Sudah lebih dari sepuluh kali Kobe melirik kakak iparnya itu.
Mereka berdua kini tengah berada di dalam sebuah mobil taksi dengan tujuan mencari keberadaan Ryu.
Dari tadi Yuri tampak sibuk memerhatikan jalan-jalan yang dilewatinya. Berharap dapat menemukan Ryu di antara keramaian distrik Shinjuku yang mulai padat di sore hari.
Sedikitpun Yuri tidak menyadari gerak-gerik Kobe yang tampak sangat gelisah. Padahal adik sepupu suaminya itu duduk tepat disampingnya.
Yuri terlalu sibuk memikirkan keberadaan dan keadaan suaminya itu sampai-sampai tidak peduli lagi pada keadaan orang-orang didekatnya.
Hanya Ryu dan Ryu yang ada dalam benak dan hatinya kini. Bayangan wajah suaminya, senyuman jahilnya, tatapan matanya yang tajam tapi lembut, suara khasnya kala memanggil nama atau menyebut kata 'istriku' dengan penuh nada menggoda, caranya memasukan makanan kedalam mulut, kebiasaan mengejar setiap kali pulang dari mana saja hanya gara-gara Yuri enggan dipeluk karena tubuh Ryu yang berkeringat, wajah tampannya saat memakai kacamata setiap kali membuka laptop atau membaca, sifat iseng dan genitnya yang selalu cari-cari kesempatan untuk mencium. gayanya yang sering meringkuk saat tidur, kedipan matanya yang sengaja dibuat genit, tatapan matanya setiap kali merajuk atau seruannya dari kamar mandi saat meminta untuk diambilkan handuk.
Tanpa terasa air mata Yuri mulai membasahi pipinya lagi saat bayangan hari-hari bersama Ryu menari-nari di pelupuk matanya. Tidak terasa, ternyata sudah terlalu banyak hal indah yang mereka berdua lalui bersama selama beberapa bulan ini. Tepatnya setelah mereka berdua menikah. Dengan janjinya yang selalu ia pegang teguh seperti seorang pria sejati pastinya. Janji yang mungkin jarang sekali pria yang dapat memenuhinya.
Sekarang Yuri merasa sangat-sangat merindukan suaminya itu, walaupun belum 24 jam ia tidak ada didekatnya.
"Ryu ..." Yuri menangis pelan, "kau ada dimana?" lirih hatinya sedih.
Kobe mulai mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Ah, bagaimana ini?" katanya di hati sambil kembali melirik kakak iparnya yang kini mulai menangis lagi.
Suara isakan tangisnya yang tertahan membuat Kobe semakin membatin.
Ia juga merasa sangat-sangat bingung.
Bagaimana caranya memberitahukan keberadaan serta keadaan Ryu kini kepada kakak iparnya itu?
Bagaimana?!! Tanya Kobe frustasi didalam hati.
Sebenarnya sejak tadi ia ingin mengatakannya, namun semua terasa serba sulit.
Tadi sewaktu dirinya belum sampai ke tempat dimana Yuri bersembunyi, ada sebuah pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.
Pesan dari nomor ponsel Ryu.
Awalnya Kobe merasa sangat kaget saat membaca isi pesan itu. Jujur saja ia tidak percaya. Ketika ia hendak memastikan dengan menelepon, ponsel Ryu malah kembali tidak aktif lagi. Kobe jadi curiga,
Entah siapa orang yang menghubunginya itu. Yang pasti orang yang mengiriminya pesan itu bukanlah Ryu, karena bahasanya agak formal dan berkesan sedikit feminim sangat berbeda jauh dengan gaya bahasa Ryu.
Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana caranya memberitahu kakak iparnya itu? Dan bagaimana cara dirinya membawa Kakak iparnya kesana tanpa membuat phobia yang diderita kakak iparnya itu kambuh?
Kobe kembali melirik Yuri dengan perasaan bersalah. Tadi ia sudah berbohong pada Yuri dengan mengatakan tidak tahu saat Yuri menanyakan keberadaan Ryu kepadanya.
"Ide-ide datanglah," guman Kobe pelan. Saat ini ia butuh ide untuk membawa Yuri ketempat dimana Ryu berada.
***
"Sial, kenapa lama sekali."
Sachiko berdiri dengan tidak tenang. Sudah setengah jam ia menunggu diluar ruangan bertuliskan 'ICU' itu. Tetapi belum ada kabar dari dalam bagaimana keadaan Ryu saat ini.
