ibu Kota, membuat beberapa akses jalan sengaja ditutup.

Anyway ... kembali lagi bersama spotlight Gaska, Sea, dan Cello yang baru menapakkan kaki di sekolah pukul 8 pagi!

"Terlambat lebih dari 45 menit? Nggak nanggung-nanggung ya kalian terlambatnya!"

Gaska dan Cello kompak menguap lebar, setelah mendengar khotbah dari Pak Amir yang masih berlangsung hingga menit ke 20.

Berbeda dengan Sea yang saat ini fokus menulis surat pernyataan terlambat sebanyak 10 halaman, yang Pak Amir tetapkan sebagai hukuman lagi ini.

"Itu yang di telinga kamu apa, Argaiska?" tanya penjaga pendisiplinan yang langsung membuat Gaska menyentuh piercing di telinga kirinya.

Cowok itu lupa melepasnya.

"Maaf pak." Tanpa perlu diminta, Gaska langsung melepas piercing dari telinganya.

Ruang pendisiplinan seakan hanya menyisakan tempat bagi tiga trouble maker itu.

"Kita nggak bakalan telat kalau aja lo nggak ngajakin gue mabok," desis Cello tak bisa menahan diri untuk tak menyalahkan Gaska.

Berjarak satu bangku dari posisinya, Sea pun ikut mengangguk dan menatap kesal ke arah Gaska. "Kita nggak bakalan telat kalau aja lo nggak ngajakin gue―"

Bisikan Sea langsung tertahan di udara.

Namun, seringai samar di wajah Gaska dan semburat merah di kedua pipi Sea membuat kedua alis Cello tertekuk. Menatap keduanya curiga.

"Ngajakin apaan?" tanya Cello yang membuat Gaska memainkan jarinya sebagai kode.

Dan tentunya otak Cello langsung paham.

"Najis lo berdua!" makinya sambil menggeplak kepala Gaska dengan buku tulis.

Sumpah! Bisa-bisanya mereka making out di sebelah Cello yang sedang tertidur pulas?

"Najis-najis gini semaleman lo peluk gue kenceng banget, Cell."

"Gak mungkin!"

"Beneran gue, Cell." Gaska sampai mengangkat tanda peace dengan jari telunjuk dan tengahnya sebagai sumpah.

Di sisi lainnya Sea memutar bola matanya. Anak cowok memang sangat berisik dan menyebalkan.

"Shut up, boys!" tegurnya ogah jika harus mendapat hukuman tambahan dari Pak Amir karena berisik.

Selesainya sesi hukuman. Sea adalah orang pertama yang meninggalkan ruang pendisiplinan dan kembali ke kelas.

Berbeda dengan Gaska dan Cello yang sengaja ke toilet cowok, biar sekalian bolos pelajaran terakhir di sesi pertama. Menunggu bel istirahat berbunyi 10 menit lagi, sambil bermain game online bersama.

Partner in crime! Keduanya sama-sama duduk di kloset dan fokus dengan karakter game di ponsel masing-masing.

"Kunci loker masih lo bawa, kan?" tanya Cello dari bilik toilet sebelah Gaska.

"Iya. Kenapa?"

"Nanti gue pinjem dulu buat taruh barang."

"Barang apa?"

"Barang apa lagi? Jualan kita lah," jawab Cello sambil terus menyerang karakter game yang Gaska mainkan. "Nanti gue kasih alamatnya ke lo kayak biasanya."

Lalu karakter game milik Gaska mati. Fokus Gaska langsung lenyap kala ia mengingat satu hal,

Uang milik Cello. Setelah menyiapkan keberanian untuk mengakui perbuatannya, Gaska memutuskan untuk mengembalikan semua uang Cello selepas pulang sekolah.

Dan untuk kunci loker, Gaska butuh karena akan ia gunakan untuk menyimpan uang Cello.

"Cell?" panggil Gaska pelan.

"Hm?"

"Nanti pulang sekolah gue perlu ngomong sesuatu."

