NAVILLERA [SELESAI]

By Amandapcleo_

2.4M 153K 110K

Parallel Universe dari Falling For A Gangsta | ๐——๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ๐˜ ๐—ฑ๐—ถ๐—ฏ๐—ฎ๐—ฐ๐—ฎ ๐˜๐—ฒ๐—ฟ๐—ฝ๐—ถ๐˜€๐—ฎ๐—ต Ini bukan cerita dala... More

Navillera
Prolog
|Part 1: Big Enemy
|Part 2: Marked
|Part 3: Gossip & Manipulative Girl
| Part 4: Two Sociopath
| Part 5: Deal With The Devil
| Part 6: Frenemy
| Part 7: Mr. & Mrs. Possessive
| Part 8: Be Your 911
| Part 9: Illegal Things
| Part 10: Before They Break Up
| Part 11: Pretty Karma
| Part 12: The Planning
| Part 13: Puppy Kiss
| Part 14: Into the 54
| Part 15: Video Call Date
| Part 16: ๐ƒ&๐‚elatti
| Part 17: Kill Me Heal Me
| Part 18: Once Upon a Time
| Part 19: Lighter & Candy Birthday
| Part 20: Favorite Crime
| Part 21: His Character
| Part 22: Masquerade Ball
| Part 23: Domino Effect
| Part 24: All She Want
| Part 25: The Clouds in His Room
| Part 26: Type of Relationship-Toxic
| Part 27: Drama Queen
| Part 28: Love Her More Than Ever
| Part 29: Body Talk
| Part 30: Tattoo, Butterflies, and Hickey
| Part 31: Speeds 210 mph
| Part 32: Mistake Like You
| Part 33: How To Get Money?
INFO PENTINGโ€ผ๏ธ
| Part 34: Seven Sins Above The Sky
| Part 36: Clyde & Bonnie (49 Days)
| Part 37: The Devil's Hours (49 Days)
| Part 38: My Ride Or Die
| Part 39: Ce Sera Notre Petit Secret
| Part 40: Rich Kid Problems
| Part 41: Pretty Little Lies
| Part 42: All Of Us Is Lying
| Part 43: Extracurricular
| Part 44: His Annabelle
| Part 45: Ramen, Beer, and Deep Talk
Part 46: Two Butterflies
Part 47: Melbourne (END)
Epilog
Hola at Me!
After Drunk Text

| Part 35: Hi, Backstabber!

29.3K 1.8K 1K
By Amandapcleo_

a/n: Gaska & Sea in your areaaa!! Akhirnya setelah 2 minggu lebih, sorry karena baru bisa update. Buat yang lupa alur tolong baca part sebelumnya dulu, yaa <3

• Absen dulu pakai emoji 🦋 >>>

Baca ini sebentar, buat meluruskan beberapa hal!

Buat yang tanya apa cond*m ada sizenya, jawabannya YES! Ada tiga ukuran, kalian bisa search di google/ siri.

Faktor paling besar yang menyebabkan cond*m sobek/ rusak, karena ukurannya nggak pas atau cara pakainya salah. Jadi, please ... jangan beranggapan Gaska brutal.

*nangis bacain komen kalian :)

Finally! Someone's get the point. Dan terima kasih banyak untuk apresiasinya.

Aku sengaja kasih kesan 'polos' & 'bodoh' pada karakter sekaligus tindakan Gaska di dua part terakhir. Walau dia nakal setengah brengsek, aku menceritakan dia sebagai remaja yang belum pernah ada pengalaman dalam berhubungan sexual. Gaska bahkan belum pernah pacaran. Jadi, ketika dia melakukan HS untuk pertama kali, nggak menutup kemungkinan terjadi kesalahan.

Agar lebih realistis, sih! Hehehe...

Jangan lupa ramaikan VOTE & KOMENTAR di setiap linenya. Tolong tandai typo & happy reading 😋💗

🦋🦋🦋

Jerico Eros Netorio alias Rico. Menyambut kedatangan tamu tak di undang, bernama Argaiska Domani di pukul 4 pagi dengan wajah ogah-ogahan.

"Ada apa gerangan anda datang ke istana saya?"

Belum sempat Gaska menggubris, tiba-tiba saja Aldan menyela dengan nyolot.

"Istana saya your eyes!"

"Pepatah pernah berkata, rumahku adalah istanaku, Dan."

"Tapi ini rumah gue. Artinya ya istana gue, jancok. Jangan ngaku-ngaku lo!" sahut Aldan dengan wajah masam.

"Halah! Cuma minta rumah aja nggak boleh, ternyata lo temen fake." Rico mamandang kecewa pada sahabatnya. "Cukup tau."

Dih? Rizky Febian kali ah.

Dengan raut kekesalan yang masih sama, Aldan tanpa sengaja melirik pada Cello yang sejak tadi rebahan di sofa kamarnya. Seperti biasa, asik sendiri sama HP-nya.

Emang tumben si batu nisan mau diajak ngumpul, aroma-aromanya sih Cello punya niat busuk. Yups! Biar doi dapet wifi gratis di rumah Aldan.

"Jancok ini orang! Ke sini cuma buat numpang wifi, lo pikir ini warnet?" julid Aldan yang sama sekali tak digubris oleh Cello.

Beda lagi sama Gaska yang reflek kasih komentar, "Dasar miskin!"

"Dan! Lo nggak mau masak? Gue laper mau sarapan," adu Dirga yang datang dari arah dapur. Habis nyari makanan, tapi yang ia temukan hanya mentahan sayur dan daging di kulkas.

"Lo pikir rumah gue warteg?"

"Eitt!! Jangan emosi! Harusnya lo inget, kalau tamu adalah raja," sela Rico sok bijak.

Dirga memberikan jempol. "Betul-betul-betul.
Kita ini RAJA! R-A-J-A."

"R-A-J-U kali? Noh! Muka lo pada mirip sapinya Raju," cibir Aldan yang membuat Dirga mendengus.

"Mulut monyet emang busuk!" komentar Rico sebelum menoleh kepada Gaska yang sudah mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Bicara-bicara ... lo habis dari mana jam segini?"

"Tempat Sea."

Huft! Udah nggak pada kaget sih. Soalnya, belakangan ini Gaska kalau di ajak kumpul atau nongkrong bareng alasannya pasti ada janji sama Sea. Kayak tadi habis sekolah, ketika Aldan mengajak Gaska datang di rumahnya untuk main PS seperti dulu. Mumpung orang rumah lagi ke Surabaya, kan?

Sayang, ajakan Aldan itu Gaska tolak. Sahabatnya itu selalu berkata, "Sorry! Gue ada janji sama Sea."

Entah bagaimana, sejak Gaska dekat dengan super model itu, Gaska sudah tidak ada waktu untuk orang lain. Tak terkecuali sahabat-sahabatnya sendiri.

"Ini orang najis banget, sumpah! Kalo susah dateng ke kita, giliran lagi hiha-hihi bareng si Sea."

Itu suara Dirga, yang langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aldan.

"Gaska memang jancok," decak Aldan dengan wajah julid.

Si kapten basket lalu terkekeh sambil mengangkat tosnya kepada Aldan.

Di sisi lain, Gaska hanya tersenyum. Menganggap itu lelucon, walau yeah! Tidak ada yang salah dengan ucapan kedua sahabatnya.

Setidaknya sampai Rico mencolek dagunya. Gaska spontan terperanjat. "Heh, bon cabe! bicara-bicara... "

"... hubungan lo sama Sea apaan? Cuma TTM kan, pasti? Kenapa sampe setiap hari harus ke tempat Sea?"

"Hooh! Bucin banget, anjir! Gue sama Tessa nggak sampe segitunya," komentar si kapten basket. Ikutan julid kayak Aldan.

Bukan apa-apa, masalahnya Dirga ini tidak terlalu suka dengan gadis berperilaku minus seperti Sea. Dirga merasa jika Sea punya kepribadian yang sama dengan karakter jahat di sinetron azab Indosiar favorite ibunya.

Sementara itu, Gaska menyeringai. "TTM itu teman tapi mesra?" tebaknya.

"Yaiya, lah! Masa teman tapi mphhhhh... " desah Rico tanpa nalar.

"HAHAHAHAHA!!!"

Semua orang langsung tertawa heboh. Apa lagi si Dirga--sampai nabokin Cello yang masih main game tebak gambar. Untung aja Cello lagi mager nampol orang.

"XIXIXI ... NGAKAK ABIEZZ!!!"

"Dir, jijik! Ketawa lo kondisiin bisa? Kalo RT gue ngira rumah gue pelihara mbak kunti gimana?" omel Aldan pada Dirga yang bahkan membuat Cello tertawa walau hanya sebentar.

"Kurang ajar! Suara ketawa gue ini berkelas, Isyana Saraswati aja tutor nyanyi sama gue."

"Gaya lo Isyana Saraswati! Lo cocoknya ikut youtube-nya Risa Saraswati. Gantiin backsound kuntilanak, noh!"

"HAHAHAHA ... Perut gue kram!!!" Rico semakin tertawa puas di tempatnya. Bahkan sudut matanya hampir mengeluarkan air mata.

Ruangan itu terdengar sangat gaduh ketika Dirga mulai melempari bantal sofa ke arah Aldan. Keributan itu sudah menjadi hal yang biasa, tapi sudah jarang Gaska temukan.

"Mending yang jelek ketawanya. Daripada yang jelek akhlaknya, kayak lo! Pantes nggak keterima OSIS, wlee!!" ejek Dirga.

"Bales Dan! Bales!" Kompor Gaska mulai beraksi. Sesaat berhasil membuat Aldan terpancing sampai menunjuk wajah Dirga dengan sorot mata berapi-api.

Asik ... Ada tontonan gratis!

Namun, belum sempat Aldan membalas, sebuah suara terdengar di antara mereka terdengar sangat menonjol dan asing.

Mereka saling melempar tatap. Speechless.

"Wow ... Cell?"

