Memeluk Bayang

Bởi umiimasrifah

77.6K 7.5K 569

[ON GOING] Ketika Kala kehilangan Sera, mengharuskan dia terjun dalam pencarian mencari ibu pengganti untuk R... Xem Thêm

Blurb
Azkala Wafa Albarkawi
Dilara Afsheena
Gara-gara Rere
Karena Rere
Memeluk bayangan
Hari itu datang
Memeluk Bayangan 3
Memeluk Bayang 4
Memeluk Bayang - Hijab Takdir
Rere hilang
Menemukannya
Kejadian itu
Kala peduli
Sheena sembuh
Pergi tidak semudah datang
Berharap dan tidak diberi harapan
Rantai Kejombloan
Jangan pergi
Danau
Ruang yang sama
Kejadian di cafe
Sheena dan Sera Menghilang
Sheena dan Sera Menghilang 2
Meski bukan denganku, kamu pantas bahagia
Pertemuan itu
Sidang Terakhir
Yang terjadi di Pengadilan Agama

Memeluk Bayangan 2

2.9K 317 29
Bởi umiimasrifah

Sheena POV

Lembutnya elusan dipipiku, tiba-tiba beralih ke puncak kepala.

"Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha.."
Sayup-sayup suara itu terdengar mengalun, seiring dengan hembusan nafas yang menguar dipermukaan dahiku. Aku sudah terbuai, hingga lupa membuka mata.
"Wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih."

Seiring doa itu selesai, tangan Kala terangkat dari puncak kepalaku, dan membuat mataku terbuka.

Aku tidak bisa berkata-kata, seindah ini kah menikah? Hingga aku terbuai dengan keadaan ini. Seandainya ini semua didasarkan cinta, mungkin aku akan sangat bahagia. Tapi, sepertinya aku tidak akan bisa mendapatkan semua itu, lagi.

"Mas, bolehkah aku minta satu hal?" ucapku tanpa terkendali.

"Jika bisa aku memberikannya, silahkan."

Aku menunduk, "Meskipun kita tidak pernah berkomitmen dalam hubungan ini, tapi aku berharap kamu menghargaiku bukan hanya sebagai ibu untuk Rere, tapi juga istrimu." lidah terasa keluh, hingga seluruh kalimat itu hanya bisa diucapkan dalam hati. Dan juga, aku harusnya sadar, apa tujuan pernikahan ini. Hanya karena Rere, dan selanjutnya kita berjalan ditujuan masing-masing, yang tidak pernah sejalan. Kenapa aku tiba-tiba menjadi berharap seperti ini? Bukankah, aku tidak pernah, dan tidak mau mencintainya.

"Minta apa She? Katakan." tanya Kala melihatku yang terus menunduk.

"Tidak, aku hanya minta agar kamu terus mengingatkanku bahwa pernikahan ini harus disembunyikan." pintaku.

Tapi kini Kala malah tersenyum, apa sehabis menikah urat tawanya kembali normal?

"Dan, aku juga minta jangan terus tersenyum seperti itu."

"Kenapa?"

Karena aku bisa meleleh, mengerti tidak? Aku lebih bersyukur bicara dengan Kala yang urat tawanya putus, daripada boros senyum seperti ini.

"Dikira orang nggak waras entar." jawabku sekenanya, membohongi alibi pertama dalam batinku.

Kala langsung berhenti tersenyum, dan memasang wajah datarnya. Kok jadi menakutkan ya?

"Sekarang apa aku sudah terlihat waras?" tanyanya yang membuat perutku terasa tergelitik, ternyata dia mendengarku yang memprotesnya tadi.

"Kenapa lebih ke orang yang menahan buang air besar ya?" alibiku lagi yang ingin tertawa melihat ekspresinya. Ah, dia menggemaskan. Astaghfirullah. Sadar Sheena.

"Apa?" dia mendelik.

Aku hanya nyengir sembari berjalan terbirit-birit, menjauhinya yang semakin menggemaskan. Lihat, seorang kolonel yang tampangnya seram, tapi punya ekspresi yang menggemaskan. Andai boleh, aku ingin mencubit pipinya. Tapi, ah ingat Sheena siapa dia untukmu?