Di bilik lain, Cello mengernyit. "Kenapa nggak sekarang?"

Karena Gaska masih sangat takut dan belum siap menghadapi respon Cello.

"Gapapa. Nanti pulang sekolah gue kabarin lagi." Gaska beranjak dari posisinya, keluar dari bilik toilet yang bersisian persis dari keberadaan Cello.

"Omong-omong, Cell... "

Saat ini Gaska berdiri di depan pintu bilik toilet, menghadap Cello dengan tatapan yang sulit diartikan.

"... kuncinya gue bawa dulu, ya? Nanti pulang sekolah gue kasih ke lo. Barangnya taruh di tas lo dulu sementara."

Satu anggukan dari Cello. "Oke." Membuktikan jika cowok itu sama sekali tak memiliki prasangka buruk kepada Gaska.

"Gue ke kelas duluan, Cell!" ucap Gaska setelah melihat jam di arlojinya. "3 menit lagi bel. Lo mending ke kelas juga."

Kemudian mereka berpencar menuju kelas masing-masing. Akan tetapi, tanpa Cello ketahui―Gaska justru bergegas ke lantai empat.

Tujuannya adalah loker nomor 031.

Koridor kelas 11 itu sepi, tak ada siapapun. Gaska seakan sudah memperhitungkan semuanya dengan sangat baik. Untuk terakhir kali, memastikan jika tak ada akan ada orang yang lewat di jam pelajaran aktif, Gaska pun membuka ransel sekolahnya.

Mengeluarkan sebuah kantung hitam berukuran sedang, berisi uang tunai sebanyak 135 juta di dalamnya. Mengamankan kantung tersebut ke dalam loker, Gaska buru-buru menutup dan mengunci loker.

Memastikan uang milik Cello aman, sebelum pemiliknya sebenarnya datang.

Selesai.

Gaska mencabut kunci loker bernomor 031. Menggenggamnya erat dengan tangan yang berkeringat. Dingin. Tak bisa ditepis, jantung cowok itu berdebar tak karu-karuan.

Bersama bel istirahat yang berbunyi sangat kencang, Gaska menutup mata. Dalam hati ia meramalkan pengakuan dosa dan memohon pengampunan dengan kedua telapak tangan disatukan.

"Allah ... please forgive me for my sins. Amen."

🦋🦋🦋

PART II

Konten photography di mading sekolah pada jam istirahat siang itu berhasil menarik atensi dari kebanyakan murid kelas 12.

"Gaska sama Sea putus?"

"Woah ... daebak! Cello hoki banget bisa dapet cewek spek model kayak Sea."

"Seriously? Gaska habis pacaran sama Sea, langsung gebet Agatha? Such a fuckboy!"

Gossip hanyalah gossip. Konten dari hak milik Leon memang selalu dinanti-nantikan. Sekalipun terkadang si nerd satu itu annoying karena tingkahnya yang mirip seorang penguntit. Namun sisi baiknya, jepretan Leon selalu menarik untuk dijadikan topik buah bibir.

Bisa dibilang Leon adalah Dispatch-nya SMA Candrawana.

Foto milik Agatha dan Gaska dengan preset b&w, disandingkan dengan potret dari Cello dan Sea yang tengah berada di parkiran sekolah.

Memang tak terdapat tulisan apapun yang bisa mengiring opini, tetapi banyak yang berspekulasi bila hubungan dari pasangan fenomenal di sekolah mereka―Argaiska Domani dan Sirena Raquelle Paradhipta telah berakhir

Di antara siswa-siswa Candrawana yang berkumpul di koridor kelas, Dariel Noah Abimana menjadi salah satunya. Cowok bermata ocean blue itu tengah dalam perjalanan menuju ke laboratorium, tetapi atensinya ditarik habis-habisan setelah melihat foto yang terpasang di mading sekolah.

Memandang potret yang mengabadikan kedekatan antara Cello dan Sea. Spontan Noah menyeringai picik.

