PHONE'S REMINISCENCE (Memento...

By dhamalashobita

1.6K 222 84

Good afternoon, good people! Good news! Saya dan empat penulis lain akan mengunggah novel seri Memento seca... More

Sinopsis
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
#MEMENTOSERIES Goes to Bookstore

Empat Belas

79 10 4
By dhamalashobita

Terjebak di akhir pekan dengan Min-Hee sebagai teman kencannya bukanlah pilihan yang menyenangkan bagi Seong-Joo. Usai menyelesaikan lari kecil mengelilingi apartemennya, Seong-Joo memilih duduk di gerai kopi waralaba internasional yang digemari anak muda nyaris di seluruh dunia. Sementara Min-Hee menyusulnya beberapa menit kemudian, dengan pakaian olahraga lengkap yang membuat Seong-Joo keheranan setengah mati.

"Min-Hee-ya, bagaimana caranya kau berlari tanpa mengeluarkan keringat? Daebak!" goda Seong-Jo sambil berusaha menahan tawanya ketika Min-Hee duduk di depannya dengan santai.

Yang laki-laki itu tahu, gadis itu memiliki bakat alamiah untuk menjaga berat badannya tetap seimbang tanpa berolahraga. Min-Hee tidak perlu repot memikirkan berapa banyak kalori yang dikonsumsinya per hari untuk dapat memiliki tubuh ideal bak model seperti itu.

"Jangan tertawa!"

"Lucu. Untuk apa kau berolahraga jika kau merasa takut berkeringat?" Seong-Joo tergelak, tak mampu lagi menahan tawanya ketika melihat wajah Min-Hee yang merah padam.

"Jangan tertawa atau aku akan membunuhmu!" seru Min-Hee lagi.

"Coba saja jika kau bisa." Bukannya berhenti, Seong-Joo malah semakin bersemangat menggoda Min-Hee. Laki-laki itu menepuk kakinya sambil tertawa lepas. Beberapa orang menatap ke arah mereka. Sementara gadis di depan Seong-Joo sudah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Maaf, maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Kau, sebaiknya besok jangan pernah menemuiku pagi-pagi dengan pakaian olahraga semacam itu jika kau tidak ingin aku tertawa." Seong-Joo menyesap minuman di depannya dalam upaya menghentikan tawanya yang semakin membuat Min-Hee kesal.

Wajah Min-Hee memberengut ketika Seong-Joo selesai tertawa. Gadis itu menatap Seong-Joo lekat-lekat dan tersenyum.

"Kau menjalani pemotretan dengan sangat baik saat menggantikan Dong-Gyu. Apa kau tidak ingin mencoba jadi model, Seong-Joo-ya?" Min-Hee tidak sedang meledek Seong-Joo ataupun bercanda. Pertanyaan yang baru saja Min-Hee tanyakan bahkan lebih serius dari pertanyaan apapun yang akan ditanyakannya hari itu.

Seong-Joo yang beberapa menit lalu masih tertawa keras kini kehilangan kotak tawanya. Dia menyeruput kopinya cepat dan menolehkan wajahnya ke arah lain, sebisa mungkin menghindari tatapan Min-Hee yang menyelidik.

Seong-Joo tidak pernah berpikir untuk menjadi model.

Ketika semua anak-anak mengganti cita-cita mereka setiap tahun, Seong-Joo adalah satu-satunya yang tetap menyebutkan atlet sepakbola sebagai cita-citanya. Ketika semua teman-temannya di sekolah menengah memilih menjadi akuntan publik, pengacara, jaksa, dokter, dan profesi mengagumkan lainnya, Seong-Joo tetap menulis atlet sepak bola di lembar pengarahan pendidikan lanjutnya.

Semestinya tidak ada yang salah dengan cita-cita Seong-Joo. Tidak pernah ada yang salah dalam mimpi—pun cita-cita. Seong-Joo sudah pernah mendengar orang tuanya mengamuk karena dirinya yang memilih akademi olahraga yang membina atlet ketimbang universitas ternama yang akan membuatnya menjadi orang hebat kelak. Pada akhirnya, mimpi-mimpi Seong-Joo berakhir hanya sebatas pelatih klub sepak bola anak sekolah dasar.

