Insane Death Angel (Pendosa)

By achlyslibera

165K 8.1K 168

Amarah dan Tangisan dalam hati Sarah begitu riuh, hingga ia tak mampu mendengar hati nuraninya yang meneriakk... More

Sekolah Baru
Upacara Bendera
I'm Watching You...
Death Angel:Rika
Part 5-Run run run
Part 6-The Raiders
Siapa Gadis Itu?
Death Angel: Sandra
Who Am I?
Beater-Twister
Penawaran Terakhir
Siapa JLA?
Revealing JLA- Part 1
Revealing JLA- Part 2
Prom Night Execution
Dibalik Dinginnya Dinding Penjara
The Hairpin
Suatu Hari di Penjara
Escape Trial
Kami dan Mia
Mengungkap Keberadaan The Beaters
Sebuah Rencana
Northern Forest
Bertemu Kembali
We are Alone
Siapa Dia?
Runaway
Duri Dalam Daging
I am Unpredictable
This is War!
Penyelamat Misterius
Terbawa Jauh ke Negeri Orang
Orang Asing
Holiday Accident
Koma
Rise From Sleep
Back To Action
Little Family
Aku Membutuhkanmu
Milikku Selamanya
Penghakiman Sang Waktu
>Break< >Announcement<
<Tentang>
Officially End - Facts You Might Not Know About This Story

Diculik

744 38 0
By achlyslibera

            "Kalau kau tak percaya dengarkan sajalah sendiri!" Aku segera mengambil handphoneku dan menunjukkannya pada Victor. Namun aneh, aku tak menemukan rekaman itu sama sekali. Bahkan tak ada rekaman, lagu, file-file, ataupun foto dalam hpku ini. Victor hanya melihatku sambil geleng-geleng kepala, menepuk pundakku lalu berdiri. Baru aku mau mengecek slot kartu memory, Victor sudah pergi.

"Hei! Hei! Victor! Lihatlah, kartu memorinya hilang!"

Namun dia tak mau mendengarku.

Kartu memoriku hilang. Aku curiga –mungkin bukan curiga lagi kalau Jason yang bermuka dua itu mengambilnya. Habis siapa lagi?

Aku berdiri lalu berjalan menuju kamar Jason. Sial, dia tak ada. Aku tahu, dia kemana. Aku segera mengenakan jaketku dan pergi ke tempat dimana aku pertama kali mengetahui kelicikannya itu. Di deretan bangunan yang dingin itu. Aku memang agak lupa dengan jalannya, tetapi tak lama setelah itu aku sampai.

Aku berjalan perlahan-lahan menaiki sebuah balkon kotor dan mengintip mereka. Aku menggenggam pistolku erat-erat, berjaga-jaga jika sesuatu terjadi.

Aha! Aku melihatnya! Tepatnya, mereka! Aku melihat wajah mereka terlihat sangat lega. Lalu tiba-tiba aku melihat Jason mengacungkan sebuah kartu memori. Itu kartu memoriku.

Bagaimana dia bisa berpikir secepat itu?!

"Wah, untunglah kau gesit, hingga kau bisa mengambil kartu memorinya." Tukas Pria 1

"Tapi, aku menyesal, aku tak sempat menghapusnya daripada mencabut kartu memorinya."

"Ya. Tapi untunglah kau sempat mengambilnya. Paling tidak itu masih bisa menyelamatkan kita."

"Heh-eh!" Dadaku sesak karena posisi merayap ini. Mereka semua terkejut dan menengok ke segala arah. Aku panik.

Namun akhirnya mereka saling menatap dan kembali mengobrol. Amy tampak akan meminjam sesuatu pada seorang temannya.

"Hei, pinjam handphonemu!" Orang itu memberikan handphonenya. Amy mengacungkannya, lalu melirik ke arahku, dan semuanya terlihat hitam.

