RaLion

By haynett_

503K 35.9K 3.4K

Tahap revisi!! Amazing cover by @Melmelquen๐Ÿ˜˜โค Adelion Mahendra? Siapa yang tidak mengenalnya? Cowok selengek... More

1. Pertemuan
2. He Different!
3. Kata Kayla
4. Lion dan Rasa Sakit
5. Ciuman?
6. Luka yang tak pernah sembuh
7. Tentang Kebaikan
8. Debaran Aneh
9. Halusinasi?
10. Cancer
11. Lala dan Rasa Sayang
12. Tak Terduga
13. Tantangan
14. Pertolongan Lion
15. Perasaan Aneh
16. Terpengaruh
17. Cemburu
18. RALION?
19. Amplop Merah
20. Gagal
21. Hanya Sebagian Dari Kenyataan
22. Terungkap
23. Boy vs Dad
24. Pemenang Dari Kebimbangan
25. Menemukan Airo Dan Kenyataan Baru
26. Masih Terlalu Membingungkan
27. Antara Tiga Gadis
28. Merindukan Sosok Bengal Itu
29. Takdir Yang Mengalahkannya
30. Melepaskan
31. Kebenaran Beberapa Tahun Silam
32. Menggenggam Perih
34. Berkorban
35. Tenggelam Dalam Duka
๐Ÿ”’Q&A [Question]๐Ÿ”’
36. Perubahan
๐Ÿ”“Q&A [Answer]๐Ÿ”“
37. Painkiller
38. Topeng dan Perjuangan
39. Kencan
40. Pergi
Extra Part
BACA!
Bisa dong promosi
Lion di-copy๐Ÿ˜”

33. Menyelamatkan Tiga Bunga

8.9K 783 87
By haynett_

Di aula SMA Pelita Bangsa terlihat para siswa yang berbondong-bondong mengisi kursi kosong yang disediakan. Mulai dari kelas X sampai dengan kelas XII sudah menempatkan diri mereka secara berkelompok sesuai angkatan masing-masing.

Poster dari gambar dua calon ketua OSIS dan wakilnya ditempatkan pada pintu utama yang dilalui oleh para siswa. Beberapa dari pendukung mereka memberikan brosur berisi visi misi dari sang calon pemimpin organisasi tersebut sehingga para siswa bisa menentukan pilihan mereka dengan bijak.

"Kalo lo pilih Lion dijamin sekolah aman, tentram, dan damai," celoteh Fero sambil memberikan tiga lembar brosur kepada tiga kakak kelasnya itu. Fero tersenyum dan menepuk bahu mereka cukup keras, seakan itu adalah sebuah ancaman.

Ketiga kakak kelasnya yang terlihat culun hanya bisa mengangguk pasrah dan melangkah memasuki aula. Memang di sekolahnya senioritas sangat dijunjung tinggi, tapi hal itu tidak berlaku bagi mereka, terlebih bagi Lion yang memang sering menciutkan nyali anak-anak kelas XII, baik cowok maupun cewek.

Melihat aksi Fero, Airo jadi terkekeh. "Mantap coy. Menang banyak kita hari ini."

Tawa keduanya menggelegar, bagaimana tidak? Jika nanti Lion memenangkan posisi ketua OSIS, cowok itu akan meneraktirnya makan di kantin sepuas mereka. Tidak hanya itu, Lion akan memenuhi satu permintaan mereka apa pun itu.

Dari arah luar terlihat Randi yang menenteng tas keresek berisi beberapa botol minuman dingin. Tawa Fero semakin membuncah kala Randi sudah berada di depannya.

"Sabar bro, semuanya akan indah pada waktunya." Gelak tawa mereka kembali terdengar saat melihat Randi yang malah mendengus kesal. Di sini dia kebagian jadi seksi konsumsi untuk teman-temannya karena semalam cowok itu kalah main PS dengan mereka. Jadilah dengan berat hati Randi harus menjadi babu mereka untuk sehari.

Randi melempar tas keresek itu kepada Airo dan langsung ditangkap oleh cowok itu. "Bisa nggak indahnya sekarang aja?"

