Too Young to be Mom

By ShevaHa_

295K 10.3K 35

Septianna, seorang murid yang tidak hanya akan menghadapi ujian akhir di sekolah, tetapi mengahadapi getirnya... More

A Charming Clerk
An Ordinary Woman
Bolos
Label Seorang Murid
Anak yang Tak Diharapkan #1
Awal dari Semua Masalah
Peristiwa Malam Minggu
Ujian Tengah Semester
Testpack
Anak yang Tak Diharapkan #2
Panik
Pertemuan Mengejutkan
Masa Depan
Kecerobohan
Sebuah Kepastian
Kehidupan Baru yang Hampa
Perasaan yang Selama ini Terpendam
Benci
Rencana Baru
Persetujuan dan Kebohongan
Awal yang Baru
Pelarian #1
Kebiasaan
Cemburu
Hal yang Kutakutkan Terjadi
Pasrah
Pelarian #2
Nasehat Seorang Suami
Klarifikasi
Ujian Akhir Nasional
Keluarga Besar
Suami yang Pengertian
Dek Lastri
Perpisahan Sekolah
Too Young to be Mom
Rahasia dan Ketakutan
Pelarian #3
Kedatangan yang Tidak Terduga
Epilog
Ucapan Terima Kasih

Ibu Mertua

5.4K 226 0
By ShevaHa_

Aku menceritakan mengenai pertemuanku dengan ayah pada Juna. Dia sendiri tak dapat berkata banyak, hanya bisa menyuruhku untuk bersabar. Sabar itu memang mudah untuk diucap namun sangat sulit untuk dijalankan, terutama jika masalah selalu menderaku. Tapi perhatian yang diberikah oleh Juna dari hari ke hari ternyata mampu melupakan semua penat dihati.

" Mungkin bapak masih membutukan waktu yang cukup untuk melupakan semuanya."

" Kamu pikir tujuh belas tahun waktu yang sebentar." Aku menggerutu sendiri.

" Bagi ayah itu mungkin saja." Juna berkata seakan-akan ia paham betul sifat ayahku." Dengar, setiap manusia mempunyai cara dan waktu yang berbeda untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kak Raisa mungkin hanya membutuhkan waktu sebentar untuk mengikhlaskan kepergian ibu, tetapi bagi ayah yang sudah mengenal ibu lebih dari lima belas tahun bukan waktu yang mudah pastinya."

Aku masih saja tidak menerima." Tapi tetap saja jika ayah sudah dewasa harusnya tak harus membutuhkan waktu yang begitu lama, bahkan sampai detik ini dimana sebentar lagi ia sudah ingin mempunyai cucu."

" Mungkin juga-," tiba-tiba handphone Juna berbunyi dan ia langsung mengangkatnya. Aku mendengar sebutan Ibu dilontarkan oleh Juna, dan aku rasa ia sedang berbicara dengan ibunya.

Setelah Juna menutup teleponnya." Ada apa?" tanyaku.

" Ibuku mau kesini lusa." jawab Juna cepat.

" Oh," ibunya Juna mau kesini," datang sama adik kamu atau gimana?" apa yang mesti aku lakukan nanti, karena sebelumnya aku belum pernah bertemu langsung dengannya.

" Sendirian katanya, kamu nggak keberatan kan."

Aku jadi salah tingkah." Nggak... lagian untuk apa, dia kan ibu aku juga." dan aku tersenyum malu membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu.

Waktu kecil aku merasa kak Raisa adalah ibuku, tetapi beranjak SMP, aku tahu bahwa ia hanya sekedar kakakku dan mempunyai kehidupannya sendiri. Tapi setidaknya ia sama-sama seorang wanita, sedangkan sosok ayah sendirilah yang tak pernah aku dapati dari dulu. Namun Juna sendiri ayahnya sudah meninggal.

Ibunya datang pasti karena sudah diberitahu oleh Juna sebulan yang lalu perihal hidupnya yang sudah beberapa bulan ini berubah. Aku sedikit cemas menantikan kehadiran ibu Juna, apakah nanti ia akan suka dengan menantunya.

" Tenang aja ibuku baik dan tak begitu banyak bicara." ujar Juna perihal ibunya, semoga saja memang benar, karena aku masih sedikit trauma bertemu seorang ibu seperti ibunya mas Rizal.

" Senang mendengarnya." Aku tersenyum senang,

Juna teringat sesuatu." Oh ya sampai dimana pembicaraan kita tadi."