***

Aku terbangun dengan kepala yang teramat pusing. Posisiku menelungkup dengan kedua tangan yang diikiat di belakangku. Aku menengok sekitarku, tampak asing. Sepertinya ini di ruang bawah tanah. Dindingnya putih dan tebal, namun banyak bercak darah yang nampak segar dan bahkan masih basah dan mengalir. Lantai ubinnya dingin dan berwarna putih berbercak darah segar. Ada pula jendela berkaca bening dengan tirai tebal berwarna kelabu yang terbuka, serta sebuah ventilasi yang letaknya cukup tinggi. Ruangan ini hanya diterangi oleh sebuah lampu pijar yang cukup terang.

Aku melihat sekelilingku, ada beberapa tabung besar yang berisi cairan seperti air serta beberapa kabel dan pipa yang terhubung dengannya. Ada sebuah meja dengan tuas-tuas aneh. Ada beberapa alat yang tergantung di dinding yang aku tak tahu apa namanya. Ada pula beberapa alat penyiksa kuno.

Aku melihat The Iron Maiden, lemari berduri tajam yang bila seseorang masuk ke dalamnya dan pintunya ditutup, maka orang itu akan tertusuk dan mati secara perlahan dengan merasakan sakit yang luar biasa terlebih dahulu. Duri-durinya bahkan berlumuran darah yang masih menetes. Tak hanya darah, di durinya itu juga ada 'benda-benda menjijikkan dan lunak' berwarna merah kehitaman.

Aku ngeri melihatnya. Aku mengalihkan pandanganku dan melihat jasad seorang pria tergeletak mengenaskan. Sepertinya dialah pemilik darah-darah itu. Tubuhnya berlumuran darah. Kepalanya pecah seperti habis ditekan kuat oleh sesuatu. Mayat ini belum berbau, sepertinya baru meninggal.

Tiba-tiba seseorang datang. Aku tak tahu siapa dia, karena wajahnya tertutup kain hitam yang hanya menunjukkan celah untuk matanya melihat. Dia menatapku dalam sekali. Aku hanya bisa menatap matanya dengan penuh rasa takut.

Kemudian dia menarik rambutku dan mengikatku di sebuah tiang kayu yang lapuk. Aku hanya bisa berteriak kesakitan. Lalu dia meninggalkanku begitu saja. Tak lama kemudian dua orang berjubah datang ke hadapanku. Salah satu orang itu menyentuh daguku lalu melepasnya. Kemudian dia membuka jubahnya. Dia adalah Amy. Aku sangat marah melihatnya.

"Apa maumu? Dimana aku?!" bentakku.

"Tentunya semua penjahat di dunia ini tahu bahwa gudang senjata Victor adalah yang terbesar dan terlengkap yang pernah ada." Dia berjalan berlenggak-lenggok layaknya model, lalu berhenti mengambil sebuah pedang.

"Lalu apa maumu?!" Aku makin kesal. Dia berhenti di belakangku.

"Aku hanya ingin bertanya, dimana gudang senjata itu?"

"Aku tak akan pernah memberitahumu!"

Dia mengangkat pedangnya. Aku sangat ketakutan.

Kemudian dia memotong kayu pasung itu dengan pedangnya hingga patah, dan juga mengenai tanganku. Berdarah, sakit sekali.

Lagi-lagi aku hanya bisa berteriak kesakitan. Kemudian dia menjambak rambutku.

"Jika kau tak ingin tersiksa, katakanlah sekarang dan kau akan kubiarkan pulang!"

"Kau takkan bisa mendapatkannya!"

Dia menarik rambutku makin keras.

"Buatlah ini mudah!" bentaknya.

Aku terdiam. Aku tak bisa mengatakannya.

"Oke." Dia mengangguk dan memberi kode pada satu orang yang menemaninya. "Tinggalkan kami berdua. Aku akan berbicara secara lemah lembut padanya, sesama perempuan." Dia tersenyum tipis padaku. Orang itu pergi.

Amy menarik rambutku dan menyeretku menuju dua buah kursi. Satu kursi yang berduri, dan satunya lagi adalah sebuah kursi kayu yang sandarannya tinggi.

Aku hanya bisa bertanya-tanya, di kursi mana dia akan menaruhku. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Tanganku diikat, dan entah mengapa tubuhku terasa sangat lemas. Sepertinya, panah yang ditembakkan ke arahku itu mengandung racun, obat bius, atau apalah, yang mungkin terlalu banyak dan kuat hingga efeknya masih kurasakan sekarang.

