Indra ke-6

By billaza

291K 39.7K 3.6K

Tujuan: Agar aku dapat mengingat kembali masa laluku yang telah kulupakan karena sebuah alasan yang bahkan ta... More

foreword
trailer and the characters
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
4.0
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9

2.1

3.8K 650 18
By billaza

-

BAB DUA PULUH SATU

"It's hard to believe in coincidence, but it's even harder to believe in anything else."

― John Green, Will Grayson, Will Grayson

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita bersenandung pelan sambil berjalan bersama dengan Muffin yang terus menggonggong dan berlari ke sana kemari. Beberapa kali, Gita nyaris jatuh terjungkal ketika anjing itu berhenti di depan kakinya. Dengan sabar, Gita terus melangkah untuk menuntun Muffin pada Indra yang entah berada di mana.

Sambil terus berjalan, Gita celingukan mencari sosok temannya itu. Agak heran juga, karena biasanya Indra akan ada di sana tiap kali Gita membutuhkannya. Mungkin, kali ini Indra sedang sibuk? Sibuk bersama mamanya, misalnya. Gita sadar kalau Indra jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya akibat terlalu sering bermain dengan Gita yang kesepian di rumah selama Mama dirawat di rumah sakit, sehingga Gita bisa maklum kalau hari ini Indra memutuskan untuk absen.

Tapi, pemikirannya tersebut terbantahkan begitu gadis itu melihat sosok Indra yang tengah duduk di dekat rumahnya. Mata Indra bertemu pandang dengan matanya. Gita harus berdeham sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain agar dapat menekan rasa senang yang timbul secara berlebihan di dalam hatinya.

Muffin menyalak ke arah Indra sambil berhenti berjalan begitu jaraknya dan Gita dengan Indra hanya tinggal tiga langkah. Anjing itu mendongak menatap Gita, seolah-olah bertanya, "Ini temanmu yang namanya Indra itu?".

Jadi, Gita pun mengangguk. "Muffin, ini Indra. Indra, ini Muffin. Menurut kamu, dia belum punya pemilik, 'kan?"

"Belum," jawab Indra setelah memperhatikan Muffin dengan seksama. "Lucu banget."

"Iya, 'kan? Dia ada di taman, jadi aku ambil aja," sahut Gita dengan semangat menggebu-gebu. Kemudian, gadis itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Muffin agar dapat menatap anjing tersebut. "Kamu laper?"

Muffin menggonggong.

Gita mengusap-usap kepala Muffin. "Nanti aku minta Papa beliin makanan anjing. Tapi, kamu nggak boleh berisik, oke?"

Muffin menggonggong lagi. Gita pun menghela napas pasrah. Dialihkannya pandangan agar dia dapat menatap Indra. Anak laki-laki yang sejak tadi tak berhenti memperhatikan Gita itu mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa?" tanya Indra.

Gita bangkit berdiri. "Menurutmu gimana, kalau aku pelihara dia?"

Indra tersenyum dikulum. Dada Gita terasa menghangat melihat senyuman itu. Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Indra mengangguk-angguk. "Ide bagus. Dia bisa menjaga kamu, kalau misalnya aku lagi nggak bisa main sama kamu."

"Kita harus main bertiga terus," ralat Gita sambil sedikit memanyunkan bibirnya.

Indra tertawa. "Iya, deh. Kebetulan, aku bawa tulang. Buat Muffin bisa, nih."

"Buat apa kamu bawa tulang?" tanya Gita heran, namun tak urung menerima uluran tulang yang disodorkan Indra. Gadis itu menawarkan tulang tersebut pada Muffin yang langsung mengunyahnya dengan semangat.

Indra berpikir sejenak. "Hm, awalnya aku mau main jadi arkeolog-arkeolog gitu."

"Arke—apa?"

