THE HALF BLOOD

By ZRVAHLEVI

403K 45K 5.4K

[IMMOSENCE SERIES #3] Seana Rosemarline Horesten. Nama indah yang diberikan Mrs. Bethany Horesten saat melahi... More

PROLOG
1 - Berita Duka
2 - Tato Ikatan
3 - Pertemuan
4 - Penolakan
5 - Kepemilikan
6 - Interogasi
7 - Cemburu
8 - The Wiltwizzy
9 - Transformasi
10 - Seana Horesten VS Helena Wiltwizzy
11 - Sebab dari Akibat
12 - Berhadapan dengan Wiltwizzy
13 - Kabar Buruk
14 - Dewan Kerajaan
15 - Laboratorium
16 - Jangan Sembunyikan Seana
17 - Pengujian Pada Seana
18 - Perubahan Sekitar Seana
19 - Kembali Diakui
20 - Kehilangan, Rasa Bersalah, dan Kemarahan
22 - Dendam yang Terbalas
23 - Jebakan
24 - Awal Kudeta
25 - Kudeta
26 - Akhir dari Kudeta
27 - Dia yang kembali dari kematian
28 - Akhir Kisah
EPILOG
UCAPAN TERIMA KASIH

21 - Duka

7.2K 1.2K 92
By ZRVAHLEVI


21 – Duka

Carlyle tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan perasaan seperti saat ini; marah, sedih, gelisah, dan semua emosi negatif yang menyelubunginya. Mungkin saat acara pemakaman ayah dan Aiden, kakak lelakinya, yang menguras seluruh emosi dalam dirinya dan membuatnya seketika kehilangan pegangan. Saat ibunya meninggalkannya, ia bersikukuh bahwa ia masih memiliki ayah dan Aiden sebagai tiang hidupnya, tetapi saat dua tiang tersebut telah runtuh, ia pun ikut luruh, remuk tidak bersisa. Dan kali ini rasa itu kembali muncul ke permukaan, ditambah dengan sedikit harapan yang menyelubunginya.

Di antara semilir hawa dingin yang menerpa dirinya, ia mengembuskan napas panjang, merasa lelah dengan emosi negatif yang belakangan ini membelenggunya. Ia mengetuk sepatunya pada permukaan salju, mengikis menjadi serpihan, merasa bosan menunggu hampir lima belas menit dalam ketidakpastian. Sayap birunya terkatup di belakang punggungnya, sementara bagian atas tubuhnya tidak tersentuh pakaian, sama sekali tidak berdampak pada hawa dingin. Kepalanya mendongak, menatap bukit-bukit salju, kemudian pandangannya berkeliling ke segala arah, merasa memori menyeruak dalam ingatannya. Kali ini, Carlyle bertahan untuk tidak luruh.

Dari belakang, ia mendengar suara langkah kaki mendekat, seketika ia menoleh dan mendapati Adam Sanders berjalan mendekat padanya dengan sayap putih terkatup di belakang punggungnya.

"Akses terkunci," kata Adam pelan.

Sesaat setelah Carlyle adu bicara dengan keluarganya, mempertahankan keyakinannya bahwa Aiden masih hidup, Adam berbicara dengannya empat mata, menuntut penjelasan lebih dari versi ceritanya. Setelah itu, pria itu memutuskan untuk membantu Carlyle untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, dan menjabarkan dugaan-dugaan yang selama ini Adam pendam. Saat Carlyle bertanya pada Adam tentang mengapa pria itu percaya akan ceritanya, Adam hanya menjawab, "Aku mengenal Aiden, dia tidak akan mati semudah itu."

"Bagaimana bisa?" tanya Carlyle, keningnya mengernyit bingung. "Bukankah hanya kau pemegang akses?" Carlyle menoleh pada barisan bukit di belakangnya, bukit yang terlihat berbeda dari bukit-bukit lain di sekelilingnya.

Adam tertawa kecil. "Terakhir kali aku menggunakan laboratorium adalah saat melakukan uji coba pada Abby, kemudian karena laboratorium rusak parah, aku meninggalkan semuanya dan belum membereskan kekacauan yang terjadi dalam laboratorium. Jadi sejak saat itu, aku meninggalkan tempat ini dan membangun laboratorium baru."

"Dan itu tidak menjelaskan semuanya, Sanders,"

Adam mengembuskan napas berat, matanya menatap lekat jejeran bukit tersebut. "Sebelum pergi aku mengubah hak akses semua orang yang berhak masuk ke dalam laboratorium ini, hanya aku yang dapat masuk ke dalam sana. Tetapi pada saat terakhir, Aiden memintaku menambahkan namanya, ia berkata hanya berjaga jika suatu saat ia membutuhkan tempat ini."