Oh, ternyata dia menaruhku di kursi kayu itu. Namun tentu saja, dia merantai tangan dan kakiku. Setelah itu dia berdiri sambil bertolak pinggang di hadapanku, lalu pergi.

Kupikir dia akan meninggalkanku di ruangan ini sendiri. Namun ternyata dia berjalan menuju sebuah perapian, mengenakan kaus tangan tebal, dan membungkuk seperti mengambil sesuatu. Tak lama kemudian dia membalikkan badannya dan dua buah tongkat besi yang membara ada di tangannya.

Aku makin tegang. Keringatku bercucuran.

"Kuberi kau dua pilihan. Pilihan A, kau harus mengatakan dimana gudang senjata itu dan katakanlah maaf dan kau telah menyesal membunuh sepupuku, Sandra. Pilihan B, kedua besi yang membara ini akan mengecup kulitmu, dengan mesra. Pilih yang mana?"

Aku tak bisa mengatakan apapun. Mulutku bungkam.

"Ayo, katakanlah." Wajahnya nampak tak sabar.

Apa yang harus kulakukan? Jika aku tidak mengatakannya, besi yang memerah itu akan mengecup kulitku hingga robek dan meleleh. Tapi jika aku mengatakannya, maka bukan hanya aku yang akan menderita (mungkin juga akan mati), namun juga Victor, Kathleen, sahabat-sahabat The Raiders, bahkan bisa saja keluargaku.

Aku tidak akan pernah mengatakannya! Aku bersumpah, demi anakku yang belum lahir!

"Aku pilih B."

"Wah, pilihan yang salah!" Dia tersenyum tipis, dan meletakkan besi itu di kedua pergelangan tanganku secara perlahan. Keringat dinginku bercucuran, mataku terbelalak melihat besi itu yang perlahan akan menyentuh kulitku.

"Jangan! Jangan! Amy!" Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil memohon agar dia tidak melakukan itu. Namun sia-sia saja. Besi itu tetap terbang perlahan menuju kulitku.

Aku tak bisa berkata apa-apa selain berteriak kesakitan. Ini adalah rasa sakit yang paling sakit yang pernah kurasakan.

"Aaaaa! Panas!" Aku berteriak. Teriakanku yang paling kencang. Aku meronta-ronta, dan menghentak-hentakkan tanganku. Namun semakin aku memberontak, semakin kencang cengkraman besi itu.

Panas sekali. Panas sekali. Kulitku melepuh.

Sekitar 15 menit kemudian besi itu perlahan mulai dingin.

Oh, deritaku akan berakhir. Namun, tanganku melepuh, meleleh, dan perih sekali. Bisa kulihat, di luar jendela banyak sekali yang melihatku. Mereka semua teman-teman Amy.

Dan disana ada Jason...

Dia hanya terpaku melihatku sambil melipat tangannya di depan dada. Wajahnya nampak serius melihatku yang sedang berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Oh Jason, kau bukanlah orang yang biadab. Datang dan selamatkanlah aku...

Ah percuma! Dia sudah tak peduli lagi padaku.

Besi ini sudah dingin. Akhirnya. Amy menatapku dengan senyuman licik lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia membuang besi itu ke dalam api lalu pergi menuju sebuah lemari. Jantungku berdetak kencang lagi. Apa lagi yang akan dilakukannya padaku?

Aku menengok tanganku. Aku melihat sesuatu yang berwarna putih. Apakah itu yang dinamakan tulang? Dagingku terlihat. Darah terus mengalir deras mengotori lantai yang berwarna putih ini. Mereka psikopat dengan membuat lantai ini berwarna putih agar bisa melihat darah mengalir deras dari korban yang disiksanya. Semua psikopat tak punya emosi, tak punya perasaan.

Sungguh, aku tak tahan dengan rasa sakitnya.

Orang-orang yang ada di luar hanya melihatku sambil geleng-geleng kepala dan sesekali berbincang-bincang tentang keadaanku. Malah ada yang tertawa. Jason diluar sana hanya menatapku saja. Sedari tadi dia hanya terpaku disana. Tanpa ekspresi.