Mereka hampir tepuk tangan.

"L-lo ketawa?"

Dalam sekejap, Cello menghentikan tawanya.

"Gak," sahutnya tanpa ekspresi.

"Coba ketawa lagi, Cell! Gu-gue mau denger suara mahal lo."

Rico masih membekap mulutnya sendiri, kedua matanya berkaca-kaca. Ceritanya sih lagi terharu, tapi yang ada bikin Gaska pengen nonjok muka Rico.

"Muka lo jelek banget, anjing!" bisik Gaska nggak tau situasi.

Dan detik selanjutnya, ruangan itu kembali penuh dengan gelak tawa dengan ekspresi masam Rico. Entah apa yang lucu. Tapi nyatanya di beberapa kesempatan, alasan untuk tertawa sangatlah sederhana.

Seperti sekarang ini.

Rico sudah siap membantai Gaska dengan jambakan, tetapi dengan gesit---sahabatnya itu menghindar. "Lo berani jambak, nggak gue masakin."

Ah! Ancaman klasik yang sudah lama tidak Gaska gunakan.

Fakta jika Gaska adalah satu-satunya orang yang sialan pandai memasak di antara mereka ... jadi kalau lagi nongkrong gini doi suka jadi juru masak. Pangkat tertinggi, soalnya dengan kemampuannya itu Gaska suka main ancam-ancaman.

Nggak jarang, Rico sama Aldan berakhir memijat punggung cowok itu setelah mereka makan.

"Ini orang nalarnya macam babi! Dateng-dateng udah ngancem," sinis Rico tapi pada akhirnya nurut juga.

"Nggak terima? Sini adu tinju!"

"Ampun bang jago!"

Rico doang emang yang berani begitu sama Gaska. Mana si Bon Cabe malah ikut ketawa.

"Lo pada mau makan apaan?"

"Sup ayam."

"Soto."

"Sate."

"Gue mau makan bubur ayam, tapi tanpa ayam. Soalnya gigi gue lagi sakit. Jadi ayamnya ganti toping aja, terserah apaan."

Ribet! Jelas itu punya Rico.

"Oh! Gue juga mau nambah mie burung dara."

"SATU AJA, ANJING!" bentak Gaska yang membuat keempat manusia lain di ruang tamu rumah Aldan terpejarat.

Duh! Sukma reognya si Gaska langsung keluar.

"Jangan galak-galak, Oppa Gaska! Tuh, adek Cello jadi takut, kan?" Rico yang membuat si batu nisan yang dari tadi diam kini menoleh tak terima.

"Kenapa gue?"

"HAHAHA!! Adek Cello."

"Kiw! Adek Cello."

Ada satu fakta ... di antara mereka berlima, Cello itu yang paling muda.

Sementara Gaska sudah menuju ke dapur---di ruang tengah, Dirga, Aldan, serta Rico masih cekikikan dan menggoda Cello yang mulai kesal. Wajahnya sampai memerah, begitu lucu di mata ketiga sahabatnya.

"Adek Cello kelas berapa?"

" ... "

Aldan mentoel-toel pipi Cello bruntal. "Woy, dek! Bisu, ya?"

Makin menjadi-jadi mereka.

"Stress!" Satu desisan milik Cello itu akhirnya meledakkan tawa Dirga, Aldan, serta Rico.

Heboh banget mereka bertiga, nggak jelas emang! Alhasil, Cello memilih menyusul Gaska di dapur.

"Nggak usah ketawa!" peringat Cello kepada Gaska yang tentu saja bisa mendengar ejekan ketiga sekawan di ruang tengah.

"Masih kecil nggak usah ngatur, dek!"

Sumpah! Benci banget Cello kalau digituin.

"Tua bangka lo semua!" balas Cello sambil membantu Gaska mengupas kulit kentang. Mendengar itu, cowok bermarga Domani itu hanya tertawa singkat.

Keheningan lantas menyergapi dapur rumah Aldan. Begitu sampai netra hitam gelap milik Cello berotasi ke samping---tanpa sengaja menangkap bekas luka di lengan Gaska. Karena Gaska mengenakan jersey basket, terlalu mudah bagi Cello melihatnya.

Pun terlalu mudah dikenali, lantaran bekas luka itu hasil karya Cello sendiri. Ingat kejadian di lapangan, saat Cello membela sepupunya, Noah?

"Sorry."

Gaska menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Soal?"

Cello menunjuk bekas luka di lengan Gaska dengan dagu.

"Ohh... " sahut Gaska sambil mengangguk samar. "Santai! Kapan-kapan gue pasti bales lebih parah."

Candaan itu menghantarkan tawa ringan diantara keduanya. Masih dengan Cello yang mengupas sayuran dan Gaska yang memotong.

"Lo sama Sea ... gimana?"

Ada jeda singkat, sebelum Gaska sanggup membuka suara dan menjawab pertanyaan Cello.

"Baik."

Cowok bermata coklat itu kini memasukkan semua sayuran ke dalam didihan kaldu. "Kita berdua baik-baik aja."

Satu kebohongan yang terlalu mudah terendus. Cello tersenyum samar diam-diam. "Sea kacau, kan?"

Kebisuan Gaska kini membuat Cello menoleh dengan kilat kemenangan.

"Gue dulu udah peringatin kalau-"

"Kita baik-baik aja, Cell." Gaska mencoba tersenyum jenaka. "Jangan sok paling tau soal hidup Sea. Lo bukan siapa-siapanya lagi, kan?"

Satu anggukan.

"Tapi gue sahabat lo."

Gaska menyeringai kecil. Mirip sebuah ejekan. "Emang masih?"

Cello mengedikkan bahu. "Kalau lo mau."

Satu-satunya suara yang tersisa setelahnya adalah gelak tawa keduanya. Gaska dan Cello kembali melanjutkan kegiatan memasak mereka.

"Gas?" panggil Cello setelah soup mereka jadi.

"Oy?"

Yang dipanggil tengah sibuk menyiapkan piring dan sendok.

"Gue mau lo pastiin satu hal soal hubungan lo sama Sea."

Gaska mengernyit saat Cello tiba-tiba menatapnya dengan sorot cukup serius di balik netra gelap dan pekatnya.

"Apa?"

"Kalau lo nggak mau hancur ... harus lo yang selalu pegang kendali. Jangan mau dikontrol Sea!"

Pikiran Gaska nyaris dibuat uring-uringan dengan perkataan Cello barusan, jika saja Rico tak datang secara mendadak.

"WOY, SHOLAT!"

Cowok dengan kalung salib di leher itu tiba-tiba menarik telinga Gaska dan Cello, sampai keduanya berteriak sakit setengah kaget.

"Dipanggil dari tadi kagak nyaut! Ngerumpi ya lo berdua?"

"Aw, fuck!"

"Lepasin dulu, anjing! Sakiiiit."

"Sholat subuh dulu lo berdua!" herdik Rico, sama sekali tak menghiraukan fakta jika telinga Gaska dan Cello kini memerah karena ulahnya.

"Iya, bentar."

"Nanti."

Mereka menyahut bersamaan.

Rico menggeleng kecil. "Ibadah jangan ditunda-tunda! Oksigen lo berdua ditunda-tunda Tuhan emang mau?"

Ketika anak pendeta kebanggan SMA Candrawana mulai berceramah ... dua pendosa macam Gaska dan Cello pun tak sanggup membantah. Keduanya kini berakhir mengambil air wudhu bersama Dirga dan Aldan.

"Shtt ... Dan!" bisik Gaska diam-diam memanggil nama Aldan.

Casanova asal Surabaya itu kini mendekati Gaska dengan wajah, rambut, kedua tangan, dan kakinya yang sudah basah dengan air wudhu.

"Apaan?"

"Orang kalau habis ngelakuin dosa besar banget, boleh sholat?"

Tak ada yang tahu seserius apa Gaska saat menanyakan hal itu.

"Emang lo habis ngapain? Mabuk lagi?"

Dengan asal saja Gaska mengangguk untuk berbohong. "Yoi! Habis mabuk."

Aldan berdecak. "Katanya, sholat orang habis mabuk bakal di banned 40 malam. Tapi sholat aja! Dari pada kagak nanti dosa lo nambah. Banyak-banyak minta ampunan aja, Allah itu pemaaf."

Selepas Aldan berlalu dari hadapan Gaska, Cowok bermarga Domani itu merenungkan banyak hal. Kosong dan hampa, tipikal perasaan buruk yang menghantui manusia selepas mereka menyadari telah melakukan kesalahan.

🦋🦋🦋

Masih perihal perasaan buruk yang menghantui manusia selepas mereka menyadari telah melakukan kesalahan.

Hampa dan juga kosong.

Darian Cello Rishandi terlalu menghafal, ralat! Terlalu mengenal, bahkan telah berteman baik dengan segala perasaan buruk setiap kali ia memutuskan menukar racikan bubuk senyawa sintesis dengan sejumlah nominal uang.

Setelah izin kepada sahabat-sahabatnya dengan alasan harus mengantarkan adiknya, Cassie, berangkat sekolah. Cello kembali berakhir di lingkaran setan buatannya.

"5 juta per gram."

"Ck! Bokek gue, bang. Belum ditransfer cuan sama bokap. Turunin dikit, lah! Sama langganan sendiri jangan tega-tega."

Cello mengangkat layar ponselnya. "5 juta per gram. Gue bisa jual ke pelanggan yang lain."

"Biasanya 4 juta! Kenapa tiba-tiba naik?"

"Shortage."

*kondisi di mana permintaan barang lebih besar dari penawaran.

"Ah, anjing!" Sambil marah-marah dan mengumpati Cello, pemuda dengan rambut cat merah dan tato di pergelangan tangan itu tetap mentransfer kekurangan tagihannya melalui E-bank.

Akibat dari ketergantungan. Sesuai dengan pengamatan Cello, ketika seseorang sudah kecanduan dengan sesuatu---segalanya akan ditukar untuk mendapatkan yang mereka mau.