" Sudahlah, sudah malam." Aku tahu sebelum ibunya menelpon, kami membicarakan tentang sikap ayah, tapi aku terlalu malas membahasnya karena tak pernah ada jalan keluar yang jelas jika membicarakan masalah ayah.

Ibunya akan datang dan menginap tiga hari dua malam disini. Aku begitu menantikannya. Dan kali ini aku berharap ia tidak seperti ibu mertua kak Raisa dan aku akan membuktikan bahwa tinggal dengan ibu mertua tidaklah seburuk perkiraan banyak orang.

*

Pagi ini Juna sedang menjemput ibunya di stasiun. Aku harap-harap cemas menantikannya, biarpun aku sudah masak lumayan banyak, ayam goreng, telur balado serta sayur sop, tapi ada perasaan takut jika ibu Juna tidak menyukaiku. Bayangan ibu mertua yang cerewet dan sinis pada menantu seperti terbayang dibenakku.

Setelah mempersiapkan segalanya, ibu Juna tak kunjung datang hingga akhirnya aku tertidur karena tadi bangun pagi-pagi sekali. Dan ketika Juna membangunkanku, ibunya sudah berdiri dihadapanku. Ya Tuhan mengapa harus seperti ini pertemuan pertamaku dengan ibu mertuaku. Jangan-jangan dia berpikiran bahwa aku adalah menantu yang pemalas.

" Eh ibu, maaf bu ketiduran." Aku buru-buru merapikan rambut dan bajuku serta tak lupa langsung mencium tangannya.

" Nggak apa-apa, orang hamil memang begitu bawaannya." katanya begitu lembut disertai sebuah senyuman.

Aku menjadi bingung harus bilang apalagi." Gimana kalau langsung sarapan aja." ajakku langsung begitu saja.

" Ini kan udah jam sepuluh Sep, bukan waktunya sarapan lagi." kata Juna meledekku, lalu aku melihat jam dan ternyata benar, aku sudah ketiduran lebih dari dua jam.

" Tadi keretanya telat dan lagi jalanan tadi sedikit macet jadi baru aja sampai," kata Juna menjelaskan," tadi juga aku sama ibu udah sarapan di stasiun." kalau tahu begitu tadi aku tak perlu masak pagi-pagi sekali, aku menggerutu dalam hati. Tapi tak apa, karena dengan begitu aku tak perlu lagi menyiapkan makan siang.

Ibu Juna menatapku." Udah kalau capek tidur aja. Ibu mau ke kamar mandi dulu ya." dan aku mempersilahkannya.

Ternyata ibu Juna tidak seseram anggapanku, malah ia sangat baik dan ramah dan menerima keadaanku. Siang hari kami makan bersama, sebelum Juna berangkat ke minimarket. Dan ibu Juna memang sangat pendiam tetapi menampakkan wajah yang ramah. Tak lama setelah Juna berangkat kami hanya tinggal berdua saja.

Ketika aku sedang membereskan meja makan dan dapur. Ibu Juna melarang." Tidak usah, dek Septi istirahat aja kalau capek, nanti biar ibu yang bereskan." seraya mengambil piring ditanganku yang ingin aku cuci.

" Nggak apa-apa bu, udah biasa," ucapku merasa tidak enak pada orang tua," ibu kan baru saja datang, pastinya capek habis perjalanan jauh."

" Seneng lihatnya istri Juna rajin." aku tersipu malu.

" Biasa aja," padahal hatiku berbunga-bunga," Oh ya bu kenapa adik Juna nggak diajak, siapa namanya?" selama ini aku memang tidak pernah menanyakan tentang keluarga Juna dan selama ini juga yang selalu dibahas adalah masalah keluargaku, bodohnya aku, seharusnya dari dulu aku sudah peka. Bukankah pernikahan itu dibentuk oleh dua keluarga, terlalu egoiskah keluargaku.

" Sari," jawabnya langsung," tadinya mau ikut tapi bulenya lagi sakit jadi tidak enak buat ninggalin, anaknya kan masih kecil-kecil."

" Oh." Hanya kata itu yang terlintas." Terus kemaren dari malang jam berapa?"

Ibu Juna berpikir sejenak." Kalau tidak salah sore jam empat. Kapan-kapan kamu main kesana, di malang udaranya sejuk banget."

" Nggak kayak di jakarta ya bu."