Dua orang dokter yang baru datang tampak bergegas masuk keruangan itu. Sachiko berusaha mengintip namun pintunya yang kembali menutup membuatnya jadi kesal sendiri.
"Semoga Ryu tidak sampai cacat," harapnya dalam hati.
Saat ini segala kemungkinan bisa saja terjadi kepada Ryu. Dari yang buruk sampai yang paling terburuk.
Shaciko tidak sanggup untuk membayangkannya satu per satu.
Para gerombolan preman itu sungguh sangat bodoh dan tidak berguna, pikirnya.
Kalau Ryu sampai cacat atau lumpuh gara-gara pengeroyokan salah sasaran ini, ia akan menyewa para Yakuza kelas kakap untuk mengincar dan menghajar para gerombolan preman itu.
"Awas saja, lihat saja nanti ...! Dasar para preman bodoh, badan saja yang besar tetapi otak bodoh. Dasar bodoh, bodoh, bodoh," makinya sambil duduk di bangku tunggu yang berderet dengan tidak tenang.
Sachiko benar-benar sudah tidak memedulikan orang-orang yang ada diruangan itu. Ia mencoba menenangkan diri dengan menjambak rambutnya sendiri dan menangis. Sudah terlalu banyak hal yang ia lakukan untuk mendapatkan Ryu. Sudah sejak lama ia menyukai pemuda berambut hitam dan pendiam itu.
Sudah terlalu lama ia bermimpi untuk menjadi kekasihnya.
Ia tidak pernah menganggap sikap dingin dan cuek Ryu kepadanya selama ini sebagai penolakan secara halus terhadap dirinya. Yang ia tahu dan rasakan hanyalah rasa semakin penasaran setengah mati, kagum dan cinta setiap kali mendapat respon apapun dari Ryu.
"Ah ..." Sachiko mendesah.
Ia merasa lelah. Amarah dan kekesalannya yang terus-terusan meledak beberapa hari ini membuat kepalanya menjadi pusing. Ini semua gara-gara bocah posesif dan kedua pria menyebalkan itu. Yoshi yang berkali-kali menggagalkan rencananya dan Kenzie yang mempermainkannya seperti orang bodoh.
Ingat wajah ketiga orang itu Shaciko jadi kembali membanting-banting tasnya ke lantai. Membuat beberapa orang yang ada diruangan itu memandang heran dan agak ketakutan. Ada juga orang-orang yang segera menghampiri dan berusaha menenangkan.
***
Kaki Yuri terasa tidak menapak dijalan. Bangunan bertingkat dengan cat putih yang berdiri tegak dihadapannya seolah maju dan bergerak-gerak hendak menelannya bulat-bulat.
Keringat dingin mulai menetes dikening dan tangannya. Wajahnya memucat. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya mulai lemas dan gemetar.
Kobe menatap kakak iparnya itu dengan khawatir sekaligus iba. Inilah yang ia takutkan.
Tidak ada pilihan lain, ide-ide jalan keluar yang ditunggunya tidak juga datang. Sudah tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Ia sendiri sudah sangat tidak tenang. Ia ingin segera mengetahui dan melihat keadaan Ryu.
"Ryu ... Ada di ... Dalam," Kobe memberitahu dengan hati-hati.
Mata Yuri yang semula menatap gedung rumah sakit dihadapannya kini beralih pada Kobe.
"Aku tidak bohong, Ryu ada di dalam sana," kata Kobe menjawab tatapan Yuri yang tampak sangat menuntut.
Seketika tenaga Yuri seakan menguap tanpa sisa, "ti-tidak mungkin," matanya mulai berkaca-kaca.
Tubuhnya semakin gemetar. Kobe mulai bingung dan merasa bersalah melihatnya.
"Aku benar-benar tidak bohong. Ayo kita masuk," ajak Kobe hati-hati dan mulai menarik lagi tangan Yuri yang sudah terasa sangat dingin digenggaman telapak tangannya.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, Yuri mulai berhenti.
Kobe menoleh dan mendapati wajah Yuri yang semakin memucat. Mata coklatnya yang tampak gelisah dan ketakutan tidak lepas dari pintu masuk rumah sakit yang berjarak hanya tinggal lima meter lagi dari tempat mereka berdiri.
"Kakak ipar ..."