Selepas memberikan barang jenis kokain, Cello langsung pergi dari gang sempit yang lokasinya berada di kawasan Trisakti.

Samar-samar, cowok berhoodie berwarna hitam pudar yang menutupi seragam identitas, lengkap dengan tudung kepala, dan scarf yang menutupi sebagian wajahnya itu mendengar tawa bahagia dari belakang punggungnya.

Setiap mendengarnya, Cello selalu ikut tertawa sekaligus mengucap syukur. Merasa jika hidupnya jauh lebih beruntung dari orang-orang perlu membayar dengan nominal tinggi, agar bisa merasa bahagia dan tertawa dengan bantuan narkoba.

Durasi kesenangannya bahkan tak akan lebih dari tiga jam. Ketika efek berakhir, yang mereka dapatkan hanya rasa gelisah.

Memanfaatkan kesengsaraan orang lain untuk meraup keuntungan. Terdengar kejam? Namun, memang begitu cara Cello bertahan hidup.

Jika terpaksa harus menawankan harga diri, moral, dan norma untuk mendapatkan uang. Itu bukan masalah untuk Cello.

Mengingat seorang gadis dari masa lalunya pernah berkata, "Harga diri yang gue jual demi uang sekarang, bakalan gue beli lagi kalau udah punya uang yang cukup."

Darian Cello Rishandi juga berniat melakukan hal yang sama.

🦋🦋🦋

Parkiran SMA Candrawana |
6:40 AM

Sea keluar dari mobil begitu Gaska membukakan pintu untuknya. Cowok itu juga mengambil alih tas sekolah milik Sea dan membawakannya sampai mereka sampai di kelas XI IPS 3.

Sesuai janji, Gaska menjemput Sea agar mereka berangkat bersama pagi ini.

"Lo belum sarapan, kan?" Gaska bertanya dan Sea menggeleng.

"Masih kenyang."

Tidak heran, sih! Mengingat jika selain ramen, mulut Sea semalam juga penuh dengan Gaska.

"Alasan klasik!"

Belum sempat Sea menyanggah, tau-tau Gaska sudah mengeluarkan dua kotak bekal berukuran sedang, berwarna biru dan hitam dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja.

Tepat di hadapan Sea yang sudah duduk di bangkunya.

"Ini buat sarapan, chicken soup."

Gaska menunjuk kotak bekal berwarna biru.

"Mumpung masih panas dan bel sekolah bunyi 20 menit lagi, lo makan sekarang aja!"

"Yang satunya katsu sama salad, buat makan siang lo nanti." Gaska menatap Sea sejenak. "Gue tahu lo nggak bisa makan di kantin."

"Lo masak dua menu ini sendiri?"

Satu anggukan dan Sea sialan tersanjung dibuatnya. Sekarang ia tahu dari mana asal luka kecil di telunjuk Gaska pagi ini.

"Hey, idiot! Come a little closer."

Sea merogoh sesuatu dari tasnya. Ingat plester yang Agatha berikan kepada Sea kemarin? Benda itu kini sudah berpindah pemilik. Sea memasangkan plester itu di telunjuk Gaska.

Gadis itu mendongak, menatap Gaska yang sejak tadi berdiri di sisi bangkunya. "Cepet sembuh!"

Hal itu sontak membuat Gaska tersenyum, sambil mengusap lembut puncak kepala gadisnya.

"Gue cabut dulu, jangan kangen!" Cowok itu mengedipkan sebelah matanya. "Okay, pacar?"

Sea memiringkan wajah sambil tersenyum menggoda. "Kalau kangen?"

"Harusnya jangan, soalnya kita lagi di sekolah." Sea menahan senyumannya ketika Gaska mendekati sisi wajahnya untuk berbisik sangat pelan. "Tapi kalau udah kangen banget banget banget telpon aja, nanti gue langsung dateng."

"Semangat buat evaluasi desain, Cantik!" Gaska menambahkan seraya menutup resleting tasnya.

Balas menatap pacarnya yang mulai menarik langkah tanpa berbalik badan, Sea lalu mengambil hormat dengan tangan kanan sebagai tanda patuh. "Aye-aye, Captain! Semangat juga nanti latihan basketnya."

Tanpa menghentikan langkah atau berbalik badan dari Sea, Gaska mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Siap, big boss!"

Sekalipun kini presensi Gaska telah menghilang dari balik pintu kelas, kurva senyuman di wajah Sea belum juga luntur. Paginya sangat cerah hanya dengan chicken soup yang kini mulai ia santap.

Setidaknya sampai suara asing dari luar kelas, berhasil menarik atensi Sea.

"Selamat pagi, kak! Izin tanya, Kak Sirena ada di kelas nggak?"

"Ada tuh!"

Dan yang itu, jelas suara Tania. Bendahara kelas XI IPS 3.

"Masuk aja!"

"Okay. Terima kasih, ya, kak!"

Derap langkah mendekat dan Sea sama sekali tak terpengaruh atau tertarik menaruh atensi, kepada siapapun yang kini berdiri di sisi bangkunya.

"Selamat pagi, Kak Sirena!"

Figur manis dengan bandana kuning cerah di kepala itu menegapkan badan. Mengukir senyuman paling ceria ketika Sea menaikkan pandang tanpa minat.

Tepat ketika tatapan mereka bertemu, tubuh Ansel membeku. Kakak kelas super popular, yang digadang sebagai jelmaan Siren di hadapannya kini mengukir senyum kepadanya.

Daebak!

"Halo?"

Seakan belum cukup membuat Ansel merinding dengan dingin terkesan serak---sexy, suara khas Sea, tak lama pikat menawan sekaligus menakutkan dari kurva senyuman semakin terbentuk di bibir tipis kakak kelasnya itu.

"Ha-halo, kak! Maaf ganggu waktunya, ya? Kenalin, saya Ansel dari Kelas 10 IPS 2 berniat mendaftar menjadi anggota tetap broadcasting yang kakak kelola selama dua semester belakangan ini."

Dan ketika selembar CV Ansel letakkan di atas meja Sea, kakak kelasnya itu baru memberikan atensi menyeluruh kepada dirinya.

"Kenapa saya harus menerima kamu sebagai anggota broadcasting?"

Well ... murid baru ini jelas tidak tahu, jika datang ke gaung tenang yang menjadi tempat tinggal ular putih berbisa adalah kesalahan.

"Karena saya sudah cukup berpengalaman dalam mengelola konten siaran secara audio maupun visual. Saya juga memiliki podcast mingguan bertemakan teenage struggles. Salah satu konten saya pernah menduduki peringkat 1 Spotify selama tiga minggu berturut-turut. Selain itu, dengan jumlah pengikut media sosial saya yang saat ini lebih dari 90k, broadcasting SMA Candrawana bisa dipromosikan lebih maksimal daripada sebelumnya."

"Dengan semua kemampuan kamu, kalau saya tolak dengan alasan sepele ... karena saya nggak suka warna mata kamu, misalnya? Kamu bakal apa?"

"Saya bakal pakai lensa mata dan coba daftar besok, lusa, atau minggu depan, kak!" jawab Ansel kelewat yakin.

Sea tersenyum. Begitu tertarik dengan dedikasi dan kepercayaan diri yang begitu tinggi dari adik kelasnya.

"Kakak suka warna apa?" tanya Ansel.

Kedua netra abu-abu milik Sea masih menelisik rupa gadis asing yang berdiri di hadapannya kini. Tinggi badannya hampir mirip Sea, tatanan rambut hitam-lurus, pipinya tirus, dan kedua mata toscanya lebih cerah dari milik seseorang yang pernah Sea kenali.

"Apapun selain tosca."

Bersamaan dengan jawabannya, Sea langsung memutuskan tatapan mereka dan berhenti deja vu.

"Baik, kak! Saya akan datang mendaftar lagi besok."

Ansel Delia jelas sipikal si positif yang selalu gigih dengan apa yang ia perjuangkan. Pantang menyerah.

"Saya yakin besok kakak nggak ada alasan untuk menolak saya."

Sea menyelak dengan tawa, tetapi tak melontarkan kritikannya.

"Okay... "

Dibacanya selembar CV yang masih berada di atas meja.

" ...Ansel?" Sea memanggil nama adik kelasnya itu dengan dahi berkerut. Tiba-tiba teringat dengan siapa yang Cello hubungi beberapa hari lalu.

"Nama kamu cuma Ansel?"

"Delia."

Pergerakan Sea langsung terhenti.

"Nama lengkap saya Ansella Nelda Delia. Karena terlalu panjang, saya singkat jadi Ansel Delia dan seringnya di panggil Ansel, kak."

Penjelasan super panjang itu lantas Ansel akhiri dengan senyuman manis, sementara Sea hampir mengeluarkan isi perutnya sendiri ketika menyadari jika Ansel adalah duplikat dari seseorang yang pernah ia kenal.

Definitely, Alyssa Fucking Delia!

🦋🦋🦋

Agatha tersenyum melihat hasil pembagian kelompok pada tugas akhir di mapel peminatan (Bahasa Jepang), sebelum semester ini berakhir.

1. Agatha Benedicta
2. Aldan Ravindra
3. Argaiska Domani

Yups! Urutannya sesuai dengan nomor absen. Selain itu, kajian kebahasaan ini membuat Pak Sonda Sanjaya selaku guru pembimbing membebaskan anak kelas XI MIPA 4 mengerjakan di area luar kelas.

Sesuai tebakan, kantin sekolah menjadi muara paling diminati. Sialnya, Aldan dapat partner anak ambis dan suka kedamaian macam Agatha dan Gaska. Apa lagi sekarang udah bel istirahat. Jadi yeah ... mau nggak mau, mereka ngerjainnya di perpustakaan.

Di sana juga ada kelompok Noah yang anggotanya adalah Cello dan Dirga. Diam-diam Aldan tertawa membayangkan bagaimana Noah si perfectionist akan mengerjakan kajian bersama Cello, yang belum apa-apa udah tidur dan Dirga yang dikit-dikit ketawa sambil tepuk tangan.