Mereka kembali tergelak. Namun tak lagi membalas keluhan Randi. Mereka lebih memilih melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat tertunda. Dengan sedikit ancaman dan rayuan mereka membagikan brosur yang masih banyak di tangannya kepada siswa yang baru datang.

Jam sudah menunjukkan jam 4 sore, berarti sekitar 30 menit lagi acara akan dimulai. Pihak sekolah sengaja mengambil waktu sore untuk pemilihan ketua OSIS, mereka tidak ingin menyita waktu belajar siswa, hal itu juga merupakan usulan dari anggota OSIS.

Suasana ramai dan sedikit riuh itu tak sedikitpun membuat rasa kesepian Aira menghilang. Dia justru merasa semakin kosong dan hampa.

Bahkan Nuggy yang sedari tadi berbicara dengannya, membahas tentang apa yang akan mereka sampaikan sebelum pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS berlangsung tak sedikitpun Aira tanggapi serius. Gadis itu hanya mengangguk dan mengembangkan senyum tipis sebagai balasan.

Iris mata cokelat itu malah lebih sering melirik sosok cowok yang duduk tak jauh darinya. Dia sendirian dengan tatapan kosong. Ingin rasanya Aira mendekati Lion. Tapi itu tidak mungkin. Hari ini pasangan Lion adalah Renita, bukan dirinya.

Aira menghembuskan napas berat. Mengingat nama gadis itu saja membuat jantung Aira berdetak meneriakkan kata cemburu berkali-kali.

Di sisi lain, Lion hanya terdiam, menatap kosong ke arah kerumunan teman-temannya yang mulai mengisi kursi kosong di depannya.

Sampai mendekati waktu pemilihan pun Renita belum juga datang. Lion sudah sempat meneleponnya, namun ponsel gadis itu tak aktif. Jadilah dia hanya bisa menunggu gadis itu di sini.

Dari ekor mata, sebenarnya Lion dapat melihat Aira yang selalu menatap ke arahnya. Ingin rasanya dia juga menoleh dan mengembangkan senyum kepada gadis itu. Namun sekuat tenaga Lion menahan diri. Dia tidak ingin membawa Aira dalam kehidupannya lagi. Hidup Aira yang berwarna tidak bisa dia paksa untuk menyesap hidupnya yang kelam dan kelabu.

Terlebih lagi tentang penyakitnya, dia tidak ingin melihat Aira sedih apalagi meneteskan air mata jika mengetahuinya. Lebih baik, dia melihat air mata Aira sekarang, dari pada nantinya gadis itu menangisi kepergiannya yang malah akan menimbulkan rasa yang lebih sakit.

Pikirannya yang semrawut tiba-tiba menguap saat getaran pada ponselnya terasa. Lion mengambil benda pipih itu lalu menatap layar yang menampilkan panggilan masuk dari Renita. Lion menghembuskan napas lega, dia pikir gadis itu tidak akan menghubunginya lagi dan menghilang begitu saja, mengingat tadi pagi dia juga tidak masuk sekolah.

"Hallo, Ren!" sapa Lion saat panggilannya sudah terhubung, "lo di mana? Bentar lagi acara mulai nih."

Tak ada yang menyahut, hanya semilir angin yang terdengar riuh. Lion mengernyit bingung.

"Ren? Lo denger gue 'kan? Lo ada di mana sekarang?"

Mendadak Lion jadi panik, takut-takut jika terjadi sesuatu dengan gadis itu.

"Ren? Renita?" Suaranya sedikit meninggi, hingga Aira kembali menoleh menatap Lion. Hanya Aira karena yang lain masih sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aira memerhatikan wajah Lion yang mengeras dari samping.

Kekehan dari seberang telepon membuat Lion semakin bingung. Dia yakin itu suara Renita, tapi hatinya menolak untuk percaya. Bagaimana mungkin Renita bisa terkekeh semenyeramkan itu.

"Hallo, Lion."

Namun, suara yang selanjutnya terdengar mematahkan ketidak percayaan Lion.

"Kenapa lo terdengar begitu panik, baby?"

Lion semakin tidak mengerti dengan perubahan suara dan gaya bahasa Renita. Selama ini dia tidak pernah memanggil Lion dengan sebutan 'lo' apalagi menyebut dirinya dengan 'gue' itu terlalu mustahil bagi seorang Renita yang menatap mata lawan bicaranya saja takut.