"Kau terkenal di SNS." Min-Hee berusaha menyodorkan alasan yang dapat membuat Seong-Joo—mungkin saja—menerima tawarannya.

SNS adalah salah satu keunggulan Seong-Joo. Tentu saja kalau bukan karena Min-Hee yang membuatkan SNS atas namanya dan mengunggah fotonya setiap waktu, Seong-Joo tidak akan memiliki satu akun pun.

"Kau yang membuat SNS-ku. Lagipula, aku terlihat kaku di kamera," sahut Seong-Joo.

"Kau belum melihat hasil pemotretan kemarin, Seong-Joo-ya! Kau terlihat hebat. Apa kau mendengar Mint, Jin-Seok, atau Hye-Young berkomentar tentangmu ketika pemotretan kemarin? Tidak sama sekali. Itu artinya kau punya bakat!"

"Bakat apa..."

"Kau akan mendapatkan jumlah yang lebih banyak dibandingkan melatih sepak bola, Seong-Joo-ya."

"Omong-omong Min-Hee-ya, aku mengenal seorang gadis dari panggilan misterius di apartemenku." Seong-Joo berusaha mengalihkan pembicaraan mereka dengan hal lain. Bagaimanapun, tawaran Min-Hee bukanlah sesuatu yang bisa dia setujui dengan mudah.

"Seorang gadis?" ulang Min-Hee.

"Eo. Gadis itu juga bernama Hye-Young. Awalnya aku tidak percaya, tetapi memang begitu."

"Apa dia fotograferku?"

Seong-Joo terdiam, tidak pernah menyangka Min-Hee bisa menebaknya semudah itu. Gadis itu menggeram sebelum bangkit dari tempat duduknya dan memukul pelan kepala Seong-Joo. "Kau kira tingkahmu pada Hye-Young tidak mencurigakan? Aku bahkan pernah bertanya padamu apakah kalian saling mengenal! Paboya!"

"Aaak! Sakit! Kau ini tidak bisa sedikit lebih lembut padaku? Pukulanmu itu sangat sakit, tahu! Whoa. Aku sampai bingung, kau ini perempuan atau laki-laki?"

"Kembali lagi ke topik yang tadi kita bicarakan. Apa kau berminat mengikuti casting di Iridescent? Mereka mengadakan casting untuk model laki-laki. Kesempatanmu terpilih besar, Seong-Joo-ya. Percayalah padaku."

"Whoa! Kau sudah memaksaku!"

"Aku tidak memaksamu, tetapi mungkin akan lebih baik jika kau mempertimbangkannya, Seong-Joo-ya."

*

"Kau tahu aku tidak main-main soal mengembalikanmu ke tempat asalmu."

Hye-Young mencabut kabel teleponnya, memasukkan pesawat telepon kuno itu ke dalam kardus asalnya. Hari itu, Hye-Young benar-benar akan mengembalikan telepon itu. Toko suvenir semacam itu tentu saja akan buka sepanjang waktu, bukan? Pada akhir pekan seperti itu, bukankah kesempatan untuk mendapatkan banyak pengunjung lebih besar?

Hye-Young berjalan ke halte di depan Seokyo Hotel untuk menumpangi bus ke Insadong. Sore di akhir pekan itu tidak begitu ramai. Sebagian besar warga Seoul mungkin sudah pergi ke Yeosu atau melihat matahari terbenam di Haeundae. Tetapi Hye-Young sama sekali tidak pernah berpikir untuk mengunjungi salah satu dari pantai-pantai itu.

Tentu saja. Jika pada akhirnya Hye-Young akan mengunjungi pantai itu, setidaknya dia harus membawa seseorang yang bisa dijadikannya teman bercakap-cakap di sepanjang perjalanan. Meskipun Hye-Young datang ke Seoul seorang diri, dirinya tidak benar-benar ingin menjalani kehidupan di Seoul seorang diri. Sungguh. Hye-Young tidak begitu suka perasaan kesepian seperti itu.