"Aku berangkat dulu ya, Mas. Assalamualaikum." pamitku.

"Waalaikumsalam."

***

"Sekarang Rere minta kemana lagi? Ini kan sudah ke beli semua." tanyaku.

"Lele lapel Ma." rengek gadis kecil itu, menggemaskan juga seperti Papanya.

"Mau makan apa?" tanyaku lagi, kemudian dia menunjuk ke sebuah stan donat. Saat aku mengikuti jemarinya yang menunjuk, tepat itu juga aku melihat seorang perempuan sedang melihati kita dengan mata tajamnya.

Aku memperhatikannya terus, begitupun dia yang tidak ada takutnya ikut memperhatikanku dengan Rere.

"Mama, ayo." tarik Rere yang membuyarkan pandanganku.

"Oh iya, ayo." ku gandeng tangan Rere, rasa khawatir tiba-tiba menyelimuti. Aku merasa perempuan itu sedang mengintai aktivitas kita. Dan, saat aku kembali melihatnya, perempuan itu sudah tidak ada. Segera kuedarkan pandangan, mungkin bersembunyi atau pindah tempat, namun perempuan itu tidak kutemukan.

"Aaah Mama Na." genggamanku lepas begitu saja, seiring tubuh Rere yang terangkat dan sudah berada digendongan seorang pria bertubuh besar. Kejadian itu sangat singkat,  dan kini Rere sudah dibawa lari oleh pria itu.

Aku tidak ingin terjadi apapun pada Rere, sehingga tidak peduli kerudungku yang awut-awutan karena berlari mengejar pria itu. Ini semua juga salahku, kenapa aku tidak menjaganya dengan benar. Ini salahku.

"Berhentiii, tolong. Pria itu menculik anakku." aku berteriak sekencang-kencangnya, mencoba meminta bantuan. Tapi seakan acuh, semua orang yang berada disana masih tetap dengan aktivitasnya masing-masing. Apa mereka punya hati nurani? Seorang ibu yang sedang meminta bantuan karena anaknya diculik.

"Heeei berhenti genderuwo." apapun yang ada dimulutku keluar, begitupun dengan tubuh pria itu yang mirip genderuwo, sudah besar dan tinggi, juga hitam karena baju dan penutup kepalanya.

BRAKK

Suara itu nyaring, hingga semua orang yang sok sibuk tadi menoleh, tubuh pria itu membentur papan sponsor yang ada didepan sebuah salon kecantikan, lalu jatuh tersungkur ke tanah dan meringis kesakitan dengan pipi membiru dan bibir yang mengeluarkan darah. Tapi aku sudah tidak melihat Rere digendongannya.

"Dia putrimu?" suara itu muncul disampingku.

Seperti sebuah kejutan, dan aku terkejut.
Emre ada didepanku sekarang, sembari menggendong dan memeluk Rere yang sedang ketakutan.

Aku meraihnya, dan mengalihkan Rere dalam gendonganku. Masih tidak memperdulikan pertanyaan dari Emre.

"Apa dia putrimu?" tanyanya lagi. Aku sudah berjanji pada Kala bahwa tidak akan memberi tahu siapapun tentang pernikahan kita, tapi aku tidak bisa berbohong didepan Rere. "Aku mendengarnya tadi, saat kamu meminta tolong." jelasnya lagi.

"Terimakasih." aku berbalik, dan berjalan mrnjauhinya.

Namun aku tau sekali siapa Emre, dia tidak akan mudah menyerah. Dia masih mengikutiku dari belakang.

"Kenapa kamu tidak membicarakan ini sama aku? Kita teman bukan?" ucapnya.

Aku tidak peduli.

"Berhenti, aku ingin tau apa alasanmu Shen."

"Jangan memanggilku seperti itu!" jujur aku masih terbawa perasaan dengan panggilan itu.

"Kalo begitu, berhenti dan kita bicara." ucapnya keras kepala.