"Arkeolog," ulang Indra. "Kayak, buat menemukan fosil dan lainnya. Jadi, nanti aku kubur tulangnya, dan kamu harus cari. Nanti seolah-olah kayak kamu menemukan tulang belulang fosil manusia purba. Abis itu gantian, deh."

Gita manggut-manggut. "Yah, nggak apa-apa, lah. Kita bisa main kejar-kejaran sama Muffin aja. Gimana?"

Indra mengangkat kedua tangannya ke udara. "Boleh mengaku kalah sebelum dimulai, nggak?"

Jakarta,

saat ini


Kepalaku pusing. Bukan secara harfiah, tentu saja. Hanya saja, terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku sampai-sampai rasanya jika aku menuliskan semuanya pada kertas, aku bisa membuat sebuah novel. Tidak se-berlebihan itu juga, sih. Tapi, kamu mengerti, bukan?

Aku dan Elang sudah keluar dari toko buku bekas yang kami kunjungi tadi. Sebagai gantinya, cowok itu mengajakku untuk duduk di salah satu bangku yang tersebar di penjuru mall ini. Dia tidak berkata apa-apa sejak tadi, dan aku sangat menghargainya karena aku juga tidak tahu harus merespon apa.

Sementara Elang terus menyeruput minuman Coffee Bean-nya yang tidak kunjung habis, aku duduk di sebelahnya dengan canggung sambil terus memutar otak. Sayangnya, otakku ini memang sudah buntu akibat terlalu sering memikirkan tugas dan ujian yang datang bagaikan banjir bandang.

Juan juga belum membalas pesanku. Kemungkinan terbesar adalah, film yang dia tonton belum selesai. Tapi, bisa juga dia memang kesal padaku, sehingga enggan membalas pesan dariku. Biasanya, meskipun berada dalam bioskop, Juan terkadang mengintip-intip ponselnya kalau dia mendapat notifikasi. Sifatnya yang agak sulit untuk fokus melakukan satu hal adalah salah satu kekurangan terbesarnya.

"Gue merasa agak familiar sama model di gambar itu," ucapku pada akhirnya. Kurasakan Elang menghentikan kegiatan minumnya, tapi aku tidak mau melihat reaksi apapun yang akan dia tunjukkan, sehingga aku terus menatap lurus ke depan.

Elang berdeham. Cowok itu memajukan duduknya untuk menumpukan kedua sikunya pada pahanya, dan kepalanya dimiringkan untuk mengintip wajahku yang pasti sekaku patung. "Siapa modelnya?"

"Indra," jawabku tanpa ragu. Aku menoleh ke arah Elang, dan aku nyaris ikut kaget ketika dia terlonjak di duduknya setelah mendengar jawabanku. Seolah-olah aku baru saja menyebutkan nama Voldemort.

"Kalau soal Indra, lo inget?" tanya Elang begitu dia sudah mulai tenang. Ekspresinya yang awalnya nyaris tak terkontrol, kini sudah berubah menjadi ekspresi serius yang membuatku ingin membenamkan diriku sendiri ke rawa-rawa.

"Nggak," sahutku lagi. "Gue nggak inget apa-apa. Tapi, lo inget waktu lo nabrak orang waktu itu — Bimo namanya, kalau nggak salah?"

Elang mengerucutkan bibirnya sejenak untuk berpikir. "Ya. Yang diurus sama sepupu lo itu, 'kan? Nama pasiennya Bima, by the way."

"Beda dikit," kilahku.

"Nggak boleh ganti-ganti nama orang."

Aku mendengus. "Iya, deh."

Elang menyengir samar. "Oke. Jadi? Apa hubungannya?"

"Waktu kita di kantin rumah sakit itu, lo inget kalau gue bilang mau nyamperin seseorang sebentar?"

Elang mengangkat salah satu tangannya untuk menghentikanku. Aku pun segera bungkam, sementara cowok itu menatapku dengan sorot mata yang tak dapat aku artikan. "Oke. Stop di situ. Gue ngerti. Di situ, lo ketemu Indra? Tapi, kenapa lo nyamperin dia kalau lo nggak tahu dia siapa?"