Huft!

Itu kapten basket kan emang keren kalau di lapangan doang. Di luar area itu ya Dirga balik jadi makhluk super receh.

Okay! Balik lagi ke spotlight Aldan yang sejak tadi mencatat hasil dari diskusi panjang milik Gaska dan Agatha.

"Bentuk yang nyatain permintaan di sini, pada dasarnya nggak jauh beda sama bentuk pernyataan beri dan terima atau Juju Hyougen."

Itu suara Gaska.

"Terus kayak yang kita tahu, dalam juju hyougen bentuk ~teitadaku dan ~tekudasaru kedudukan komunikan lebih rendah dari pada si komunikator."

Cowok itu tengah menjelaskan bagaimana tindak tutur dalam masyarakat Jepang, dapat mengikat hubungan personal berdasarkan budaya dan kebiasaan dari bacaan mereka.

"Gue paham! Jadi, kalau dalam pernyataan permintaan bentuk pernyataan ~teitadakemasuka dan ~tekudasaimasuka kedudukan si pembicara juga lebih rendah daripada si lawan bicara. Gitu, kan, kesimpulannya?"

Satu anggukan dari Gaska.

Agatha berhasil menarik benang merah dari pemaparan Gaska. Seperti yang diharapkan, gadis bernetra hazel itu selalu bisa diandalkan.

Menatap bergantian pada dua pemilik otak cemerlang di hadapannya, Aldan bersiul pelan.

"Lo berdua emang selalu cocok kalo jadi partner kelompok!" komentarnya sambil cengengesan.

Bangga lah doi kalau dapet temen sekelompok yang aktif, jadinya kan dia nggak kerja banyak.

Oh! For your guys info; karena absen yang berdekatan, mereka bertiga---Agatha, Gaska, dan Aldan---sering berada di kelompok yang sama. Dari kelas sepuluh pun begitu.

"Dan, lo cocoknya dinamain beban kelompok!" tiba-tiba Gaska mendesis sambil menutup bacaan dari Macbook. "Nama lo kita coret aja kali, ya?"

"Weh, cok! Gue catet ini, nggak liat kontribusi besar gue?"

"Ssstt ... jangan berisik, ya! Kita lagi di perpus."

Berbanding terbalik dengan keributan di meja kelompok Agatha, milik Dirga justru terasa tenang. Cello masih tidur dan Noah sibuk mengerjakan tugas mereka seorang diri.

Sementara Dirga sendiri diem-diem lagi scroll tiktok.

Eitt! Jangan salahin Dirga yang nggak kontribusi. Soalnya doi udah mencoba membantu, tetapi Noah bilang jika hasilnya akan lebih memuaskan jika cowok itu yang mengerjakan semua.

"Lo diem aja, jangan ganggu gue waktu ngerjain! Lo sama Cello tinggal terima jadi."

Sudah menjadi rahasia umum, di balik kesupelan Noah---sejak dulu, cowok bernetra ocean blue itu akan menjelma sebagai si individualis yang sok pintar ketika menyangkut akademi.

Eh! Bukan sok. Doi emang pintar, sih!

Ketenangan itu terjaga, setidaknya sampai ponsel milik Cello tiba-tiba berbunyi.

"Oy! Batu nisan?"

Dirga menyenggol lengan Cello agar cowok itu bangun. "HP lo bunyi."

"Angkat aja!" Cello bergumam tanpa membuka kedua matanya. Yups! Masih di posisi menenggelamkan wajah di kedua lipatan tangan dan melanjutkan tidur.

"Ck! Tidur aja nyusahin lo," omel Dirga tetapi tetap menuruti sahabatnya. Kapten basket itu kini mengambil ponsel Cello dari saku seragam cowok itu tanpa kesulitan.

"Nomor nggak dikenal." Dirga berbisik kepada Cello. "Mau di-"

Ucapan Dirga terhenti di udara ketika Cello mengambil alih benda pipih itu dari tangannya, lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

Hampir semua orang di perpustakaan menoleh saat Cello bersuara. Khas orang bangun tidur. Hal itu langsung membuat Noah menendang kaki sepupunya dari bawah meja.

"Jangan telponan di sini, diliatin pengawas perpus, Cell."

Bersama teguran itu, Cello memilih menutup panggilannya dan buru-buru beranjak dari bangkunya

Melihat ekspresi tak santai dari sepupunya, Noah kembali bersuara. "Siapa?"

"Mantan sialan lo!"

Walau tengah berbisik, jawaban Cello itu masih sampai di telinga Gaska. Alhasil, cowok bermarga Domani itu menoleh dengan tatapan tersinggung.

Tanpa bertanya, Gaska tahu siapa yang Cello panggil "sialan" barusan.

"Jaga omongan, Cell!"

Peringatan keras itu sama sekali tak menghentikan langkah lebar Cello yang langsung diikuti oleh Noah.

Kini tersisa Dirga seorang di meja barisan ke tiga. Kapten basket itu kini menoleh kepada Gaska yang masih menatap tajam ke arah pintu keluar perpustakaan.

"Ngeri! Cewek lo jadi rebutan, Gas."

Dirga tiba-tiba saja bergabung di meja Gaska. Cowok itu kini duduk di sebelah Aldan.

"Nggak mau lo susulin?"

Gaska menggeleng. Justru semakin fokus pada tugas kelompoknya.

"Lo nggak curiga sama Sea?" Dirga memasang wajah serius. "Dia telephone Cello, mana tadi Noah ikutan pergi. Lo yakin cewek lo nggak selingkuh?"

"Gue percaya sama Sea."

Jawaban mutlak.

Ketika Dirga ingin membuka mulut lagi, Aldan sudah duluan menyela. "Lo nggak usah kompor, jancok! Diem aja, lah!" peringatnya sebal dengan Dirga yang suka heboh sendiri.

Untung nggak ada Rico. Bisa jadi bahan gossip.

"Lagian lo ngapain di sini, Dir? Emang lo kelompok kita?" julid Aldan terang-terangan mengusir. "Oh! Lo mata-mata, kan? Mau nyontek ceritanya?"

"Sembarangan!"

Nah, kan! Ribut lagi.

"Lo berdua bisa diem, nggak? Bacot terus!" omel Gaska galak, ikut-ikutan ribut.

Kalau gini, jadinya Agatha yang pusing. Gadis itu mengetukkan bolpoint sebanyak tiga kali di atas meja. Hal itu sontak membuat Gaska, Dirga, dan Aldan menoleh kompak.

"Kita lagi di perpus."

Satu kalimat dari gadis manis itu langsung membuat ketiganya diam. Atmosfer di meja itu menjadi tenang untuk beberapa saat.

"Eh, Agatha? Gue denger-denger kepanitiaan lo mau ada acara bakti sosial. Bener?"

"Iya." Gadis itu tersenyum samar. "Lo mau ikut?"

"Boleh?"

Aldan itu emang paling suka ikutan acara bakti sosial gini. Cowok asal Surabaya tersebut menganggap jika kesempatan seperti ini bagian dari wujud kepedulian atau rasa kemanusiaan terhadap sesama.

"Boleh. Lo tinggal isi form aja, nanti gue send linknya. Acaranya masih sekitar tiga minggu lagi."

Agatha kini beralih kepada Gaska dan Dirga yang sejak tadi diam. "Kalian mau ikut juga?"

Yang ditawari justru saling melempar tatap ragu.

"Gue sibuk. Ada evaluasi basket, sorry ya?" jawab Dirga sedikit tak enak hati untuk menolak.

"Gue juga," imbuh Gaska singkat.

Agatha mengangguk paham. "Okay. Santai aja, Dan. That's fine!"

Tiba-tiba saja Aldan menutup buku dan mengemasi alat tulisnya. "Kantin skuy! Udah laper gue."

"Gas!!!" seru Dirga nggak tahu tempat. Kapten basket itu dengan semangat beranjak. "Lo berdua nggak ikut?"

"Nanti gue nyusul."

Agatha ikut mengangguk sambil menunjuk kajian di layar laptopnya. "Sekalian beresin ini. Lo kalau mau ke kantin duluan gapapa, Dan. Hasilnya nanti gue kirim."

Anjay! Enaknya punya partner kelompok aktif.

"Nanti lo berdua gue traktir mie ayam!" Sambil cengengesan bareng Dirga, Aldan lalu keluar dari area perpustakaan.

Kini tersisa presensi Gaska dan Agatha.

"Tangan lo kenapa luka?"

Plester biru bergambar dinosaurus di telunjuk Gaska, pada akhirnya menarik perhatian Agatha.

"Kena pisau waktu buat sarapan."

"Ooh... "

Hening dan canggung menyapa, sampai Gaska kembali membuka suaranya.

"Btw, Sea yang kasih plesternya."

Pendar dari kedua mata cowok itu langsung berubah ketika memandang lukanya. Berbinar-binar, seperti orang yang tengah jatuh cinta.

Agatha ikut tersenyum, meski cukup merasa cemburu. Sialnya! Gadis bermata hazel itu masih sangat menyukai Gaska dengan sepenuh hati. Dia tidak pernah tahu caranya untuk berhenti, walau rasanya sangat ingin.

"Cewek itu suka dicemburuin nggak?" celetuk Gaska tiba-tiba.

"Lo tanya gue?" Agatha menunjuk dirinya sendiri. Sejenak menelan ludah dengan gugup, ketika Gaska menjatuhkan tatapan serius kepadanya.

"Lo cewek, kan?"

"Iya."

"Kalau lo punya pacar, lebih suka diposesifin nggak?"

Siapa pun tahu jika pertanyaan Gaska barusan masih bersangkutan dengan Sea.

Tak lama setelahnya, Agatha menggeleng. "Kalau gue nggak," katanya.

"Kenapa?"