Padahal jelas-jelas sebelum ini Cello meminta Noah untuk tak dekat-dekat dengan Sea. Memaksanya untuk berhenti memikirkan dan berurusan dengan mantan pacarnya itu.

Namun apa yang Noah dapati sekarang?

Ck! Sejak dulu sepupu tersayangnya memang begitu. Pembohong ulung.

"Son of bitch!" desis Noah begitu kasar lalu melanjutkan langkah menuju ke laboratorium.

🦋🦋🦋

Two Years Ago|

"Truth or Dare?"

"Truth."

Noah tersenyum kecil sebelum melempar sebuah pertanyaan. "Menurut lo kalau gue nembak Sea bakalan diterima nggak, ya?"

"Diterima," jawab Cello setelah lama diam. Sementara Noah langsung meninju udara dengan wajah opsimis.

Kemudian giliran Cello yang bertanya, "Truth or Dare?"

"Dare," jawab Noah sambil mengubah posisinya menjadi tiduran.

"Kalau lo bisa jadian masa Sea, jangan sampai buat dia nangis!"

Hening tercipta pada sekon selanjutnya, merayap pada sekitar meja belajar di kamar Noah.

"Truth or Dare?"

"Dare."

"Jangan pernah suka dan sayang ke Sea lebih dari sahabat, ya, Cell!" Noah menoleh kepada Cello dan menegaskan satu hal. "Dia punya gue."

🦋🦋🦋

Back On |

Demi mendapatkan ketenangan Sea perlu melarikan diri ke ruang penyiaran. Jauh dari gossip-gossip dan keingintahuan orang-orang yang bahkan tak mengenal baik dirinya.

Ini masih soal foto-foto di mading.

Omong kosong itu sungguh menggelikan. Entah apa yang Leon pikirkan saat menggunakan foto dirinya dan Cello sebagai bahan mading. Tanpa permisi pula!

Dipikir hubungan Sea dan Gaska bisa roboh hanya dengan foto amatir itu? Yeah ... orang-orang tak tahu bila 'cemburu' yang seperti itu bukan hal yang akan mereka ributkan.

Sangat membosankan! Sea dan Gaska lebih tertarik meributkan uang dan tiket ke Aussie.

"Dasar penguntit freak!" racau Sea yang sekarang ini diam dengan headphone yang membingkai kepalanya.

Ruang penyiaran selalu hening dan tenang. Sempurna. Seorang diri, sepi, dan kini sunyi. Setidaknya sampai seseorang datang dari balik pintu dan secara otomatis merusak atmosfer nyaman Sea.

"Oh, hai! Kak Sirena tumben main ke sini?"

Figur manis dengan bandana biru cerah di kepala itu mengukir senyuman paling ceria, ketika Sea menyambutnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Bukan tipikal tatapan yang ramah juga, sih. Namun Ansel Delia tetap mempertahankan senyuman manisnya.

"Permisi ya, kak. Aku mau ambil iPad yang ketinggalan," ucap Ansel yang membuat Sea memundurkan bangkunya.

"Maaf kalau ganggu. Kakak lanjutin aja kegiatan kakak, aku bakal langsung keluar―"

"Waktu itu emang lo, kan?" sela Sea memotong ucapan Ansel.

"Maksudnya?"

"Di club malam."

Ansel spontan tertawa. Namun jari-jarinya yang tengah memegang iPad kian mengerat tanpa sadar.

"Aku nggak pernah ke club malam. Kak Sirena pasti salah orang. Umur aku belum legal buat masuk ke tempat kayak gitu."

"Omong-omong ... Kakak ngapain ke club?"

Sea mengedikkan bahu. "Menurut lo ngapain?"

"Party sebelum ngadepin try-out?" tebak Ansel yang membuat kakak kelasnya itu menyeringai geli.

Ansel terdiam dengan canggung dibuatnya.

"Salah ya, kak?"

Sea menggeleng. "Bener kok. Gue party di sana sama cowok gue."

"Kak Cello, ya?"