Carlyle tertawa sinis. "Sudah kubilang bahwa Aiden—"

"Belum tentu, Carl," Adam memotong. "Aiden dan empat ajudannya memiliki cara kerja yang misterius. Mereka bisa mengetahui informasi yang Aiden miliki jika itu berhubungan dengan lokasi lewat sandi khusus mereka."

"Kau memiliki pengamanan yang sangat ketat, sensor retina, sensor suara, sensor wajah, dan lainnya."

"Siapa yang bisa menjawab jika sebelum kejadian tersebut, Aiden masuk ke dalam laboratorium ini dan menambahkan hak akses keempat tangan kanannya lalu menghapus akses milikku?"

Carlyle menatap Adam hampa, lalu berkata dengan nada lemah, "Jadi kau percaya bahwa Aiden telah mati?"

"Aku tidak ingin berspekulasi, Carl." Adam kembali mengembuskan napas berat. "Jika Aiden masih hidup, dan ia ingin kembali, ia pasti akan kembali. Setidaknya si kembar berada di tempat teraman saat ini."

Dan Carlyle hanya menunduk lesu. Merasa kalah.

---

Suasana mendadak berbeda saat pertama kali Carlyle dan Adam menginjakkan kakinya di Kerajaan Falks. Semua orang mengenakan pakaian serba hitam, semua orang memasang wajah duka. Sesaat Carlyle kehilangan orientasi, seperti kilas balik pada masa di mana ia kehilangan tiang penopangnya. Pandangan Carlyle tidak terfokus, bahkan ia hanya menatap kaku saat Adam melesat terbang menuju ke istana kerajaan.

Tubuhnya goyah saat akal sehat mengambil alih kembali tubuhnya. Tanah falks kembali berduka.

Tidak lama kemudian, Adam kembali datang dengan seraut wajah tanpa ekspresi, urat bertonjolan di kepalanya. Ia menatap Carlyle datar kemudian mengatakan sesuatu yang membuat jantung Carlyle seakan mencelos, "Kita ke kediaman Keluarga McPhee. Marc tewas—"

Dan selanjutnya dunia Carlyle mendadak hening. Ia terdiam bagai patung, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya mengikuti Adam, bagai tubuh tanpa jiwa.

---

Kerumunan falks dengan pakaian serba hitam kembali terjadi di tanah pemakaman Bangsawan Kerajaan Falks. Seraut wajah duka mendominasi sekitar dengan cuaca gerimis dan tangis yang menjadi musik pengiring jenazah. Marcquez Robert McPhee, nama tersebut terukir pada nisan di gundukan tanah merah yang dikelilingi ratusan pelayat baik dari pihak keluarga, rekan sesama pemain baseball, dan penggemarnya.

Sementara Carlyle tidak bisa menangis, sedangkan hatinya terkikis karena kehilangan. Ia berdiri menjauh, menatap sekitar, menyembunyikan dirinya sendiri. Matanya dapat melihat keluarganya duduk pada barisan kursi paling depan, kemudian matanya hanya tertuju pada Eliza, adik kembarnya, yang terdiam bagai patung, meresapi kehilangan belahan jiwanya.

Pertama kali Carlyle mendengar nama Marc adalah saat Eliza mengagungkan nama pemain baseball tersebut selepas ia menonton pertandingan baseball di ibukota. Eliza jatuh cinta pertama kali dengan Marc, jatuh cinta dengan pesona dan permainan baseball-nya yang sungguh mengagumkan. Lalu, pertama kali Carlyle berkenalan dengan Marc adalah saat Eliza memperkenalkannya sebagai mate-nya yang seketika membuat Carlyle terpingkal karena meragukannya. Namun, Carlyle langsung terdiam saat menatap mata Eliza. Saat itu, ia tahu bahwa adiknya berbicara apa adanya.

Ia pernah berjanji pada ayah dan ibunya bahwa ia akan menjaga Eliza dari siapapun yang akan merenggut kebahagiaannya. Ia pernah bersumpah pada Aiden, bahwa ia akan menjaga Eliza segenap jiwanya. Dan kini janjinya seolah gagal.

Carlyle berbalik, air mata akhirnya mampu mendobrak perlindungan kemudian jatuh di wajah dukanya.

Kehilangan tidak akan pernah berakhir. Yang mati akan menjadi tulang belulang. Yang hidup selalu melanjutkan perjuangan.

Dan kini giliranku.

---

"Anda memutuskan untuk datang?" Ansley berkata dengan datar di balik rerimbunan pepohonan di tanah pemakaman Bangsawan Kerajaan Falks. Tatapannya lurus menatap barisan falks berpakaian hitam, sementara seseorang yang diajak berbicara berada di sebelah kirinya, memakai jubah hitam dengan hawa mematikan menyeruak di sekitar tubuhnya.

"Ini bentuk penghormatan terakhirku," kata pria tersebut, intonasi suaranya datar dan sedingin es di kutub selatan.