"Karena posesif itu bentuk dari perilaku yang condongnya ke arah dominasi... "

Gaska mendengarkan dengan saksama.

"... sementara dalam hubungan yang sehat itu harusnya saling kasih kepercayaan dan memaklumi, bukan mendominasi satu sama lain. Itu toxic. Gue nggak mau punya hubungan kayak gitu."

Dan ketika Agatha mengakhiri penjelasannya dengan seulas senyum canggung---sedikit manis. Entah mengapa, untuk sejenak, Gaska tak bisa mengalihkan pandangan dan fokusnya.

🦋🦋🦋

Ceklek!

Pintu ruang penyiaran terbuka, kedua netra abu-abu milik Sea bergulir dibuatnya. Bersamaan dengan derap langkah milik sosok familiar yang mendekat kepadanya, Sea tersenyum. Melepas headphone, lantas bersiap menyambut kedatangan tamunya.

"Hi, backstabber!" Sea sengaja memutar bangkunya menghadap ke arah Cello.

*backstabber artinya penusuk dari belakang.

Tak lama muncul presensi Noah dari balik punggung Cello. Hal itu membuat Sea tersenyum penuh sambutan. "Hi, Ex!" sapa Sea kepada mantan pacarnya.

Noah diam. Untuk pertama kalinya tak merasa senang dengan sambutan dari Sea. Cowok bernetra ocean blue tersebut menutup pintu penyiaran begitu melihat sepupunya mendekat kepada Sea.

Cello menghabisi jarak yang tersisa di antaranya dan Sea. Sementara Noah memilih tetap di pijakannya.

Seperti yang telah lalu. Kedatangannya hanya untuk memastikan tak ada yang terluka ketika Cello dan Sea akan saling menyulut sumbu bom waktu. Sebelum keduanya meledak, saat itu lah Noah perlu mengambil perannya.

"Jangan terima dia di broadcasting!"

Satu perintah Cello lontarkan. Tepat di depan wajah Sea, cowok itu merobek selembar CV milik Ansel Delia.

Ketakutan. Untuk pertama kalinya, Sea bisa melihat jejak ketakutan dari kedua mata Cello.

"Woah ... Chill, Cell!" Sea menatap Cello dengan jenaka. "Apa lo lagi merasa terancam, sampai tiba-tiba jadi orang kesetanan kayak gini?"

Gadis itu mendongak ketika Cello semakin mendekat dan menatapnya lekat. "Kenapa, sih? Takut gue bocorin identitas lo ke cewek ini?"

"Jangan berani libatin Ansel kalau lo nggak mau hubungan kita makin buruk!" hardik Cello dengan suara rendah.

Sea justru tertawa.

"Gue? Buat hubungan kita makin buruk? Bukannya lo sendiri yang buat hubungan kita jadi kayak gini?" sahut Sea dengan sengit.

Di liriknya Noah yang sejak tadi diam tanpa berniat menyela. "Apa sepupu kesayangan lo itu tahu kelakuan lo di belakang dia, Cell?"

Dahi Noah berkerut tak paham. "Maksud lo apa?"

"Oh! Ternyata sepupu tolol lo ini emang beneran nggak tahu."

"Jaga omongan lo, Sea!" peringat Noah mulai muak dengan segala ucapan kasar dari lawan bicaranya.

"Kenapa? Nggak terima gue katain tolol?"

Gadis angkuh itu menaikkan sebelah alisnya kepada Noah.

"Kalau lo nggak tolol, mungkin lo tahu kalau sepupu sialan lo ini lagi susun rencana di belakang lo."

Kali ini tatapan penuh penghakiman kembali Sea jatuh kepada Cello.

"Sepupu lo lagi cari tempat aman. Sendirian, dan lo sama sekali nggak dia ajak, Noah."

Satu seringai tajam.

"Dia satu-satunya orang yang tahu keberadaan Ansella Nelda Delia. Sejak awal, dia emang udah tahu banyak soal adik kandung Alyssa yang super tajir dan famous, hebatnya punya cukup duit buat buka kasus kematian kakaknya di persidangan."

"Dan kita sama-sama tahu kalau kasus itu resmi di buka, siapa yang bakal masuk penjara karena nggak cukup punya duit buat bayar pengacara atau suap hakim... "

"... satu-satunya yang nggak punya privilege di antara kita bertiga. Itu sepupu lo, Noah! Jadi dia deketin adik Alyssa, jadiin cewek polos itu tameng."

Sea semakin berani menyelami kegelapan dari kedua manik mata Cello.

"Lo pasti berpikir, kalau nantinya lo berhasil buat Ansel jatuh cinta ... dia nggak mungkin tega seret nama lo, kan? Atau lo berharap dengan acting PDKT murahan ini bakal buat dia maafin lo di persidangan?"

"Ck! Ck! Ck! Cell... Cell... " Sea menggeleng samar. "Tega juga ya, lo? Setelah dulu manfaatin dan manipulasi kakaknya, sekarang lo mau lakuin hal yang sama ke adiknya?"

"Jangan playing victim!" Cello menggeram pelan. "Dulu lo sama Noah yang mohon-mohon biar gue deketin dan manfaatin Alyssa!"

"Ralat, Cell ... kita bayar lo. Gue sama Noah emang B-A-Y-A-R lo buat manfaatin keadaan Alyssa biar dia nggak macem-macem sama kita. Sebatas itu. Bukan kendaliin, apalagi morotin duit dia sampai bunuh diri."

"Dia bunuh diri bukan gara-gara itu, brengsek! Semua gara-gara lo berdua yang sebar video itu!" desis Cello tajam.

"Lo nggak inget siapa yang ngerekam? Itu lo sendiri, Cell. Lo juga yang upload di base Twitter sekolah setelah tahu beasiswa dari donatur bakal dialihin ke lo."

Sambil memainkan ujung rambutnya sendiri dengan telunjuk, Sea menyeringai. "Masa lupa, sih?"

Tiba-tiba saja, Sea mengeluarkan ponsel dari balik saku seragamnya. Oh! Jelas Siren licik ini merekam percakapan mereka setelah memancing Cello bersuara.

"Kalau lo nggak mau rekaman suara ini sampe Ansel, sedikit rubah rencana lo! Silakan deketin Ansella Nelda Delia, buat dia jatuh cinta ... lo bisa gunain cara yang sama waktu lo godain kakaknya."

"Dan ketika dia udah jatuh cinta, kendaliin dia, pastiin dia ngurungin niat buat buka kasus kematian kakaknya."

Melihat Cello justru mengeraskan rahang, Sea mendengus remeh.

"Atau lo mau kita bayar lagi pakai duit biar nurut?" tawarnya yang langsung membuat Cello menatap tajam.

"Gue nggak butuh duit lo, anjing! Alyssa pantes dapet keadilan."

Sea spontan menggebrak meja penyiaran.

"Dia jelas-jelas bunuh diri, Cell! Setelah gue pikir-pikir, nggak ada yang pantes disalahin dari kasus ini."

"Kita pantes di salahin!"

Kedua tangan Sea terkepal kuat. Dadanya mulai bergemuruh hebat.

"Apa sih yang buat lo mati-matian belain pelacur yang bahkan udah mati, Cell?! Apa yang Alyssa punya sampai lo selalu belain dia dari pada gue & Noah?"

"Lo bisa katain dia pelacur. Tapi itu sama sekali nggak ada buat lo jadi lebih baik dari dia. Alyssa nggak pernah nyakitin orang lain buat kepentingannya sendiri. Nggak kayak lo!"

"Cewek manipulatif, egois, dan suka menang sendiri. Intinya, Alyssa 10.000 kali lebih baik dari pada cewek toxic kayak lo, Se! Sampe sini paham?"

Suara Cello akhirnya pecah. Kemarahannya nyaris berada di level tertinggi.

"Dan satu lagi ... gue nggak ada urusan lagi sama lo berdua, anjing!" Cello menunjuk tajam wajah Noah dan Sea secara bergantian. "Kasih rekaman suara itu ke Ansel. Gue juga bakal sebarin video ciuman lo sama Gaska."

Sea terkesiap, tetapi masih tetap berani menantang balik. "Lo yakin seret Gaska ke masalah ini? Dia sahabat lo, Cell."

"Di video itu cuma muka lo yang kelihatan. Dan kalau video itu sampai viral, satu-satunya orang yang di cap rendah dan cacat moral itu lo sendiri, Se!"

Melihat ekspresi gugup dari lawannya, Cello tersenyum remeh. "Gimana? Kita nanti impas, kan?"

"Omong-omong lo bener, Se. Gue nggak akan sanggup bayar pengacara karena miskin. Lo sama Noah bisa pake duit, sementara gue cukup punya Ansel. Dia perisai gue... "

Cello mengambil sedikit jeda di antara monolognya.

"... gue sama sekali nggak butuh yang lain buat menang di persidangan."

Tahun lalu, mungkin Cello kalah dan selalu mengalah dari dua sahabatnya itu. Sekarang keadaan jelas berbeda.

Well, semua resmi bergulir. Kemenangan dan bom waktu itu, kini berpindah ke dalam dominasi Cello.

Menarik langkah menjauh dari hadapan Sea yang masih terguncang, presensi cowok tanpa badge di seragam itu berjalan ke arah pintu ruang penyiaran.

Namun, dengan cepat Noah menghadang langkahnya. Cello hanya perlu menaikkan sebelah alisnya, untuk memancing sepupunya berbicara.

"Gue setuju sama Sea."

Ah! Pemberontakan di luar perkiraan.

"Lo harus pastiin adik Alyssa nggak buka kasus kematian kakaknya," ucap Noah lagi.

"Nyokap lo nggak tahu asal semua duit lo, kan, Cell? Apalagi Cassie ... adik lo? Mau gue lapor BNN?"

Cello mendadak menyeringai picik. Berbeda dengan Sea yang merasa kepalanya langsung kosong selama beberapa saat.

"BNN?" Gadis bernetra abu-abu itu meracau pelan. "Lo pake narkoba?"