"Gue merasa dia familiar banget."

"Cuma itu?"

Aku mengedikkan bahu. "Lupa."

"Aish," gerutu Elang. Lalu, cowok itu pun kembali menyeruput minumannya banyak-banyak. Dia terlihat tengah memikirkan beberapa hal, sehingga aku kembali terdiam sambil memperhatikan sekelilingku.

Beberapa orang berjalan di hadapanku. Tiap orang memiliki cara berpakaian yang berbeda, parfum yang berbeda, dan ekspresi yang berbeda. Aku langsung mengenali ekspresi-ekspresi itu dan menyamakannya dengan wajah yang sering orang-orang terdekatku tampilkan. Misalnya Juan, yang matanya selalu berbinar seolah-olah ingin terus-terusan tertawa. Lalu Papa, yang alisnya sering berkerut kalau memikirkan sesuatu yang serius.

Atau Gibran, yang memiliki senyum ramah dan hangat yang selalu terpasang dengan rapi di bibirnya.

Apa kabar ya, cowok itu?

Aku melempar pandanganku lebih jauh lagi, menatap etalase-etalase toko-toko baju yang berjejer di seberangku. Punggungku langsung menegak ketika melihat orang yang baru saja aku dan Elang bicarakan, tengah berjalan di depan sebuah toko sepatu.

Indra. Apa yang dia lakukan di sini? Sendirian, pula.

Sontak saja, muncul dua pilihan yang harus segera aku pilih. Satu, meminta izin pada Elang untuk pergi sejenak menemui teman lama. Dua, tetap duduk di sini sambil mencari topik seru yang bisa dibicarakan. Kedua pilihan itu sama-sama sulit, karena intinya adalah, aku harus memulai pembicaraan.

Begitu aku baru saja akan menimbang-nimbang, Elang sudah menyerobotku. "Prakarya Kimia satu kelompok sama siapa?"

Yah, kalau begini, aku harus memilih pilihan kedua, yakni tetap duduk di sini. Aku sedikit lega karena Elang-lah yang berinisiatif mencari topik, karena seperti yang sudah aku bilang tadi, otakku ini dipenuhi oleh jalan buntu.

"Belum tahu," jawabku.

"Mau sama gue, nggak? Sama Rizky juga," tawar Elang. Aku dapat melihat sekelebat rasa ragu di dalam matanya. Namun, cowok itu berhasil menyamarkannya dengan sikap percaya dirinya yang memang patut aku acungi jempol. Sebagai anggota Paskibra yang biasa ditunjuk sebagai pemimpin upacara, sikap percaya diri adalah yang terpenting.

Dalam pelajaran Prakarya Kimia, kami ditugaskan membuat satu kelompok yang berisi empat orang. Nanti, kami boleh memilih ingin membuat apa. Aku sudah tahu kalau aku akan sekelompok dengan Rani, tapi aku belum tahu kedua anggota lainnya. Apalagi, Rani betul-betul ingin membuat parfum, dan aku tidak tahu apakah Elang dan Rizky bisa berkompromi.

Aku pun memilih jawaban netral. "Nanti gue tanya Rania."

"Oke," sahut Elang. Cowok itu tersenyum, dan hal itu agak kurang sehat bagi jantung. Bukannya aku menyukainya atau apa, tapi senyumannya itu benar-benar manis. Ini adalah sebuah pendapat objektif, karena memang kenyataannya begitu. Aku bisa membuat kuesioner soal ini, kalau kamu perlu bukti.

Tunggu. Apa sih, yang baru aku katakan?

Tidak jadi, deh. Lupakan kalau aku berkata bahwa dia itu manis.

-

Senin, 21 Agustus 2017

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 246K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
976K 47.7K 63
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

582K 27.1K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.9M 164K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...