"Apakah kali ini Anda akan memutuskan untuk turun tangan sendiri?" Ansley menoleh pada lawan bicaranya. "Satu falks menjadi korban."

Sunyi.

"Anda tahu bahwa semua terjadi untuk menggoyahkan takhta Raja Alec Wiltwizzy. Kali ini akan menjadi dasar keputusan Raja yang sangat penting, jalan damai atau perang? Marc adalah keluarga kerajaan sejak ia terikat dengan Putri Eliza Wiltwizzy, dan keluarga kerajaan wajib dilindungi. Namun, kali ini sudah terlewat batas, beri saya perintah untuk membereskan para bedebah di balik wajah duka di sana."

"Alec akan mengambil keputusan yang semestinya dan kau tetap berada di posisi yang seharusnya."

Ansley merasa jengah dengan keputusan lawan bicaranya. "Apakah Anda akan seperti ini jika Anda masih hidup?"

Sunyi sejenak, kemudian pria itu menjawab. "Tidak. Aku akan melakukan seperti yang aku lakukan saat penyihir membantai Zachary Bowman, Pangeran Amethyst."

Sebelah sudut bibir Ansley terangkat. "Anda akan membunuh seluruh klan werewolf?"

Lawan bicara tersebut berbalik, menoleh pada Ansley dari balik bahu. "Bukan aku yang akan melakukannya. Wiltwizzy lain yang akan melakukannya." Kemudian pria tersebut melangkah pergi, menjauh dari tempat yang selalu berselimut duka.

"Tunggu!" Ansley berseru, menghentikan langkah pria tersebut. "Jika Anda lupa, tempat peristirahatan Anda berada di selatan dari tempat ini," ucapnya dengan seringaian lebar tersungging di bibirnya.

Lelaki tersebut menoleh dari balik bahunya, mata biru laiknya samudra yang membeku mengilat penuh ancaman pada Ansley. "Jika kau lupa, aku bisa membuat tempat peristirahatan untukmu di bawah kakimu detik ini juga."

Dan Ansley hanya mampu mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan membalikkan tubuhnya untuk kembali mengamati upacara pemakaman, tetapi tubuhnya tiba-tiba menegang saat matanya bersibobrok dengan iris mata gelap dan setajam elang milik satu wanita. Sayap hitam yang mengatup di belakang tubuhnya tiba-tiba melengkung menutupi tubuhnya, asap hitam muncul dari bawah kakinya merambat ke atas, menghilangkan tubuhnya secara perlahan, melenyapkan dirinya dari pandangan mata elang milik wanita tersebut.

Mata milik Amaris Wiltwizzy.

---

"Aku hancur, Carl, aku tidak tahu bagaimana merasakan jiwaku lagi. Aku merasakan jiwaku tercabut, tetapi pada kenyataannya jiwaku masih utuh. Bantu aku, Carl. Bantu aku."

Suara Eliza dan tangisannya masih terngiang dalam indra pendengaran Carlyle, sementara tubuhnya hanya terduduk kaku di hadapan tubuh Seana yang masih tertidur lemah di kamarnya di istana Kerajaan Falks.

"Apakah kau masih merasakan sakit, El?"

Eliza menggeleng. "Aku tidak merasakan apapun. Kupikir Marc hanya terluka, jadi aku menggunakan kekuatanku untuk tidak merasakan sakit apapun pada tubuhku sendiri, tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang mencabut jiwaku." Eliza menyeka air matanya. "Aku harus bagaimana, Carl, aku seperti perlahan akan mati. Aku ingin Marc kembali, aku tidak mampu tanpa Marc, bantu aku mengatasi apa yang aku rasakan."

Carlyle bangkit berdiri, ia mendekat pada Seana yang masih terpejam, tangannya terulur menggenggam tangan Seana erat. "Maafkan aku," ucapnya kemudian mengecup kening Seana lama.

Carlyle keluar dari kamar Seana, dan langkah kakinya terhenti saat berpapasan dengan Alec di koridor istana.

"Apa yang akan kaulakukan?" tanya Alec, seolah mampu membaca pikiran Carlyle.

"Apa yang akan kaulakukan?" tanya Carlyle balik, wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.

"Beri aku pertimbangan, Pangeran Mahkota," ucap Alec.

Sudut bibir Carlyle terangkat sinis."Tidak ada pertimbangan, Raja. Keputusanku hanya satu. Perang!" desisnya, kemudian berjalan menjauh dari Alec, membiarkan Alec dalam kebimbangan yang membelenggu hatinya.

---


Continue Reading

You'll Also Like

782K 70.4K 32
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
441K 27.7K 58
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
3.5M 345K 94
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
285K 17.2K 25
Update setiap hari Fantasy || Romance || Young Adult Grishold tempat di mana mimpi buruk hidup dan bernapas. Rosemary Roe baru saja jatuh lebih rend...