Masih dengan seringai itu, Cello menoleh kepada Sea. "Gue jual. Lo mau beli?" sarkasnya tanpa ekspresi.

What the ... Sea nyaris kehilangan kata-katanya selama beberapa saat.

"Lo ngancem gue, huh?" Cello kini menepuk-nepuk pundak sepupunya. "Cuma buat cewek kayak gini?"

Satu anggukan dan Cello kecewa dengan skala berat.

Bersamaan dengan kedua netra hitam pekat milik Cello yang mulai menggelap, Noah bisa merasakan deru nafas sepupunya itu mendekati sisi wajahnya.

Tepat di telinga Noah, Cello mulai berbisik dengan suara serak terkesan rendah.

"Kasih tahu aja! Gue juga bakal kasih tahu semuanya ke nyokap lo soal Alyssa. Soal janin yang di kandungan Alyssa. Dia adik lo, kan? Anak dari bokap kandung lo sendiri?"

"Perlu gue lakuin itu, hm?" tawar Cello yang langsung membuat tubuh Noah menegang.

"Omong-omong, gue masih punya rekaman Alyssa sama bokap lo di hotel. Tepat satu hari sebelum Olimpiade Sains, tahun lalu." Cello menambahkan, sebelum menarik bibirnya dari sisi wajah Noah.

"Mau gue kirim ke surel tante Eveline atau langsung gue upload ke base Twitter sekolah?"

Dengan itu, Cello tersenyum sambil menampar pelan sisi wajah sepupu tersayangnya. Berharap Noah cepat sadar dari pikiran buntu.

"Kalau lo nggak mau itu terjadi, jangan buat pilihan bodoh!"

Jeda.

"Apalagi cuma buat cewek kayak Sea. Itu nggak sepadan, Noah! Paham?"

Tiga sekon setelahnya, Cello baru merelai jaraknya dari Noah. Sesaat melirik penuh ketertarikan kepada Sea yang masih terduduk kaku di bangku penyiaran.

"Omong-omong soal Gaska... "

Sea terpaksa mendongak kepada Cello, lantaran cowok itu telah mendekat. Cowok itu menarik kerah seragam Sea dengan gerakan pelan, sampai tatapan mereka beradu dengan sangat intens.

"Gue nggak tahu apa yang lo kasih ke sahabat gue, sampai dia tergila-gila sama lo. Tapi satu hal yang harus lo inget,"

Oksigen terasa kosong untuk beberapa saat.

"Gue bakal pastiin hidup lo kayak di neraka, kalau berani manipulasi otak Gaska!" ancam Cello dingin---penuh penekanan, tepat di depan bibir Sea.

🦋🦋🦋

Flashback |

Ketika Kota Jakarta & segala hingar-bingarnya masih terasa indah, untuk salah satu penghuninya---Darian Cello Rishandi.

"Traktiran untuk hari ini."

Cello menerima ice cream cone rasa coklat vanilla dari seorang gadis bermata tosca. Seorang gadis yang kini mengambil tempat pada ayunan di sebalahnya.

Seorang gadis yang setiap malamnya, akan menemani Cello melihat kendaraan berlalu lalang dan mendengarkan nyanyian pengamen dari pinggiran taman kota.

Seorang gadis yang tak pernah bosan bertanya dengan topik yang sama. "Ada cerita menarik apa hari ini?"

"Gue dapet nilai 48 di ulangan Bahasa Inggris. Minggu depan harus ikut remedial. Gue gagal dapat nilai bagus," jawab Cello.

"Congrats! Jatah gagal di hidup lo berkurang satu hari ini. Selamat menyambut keberhasilan."

Cello tersenyum sambil mengambil satu gigitan ice cream dari cone-nya. Alyssa Delia dan afirmasi kosongnya, selalu berhasil menghibur Cello.

"Perasaan ... hidup gue gagal terus," racau Cello kelewat pelan, tetapi Alyssa masih bisa mendengarnya.

"Kemarin lo dapet nilai tertinggi di kelas musik."

"Cuma musik. Itu mapel nggak penting."

Alyssa mendengus kesal. "Bukannya lo janji ke gue bakal belajar buat hargain hasil yang lo capai? Sekecil apapun itu, mereka tetep bagian dari usaha lo, Cell."

"Iya-iya."

"Serius!"

Cello berdecak. "Lo bisa bilang gitu karena hidup lo selalu berhasil, Alyssa Delia. Lo berbakat, menang di setiap perlombaan, dan dapetin ranking satu paralel."

"Terlepas dari pekerjaan lo, sebagian dari hidup lo udah sempurna. Nggak denial, kadang gue iri."

Pengakuan itu membuat Alyssa terdiam sejenak.

"Lo percaya nggak ... kalau dalam hidup ada dua jenis orang. Yang pertama, orang yang lahir dengan bakat. Dan yang kedua, orang yang lahir untuk berusaha punya bakat."

"Lo masuk ke golongan pertama, kan?" tebak Cello sambil memiringkan wajahnya kepala Alyssa.

Lawan bicaranya itu lantas menggeleng.

"Salah besar. Gue masuk golongan kedua, Cell."

Nyatanya, tidak ada yang tahu jika di balik peringkat satu paralelnya, Alyssa selalu menangis saat mengerjakan soal-soal fisika. Rambutnya sering rontok karena gadis itu akan menjambak kepalanya sendiri, saat kesulitan menghafal rumus-rumus kimia.

Juga, tidak ada yang tahu perihnya jari-jari Alyssa ketika memaksa mengerjakan sketsa desainnya, di saat kulit tangannya mengering dan terus mengelupas.

"Tapi semua nggak penting, Cell. Nggak ada yang peduli soal asal bakat lo. Karena orang-orang cuma lihat dari hasil, bukan usahanya."

Kenali lah seorang gadis bernama Alyssa Delia. Mungkin kala itu Jakarta terlalu luas, SMA Candrawana juga keterlaluan sesak sampai tak pernah memberikan tempat untuk seseorang seperti Alyssa. Fakta itu cukup memaksa gadis itu, untuk harus terus berusaha sangat keras agar bisa dianggap ada.

Namun, saat ini Alyssa tengah berada di satu titik. Di mana Jakarta juga masih berbaik hati menyisakan sedikit ruang---di mana Cello hadir di dalamnya. Untuk pertama kalinya, Alyssa merasa kehadirannya diterima tanpa ia perlu berusaha.

"Bawa korek?" celetuk Alyssa memecah keheningan.

"Kena kanker paru-paru sebelum mati masuk ke wishlist lo, ya?"

Alyssa tertawa setiap Cello menyindirnya dengan sinis.

"Lo nggak mau tanya soal cerita gue hari ini?"

Alyssa bertanya sambil menyulut ujung rokoknya dengan korek api yang ia pinjam dari abang penjual ketoprak, yang posisinya tak jauh dari mereka.

Yeah! Cello mana mau meminjami korek api untuk Alyssa merokok.

"Gue punya cerita menarik juga lho hari ini."

Cello melempar cone ice cream-nya yang telah habis ke tempat sampah terlebih dahulu, sebelum menyahuti perkataan Alyssa.

"Kalau ini soal ganti rugi beasiswa atau keluhan soal pelanggan yang booking lo, gue nggak tertarik dengernya."

Alyssa hampir tersedak asap rokoknya sendiri, karena dibuat tertawa oleh balasan Cello.

"Bukan soal itu, Cell."

"Terus?"

"Soal adik gue. Minggu lalu pengambilan raport di SMP dia. Nilainya nggak terlalu bagus, tapi karena piagam dia banyaaaak banget ... ibu jadi seneng."

Dari ujung matanya, Cello menangkap binar kebahagiaan dan antusias yang meledak-ledak ketika Alyssa menceritakan soal adiknya.

"Dia mau sekolah di Candrawana juga, Cell. Eh! Dan lo tahu? Adik gue itu cantik banget, supel, pinter bergaul. Gue yakin, waktu dia jadi murid di SMA Candrawana, dia bakal punya banyak banyak temen."

Gadis dengan make up smokey-eyes itu tersenyum sampai kedua matanya menyipit.

"Dia pasti bakal famous banget. Orang-orang pasti bakal suka sama dia."

Angin malam menerbangkan helai rambut Alyssa yang masih semangat bercerita. Diam-diam, Cello sangat ingin menyingkirkan anak rambut yang menutupi sisi wajah cantik Alyssa.

Sayangnya, Cello ragu dan niatnya tak terlaksanakan.

"Dia nggak akan jadi murid pinggiran yang duduk di pojok di kelas, sendirian di perpustakaan, atau makan siang di toilet sekolah karena takut di gangguin kakak kelas."

Alyssa menyulut puntung rokok sebelum melanjutkan ceritanya. Lalu asap sigaret itu berhembus dan angin malam dengan cepat menerbangkannya ke arah barat.

"Kehidupan remaja dia bakal cemerlang. Intinya ... adik gue nggak bakal kayak kakaknya."

"Lo mau tahu siapa nama adik gue?"

"Siapa?"

"Ansel."

Tanpa sadar, bibir Cello bergerak untuk meramalkan nama itu.

"Ansella Nelda Delia."

"Ansella Nelda Delia," ulang Cello yang membuat Alyssa tersenyum manis.

"Anyway ... lo inget perkataan gue soal gue yang bakal beli lagi harga diri yang gue jual, setelah punya punya uang yang cukup?"

"Inget."

"Jujur aja, ya, Cell ... gue takut."

Kerutan halus muncul di dahi Cello. "Takut kenapa?"

Alyssa kini mendongak. Memandangi langit malam yang bermandikan bintang. "Takut aja."

Jeda.

"Takut kalau gue nggak bisa wujudinnya, entah karena nggak cukup uang atau nggak cukup waktu."

"Gue punya target satu tahun. Sebelum Ansel masuk ke SMA Candrawana, gue harus bisa beli harga diri yang sempat gue jual. Gue takut dia kena imbas, ditambah lagi kakaknya itu pecundang di sekolah," tambah Alyssa.