"Apa kau terbiasa melamun di bus seperti ini?"

Hye-Young terkesiap ketika seseorang yang baru saja menempati tempat duduk di sampingnya, mengajaknya berbicara. Matanya membulat ketika melihat laki-laki di sampingnya. Kebetulan memang sangat mengesankan. Jika saja ada yang bertanya pada Hye-Young, berapa angka yang pantas diberikan untuk sebuah keberuntungan dalam mempertemukan dua orang, Hye-Young akan memberikan nilai 100.

"Whoa! Kau mengagetkanku, Oppa!" pekik Hye-Young sambil mengelus dadanya pelan.

"Kau kaget karena kau melamun. Apa yang mengganggu pikiranmu, hah?" tanya Jin-Seok.

Hye-Young menggeleng cepat, "Tidak, tidak ada apa pun, Oppa."

"Ah, oke. Jadi, kau mau ke mana?"

"A-aku? Insadong. Ya, aku akan pergi ke Insadong. Ada seseorang yang harus kutemui."

"Kebetulan sekali, aku juga akan pergi ke sana. Kalau begitu kita bisa pergi bersama," sahut Jin-Seok.

"Kau keberatan?"

"Anhi! Tentu saja tidak, Oppa! Mana mungkin aku keberatan dengan tawaran baikmu itu."

Jin-Seok tertawa kecil melihat Hye-Young yang salah tingkah karena pertanyaannya. "Apa kau tahu, kau sangat tidak berbakat dalam berbohong."

"Benarkah?"

"Um! Sangat tidak berbakat."

Hye-Young mengerucutkan bibirnya, berpura-pura merajuk hanya karena Jin-Seok menyebutnya tidak berbakat.

"Tapi bukankah bagus, jadi kau akan selalu berkata jujur. Semua orang akan lebih suka berteman dengan orang jujur," sambung Seong-Joo.

Hye-Young tersenyum. Belum sempat dirinya membalas apa pun, bus yang mereka tumpangi berhenti di halte yang mereka tuju. Jin-Seok mengambil alih kardus di pangkuan Hye-Young kemudian membawanya turun. Hye-Young mengekorinya dari belakang.

Jalan-jalan Insadong dipenuhi dengan berbagai macam toko suvenir tradisional. Semakin malam, Hye-Young yakin Insadong akan bertambah ramai. Beberapa seniman jalanan berada di sepanjang jalan. Lampu-lampu jalan ditambah lampu toko membuat suasana malam di Insadong terasa begitu cantik. Beberapa pasangan muda berjalan sambil bergandengan tangan. Beberapa rombongan turis berpapasan dengan Hye-Young dan Jin-Seok.

"Di tempat ini para pelukis dan seniman di zaman Joseon bertemu dan berinteraksi. Dengan suvenir-suvenir tradisional di sini mungkin suasana itu masih terasa," cerita Jin-Seok.

"Apa yang kau cari di sini, Oppa?" tanya Hye-Young, mengabaikan kisah yang diceritakan Jin-Seok.

"Ah, aku mencari kado ulang tahun untuk nenekku. Satu set cangkir teh. Kemarin aku melihat satu set cangkir keramik yang indah. Siapa tahu aku belum kehabisan. Bagaimana denganmu?"

"Aku mencari sebuah toko. Aku ingin mengembalikan barang yang sudah kubeli."

Jin-Seok menghentikan langkahnya di depan seorang musisi yang tengah memetik gitarnya dengan fingerstyle seperti Jung Sung-Ha.

"Apa ada masalah dengan benda itu?" tanya Jin-Seok. Keningnya berkerut. Tentu saja dia kebingungan. Tidak biasanya seseorang mengembalikan suvenir yang sudah dibeli. Jin-Seok memikirkan jenis suvenir apa yang bisa dikembalikan ke penjualnya. Keramik? Kipas kertas? Rasa-rasanya tidak mungkin.