"What? No." Sea buru-buru menggeleng. Sementara tanpa ia sadari, kedua mata Ansel yang berlapis softlens berwarna gelap mulai mengawasi gerak-gerik Sea.

"Aku kira kakak pacar Kak Cello. Banyak yang gossip gitu," gumam Ansel hati-hati.

Sea mendengus kecewa. "Orang-orang sama sekali nggak kritis sama berita yang masih berdasarkan sama 'katanya.'"

"Sebagai anak broadcast nggak seharusnya lo gampang percaya sama gossip."

Sea memandang Ansel sejenak. "Gossip cuma digagas sama orang-orang bodoh dan kurang kerjaan," tambahnya.

Ansel perlu memalingkan wajahnya ke arah lain, sebelum kembali melemparkan senyuman manis ke arah Sea.

"Aku perlu ke kelas, Kak. Boleh minta tolong buat gantiin aku sebagai narator broadcast hari ini, nggak?"

Sea mendengus. Ingin menolak, tetapi karena ia malas kembali ke kelas yang ramai jadi gadis itu mengangguk.

"Okay."

"Wah! Serius? Kakak baik, deh! Terima kasih. By the way, scriptnya ada di laci."

"Sekali lagi terima kasih. Maaf aku tinggal dulu ya, Kak Sirena!"

Dan kemudian gadis berbandana itu keluar dari ruang penyiaran, bersamaan dengan senyuman palsunya yang luntur. Jemari Ansel yang terkepal kuat.

"Gossip cuma digagas sama orang-orang bodoh dan kurang kerjaan."

Ansel mendesis pelan ketika kalimat itu terus mengitari kepalanya hingga rasanya ingin pecah.

Itu berarti seluruh penghuni Candrawana adalah orang bodoh dan kurang kerjaan. Mereka jelas tak tahu, bila gossip dapat dengan mudah menghancurkan kesehatan mental seseorang.

Karena tak memerlukan senjata api untuk merenggut hidup orang lain. Terkadang yang dibutuhkan hanya sedikit gossip miring, yang diakhiri dengan tindak bullying.

🦋🦋🦋

"Banyak ngomongin gosip, nyebar hoax, dan suka jelek-jelekin teman di belakang? Hmm ... enggak banget, deh! Tahu kan kalau itu bisa bikin teman risih dan terganggu?"

"Mendingan kita bikin aksi-aksi yang positif dan fun, kan? Di segmen broadcast Hate Speech: Antara kebebasan berbicara dan perundungan verbal ini aku bakal ngajak temen-temen untuk ramaikan Mention Confess Candrawana yang udah tersebar di base sekolah kita."

"Eitt!! Tapi ada rules yang bikin MENFESS kali ini beda dan lebih seru."

Si narator tertawa. Satu sekolah tahu jika suara khas itu milik Sirena Raquelle Paradhipta.

"Yups! Teman-teman hanya diperkenankan mengirimkan unek-unek positif kepada sesama teman, crush/ gebetan, guru, petugas kebersihan, hingga Pak Ahmad si penjaga sekolah."

"MENFESS akan ditutup sampai besok pukul 10 pagi. Dan akan kita baca bareng-bareng setelah jam makan siang. Okay?"

"Btw, aku punya satu lagu spesial untuk teman-teman semua. Now let's play Bahagia dari GAC."

Kemudian verse pertama yang diisi oleh vokal khas Gamaliél terdengar di penjuru sekolah.

Tak terkecuali ruang pendisiplinan. Di sana lah Ansel Delia rupanya berada. Menenteng iPad berwarna rose gold dan menyerahkan hasil survei online untuk bahan pembicaraan broadcasting minggu depan kepada Pak Daru.

"Berikut akumulasi berdasarkan survei anak kelas 12 tentang apa-apa saja yang menjadi kendala dalam pembelajaran di sekolah."