"Dia pasti bangga punya kakak kayak lo."

Alyssa menoleh dengan tatapan tak percaya kepada Cello. "Serius?"

Satu anggukan dan seulas senyuman dari si cowok kaku.

"Peraih rangking 1 paralel, pemenang lomba desain, dan calon peserta olimpiade. Lo itu cewek paling keren di sekolah versi gue."

Jangan terkejut, ya! Ketika bersama Alyssa, Cello tak jarang berbicara dengan panjang dan lebar.

"Aaaaa ... bikin terharu aja!!!"

Cello mendengus ketika Alyssa mengusap kepalanya tiba-tiba. Tak sampai di situ, cowok itu nyaris dibuat serangan jantung karena satu permintaan Alyssa setelahnya.

"Cello gue pengen peluk lo. Boleh?"

"Kalau gue bilang, 'nggak' bakal tetep lo lakuin, kan?"

Ah! Cowok bernetra gelap itu terlalu mengenal Alyssa.

"Iya, dong!"

Cello berdecak, menepis sesuatu yang terasa asing dan mendebarkan yang anehnya mulai merambati dadanya. Cello kini berdiri dari ayunan. Mendekat ke arah Alyssa sampai mereka berhadapan.

"Sini!"

Dan pada detik selanjutnya, Alyssa beranjak dari ayunan untuk menyambut pelukan Cello.

"Makasih udah jadi temen yang baik, Cell. Gue beruntung banget punya lo. Walau lo sering kacangin gue, suka nggak nyaut kalau diajak ngomong, dan suka ngeselin... "

Cello diam bersama sisa tawa dan omelan yang Alyssa lo lontarkan.

"Cell?"

"Hm?" gumam Cello pelan.

"Gue sayang sama lo. Sayaaaaang banget. Lo satu-satunya temen terbaik gue."

"Diem! Mulut lo bau rokok."

Bibir Alyssa dibuat berdecak sebal. Meski begitu, Alyssa tetap di buat tersenyum. Karena kini, cowok dingin dan kaku itu telah mengeratkan pelukan mereka.

"Gue berharap kita bisa kayak gini selamanya."

Menawankan satu permintaan kepada langit malam, beserta bintang-bintangnya. Darian Cello Rishandi berharap bisa menepis keraguan dan mulai memberanikan diri untuk bisa bersuara.

"Alyssa?"

"Ya?"

Jakarta seakan sunyi untuk beberapa saat.

"Gue... "

Alyssa mendongak dan membuat tatapan mereka terkunci. "Lo kenapa?"

Sekali pun gadis kesayangan Cello ini telah berada dalam dekapan,

"Gapapa. Ayo pulang!"

Darian Cello Rishandi tetap lah pengecut yang tak pernah berani mengungkapkan rasa sayangnya.

🦋🦋🦋

Back On |

⚠️ 15 + | Kissing Scene & Toxic Relationship

Lapangan Indoor SMA Candrawana
5 PM |

Selepas latihan basket dan berpamitan dengan anggota tim-nya, Gaska langsung bergegas keluar melewati pintu lapangan. Kali ini, cowok yang masih mengenakan jersey merah dengan angka 32 di punggung dan headband di kepala itu tidak pulang bersama Sea.

Yeah! Jadwal latihan dan evaluasi desain mereka bertabrakan, lagi.

Namun, Sea itu telah mengabari melalui pesan. Gadis itu pulang lebih dulu, pukul empat sore.

MY IDIOT <3 |
It's kinda hot here. I wanna go swimming, so don't call me up!

Well ... fokus Gaska sudah berantakan sejak Sea mengirimkan mirror selfie-nya, setengah jam lalu.

Tujuan Gaska saat ini bukan lah untuk pulang, melainkan menemui Sea. Tentu saja! Dan sesampainya di hotel, Gaska bisa meramal jika pacarnya masih berada di area kolam renang pribadi.

Ting!

Pintu lift terbuka ketika Gaska menghubungi nomor Sea dengan ponselnya. Lantas, tak lebih dari tiga sekon, gadis itu mengangkat panggilannya. Prediksi Gaska, Sea sudah selesai berenang

"Halo, pacar?"

Gaska tersenyum mendengar suara dari seberang sana. Namun, dengan sengaja ia tak menjawab. Membiarkan Sea terus mengoceh dan memanggil namanya.

"Halo? Idiot? Are you there?"

"Halo?"

Sampai lah Gaska di area kolam renang. Cowok bermarga Domani itu semakin dibuat tersenyum, begitu melihat presensi Sea yang tengah berdiri di pinggir kolam renang dengan posisi memunggunginya.

Gadis itu jelas belum menyadari kehadiran Gaska, lantaran sibuk mengomel dengan ponsel di sisi wajahnya.

Derap langkah milik Gaska semakin mendekat, sampai cowok itu telah berdiri tepat---di belakang tubuh Sea.

"Gaska? Halooooooo?"

Dan selepas seruan Sea dari seberang telphone, dengan jahil---Gaska berbisik tepat di telinga Sea. "Halo, pacar!"

"AAAAA!!" Sea dibuat memekik, lantaran terkejut bukan main. Kakinya kehilangan keseimbangan untuk sejenak---sedikit terpeleset ke arah kolam renang, dan...

BYUUUR!!

Gadis itu jatuh ke kolam renang dan refleksi Gaska tak bekerja cukup cepat untuk menangkap tubuh Sea.

"What the... " makian Sea tertahan di kerongkongan, untuk sejenak ia mengangkat pandang untuk menemukan siapa dalang dari kesialannya.

Oh, wow! Si tampan itu tampaknya juga terkejut, tetapi tak lama meledakkan tawa.

"GASKAAAAA!!!" teriak Sea kesal sekali, sampai wajahnya berubah merah.

"I'm sorry, Se! gue nggak maksud buat ... shit!"

Gaska semakin tertawa ketika melihat keadaan Sea. Gadis itu sudah mengganti pakaian, ponselnya jatuh ke dasar kolam, dan tatanan rambutnya jadi berantakan.

"Lucu?" sinis Sea dari dalam kolam.

"Tolongin cepet!" Gadis itu mengulurkan tangannya, tetapi sialnya Gaska selalu punya cara untuk membuat pacarnya semakin naik pitam.

"Say cheese, little mermaid!"

Yups!

Gaska memfotonya dengan kamera ponsel sambil cekikikan. Emang gila itu cowok!

"Idiot! Gue bakal jambak lo habis ini," ancam Sea galak. Anehnya, itu juga membuat gadis itu semakin lucu di mata Gaska.

"Tolongin gue sekarang, nggak? Gue serius. Satu ... dua ... TIGA... "

Bisa-bisanya masih Gaska mengabaikan Sea.

"Gaskaaaa!!!"

"Okaaay-okaay ... chill, babe!" Dengan sisa-sisa tawanya, kali ini Gaska sungguhan memberikan uluran tangannya kepada Sea.

Ia berniat membantu Sea keluar dari kolam. Namun, sial! Gadis itu justru menariknya tanpa aba. Dan kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya, kan?

BYUUUR!!

Gaska ikut tercebur ke kolam. Lalu kini gantian Sea yang tertawa sangat keras. "Welcome to Atlantica, My Prince!"

*fyi: Atlantica adalah nama Kerajaan di film "The Little Mermaid."

Balas dendam! Detik selanjutnya Gaska menerjang Sea pelan, menarik gadis itu sampai ke dasar kolam bersamanya.

Alhasil, Gaska dan Sea berada dalam titik di mana dalam kedalaman---tubuh mereka terasa lebih ringan. Walau pada kenyataannya, air mulai memenuhi kedua telinga. Menipiskan oksigen. Mengacaukan pacuan jantung.

Dan ketika Gaska dan Sea memutuskan membuka mata, yang mereka temukan hanya lah ... satu sama lain.

Selepas 31 detik di dasar air, akhirnya Gaska dan Sea kembali ke permukaan.

Sea langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Menyamarkan senggalan nafas tak beraturan, lalu mulai terbatuk-batuk sampai wajahnya memerah padam.

Sementara itu, tatapan gadis itu bernetra abu-abu itu tak sedetik pun teralihkan dari Gaska yang juga tengah kehilangan banyak oksigen di paru-paru dan otaknya.

"You super idiot!" kekeh Sea sambil mencipratkan air kolam ke wajah Gaska.

Dan bukannya membalas, cowok itu justru tertawa sambil mengusap kedua matanya yang terkena air.

Keduanya resmi basah kuyup, sementara ponsel mereka entah kemana. Gaska dan Sea jelas tak peduli dan justru mulai menarik kaki satu sama lain, sampai mereka kembali tenggelam.

Tak terhitung berapa tawa dan umpatan yang lolos---memenuhi kolam renang saat mereka kembali bertengkar. Belum lagi ketika mereka memutuskan untuk selesai bermain-main dan kembali ke kamar hotel, Sea jelas tak melewatkan kesempatan untuk mengomeli Gaska.

"Ck! Lantainya jadi basah, kan?!"

"Berisik!" decak Gaska sambil merangkul Sea dan menarik gadis itu masuk ke kamar mandi.

"Hey, idiot! I think ... we need some privacy."

"Privacy?"

Sea mengangguk.

"Okay! I'll take shower first. Give me seven minutes." Lalu gadis itu dibuat tertawa ketika Gaska melepas jersey melewati kepala dengan satu tarikan.

"Seriously?" protes Sea ketika melihat Gaska berjalan ke arah shower setelah melepaskan semua pakaiannya.

"What? Wanna join?"

Sea memutar bola matanya. Memilih berbalik badan, lalu mendekat ke sisi wastafel untuk mencuci wajah dan menggosok gigi.

Suara percikan air shower yang beradu dengan lantai memenuhi indra pendengaran Sea. Melalui pantulan cermin besar wastafel, gadis itu melirik ke arah partisi kaca shower yang beruap.

