21 - Duka

7.2K 1.2K 92
                                    


21 – Duka

Carlyle tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan perasaan seperti saat ini; marah, sedih, gelisah, dan semua emosi negatif yang menyelubunginya. Mungkin saat acara pemakaman ayah dan Aiden, kakak lelakinya, yang menguras seluruh emosi dalam dirinya dan membuatnya seketika kehilangan pegangan. Saat ibunya meninggalkannya, ia bersikukuh bahwa ia masih memiliki ayah dan Aiden sebagai tiang hidupnya, tetapi saat dua tiang tersebut telah runtuh, ia pun ikut luruh, remuk tidak bersisa. Dan kali ini rasa itu kembali muncul ke permukaan, ditambah dengan sedikit harapan yang menyelubunginya.

Di antara semilir hawa dingin yang menerpa dirinya, ia mengembuskan napas panjang, merasa lelah dengan emosi negatif yang belakangan ini membelenggunya. Ia mengetuk sepatunya pada permukaan salju, mengikis menjadi serpihan, merasa bosan menunggu hampir lima belas menit dalam ketidakpastian. Sayap birunya terkatup di belakang punggungnya, sementara bagian atas tubuhnya tidak tersentuh pakaian, sama sekali tidak berdampak pada hawa dingin. Kepalanya mendongak, menatap bukit-bukit salju, kemudian pandangannya berkeliling ke segala arah, merasa memori menyeruak dalam ingatannya. Kali ini, Carlyle bertahan untuk tidak luruh.

Dari belakang, ia mendengar suara langkah kaki mendekat, seketika ia menoleh dan mendapati Adam Sanders berjalan mendekat padanya dengan sayap putih terkatup di belakang punggungnya.

"Akses terkunci," kata Adam pelan.

Sesaat setelah Carlyle adu bicara dengan keluarganya, mempertahankan keyakinannya bahwa Aiden masih hidup, Adam berbicara dengannya empat mata, menuntut penjelasan lebih dari versi ceritanya. Setelah itu, pria itu memutuskan untuk membantu Carlyle untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, dan menjabarkan dugaan-dugaan yang selama ini Adam pendam. Saat Carlyle bertanya pada Adam tentang mengapa pria itu percaya akan ceritanya, Adam hanya menjawab, "Aku mengenal Aiden, dia tidak akan mati semudah itu."

"Bagaimana bisa?" tanya Carlyle, keningnya mengernyit bingung. "Bukankah hanya kau pemegang akses?" Carlyle menoleh pada barisan bukit di belakangnya, bukit yang terlihat berbeda dari bukit-bukit lain di sekelilingnya.

Adam tertawa kecil. "Terakhir kali aku menggunakan laboratorium adalah saat melakukan uji coba pada Abby, kemudian karena laboratorium rusak parah, aku meninggalkan semuanya dan belum membereskan kekacauan yang terjadi dalam laboratorium. Jadi sejak saat itu, aku meninggalkan tempat ini dan membangun laboratorium baru."

"Dan itu tidak menjelaskan semuanya, Sanders,"

Adam mengembuskan napas berat, matanya menatap lekat jejeran bukit tersebut. "Sebelum pergi aku mengubah hak akses semua orang yang berhak masuk ke dalam laboratorium ini, hanya aku yang dapat masuk ke dalam sana. Tetapi pada saat terakhir, Aiden memintaku menambahkan namanya, ia berkata hanya berjaga jika suatu saat ia membutuhkan tempat ini."

Carlyle tertawa sinis. "Sudah kubilang bahwa Aiden—"

"Belum tentu, Carl," Adam memotong. "Aiden dan empat ajudannya memiliki cara kerja yang misterius. Mereka bisa mengetahui informasi yang Aiden miliki jika itu berhubungan dengan lokasi lewat sandi khusus mereka."

"Kau memiliki pengamanan yang sangat ketat, sensor retina, sensor suara, sensor wajah, dan lainnya."

"Siapa yang bisa menjawab jika sebelum kejadian tersebut, Aiden masuk ke dalam laboratorium ini dan menambahkan hak akses keempat tangan kanannya lalu menghapus akses milikku?"

Carlyle menatap Adam hampa, lalu berkata dengan nada lemah, "Jadi kau percaya bahwa Aiden telah mati?"

"Aku tidak ingin berspekulasi, Carl." Adam kembali mengembuskan napas berat. "Jika Aiden masih hidup, dan ia ingin kembali, ia pasti akan kembali. Setidaknya si kembar berada di tempat teraman saat ini."

THE HALF BLOODWhere stories live. Discover now