Pak Daru menerima tab yang Ansel berikan. Dan berikut listnya:

Bosan dengan Cara Guru Mengajar - 40%
Ponsel atau Gadget - 20%
Masalah Biaya Pendidikan - 17%
Suasana Terlalu Berisik - 13%
Kekurangan Bahan Belajar - 10%

"Kamu melakukan survei sejak kapan?" tanya guru berkacamata, dengan rambut yang sudah penuh dengan uban itu.

"Minggu lalu, Pak." Selain dengan survei berbasis online, saya juga melakukan pengamatan selama beberapa hari selepas murid kelas 12 selesai TO sesi pertama."

Pak Daru mengangguk kecil.

"Kerja bagus! Jadi kamu ingin menggunakan ini sebagai bahan siaran broadcasting sekolah kita?"

Ansel mengangguk semangat. "Iya, Pak."

"Saya berpikir jika dengan mengetahui akar permasalahan dari para siswa/i terlebih dahulu, maka mempermudah para staff dan karyawan Candrawana melakukan perombakan sistem dan peraturan agar pembelajaran di sekolah kita berjalan lebih baik."

Pak Daru tersenyum. Murid aktif seperti Ansel memang lebih mudah untuk disenangi oleh guru-guru.

"Apakah masih ada lagi yang perlu kita bahas?"

"Hmm ... sebenarnya ada satu hal, Pak."

"Apa itu?"

"Begini... "

Ansel menunjukkan satu hasil survei lagi dari tab miliknya. " ...terdapat topik cadangan yang sebelumnya menarik perhatian saya. Yaitu tentang apa-apa saja yang biasanya anak kelas 12 bawa ke sekolah, padahal sudah jelas melanggar peraturan."

Rokok/ Vape - 39%
Make Up - 25%
Gaming Handheld - 19%
Majalah Dewasa - 8%
Kondom - 7%
Narkoba - 2%

Hasilnya sungguh membuat Pak Daru tercengang. Guru senior yang sempat mengampu di mata pelajaran Agama Katolik itu kehilangan kata-katanya untuk sejenak.

"Kamu yakin ada murid Candrawana yang berani bawa barang-barang seperti ini, Ansel?"

Gadis berbandana itu mengangguk dengan wajah serius.

"Survei ini bisa saja salah, Pak Daru. Namun bukankah ada baiknya dilakukan pemeriksaan? Khususnya terhadap kelas 12 yang sebentar lagi menghadapi UN."

"Takutnya hal-hal negatif seperti itu bisa menghambat proses belajar mereka. Sampai ada bawa-bawa narkoba loh, Pak."

Ansel menjeda ucapannya sejenak.

"Alih-alih kenakalan biasa ... bukankah ini sudah termasuk dalam kriminalitas?"

Lalu berdirinya Pak Daru dari meja kerjanya membuat Ansel langsung terkesiap. Pria itu rupanya terpengaruh dengan segala asumsi yang Ansel lontarkan.

"Saya akan meminta setiap wali kelas melakukan operasi dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap para siswa/i."

Pak Daru menatap Ansel sejenak untuk memberikan satu penegasan. "Jangan bocorkan ini ke teman-teman kamu! Bisa terjadi kecurangan dan akal-akalan siswa/i untuk menyembunyikan barang mereka nantinya."

Ansel pun mengangguk patuh.

"Terima kasih untuk survei yang kamu lakukan ini. Sekarang silakan kembali ke kelas!"

Dan dengan begitu, setelah mengambil kembali iPad miliknya Ansel pun keluar dari ruang pendisiplinan.

Gadis manis itu diam-diam tersenyum. Begitu penuh arti. Ah ... akhirnya! Satu per satu rencananya berjalan dengan sangat baik.

"Sebentar lagi, kak... "

Ansel bergumam pelan sambil mendongak dan menatap kosong langit cerah siang itu.

" ...sebentar lagi aku tahu siapa orang yang buat kakak menderita karena obat-obatan sialan itu!"

🦋🦋🦋

SMA Candrawana terasa tenang dan kondusif pada empat pertama pelajaran sekolah. Akan tetapi, kedatangan para wali kelas yang melakukan pemeriksaan secara mendadak mengacaukan segalanya.