"Are you okay?" tanya Lion pada akhirnya.

Kekehan tadi tergantikan oleh suara tawa yang mengerikan. "Yeah, I'm okay." Renita memberikan jeda. "Tapi, nyokap, kakak, dan cewek lo yang nggak berada pada keadaan baik."

Lion menggeram tidak suka. Terlebih lagi dia tidak mengerti dengan apa yang gadis itu ucapkan. "Apa maksud lo?"

"Ah, lo belum paham yaa?" Setelah kalimat itu dituntaskan, Lion dapat merasakan getaran lagi pada ponselnya. "Coba lo cek notif LINE, abis itu pasti lo bakal ngerti."

Tanpa menjawab, Lion langsung menarik ponselnya dari telinga. Dia membuka pesan yang dikirim Renita. Mata cowok itu seketika melebar saat melihat foto Rasyi, Lala, serta Rara yang berdiri dengan tangan terikat di sebuah gedung pencakar langit. Jika sedikit saja mereka bergerak, sudah dipastikan tubuh mereka akan terlempar ke bawah.

"Berengsek! Apa yang lo lakuin kepada mereka?" Lion tak berteriak, dia masih tahu tempat, dia tidak mungkin mengundang keributan di sini. Namun, penekanan pada setiap katanya sudah menunjukkan betapa besar amarah cowok itu.

"Bukan apa-apa, baby. Gue nggak ngapa-ngapain mereka. Tapi gue nggak janji bisa betah diemin mereka gitu aja kalo lo nggak segera kemari."

Lion memejamkan mata, mencoba menahan emosinya yang mulai meledak-ledak. "Di mana lo sekarang?"

Kekehan itu kembali terdengar. "Kalo lo nggak mau ngeliat mayat mereka. Sekarang ikutin semua perintah gue."

Lion terdiam, malas untuk menyahuti psikopat ini. Bagaimana bisa dia tertipu oleh kepolosannya yang hanya cover untuk menyembunyikan sikap iblis yang sebenarnya dia miliki. Dan bodohnya, kenapa Lion tidak menyadari itu. Apa benar yang dikatakan Rafa kemarin, bahwa dia terlalu naif dan terlalu sibuk dengan lukanya sendiri.

"Keluar dari tempat itu tanpa menimbulkan ke curigaan siapa pun," titah Renita.

Lion tak menjawab, namun dia tetap berdiri dan melangkah munju pintu belakang aula. Dia tidak mungkin keluar melewati pintu depan, teman-temannya pasti akan menanyakan ke mana cowok itu akan pergi.

Seakan melihat apa yang Lion lakukan, Renita kembali memerintahkannya memasuki sebuah mobil jazz hitam yang sudah terparkir di parkiran sekolah. Tak sulit mencari mobil tersebut, karena hanya mobil itu yang terparkir menghadap gerbang sekolah.

"Gue ada di Bogor. Sebelum langit menggelap lo harus sampai di sini. Di gedung kosong yang dulunya tempat pengolahan teh. Dan ingat satu hal, lo nggak boleh ninggalin mobil yang udah gue kirim ke elo. Kalo enggak, nyawa mereka yang menjadi taruhan. Ah, gitu aja deh, bye-bye."

Setelah itu panggilan terputus. Renita memutusnya secara sepihak. Emosi Lion sudah mencapai ubun-ubun, bagaimana bisa dia di permainkan oleh seorang gadis?

Lion memasuki mobil jazz tersebut lalu mulai menyalakan mesin dan meninggalkan sekolah. Di tengah kemacatan panjang, Lion mengumpat kesal. Ingin rasanya dia memakan mobil-mobil yang berjejer di depannya, tidak tahukah mereka ada beberapa nyawa yang akan melayang jika dia terlambat sedetik saja.

Lion membunyikan klakson mobilnya cukup panjang hingga memekakan telinga siapapun yang mendengarnya. Lion membuka kaca jendela lalu mengeluarkan kepalanya dari sana.