"Ma, belhenti. Lele juga mau bilang maacih." ucap Rere yang sejak tadi diam. Dia menatapku dengan wajah biasa saja. ha, masak dia tidak ada takut-takutnya dengan krjadian ini? Bahkan aku tidak bisa membayangkan jika Emre tidak datang untuk mrmbantuku. "Kalo gak ada Om itu, Lele pasti macih dibawa olang jahat itu."

Benar katanya, aku langsung berhenti dan berbalik kearahnya. Namun, saat aku melihat kebalik tubuh Emre, pria tadi berlari dan membawa kayu untuk memukul Emre.

"Emre, awas." sentakku. Dan Emre pun berbalik sehingga bisa menangkis pukulan tersebut. Aku tau, bagaimana kehebatan Emre dalam bela diri, dia dulu yang selalu melindungiku.

Satu hentakan saja, kayu itu berubah haluan dan memukul pria itu sendiri.

***

Aku melihat Rere memakan donat dengan lahap disampingku, sedangkan laki-laki didepanku pun juga ikut memperhatikan. Setelah seorang polisi yang kebetulan lewat dan melihat keributan itu, akhirnya membawa penculik itu ke kantor polisi. Kini aku seperti merasa dilindungi oleh Emre lagi. Hingga tangannya terluka karenaku.

"Terimakasih, kamu bisa meninggalkan kita berdua." ucapku, membuatnya mendongak untuk melihatku.

"Dengan segala macam bahaya yang mengintaimu?"

Aku terdiam.

"Sejak kapan kamu menikah? Apa ini karena keterpaksaan?" tanyanya yang segera kupelototi, memberi isyarat padanya bahwa harus menjaga bicara didepan Rere. Dia pun mengerti yang aku maksud. "Baiklah, mungkin tidak sekarang. tapi aku selalu siap mendengarmu."

"Terimakasih, kamu bisa pergi." ucapku.

"Tidak. Sudah aku bilang, ada banyak bahaya. Beberapa orang sedang memperhatikan gerak-gerikmu dan Rere." ucapnya sembari berbisik, dia menunjuk dengan isyarat melirik kearah kursi nomor 2 yang tidak jauh dari tempatku. Benar, dua orang disana sedang melihati kearahku, satu diantaranya adalah perempuan yang kulihat tadi.

"Ya Allah." aku menggenggam tangan Rere lagi,  takut kehilangannya seperti tadi.

"Sebaiknya kita ke-"

"Rere, Nak kamu tidak apa-apa?" suara itu muncul disamping Rere, aku yang refleks segera menarik tangan Rere, tapi baru kulepas saat tau Kala lah yang datang.

"Papa," Rere memeluk Kala. Kenapa laki-laki itu terlihat khawatir?

"Siapa yang menyelamatkanmu?" tanya Kala, lalu Rere menunjuk ke arah Emre.

"Om Emle, dia teman Mama Na." jawab Rere.

Kala pun segera menyodorkan tangannya untuk berterimakasih, dan Emre menyambutnya dengan senyuman kecut.

"Terimakasih sudah menolong putri saya." ucap Kala.

"Dan istri anda." sahut Emre, dia melirik ke arahku.

Aku menunduk saat Kala melihatku, aku tau dia pasti marah besar karena Emre telah mengetahui bahwa aku istrinya.

"Dia bukan istri saya, Rere memang sering sekali memanggilnya Mama, tapi kita tidak memiliki hubungan apapun. Kita hanya menjalin silaturahmi sebagai seorang saudara. Sekali lagi, terimakasih bantuannya. Kita pergi dulu. Shee, kamu bisa pulang sendiri kan?" ucap Kala yang tiba-tiba membuat hatiku nyeri. Begitu gamblang dia menyebutkan hubungan kita. Dan naasnya, dia sudah pergi bersama Rere meninggalkanku yang hanya bisa diam.

"Aku bingung." ucap Emre.

"Tidak perlu bingung, ya ini adanya." jawabku.

Emre coba meraih tanganku yang ada diatas meja, segera kutarik tanganku sebelum bisa diraih olehnya.

"Semua ini akan jelas, kalo kamu sendiri yang bicara."