"Aku membeli sebuah telepon," aku Hye-Young seolah-olah dapat membaca pikiran Jin-Seok.

"Telepon?"

Hye-Young mengangguk Anggukan Hye-Young terkesan lemah. Apalagi setelah gadis itu mengiringinya dengan helaan napas yang sama lemahnya dengan anggukannya.

"Kau sedang mengangkat telepon aneh itu dengan tanganmu, Oppa."

Mata Jin-Seok mengarah ke bawah, ke bagian atas kardus yang tersegel. Kening Jin-Seok berkerut lagi. Laki-laki itu sering mengerutkan keningnya. Beberapa kali dan Hye-Young kini menganggap itu sebagai kebiasaannya.

"Mengapa kau mengatakan telepon itu aneh?"

"Dia membuat panggilan dengan sendirinya. Aku menelepon ibuku tetapi malah tersambung pada seseorang yang tidak kuharapkan," jelas Hye-Young.

"Seseorang yang tidak kauharapkan?"

"Ya. Seseorang dari masa laluku."

Jin-Seok mengangguk pertanda mengerti. Laki-laki itu tidak bertanya apa pun lebih lanjut. Takut Hye-Young tidak menyukai pertanyaannya.

"Toko mana yang kaucari?" Jin-Seok melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri lagi deretan toko di Insadong.

Terkejut karena gerakan Jin-Seok yang tiba-tiba, Hye-Young mengikuti laki-laki dengan kemeja garis itu pelan-pelan dari belakang.

"Oppa, itu tokonya." Kata-kata Hye-Young membuat Jin-Seok sekali lagi menghentikan langkahnya. Jin-Seok mengeja huruf Hangul yang tergantung di depan toko. Seonmul Gage.

Toko tersebut gelap gulita. Pintunya tertutup tanpa ada tanda bahwa tokonya tutup. Tapi hanya dengan melihatnya dari luar saja, Hye-Young dan Jin-Seok tahu bahwa hari itu Seonmul Gage tutup.

"Kau yakin ini tokonya?" tanya Jin-Seok.

"Eo. Toko ini seperti toko tua di cerita-cerita fantasi."

"Atau horor?"

"Toko ini memiliki mitos, Oppa. Apa kau percaya mitos?" Hye-Young menolehkan kepalanya ke kanan, menatap Jin-Seok yang juga ganti menatapnya penuh tanya.

"Katanya, barang siapa membeli atau membawa barang yang berasal dari toko itu, mereka akan bertemu dengan seseorang yang mereka benci di masa lalu," lanjut Hye-Young.

"Lalu kau sudah menemukannya?"

Hye-Young mengangguk lagi sambil berkata, "Aku sungguh tidak berharap bertemu laki-laki itu. Tapi takdirku berkata lain. Menurutmu, haruskan aku percaya pada mitos tidak masuk akal itu?"

Masuk akal atau tidak, yang jadi pertanyaan Hye-Young adalah apakah mitos tersebut benar? Dari puluhan juta penduduk Korea Selatan, apakah hanya dirinya yang mengalami mitos aneh semacam itu?

"Mungkin ada sesuatu yang harus kau selesaikan dengan orang itu, itulah sebabnya benda ini mempertemukan kalian," ujar Jin-Seok.

"Mungkin."

Hye-Young tahu persis, memang ada yang belum selesai antara dirinya dan Seong-Joo. Yang dirinya tidak mengerti adalah, bagaimana cara menyelesaikannya. Dia bahkan menganggap semua yang berhubungan dengan Seong-Joo sudah selesai. Sama seperti masa lalunya sebagai Hye-Young yang selalu menjadi bahan penindasan teman-teman sekolahnya. Masa-masa kelam Hye-Young yang sejenis itu tentu saja sudah berakhir.

"Dua jam yang sia-sia," gumam Hye-Young ketika berjalan menuju rumahnya. Mereka melewati setengah jam perjalanan dengan bus sebelum berjalan dari Seokyo hotel kembali ke gedung apartemen Hye-Young. Dan bersikap seperti seorang laki-laki, Jin-Seok menawarkan diri untuk mengantar gadis itu sampai ke rumah.