Sea teringat satu hal.

"Tadi lo ada kegiatan apa?"

"Apa?" sahut Gaska kurang mendengar suara Sea dengan baik.

"Tadi di sekolah lo ada kegiatan apa?"

"Basket. Bukan evaluasi, cuma latihan biasa."

"Waktu di perpus. Waktu lo berduaan sama Agatha."

"Kerja kelompok. Mapel bahasa jepang."

Mencium ke mana arah pembicaraan Sea saat ini, Gaska spontan mematikan air shower agar suara mereka saling tertangkap dengan jelas.

"Tadi di sana juga ada Aldan sama Dirga, tapi mereka duluan ke kantin. Jangan salah paham, okay?" imbuh Gaska lagi.

Sea langsung tersenyum. "Okay." Jika Gaska sudah menjelaskan begini, gadis itu baru percaya.

Tak lama setelahnya, air shower kembali menyala. Gaska melanjutkan aktivitasnya.

Setidaknya sampai Gaska merasakan derap langkah seseorang mendekat, lalu cowok itu bisa merasakan sebuah hangat pelukan dari balik punggungnya.

Gaska berniat memutar tubuhnya sebanyak 90 derajat, tetapi dengan cepat Sea menahannya. Gadis itu lalu mengambil alih shower puff dari tangan Gaska dan menyabuni punggung cowok itu hingga berbusa.

"Katanya kita butuh privasi?" racau Gaska sambil menahan tawa.

"Privasi cuma buat kita punya lebih banyak jarak. Dan gue nggak mau punya jarak sama lo."

Air shower masih terus mengalir dan membasahi tubuh. Sementara Sea masih berdiri di balik punggung Gaska, semakin mendekat untuk memberikan kecupan samar di pundak Gaska dan memeluknya erat dari belakang.

Hal itu sukses membuat Gaska memejamkan kedua matanya.

"Gaska ... gue nggak suka lihat lo sama cewek lain." Sea harus sedikit berjinjit untuk bisa berbisik di telinga Gaska. Menciumi kulit leher cowok itu dari belakang, sementara sentuhan lembut dari jemari Sea mulai jatuh pada otot-otot di perut Gaska.

"Jangan deket-deket sama Agatha atau cewek lain mana pun, ya? Lo itu punya gue, Gaska. Paham?"

Bukannya merespon, Gaska juga memutar tubuhnya menghadap Sea. Dipandanginya wajah cantik itu dengan sorot dalam.

"Apa lo lagi possessif ke gue?"

Sea dibuat mendongak ketika Gaska meraih dagunya. Dan di bawah air shower, gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

"Gue juga mau lo remove semua followers cewek di instagram lo."

Nyatanya, Sirena Raquelle Paradhipta tak pernah sudi berbagi sesuatu kepada orang lain.

Apalagi jika menyangkut soal Gaska. Katakan lah jika Sea adalah gadis posesif dan egois! Ia tak peduli. Namun satu hal---yang jelas, cowok di hadapan Sea kini adalah miliknya. Sepenuhnya milik Sea. Dan segala bentuk kepemilikan mutlak itu juga berlaku sebaliknya.

Semua orang harus tahu. Bahwasanya, Gaska adalah milik Sea. Dan Sea adalah milik Gaska.

"Posesif itu bentuk dari perilaku yang condongnya ke arah dominasi... "

Gaska berucap sambil mengingat-ingat setiap kata yang seorang gadis lain pernah katakan.

"... sementara dalam hubungan yang sehat itu harusnya saling kasih kepercayaan dan memaklumi, bukan mendominasi satu sama lain. Itu toxic."

"Kata siapa?"

Dan bersamaan dengan pertanyaan itu, Gaska menunduk untuk mencium leher Sea. Sengaja menghindari tatapan gadis itu, agar bisa berbohong.

"Buku."

Gaska bergumam pelan di antara sulutan ciuman lembutnya.

"Gue pernah baca itu dari buku," kata Gaska lagi.

Jangan salah paham, Gaska berbohong hanya untuk menghindari keributan. Dan terbukti berhasil, Sea hanyut dalam ciuman mereka dan lupa tentang hal sebelumnya.

"Wait!"

Kedua tangan Sea bergerak menahan tubuh Gaska, agar cowok berhenti mendekat dan semakin membuat punggungnya membentur dinding kaca.

"What's wrong?"

Nafas Gaska tersengal-sengal begitu Sea semakin mendorongnya menjauh.

Shit! Apa kebohongannya tentang Agatha bisa Sea cium?

"Do you want me?" Layaknya sebuah pertanyaan retoris. Sea hanya membuat Gaska merasa was-was.

"Yeah ... I'm fucking do."

Sea tersenyum, begitu dominan seperti seharusnya. "Kalau gitu lakuin sesuatu buat gue, Gaska."

"Lo harus perbaiki kekacauan yang lo buat."

Masih mencerna. Gaska masih mencoba mencerna setiap kata yang lolos dari bibir Sea.

"Maksudnya?"

"Lo inget video kita di sirkuit balapan? Video yang lo ambil diem-diem tanpa sepengetahuan gue dan bodohnya lo kirim ke Cello?"

Detik itu juga ... Gaska mengumpati dirinya sendiri.

"Inget?"

Gaska menelan ludah sebelum kembali bersuara. "Ya," katanya.

"Apa lo tahu kalau video itu bisa jadi masalah besar?"

"Maksudnya?"

"Lo nggak takut Cello bakal sebar?"

"Tungu! Cello masih simpen videonya?"

"You super idiot!" Sea menyelak tajam. "Jelas dia masih simpen. Video itu senjata buat dia bisa ngelakuin apa aja ke kita, lo pikir dia bakal hapus? Itu jelas nggak mungkin."

Kebisuan Gaska semakin memberi ruang untuk Sea berbicara lebih banyak.

"Dia bisa ancem kita. Minta duit, misalnya?"

Buru-buru Gaska menggeleng. "Cello bukan orang kayak gitu!" bantahnya.

"Lo tahu apa soal Cello?" Gadis Paradhipta itu melangkah maju. "Gue kenal dia lebih lama dari lo. Gue tahu gimana sifat dia dari kecil... "

" ...Cello itu licik."

Gaska menatap Sea penuh prasangka. "Kayak lo?"

Dan pacarnya itu tertawa. Sial! Gaska merinding tanpa sebab. "Yeah! Kayak gue. Juga kayak lo yang barusan bohong soal buku."

Damn!

"Lo pasti nggak tahu, kan?" Jari-jari Sea bergerak menyentuh tengkuk Gaska. Perlahan menelusuri helaian rambut kecoklatan Gaska yang basah.

"Soal apa?"

Detik selanjutnya, Sea berjinjit kepada Gaska. Dan tepat di bibirnya, gadis itu berbisik kelewat jelas. "Soal Cello yang ternyata pengedar narkoba."

BOOM!

Bom waktu itu, berhasil Sea ledakkan lebih dulu.

-TBC🦋

Cie! Masuk konflik.
Anw, Meet our killers ☠️

Fyi: Di sini nggak ada karakter jahat tipe sinetron Indosiar, adanya karakter yang pintar manfaatin situasi. So call them, manipulative!

But, Cello issa another level. Karakter dia sangat kompleks, dia nggak cukup sekedar dideskripsikan dengan frasa baik jahat. Hitam putih. Benar salah.

He's just ✨realistic✨

I bet you guys love and hate him at the same time. *jujur aku nangisin keadaan Cello.

Trick yang dia gunain itu mirip sama yang di film Spanish, judulnya Three Steps Above Heaven (rate 10/10, anak wattpad pasti suka film dengan vibe kayak gini). Ada yang pernah nonton?

Anyway, kalau ada juga yang nonton series BABY di netflix ... mungkin nggak asing sama visual di bawah ini. Yeah! Niccolo & Chiara as:

Darian Cello Rishandi 🖤

•••

Alyssa Delia w/ "kehidupan gandanya."

🦋

Agatha Benedicta. Aku visualisasikan, rambut dia sepundak 🏹🤍

Ada nggak tim Gaska - Agatha? ☝🏻
*edisi sebel sama si Siren

•••

Diketik dengan 8.977 kata. Terima kasih sudah membaca.

Part ini penulisan aku lumayan kaku. Efek kelamaan nggak nulis, semoga feelnya tetep kerasa.

KASIH PENDAPAT KALIAN UNTUK PART INI!! (Mode maksa) 😋💗

NEXT? 3.000 komentar & tunggu sampai line paragraf penuh sama komentar. ‼️ Spoiler: akan ada sedikit bumbu #crime

Part selanjutnya GASKA vs CELLO? Bakal ada ribut besar. Kalian tim siapa? ☹️

•••

Ketik NAVILLERA biar hafal judul cerita ini!

Spam emoji 🦋 untuk meramaikan cerita ini!

Selalu promosi/ rekomendasikan cerita ini ke media sosial & teman-teman kalian yang suka baca wattpad, dongsss!! <3

(Menerima segala bentuk kritik, saran, dan masukan yg sesuai standard) 💌

Continue Reading

You'll Also Like

55.8K 9.3K 51
[COMPLETED] Jangan pernah jatuh cinta. Itulah prinsip yang ditanamkan baik-baik di pikiran Aradilla Zavani Wijaya. Cewek yang masih berusia 16 tahun...
56.4K 5.9K 45
[Belum direvisi. Masih banyak penggunaan kata yang salah] Tidak perlu mengungkapkan rasa Karena kita saling merasa hal yang sama Tidak perlu berkata...
3M 30.9K 28
(โš ๏ธ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”žโš ๏ธ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] โ€ขโ€ขโ€ขโ€ข punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.4M 207K 38
[COMPLETED] Eirene merapat pada Nyx, dan cowok itu hanya diam menatapnya. Eirene kemudian melingkarkan satu tangan di leher Nyx, dan satu tangan lagi...