"Ka-ka-kau?" Yuri terbata-bata sambil berjalan cepat menghampiri seorang korban akibat dari lemparannya itu.
Mine juga segera berlari mendekat dengan panik, "Kobe? Kau tidak apa-apa?"
Kobe tidak menjawab, ia masih memegangi perutnya sambil berusaha menyembunyikan wajahnya, seperti orang yang sedang menahan sakit. Yuri jadi panik melihatnya.
"Hei bocah, sebelah mana yang sakit? Jangan membuatku takut."
Yuri berusaha mengintip wajah Kobe yang dari tadi menunduk dalam.
'pletaak'
Tiba-tiba sebuah jitakan mendarat dengan mulus di kepala Kobe. Mine yang tidak mengerti langsung memelototi Yuri.
"Dasar, bikin kaget saja," gerutu Yuri sambil bersiap memukul kepala sepupu suaminya itu lagi.
"Ampun ..." kata Kobe seraya melindungi kepalanya, "habis wajah kakak ipar lucu kalau sedang panik begitu," tawa Kobe pun meledak.
Mata Yuri mendelik, sedang Mine menghela napas lega.
"Aku kira kau benar-benar kesakitan," Mine tersenyum kecil, "ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini? Bukankah sekarang waktunya belajar?"
"Aku menjemput kalian, ayo masuk."
"Masuk lewat mana?" Yuri melirik gerbang sekolahnya yang tertutup rapat.
Penjaga gerbang itu kini terlihat tengah mendengarkan musik sambil memejamkan matanya.
"Ikuti aku," kata Kobe sambil berlari mengitari benteng sekolah.
Yuri dan Mine saling pandang tidak mengerti, kemudian buru-buru mengikuti Kobe karena penasaran pada apa yang akan dilakukan oleh bocah usil itu.
"Siapa yang mau naik duluan?" tanya Kobe setelah berhenti di sebuah pohon yang tumbuh tepat di atas jalan trotoar.
Salah satu dahan pohon itu yang ukurannya lumayan besar tampak menyentuh tembok benteng sekolah yang tingginya kira-kira hampir dua meter setengah.
"Naik?" tanya Yuri dan Mine bersamaan.
Mata mereka berdua melebar kaget, Kobe hanya menjawab dengan anggukan kemudian tersenyum tanpa dosa.
"Kau bilang naik?" tanya Yuri lagi tidak percaya.
Kobe kembali mengangguk.
"Na-naik ke atas pohon ini?! Ya ampun, yang benar saja?" tangan Mine sibuk menunjuk-nunjuk.
Di perhatikannya pohon tinggi itu dengan tatapan ngeri.
"Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Kita hanya bisa masuk lewat sini. Lagi pula pohonnya tidak terlalu tinggi bukan? Jadi ... siapa yang mau naik duluan?" tanya Kobe sekali lagi.
Mine dan Yuri saling pandang sejenak kemudian mereka berdua kompak berteriak, "TIDAK ...!"
Hal itu membuat Kobe terkejut. Ia terpaksa segera menutup mulut kedua gadis itu dengan tangannya. Matanya bergerak memerhatikan sekitarnya. Kobe takut ada orang yang menyangkanya tengah melakukan hal yang tidak-tidak pada dua gadis yang meneriakinya ini.
Sementara itu, di dalam mobil Sachiko kembali menggeram kesal. Ini sudah sangat-sangat-sangat keterlaluan pikirnya. mobil yang ia tumpangi terpaksa melewati gadis incarannya itu saat Kobe tiba-tiba saja muncul didekat mereka. Sekali lagi ia meminta pada supirnya untuk memutar kembali mobilnya. Ia merasa sangat marah dan juga penasaran sekarang. Bukankah bocah posesif itu tadi pagi sudah berangkat terlebih dahulu? Tapi kenapa tiba-tiba bocah itu bisa muncul disana? Bukankah jam segini waktunya belajar?
Sachiko menghela napas berat. Ia tengah berpikir keras sekarang. Pasti, pasti ini bukan kebetulan semata. Sebuah kecurigaan terbesit di dalam pikirannya.
"Beri dia pelajaran," katanya setelah memencet beberapa angka pada ponselnya, "iya, Jeep berwarna kuning. Buat dia jera supaya tidak ikut campur urusan orang lain," katanya geram.
Setelah mengatakan itu ia segera menutup ponselnya. Ia benar-benar ingin melakukan pembalasan pada Kenzie yang telah membuatnya seperti orang bodoh.
Perlahan Sachiko menurunkan kaca mobilnya. Matanya seketika jadi membulat saat tanpa sengaja melihat Kobe yang tengah tersenyum mengejek kepadanya.
Kobe mengacungkan jempol terbalik sebelum menaiki tangga alumunium yang bersandar di tembok benteng itu. Ia menyusul Yuri dan Mine yang sudah naik terlebih dahulu.
"Sial ...!" geram Sachiko marah, "mereka pasti sengaja! mereka pasti sengaja menjauhkan gadis ingusan itu dariku ...! Dasar pria-pria berengsek, akan aku singkirkan kalian ...! Kita lihat, seberapa mampu kalian menahan langkah-langkahku?!" teriaknya.
Ini semua benar-benar sudah membuat batas kesabarannya habis. Ia sangat yakin sekarang, langkahnya dalam mendekati Yuri terhambat bukan gara-gara kebetulan atau kesialannya semata, tapi itu semua karena pria-pria itu secara tidak langsung telah menghalangi jalannya.
Tetapi kenapa? Tanya batin Sachiko. Kenapa mereka mau repot-repot menghalangi langkahnya? Siapa sebenarnya gadis bernama Yuri itu? Bukankah dia hanya sepupunya Ryu? Apa mereka tidak suka bila aku dekat dan akrab dengan sepupunya Ryu? "sungguh menyebalkan," cibir Sachiko.
Ia sungguh tidak mengerti dan merasa sangat penasaran, tetapi sebelum bisa mendekati gadis ingusan itu sepertinya ia harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu. Dimulai dari pengemudi Jeep kuning itu, lalu si bocah posesif kemudian kedua teman Ryu lainnya. Setelah itu ia yakin Yuri pasti bisa didekatinya dengan mudah.
***
Alunan musik pop remix membuat pengemudi mobil Jeep berwarna kuning itu mengetuk-ngetukan jarinya pada stir. Sekarang waktu sudah menunjukan pukul setengah satu siang. Beberapa menit lagi bel pulang di sekolah Yuri berbunyi. Ia agak mempercepat laju mobilnya karena tidak ingin terlambat datang sehingga membuat Yuri menunggunya. Menurut Yoshi saat ini situasi sedang kurang aman. Ia bersikeras memertahankan pendapatnya bahwa keselamatan Yuri kini tengah sangat-sangat terancam sehingga mereka semua harus selalu waspada. Ia juga terus berkata bahwa wanita bernama Sachiko itu setiap hari mengincar keselamatan Yuri.
Benar-benar berhasil membuat hatinya gelisah.
'Bruug'
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah mobil sedan hitam yang menyenggol body samping mobilnya. Dibelakang serta depannya, beberapa mobil serupa terus memepet mobil Jeep yang tengah dikendarainya. Dua buah mobil yang berada di depan terus menghalangi jalannya, membuat mau tidak mau mobil Jeep itu mengikuti kemana mobil sedan itu melaju.
"Turun!" bentak salah satu pria berjas hitam setelah mobil mereka semua berhenti di sekitar gudang-gudang sepi. Hawa bahaya yang terasa sedikitpun tidak membuatnya gentar.
Tanpa melawan pengemudi Jeep kuning itu turun dengan tenang. Dirinya kini dikelilingi oleh dua puluh lima orang pria berpakaian serba hitam dan bertampang sangar. Beberapa diantaranya bahkan ada yang membawa rantai besi, stik golf dan tongkat pemukul.
'Praang'
Kaca mobil Jeep itu dihantam sebuah tongkat bisbol sampai pecah hancur berantakan.
"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?" tanyanya berusaha tetap tenang.
Seorang pria berambut ikal sebahu yang terlihat seperti pimpinan dari gerombolan itu berjalan mendekat, "kau tidak perlu tahu siapa kami," mulutnya menyeringai malas, "apa kau ... benar-benar ingin tahu keinginan kami?" tanyanya penuh dengan nada ancaman dari jarak yang sangat dekat.
"Katakan apa yang kalian inginkan? Aku merasa tidak punya urusan dengan kalian."
Pria berpakaian hitam itu tertawa keras mendengarnya, "besar juga nyalimu," katanya kemudian matanya menatap dengan tajam, "dengar kami datang untuk memberi peringatan padamu!" bentaknya sambil melayangkan kepalan tangannya ke arah perut.
Sementara itu bel tanda berakhirnya jam belajar menggema diseluruh penjuru sekolah. Yuri berjalan sendiri menuju gerbang belakang sekolahnya setelah berpisah dengan Mine di depan pintu kelas. Tadi pagi saat mau berangkat ke sekolah Ryu mengatakan akan menjemputnya pulang siang ini. Ryu berencana mengajak Yuri pergi ke acara pameran seni es yang ada di kota Tokyo. Sudah lama ia tidak pergi berdua bersama suaminya itu. Senyum Yuri mengembang, saat membayangkannya. Rasanya sudah tidak sabar, ia ingin segera melihat karya-karya seni yang terbuat dari es-es balok.
Sejenak Yuri meregangkan kedua tangannya. Ia merasa hari ini benar-benar melelahkan. Bagaimana tidak? gara-gara Mine yang terlalu keras tertawa, sensei Yamato jadi memergoki mereka bertiga. Hukuman berdiri diluar kelas dengan mengangkat kaki sebelah sambil berpegangan pada telinga pun tidak dapat terelakan lagi. Sensei mengira mereka bertiga sengaja mau membolos dari jam pelajarannya. Untung saja tidak ada yang melihat mereka masuk lewat tembok benteng dengan menggunakan tangga. Kalau ada yang melihat pasti mereka harus berurusan dengan kepala sekolah. Hukumannya pun pasti akan lebih berat dari pada berdiri berjam-jam dengan kaki sebelah.
Tanpa sadar suara desahan keluar dari mulutnya. Untuk kesekian kali Yuri melirik jam tangan putih yang melingkari lengannya. Sudah setengah jam ia berdiri menunggu, tetapi Ryu belum datang juga. Entah mengapa hatinya merasa tidak tenang dan gelisah. Mungkin karena suasana di gerbang belakang sekolahnya ini yang sudah sangat sepi, pikirnya. Walau begitu sepasang matanya tergerak mengawasi sekitar. Bayang-bayang wajah Ryu terus menari-nari dipelupuk matanya.