"Tidak perlu aku berbicara, karena keadaan sendirilah yang sudah menjawabnya."

Cukup hening setelah itu, hingga Emre yang memulai pembicaraan lagi.

"Oh ya, sebaiknya kita pergi ke kantor polisi, kita harus tau siapa penculik Rere." ucap Emre memberi ide.

"Ah iya, benar kamu. Ayo." ucapku langsung berdiri, mataku sedikit melirik kearah meja nomer 2, tapi saat itu juga tidak ada dua orang yang tadinya sedang mengintai kita. Mereka hilang, entah kemana.

"Satu mobil?" tawarnya.

Aku menggeleng, "aku bawa mobil sendiri saja."

"Yakin?"

Aku mengangguk.

***

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" tanya seorang polisi.

"Iya Pak, saya ingin menanyakan seorang pria yang tadi telah mencoba menculik anak kecil di jalan A. Yani, apakah saya bisa mengetahui identitas aslinya?"

Polisi itu mengernyitkan alis, "Pria yang mencoba menculik? Maaf, tapi sejak tadi tidak ada kasus penculikan yang masuk didaftar hari ini." ucap polisi tersebut.

"Benarkah Pak? Tapi tadi penculiknya dibawa kesini." ucapku.

Polisi itu membuka setumpukan dokumen, dan dia melihat kembali kearah kita. "Benar, bahkan tidak ada kasus apapun yang terjadi di jalan A. Yani."

"Apa iya dibawa ke kantor polisi lain?" Tanyaku.

"Tidak mungkin, Sheen. Mm, maaf. Tidak mungkin Sheena, karena kantor polisi ini lah yang terdekat." Emre heran, apalagi aku. "Baiklah Pak, terimakasih infonya. Permisi."

"Aneh." ucap Emre setelah sampai didepan kantor.

"Kita coba cari ke kantor polisi lain?"

"Aku saja, kamu pulang dan tunggu kabar dariku."

"Apa tidak merepotkanmu?" tanyaku sungkan.

Emre tersenyum, "Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya."

"Maaf," Emre lagi-lagi memperbaiki ucapannya. "Tapi menurutku, kamu masih dalam bahaya. Sebagai teman, ijinkan aku untuk menjagamu."

"Emre, kita hanya teman. Kamu tidak perlu menjagaku. Dan, aku bisa menjaga diriku sendiri. Terimakasih atas semua bantuanmu, kamu selalu baik untukku." ucapku.

"Aku tidak pernah memintamu kembali, aku hanya memintamu menjadi temanku. Maafkan aku yang terlalu berlebihan." ucapnya yang membuat mataku tiba-tiba perih. "Apa mau aku antar pulang?"

Aku menggeleng, "Terimakasih, tapi tidak perlu. Aku pulang dulu, permisi."

Meninggalkannya sendiri lagi, dan lagi. Dia memang pernah menjadi impianku, tapi sampai kapanpun kita tidak pernah bisa bersama.

Aku tidak pernah ingin melupakan segala kenangan tentangnya, karena itu terlalu indah.  Cukup memberi batas yang ada sekarang, hingga kenangan itu tak terukir lagi dimasa ini.

Saat memasuki mobil, aku masih melihat Emre disamping dan terus mengawasiku hingga jauh melaju. Kemudian, aku sudah tidak melihatnya karena jarak begitu jauh untuk bisa melihatnya lagi dikaca spion.

Brakk

Hentakan keras muncul dari belakang, dan membuat mobilku oleng hingga banting setir kemudian menabrak pohon, lalu gelap. Semua gelap.

-Memeluk Bayang-

Halooo, ada yang nungguin cerita ini nggak? Gimana kalo aku kasih target 70+ vote baru aku update selanjutnya. Oke ya? Hehe

Regards😍
Umi Masrifah

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

6.4M 504K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
59.2K 2.7K 29
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
5.5M 476K 53
- Zona teka-teki 1 - Kalian baca cerita ini siap-siap jadi detektif - Terbit di Hesthetic official "Menikahlah dengan suamiku dan jaga baby Hamzah...
213K 15.2K 47
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)