"Anjing. Cepetan bangsat!" teriaknya keras. Beberapa pengendara mobil dan motor menatap risih kepada Lion. Anak kemarin sore yang masih menggunakan seragam sekolah mengumpat kasar di tengah padatnya jalan raya, membuat mereka berpikir bahwa Lion benar-benar tidak mempunyai etitut.

"AARRGH!" Lion mengerang frustrasi, dia memukul-mukul setir. Sekarang sudah jam 17.15, sebentar lagi sang surya akan menenggelamkan wujudnya, namun mobil Lion masih terjebak di tengah kemacatan yang panjang.

Bisa saja Lion keluar dari mobil lalu mencari motor untuk dia pinjam, bila perlu dia begal sekalian agar bisa sampai di Bogor tepat waktu. Namun, ancaman Renita yang memerintahkannya untuk tidak meninggalkan mobil itu membuat Lion tak bisa berkutik. Sedikit saja dia gegabah nyawa ketiga wanita paling berharga dalam hidupnya yang akan menjadi taruhan.

Setelah gurat jingga tergambar pada langit, barulah mobil Lion bisa terlepas dari kungkungan jalan raya yang padat. Tak tanggung-tanggung, Lion langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan tol yang lenggang.

Sampai langit benar-benar menggelap, barulah Lion tiba di tempat yang di maksudkan Renita. Cowok itu segera berlari memasuki gedung kosong tersebut.

Matanya meliar, mencari keberadaan Rasyi, Lala, dan juga Rara. Sesaat sebelum dia menaiki tangga sebuah benda menghantam punggungnya keras. Lion tersungkur dengan rasa perih yang begitu menyayat di bagian punggungnya. Dia berbalik dan langsung menghindar saat tongkat yang terbuat dari besi itu terayun untuk menghantam tubuhnya.

Dengan tubuh terlentang, Lion menangkap tongkat yang nyaris mengenai wajahnya. Dia menendang dada pria berotot yang tadi menyerangnya. Sekali gerakan, pria itu langsung mundur. Kini tongkat itu berpindah tangan kepada Lion.

Tak ingin membuang waktu, Lion mengayunkan tongkat besi tersebut ke arah pria tadi dan tepat mengenai telinganya, seketika darah terlihat mengalir dari sana. Tak memberi peluang untuk menyerang, lagi-lagi Lion mengayunkan tongkatnya berkali-kali hingga dengan cepat pria tersebut tumbang.

Lion berbalik dan berlari menaiki tangga. Tangannya masih menggenggam erat tongkat besi tersebut, berjaga-jaga jika nanti ada yang menyerangnya kembali.

Sebenarnya punggung Lion terasa terlepas dari tempatnya. Ada denyutan sakit yang teramat sangat di sana. Namun, amarahnya yang menggebu mengalahkan rasa sakit itu. Dia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Hari ini, Lion harus bisa menyelamatkan mereka, walaupun nyawanya yang menjadi taruhan.

Lion mencapai lantai puncak. Ribuan bintang terlihat menggelantung di langit yang pekat. Namun bukan itu yang menarik perhatian Lion sekarang, melainkan ketiga wanita yang sangat dia kenali tengah berlutut dengan Renita yang menodongkan pistol ke arah mereka.

Tangan Lion mengepal keras. Apalagi saat melihat ada darah yang mengering di sudut bibir serta tulang hidung mereka.

Rasyi, Lala, dan Rara menatap Lion dengan air mata yang mengalir, mereka menggeleng, meminta Lion untuk pergi dari sana dalam diam.

"Yah, sayang banget lo telat. Tapi beruntung gue masih punya hati jadi nggak langsung bunuh mereka deh," ujar Renita seolah apa yang dia lakukan itu telah menyelamatkan nyawa Rasyi, Lala, dan Rara.

Emosi Lion semakin meluap, sosok gadis yang berbicara tadi benar-benar tidak Lion kenali. Sosok malaikat itu telah menjelma menjadi iblis mengerikan.

Beberapa pria yang tadi menghalangi Lion kini mulai mendekati cowok itu.

"Sebelum lo nyelamatin perempuan-perempuan busuk ini. Lo harus melangkahi mereka dulu, hitung-hitung sebagai hukuman lo karena buat gue nunggu lama di sini."