Oh Jason, ingatkah kau? Jika bukan karena aku dan Kathleen maka sekarang kau masih dipenjara di rumahmu sendiri. Jika bukan karena rencanaku dan Kathleen maka sekarang tubuhmu sudah kurus dan kau pun masih dalam pasungan di penjara bawah tanah di rumahmu sendiri. Aku telah meloloskanmu dari sana sebelum darahmu mengalir keluar uratmu dengan deras.

Tapi kini, disaat aku sedang sekarat, saat darahku sudah membanjiri tempat ini kau hanya diam saja? Aku tak mengharapkan balasan, tapi aku hanya memohon satu hal, bawalah aku pergi dari sini...

Segala lamunan itu buyar ketika aku melihat Amy kembali ke hadapanku dengan dua buah cambuk di tangannya. Aku menelan air ludahku.

"Kau masih belum mau menjawab?" Tanyanya. Aku diam saja. "Baiklah!"

Dia mengayunkan cambuk itu ke kedua tanganku yang terluka. Sakit sekali. Selesai dengan tanganku dia mencambuk seluruh tubuhku.

Oh, bunuh saja aku. Jangan siksa aku seperti ini.

Lama kemudian, sekitar satu jam, akhirnya dia berhenti. Setelah sekujur tubuhku lebam dan berdarah. Perih sekali. Orang-orang di luar jendela kaca itu makin banyak dan terlihat semakin tegang. Ada yang terlihat tak percaya, ada yang ngeri, dan bahkan ada yang tertawa keji. Jason disana, masih dalam posisinya yang sama. Berdiri tanpa ekspresi.

Dia membuang cambuknya ke lantai lalu menendangku yang sedang menelungkup tak berdaya, hanya untuk melihat wajahku yang sudah berdarah-darah yang tak berdaya. Tubuhku sakit dan lemas sekali. Aku sudah kehilangan banyak darah. Mengapa aku tak mati juga?

"Hah, rupanya kau kuat juga. Hei! Jangan tidur! Bangun!" Dia mengangkat dan menyeretku menuju the Iron Maiden. Aku meronta-ronta. Aku tak mau berakhir di The Iron Maiden. Lemari berduri itu sangat menyakitkan. Aku akan mati secara perlahan. Mungkin besok hari. Namun sebelum mati aku harus merasakan perihnya duri-duri besi itu.

Aku tak mau. Dengan mengumpulkan seluruh kekuatanku yang tersisa aku berusaha menendangnya. Berhasil. The Iron Maiden yang pintunya terbuka itu jatuh menimpanya. Dia berusaha berdiri. Namun dia tampak marah. Tubuhnya berdarah, mungkin ada sebagian durinya yang menusuk tubuhnya.

Dia menyeretku dengan kasar ke sebuah tabung besar yang penuh dengan air. Aku sudah tak punya kekuatan untuk memberontak. Tubuhku sudah sangat lemah. Dia membuka penutup tabung itu, lalu menaiki sebuah tangga hingga dia bisa mencapainya lalu dia masukkanku ke dalam tabung itu. Air yang tertekan keluar dari mulut tabung. Seluruh tubuhku tenggelam dalam air. Lalu dia menutup tabungnya.

Penglihatanku mulai berkunang-kunang, namun masih bisa kulihat Amy keluar dari ruangan ini. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di luar jendela. Semuanya sudah pergi, kecuali Jason.

Nafasku sudah mulai habis. Hidungku berdarah menghirup air. Air ini berubah menjadi merah. Aku sudah tak tahan lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 253 22
Kemana kepalanya? bukan manusia berkuda tanpa kepala, apalagi manusia berkuda tanpa kuda. kalo itu hantu tanpa kepala! jadi manusianya ada, kudanya...
44.1K 3.5K 17
Lebih mementingkan pekerjaan atau istri!?
11.2K 197 14
Kumpulan quotes dan puisi dengan analogi rindu dan kopi. Yang ditulis karena tokoh "aku" berjuang bangkit dari sakitnya ditinggalkan
126K 9.5K 18
Anessa season 2! SEBAGIAN PART SEGERA DI PRIVAT FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBACA NYA! ••• "GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu...