Chapter 2n

13.6K 224 10
                                    

--->

Kenzie memutus teleponnya kemudian berlari ke pinggir jalan raya untuk memanggil taksi.

Setelah mengucapkan terimakasih pada Kenzie, mobil taksi yang membawa mereka berdua pun berlalu.

Kenzie segera berlari ke tempat parkir kemudian mengikuti Yuri dengan mobil Jeep kuningnya.

Di dalam mobil taksi, Mine terus menatap curiga pada Yuri. Tangannya di lipat di dada, Yuri jadi salah tingkah di buatnya. Ia pura-pura merapikan rambutnya Sambil terus berdo'a di dalam hati semoga sahabatnya ini tidak bertanya hal macam-macam padanya.

Mine menghela napas berat kemudian mulai bertanya.

"Yuri chan, tolong jelaskan padaku."

"Apa?"

"Jangan pura-pura lagi..!! ayo jelaskan padaku siapa pria tadi dan kenapa dia mau menelpon sensei untuk menjemput kita? Ralat maksudnya menjemputmu?!"

"E...dia itu namanya Kenzie"

"Iya...aku sudah tau. Lalu?!" kata Mine gemas.

"E...dia itu-dia teman maksudku sahabatnya Ryu, sensei karate kita," Yuri menahan napasnya melihat wajah Mine yang menautkan alisnya.

"Iya lalu?!"

"E...lalu, lalu apanya lagi sih?!" Yuri pura-pura kesal.

Mine tidak menjawab ia malah melempar tatapan super tajam pada Sahabatnya.

Yuri menelan ludahnya pelan kemudian menghembuskan napas panjang.

"Iya-iya aku jelaskan, jangan memandangku begitu Mine chan. Huh...Kenzie itu sahabatnya Ryu. Ryu itu adalah anak dari sahabatnya orang tuaku. Kau juga kan tau aku dan Ryu saling kenal karena orang tua kami bersahabat jadi..."

"Jadi...??"

"Jadi..." Yuri masih berpikir.

"Jadi apa Yuri chan?!" teriak Mine.

Yuri menutup telingannya dengan tangan.

"Huh...Mine kita sedang di dalam mobil bukan di hutan, jangan teriak-teriak donk!!" teriak Yuri membalas.

Giliran Mine yang menutup telinganya sekarang.

"Aduh, tolong jangan ribut nona-nona. Dasar anak muda jaman sekarang, mana sopan santunnya pada orang tua?" kata supir taksi halus.

Mereka berdua saling sikut dan saling menyalahkan.

"Emm...maafkan kami paman," kata Yuri malu.

"Ya, tidak apa-apa. Kaliankan wanita jadi biasakanlah berbicara lemah lembut. Jangan berteriak seperti tadi, itu kurang baik" nasehatnya.

Yuri dan mine hanya saling pandang kemudian tersenyum bersama. Mereka jadi ingat pada nenek dan kakek Mine yang selalu memberi nasehat dan kata-kata bijak pada mereka berdua.

"Jadi apa?" bisik Mine.

"Hah?" Yuri kaget, ia kira Mine sudah lupa dan tidak berminat untuk bertanya lagi.

"Uh...Yuri chan!" bisik Mine gemas.

Yuri membentuk dua jarinya dengan huruf 'v' sambil tersenyum.

"Jadi, wajar donk kalau Kenzie mau menelepon Ryu karena yang dia tahu, aku itu kenal dekat dengan Ryu," jawab Yuri sambil berbisik.

Ia menahan napas melihat Mine yang tengah berpikir mencerna kata-katanya.

"Ah aku pusing, tapi benar juga. Kalau Kenzie kenalnya dengan Kobe tentu dia akan menelepon Kobe untuk menjemput kita begitu kan?"

"Benar. Ah...kau memang pintar Mine," Yuri menghembuskan napas lega kemudian memeluk sahabatnya.

Hatinya sedikit tenang, Mine membalas pelukannya. Hari ini sangat melelahkan untuk mereka berdua. Mine berusaha membuang semua kecurigaannya. Yang dia tahu dari Kobe memang Ryu itu adalah anak dari sahabatnya orang tua Yuri. Kobe juga bilang padanya kalau Ryu itu suka pada Yuri begitu pula sebaliknya namun mereka berdua masih malu-malu. Makanya Kobe terkadang suka membuat rencana untuk mendekatkan mereka berdua di sekolah.

Matahari semakin tenggelam, mereka berdua menghabiskan sisa perjalanan dalam diam, Mine tidur menyandar di bahu Yuri karena kelelahan.

Sedangkan Yuri memandang keramaian

Kota Shinjuku dari kaca jendela mobil yang melaju menuju rumah Mine.

Dirinya terus berpikir, hatinya terus bertanya.

Sampai kapan ia bisa menyembunyikan semua ini dari sahabatnya.

Semua terasa berat, terkadang ia seperti selalu di hantui perasaan takut.

Bagaimana kalau orang-orang tahu akan pernikahannya?

Bagaimana kalau pihak sekolah tahu dan mengeluarkannya dari sekolah?

Padahal tinggal satu semester lagi ia menyelesaikan sekolah Sma-nya.

"Seandainya ayah tidak di tugaskan di London," guman Yuri sedih.

Ia sangat merindukan kedua orang tuanya.

Setelah beberapa menit berlalu, mobil taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan restoran mie ramen keluarga Hanowa.

"Yuri chan, tidak mampir dulu?" tanya Mine sambil menutup pintu taksi.

"Lain kali saja yah, salam untuk paman dan bibi" Yuri melambaikan tangannya.

"Iya, nanti aku sampaikan. Hati-hati Yuri chan, telpon aku kalau sudah sampai" Mine juga melambaikan tangannya.

Ia sangat khawatir pada keadaan Yuri yang terlihat pucat dan lecet-lecet. Padahal dirinya sendiri juga lecet-lecet namun tidak separah Yuri. Mine kemudian membawa sepedanya masuk setelah taksi itu menjauh.

Di dalam taksi Yuri merasa badannya pegal-pegal. Kedua lutut kakinya, betis kiri, sikut kiri, dan lengan kanannya lecet-lecet.

Telapak tangan dekat pergelangan tangannya juga berdarah. Kepala yuri sedikit pusing, badannya terasa lemas.

Ia merapatkan jaket putihnya dan berusaha memejamkan kedua matanya.

Baru juga berjalan sebentar Yuri merasa mobil yang ia tumpangi berhenti. Matanya terasa berat untuk melihat apa yang terjadi.

Kemudian ia mendengar pintu mobilnya di buka pelan dari luar. Terpaksa Yuri membuka matanya perlahan.

"Ryu?!" pekik Yuri kaget karena wajah Ryu tepat berada di sampingnya.

Tanpa banyak bicara Ryu menyerahkan beberapa lembar uang yen pada supir taksi kemudian mengangkat tubuh Yuri perlahan.

Supir taksi membantu Ryu membukakan pintu mobil lamborghini putihnya. Yuri diam saja, ia merasa tidak bertenaga untuk berontak dari gendongan Ryu.

Early weddingWhere stories live. Discover now