Lo yang busuk bangsat!

Tak ingin membuang waktu terlalu lama. Lion melangkah tak sabaran, dia menyerang enam pria tadi yang juga memegang sebilah tongkat besi.

Lion menghindar saat tongkat itu nyaris mengenai wajahnya. Kaki Lion terangkat menendang perut pria di sebelah kirinya, lalu tangannya yang memegang tongkat terayun menghantam leher pria yang satunya. Dua orang telah tumbang, kini tersisa empat lagi.

Lion melangkah semakin dekat dan mengayun tongkatnya kembali. Kali ini mengenai rahang pria di sebelah kanannya. Lion lengah, dia mendapat hantaman pada tengkuknya. Lion sedikit terhuyung, namun tak sampai menyentuh lantai.

Lion kembali menghindar dan menyerang mereka secara membabi buta. Dengan gesit, Lion memukul mereka, mengerahkan semua tenaganya.

Napas Lion memburu saat tangannya hendak mengayun lagi memukul pria yang masih terus menyerangnya. Namun, suara tembakan yang terdengar membuat Lion tercekat.

Dia segera menoleh menatap Renita. Takut-takut gadis itu melepas tembakan dan menembus kepala salah satu dari mereka.

Namun, Renita tersenyum culas dengan tangan yang terangkat ke udara. Lion sedikit bernapas lega. Tapi tak bertahan lama karena Renita kembali menarik pelatuk dan mengarahkan ujung pistol pada kepala Lala.

Dengan air mata yang mengalir, Lala menggeleng, dari tatapan pilunya, perempuan itu meminta Lion agar pergi dari tempat ini. Namun, mana mungkin Lion bisa meninggalkan mereka.

Hingga tatapan mereka terputus saat sebuah benda menghantam punggungnya ... lagi. Kali ini Lion tersungkur, dia tidak bisa mengelak atas pukulan yang kembali mengenai tubuhnya.

Lion meringis, namun dia tak bisa melawan. Di depan sana ada nyawa yang akan melayang jika Lion bergerak sedikit saja.

Salah satu dari keenam pria itu mengangkat tubuh Lion yang mulai melemas dan melayangkan bogem mentah tepat mengenai tulang hidung cowok itu. Darah langsung mengalir dari hidungnya, tak cukup sampai di sana, pukulan kembali melayang mengenai rahangnya, membuat cowok itu terbanting dan berguling pada lantai yang kasar.

Lion terbatuk hingga keluar darah dari mulutnya. Seluruh tubuh Lion terasa remuk. Tenggorokannya seakan terbakar. Punggungnya berdenyut nyeri, perut bagian atasnya terasa di remas dengan tenaga ekstra. Belum lagi dengan kepalanya yang seakan pecah.

Dengan posisi tengkurap, Lion dapat melihat sebuah sepatu berhak tinggi berhenti di depannya. Lion mengernyit, bukan hanya karena rasa sakit yang dia rasa, namun cowok itu merasa mengenal sepatu tersebut.

Lion mengangkat sedikit tubuhnya lalu mendongak menatap si pemilik sepatu itu. Benar saja. Wanita biadap itu berdiri dengan senyum pongah menatap Lion.

Moza.

"Bagaimana? Bukankah sekarang posisi kita terbalik? Kemarin saya yang berlutut di depanmu. Tapi sekarang, kamu yang harus tengkurap di depan saya. Sekarang siapa yang lebih rendah? Kamu atau saya?"

{TBC}

A.n

Fyuh (elap keringat) akhirnya part ini selesai juga😂
Tolong kasih kritik dan saran yaa.
Menurut kalian part ini sinet banget gak sih? Wkwk

Thx😘

Continue Reading

You'll Also Like

301K 20.4K 48
#71 in teen fiction 31 maret 2017 Aku ingin seperti saudara kembarku yang bebas melakulan apapun tanpa hambatan__Bintang Nararya Abrahan Ahh, kenapa...
3.1K 321 25
[SPIN-OFF SPARK] [SUDAH TERBIT] Blurb: Vanko Dickson dikenal seperti pangeran berkuda yang menarik semua mata. Pujian seolah terus tercurahkan padany...
2.1M 122K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...