Padahal sebelumnya pihak sekolah tak pernah bertindak seperti ini.

Ketakutan tentu dirasakan oleh murid-murid nakal yang kebanyakan menyimpan rokok, alat game, dan majalah-majalah dewasa di tas dan loker mereka.

Ah! Sekali pun survei dan penggeledahan ini termasuk dalam rencana Ansel, gadis itu sama sekali tak mengada-ngada perihal hasilnya.

Candrawana memang didominasi oleh anak-anak borjuis dan berprestasi. Namun, di sisi lain juga menampung anak-anak manja dan tak tahu aturan yang hanya ingin bersenang-senang di sekolah. Tapi bukannya murid rebel selalu ada di setiap sekolah, ya?

Sementara bagi pemeran utama kita―Argaiska Domani, pemeriksaan seperti ini bukan hal yang membuatnya cemas. Sekali pun cowok itu menyimpan rokok dan pemantik api di dalam tasnya.

Namun, sesuatu yang Gaska khawatirkan saat dilakukan pemeriksaan adalah Darian Cello Rishandi.

Cowok itu masih menyimpan narkoba di dalam tas sekolah. Ingat?

Ini jelas gawat! Gaska tak bisa tenang dan gusar saat memikirkannya. Terlebih ia tak bisa memberitahu Cello soal pemeriksaan atau sekedar menanyakan keadaannya, lantaran semua ponsel dan alat elektronik siswa juga diamankan.

"Bagi kalian yang tasnya sudah diperiksa silakan tunggu di luar! Jangan berkeliaran ke mana-mana! Awas saja kalau ada yang kabur, saya tidak segan-segan memberi hukuman berat!"

Kecaman dari Miss Sonia membuat seluruh murid 12A menunduk ketakutan. Mereka menurut dan berbaris rapi di depan kelas, tetapi tidak dengan Gaska. Cowok itu sudah tak peduli apapun selain dengan kabar Cello.

Karenanya, begitu diizinkan keluar Gaska langsung berlari menuju ke kelas 12C.

"SEMUA KELUAR DARI KELAS KECUALI CELLO!!" Seruan dari Pak Handoko dari dalam kelas 12A pun sampai terdengar memenuhi lorong. Amukannya mulai menakuti semua murid, sampai keluar dan menurut.

Sementara itu, waktu seolah berhenti berputar dalam pijakan Gaska. Telinganya mulai berdengung hebat mendengar bisikan-bisikan dari seluruh murid kelas 12A yang sudah bergerombol di lorong.

"Anjing! Emang yang diem-diem kayak Cello gitu selalu menghanyutkan."

"Gue kira majalah gue paling parah, ternyata Cello lebih rusak!"

"Itu tadi apa sih? Masa beneran narkoba? Kalau iya kacau, sih! Gila banget."

Gemuruh kekhawatiran, serta rasa bersalah semakin memenuhi rongga dada Gaska hingga sesak.

Cowok itu ketakutan dengan tubuh menegang.

Menerobos kerumunan―Gaska memberanikan diri mengambil langkah lebar dan menghampiri Cello di dalam kelasnya.

Akan tetapi, langkahnya langsung berhenti begitu melihat Cello sudah diseret keluar dengan gerakan kasar oleh Pak Handoko. Ekspresi kecewa dan tak menyangka dari guru yang dikenal killer itu langsung menakuti semua orang.

Cello jelas dalam masalah besar.

Dan ketika tatapan gelap milik Cello menangkap keberadaan Gaska yang bergeming dalam jarak dua meter darinya, cowok dengan seragam tanpa badge itu memberontak hingga cekalan Pak Handoko di lengannya terlepas.

Detik selanjutnya layaknya terpaan angin...

"AAAAA!!!"

Semua orang terkejut dan memekik histeris begitu Cello berlari ke arah Gaska dan menerjang cowok itu―menonjoknya keras di rahang hingga membuat pijakan keduanya terhuyung dan jatuh ke lantai.