"Kau tidak perlu mengantarku sampai ke rumah, Oppa," seru Hye-Young.

"Tidak baik untuk seorang wanita berjalan sendirian malam-malam begini." Jawaban Jin-Seok adalah jawaban yang diidamkan semua wanita. Pipi Hye-Young menghangat. Akan lebih menyenangkan jika dia mendengarnya dari mulut Seong-Joo, pikir Hye-Young.

Seong-Joo lagi, Seong-Joo lagi. Sampai kapan Hye-Young akan berhenti memikirkan Seong-Joo? Sisi lain diri Hye-Young bertanya dan dia tidak bisa menemukan jawabannya

"Hye-Young-ssi." Sebuah suara membuat Jin-Seok dan Hye-Young berhenti melangkah.

Di ujung gang yang akan membawa mereka ke apartemen Hye-Young, Seong-Joo berdiri tegap, menatap Hye-Young dan Jin-Seok lekat-lekat.

"A-apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hye-Young.

"Ah, aku... Aku kebetulan baru pulang dari kediaman temanku dan melewati jalan ini. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu dan..." Seong-Joo menunda untuk menyelesaikan kalimatnya. Matanya melirik ke arah Jin-Seok dan kemudian ia membungkukkan sedikit kepalanya. "Bertemu denganmu dan Jin-Seok-ssi," sambungnya.

"Ah, apartemenmu sudah dekat, bukan? Sebaiknya aku pulang." Jin-Seok membelokkan tubuhnya, menatap Hye-Young sambil tersenyum dan menyodorkan kardus milik Hye-Young.

"Ah, benar. Kau harus pulang. Sampaikan salamku pada nenekmu, Oppa."

"Dia akan sangat senang. Kalau begitu Seong-Joo-ssi, aku pamit lebih dulu." Jin-Seok membungkukkan tubuhnya ke hadapan Seong-Joo kemudian mengacak rambut Hye-Young pelan. "Aku pulang. Masuklah ke dalam. Anginnya dingin, tidak baik untukmu."

Hye-Young mengerjap. Selama beberapa detik, ia mencerna tindakan Jin-Seok. Napasnya tertahan. Terkadang seorang perempuan memang bisa lupa bernapas ketika mengalami perlakukan semacam itu dan Hye-Young baru saja mengalaminya.

"Kau dan Jin-Seok... Aku tidak tahu kalian punya hubungan sedekat itu." Seong-Joo memecah keheningan. Membuat Hye-Young kembali ingat caranya bernapas.

Hye-Young sempat melupakan keberadaan Seong-Joo untuk beberapa saat. Setelahnya, gadis itu menatap Seong-Joo lekat sambil mengerutkan keningnya.

"Hubunganku dengan siapa pun..." Hye-Young menggantungkan kalimatnya, Dia bisa saja mengucapkan kalimat itu. Hanya perihal tega atau tidak dia mengucapkannya. Lagipula, apa pun yang diucapkannya, bagaimana pun respons Seong-Joo terhadap ucapannya, Hye-Young tidak ingin peduli.

"Hubunganku dengan siapa pun...tidak ada hubungannya denganmu, Seong-Joo-ssi."

***

Catatan Penulis: Halo halo! Mohon maaf sebelumnya kalau kali ini postingnya agak telat. Huhuhu. Enjoy the story ya, dear! Jangan lupa mampir ke laman AsmiraFhea HandiNamire99 lianurida piadevina

Continue Reading

You'll Also Like

19.4M 872K 57
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
459K 53.8K 66
Prisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jik...
245K 1.5K 9
⚠️ dirty and frontal words πŸ”ž Be wise please ----- Kanya seorang murid di sebuah sekolah menengah yang menyimpan perasaan untuk guru sekaligus wali k...
226K 12.4K 31
( sebelum membaca jangan lupa follow akunnya πŸ‘Œ) yang homophobia di skip aja gak bisa buat deskripsinya jadi langsung baca aja guys bxb bl gay homo ...