"A-a-aku tidak mau."
"Kakak ..."
"A-aku tidak mau masuk!" teriak Yuri histeris.
"Kakak, dengarkan aku du ..."
"Tidak ...! Aku tidak mau," Yuri mulai menutupi telinganya dengan tangan. "A-aku tidak mau masuk."
"Kakak, kita harus masuk. Ryu pasti sangat membutuhkan kakak. Sekarang dia pasti ..."
"DIAM!" bentak Yuri tanpa sadar, "a-aku tidak percaya, ini tidak mungkin. Aku tidak mau masuk Kobe, aku tidak mau masuk ...!"
"Kita harus masuk kakak," Kobe berusaha bersabar.
Yuri semakin merapatkan tangannya ketelinga. Tubuhnya semakin gemetar menahan rasa takut yang semakin mempengaruhi alam bawah sadarnya.
"Kakak, sekarang Ryu tidak sadarkan diri ..."
Yuri menggeleng cepat.
"Bisa dibilang ia sedang koma dan sangat kritis ..."
"TIDAK!" teriak Yuri histeris. Tubuhnya lemas sehingga terduduk ditanah sekarang. Ia mulai menangis, sambil menutupi wajahnya. Kobe tidak menyerah.
"Maka dari itu kita harus masuk untuk ...."
"Tidak! A-aku tidak mau."
"Kakak ipar ...."
"A-a-aku tidak mau, aku tidak mau. AKU TIDAK MAU KESANA!"
Kobe terdiam mendengar bentakan itu, napasnya naik turun melihat keadaan Yuri yang duduk meringkuk memeluk lututnya seolah bangunan tidak bernyawa itu adalah monster pemakan manusia yang siap memakannya. Wajah Yuri dibenamkan dalam-dalam di antara kedua lututnya. Tangisnya kian tertahan menyayat hati.
"KAKAK IPAR!" bentak Kobe, emosinya sudah lepas. "Terserah, aku tidak akan memaksamu lagi. Ryu sedang sekarat di ruang UGD. Tapi kenapa?! Tega-teganya kau tidak mau peduli kepadanya. Kenapa kau tidak mau segera menemuinya?! Hah, kenapa?! Dia itu suamimu. Kau tahu, dia sangat mencintaimu tapi kenapa kau tega seperti ini kepadanya?!"
Yuri menjawab sambil terisak, "a-aku peduli kepadanya Kobe, aku juga sangat menyayanginya."
"AKU TIDAK PERCAYA!" bentak Kobe lagi.
"Kau tidak mengerti Kobe."
"Kau yang tidak mengerti ...! Aku benci padamu Yuri, aku benci ...! Aku menyesal karena telah memercayakan kebahagiaan kakak sepupuku itu kepadamu. Aku menyesal ...! Kau mendengarku Yuri?! Aku sangat menyesal ...!"
Kobe berlari masuk kedalam rumah sakit meninggalkan Yuri sendirian.
Salju mulai turun, Yuri menatap punggung Kobe dengan nanar. Hatinya terasa sangat sakit. Bukan karena bentakan Kobe yang keras tetapi karena kata-katanya itu.
"Kau tidak mengerti Kobe. Kau tidak mengerti ..." lirih Yuri sedih sambil menangis kembali.
Kobe tidak mengerti, pikirnya. Siapa yang tidak peduli pada Ryu? Siapa yang tidak ingin cepat-cepat melihat keadaannya? Siapa yang tidak menyayangi Ryu? Tanya Yuri kesal didalam hatinya.
Dadanya terasa sesak bagai terhimpit. Kata-kata Kobe yang terus terngiang-ngiang ditelinganya membuat hatinya semakin sakit.
Perlahan Yuri memberanikan diri mengangkat kepalanya. Gedung putih bertingkat itu masih saja terlihat menakutkan dimatanya. Dengan hanya melihatnya dari sini Yuri seakan sudah dapat mencium bau-bau anyir darah. Bayangan tangan dan kaki yang terpotong belepotan darah memenuhi pikirannya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dadanya semakin sesak. Ia merasa sulit bernapas. Tangannya meremas ujung jaketnya kuat-kuat.
Samar-samar ia mendengar suara Ryu memanggilnya.
Air matanya mengalir semakin deras. Matanya bergerak dengan gelisah.
Bayangan buruk saat masa kecilnya mulai berkelebat silih berganti.