Kedua mata berkaca-kaca milik Cello tertuju pada Gaska, yang masih begitu shock dengan serangan mendadak itu.

"C-Cell... "

Suara ketakutan Gaska itu kian membuat Cello meraih kerah seragam Gaska dan mencengkramnya kuat. Memberi cekikan seakan tak peduli jika temannya itu berakhir dengan kehabisan nafas. Sorot mata gelap Cello penuh akan dendam dan kebencian.

"ANJING! LO SENGAJA JEBAK GUE?" teriak Cello dengan bibir bergetar dan menahan tangis.

Gaska menggeleng dengan wajah memerah. Nyaris sekarat jika saja Pak Handoko tak mendekat dan menarik Cello dari tubuh Gaska yang masih terkapar di lantai koridor.

Begitu cekikan Cello lepas, Gaska terbatuk-batuk. Ritme nafasnya menggila, sampai ia bisa mendengar degupan jantungnya sendiri.

Seiring dengan amukan Cello yang masih terdengar mengumpati dirinya bajingan dan pengkhianat dari ujung lorong kelas―nafas Gaska terasa melemah, sebelum tak lama ia kehilangan kesadaran dan pingsan.

-TBC🦋

/fun-fact:

So ... alasan mengapa Cello nggak pernah pasang badge di seragam sekolahnya, adalah karena dia nggak mau berurusan dengan segala bentuk badge; lencana atau tanda pangkat. Cello menolak punya sesuatu yang pernah Sang Ayah agung-agungkan selama masih hidup.

/fyi:

1. Dalam bayangan Cello, alasan Gaska dan Sea pergi ke Aussie adalah untuk merawat si baby dan melanjutkan kuliah mereka. Cello sama sekali nggak tahu kalau mereka justru berniat gugurin kandungan, makanya dia dukung keputusan Gaska dan Sea untuk pergi ke Aussie.

2. Perihal Cello yang nggak sadar uangnya hilang cz dia bukan tipe orang yang suka check sesuatu secara berkala. Jadi, karena tumpukan kardus bekas sepatu di kamarnya masih 'berada di tempat semula," Cello berpikir kalau semua uangnya masih aman.

Toh! Nggak ada yang tahu soal uang-uang itu termasuk ibu dan saudara perempuannya, Cassie.

3. Perihal balas dendam Ansel Delia. Sejak awal gadis itu nggak peduli soal penyebaran video kakaknya. Ansel justru fokus memburu pelaku yang membuat kakaknya kecanduan obat-obatan. Dia rela kerja di club malam, jadi mata-mata sekolah, dan memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota inti broadcasting sekolah untuk menjalankan rencana rahasianya.

Yeah ... sayangnya, Ansel Delia tak tahu jika sudah salah sasaran.

•••

6.876 kata.

NEXT for our last part + Epilog 😋✨
Siap-siap say goodbye 👋🏻

Kasih aku 2.000 komentar!!
Spam 🦋 di sini >>>

Selalu promosi/ rekomendasikan cerita ini ke media sosial & teman-teman kalian yang suka baca wattpad, dongsss!! <3

(Menerima segala bentuk kritik, saran, dan masukan yg sesuai standard) 💌

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 31.5K 29
(โš ๏ธ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”žโš ๏ธ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] โ€ขโ€ขโ€ขโ€ข punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
3M 258K 69
TELAH DIBUKUKAN "Ini perasaan gue yang pacarnya, kenapa berasa jadi selingkuhan dah?" -Obelia Andara (End) Published on 18-11-2021 End on 04-07-2022 ...
2.5K 237 22
Aquila terjebak di antara dua orang laki-laki yang membutuhkannya, satu di antara mereka adalah orang yang pernah begitu dicintainya namun menjadi or...
174K 10.6K 49
[BEBERAPA PART DI PRIVATE ACAK, FOLLOW UNTUK MEMBACA] Biarlah kita menjadi kenangan. Kenangan yg selalu tersimpan rapat di dalam hati. Terima kasih s...