" Iya makanya ibu nggak pernah betah lama-lama disini, bukannya apa-apa loh dek Septi, habis jakarta itu panasnya nggak karuan udah begitu kalau beli apa-apa harganya mahal-mahal."

Aku cukup betah mengobrol dengan ibu Juna, seperti tak ada yang salah dengan perkataanku, bahkan ibu Juna merasa selalu tidak enak jika aku sedang membereskan rumah kontrakan kami, mungkin karena ibu Juna sudah terbiasa dengan pekerjaan ibu rumah tangga.

Karena hari ini Juna pulang malam, maka makan malam hanya aku bersama ibu Juna. Kami berbincang mengenai keluarga Juna. Dia memang dibesarkan secara sederhana, tetapi biarpun begitu kehidupan keluarga Juna tak pernah ada masalah.

Ibunya begitu sabar, sewaktu ayahnya dulu masih ada, beliau cukup tegas tapi tidak keras. Dan sifat itu sedikit menurun ke Juna menurutku, dimana disaat-saat tertentu ia cukup berprinsip walaupun kadang selalu bisa tersenyum disetiap suasana.

Ketika pukul sepuluh aku tahu bahwa ibunya Juna sudah sangat lelah, maka aku menyarankannya untuk segera tidur dikamar. Awalnya ia menolak karena tidak enak membiarkan aku dan Juna tidur di luar, maklum kontrakan kami hanya memiliki satu kamar tidur. Tetapi aku tetap memaksa ibu Juna untuk tidur dikamar.

Dan perdebatan ini berakhir ketika Juna pulang.

" Ada apa ini?" tanya Juna ketika baru tiba di ruang tamu.

" Ibu nggak mau tidur dikamar tuh," jawabku," nggak enaklah menyuruh orang tua tidur dikursi, diluar pula, kalau aku kan udah biasa."

Ibu Juna protes." Ibu juga tidak enaklah masa membiarkan anaknya yang sedang hamil tidur diluar, nanti kedinginan lagi."

" Kenapa mesti repot sih," kata Juna pelan," ibu sama Septi tidur berdua aja dikamar, biar aku aja yang diluar."

" Masa suami istri tidur terpisah." Aku dan Juna saling melirik.

" Inikan darurat bu," jawab Juna santai," nggak apa-apa, daripada aku sama ibu yang dikamar, apa kata orang nanti kalau anak lelaki yang sudah berumah tangga masih tidur sama ibunya."

Lalu ibu Juna menepuk bahu anaknya." Kamu bisa aja." akhirnya aku dan ibu Juna tidur bareng dikamar.

Ibu Juna yang terlihat lelah langsung tertidur sedangkan aku hanya bisa memandangnya dari dekat. Aku melihat sedikit kerutan diwajahnya, tangannya yang terlihat lemah dan lelah karena termakan usia. Beginikah rasanya menjadi ibu dari anak yang sekarang sudah besar, apalagi sebentar lagi akan memiliki seorang cucu.

Andai saja ibuku masih ada, mungkin aku bisa tidur berdua dengannya dan memeluknya dari dekat, tapi ayah pasti tak mau mengalah jika menyangkut sosok ibu, bahkan kini yang sudah kehilangan bertahun-tahun lamanya masih saja tidak mau menerima takdir.

Lalu aku berpikir bukankah ibunya Juna adalah ibuku juga, dan sebentar lagi aku akan memberikannya seorang cucu pertama.

Lalu segera saja aku tidur sambil memeluknya. Hal yang belum aku lakukan terhadap Juna setelah kami menikah.

*

Hari ini Juna sedang libur. Memang disesuaikan dengan kedatangan ibu dan sudah meminta izin dari supervisornya, begitu juga dengan kegiatan usaha onlinenya yang hari ini diserahkan sepenuhnya pada Atta. Seharian ini rumah kami penuh dengan kegiatan dan gurauan. Ibu Juna sangat rajin dan aku pun tidak mau kalah. Andai saja kak Raisa tahu mungkin ia akan iri melihatnya.

Pada malam hari Juna keluar untuk membelikan ibu makanan buat dibawa ke malang sebagai oleh-oleh, juga titipan Sari adiknya yang ingin dibelikan sepatu. Aku dan ibu Juna hanya duduk diruang tamu menonton televisi sambil berbincang.

" Nanti kalau anak kalian sudah lahir, kasih tahu ya," kata ibu Juna setelah membicarakan tentang kakakku Raisa," siapa tahu ada rezeki ibu bisa kesini."

" Insya Allah bu." bukankah itu memang sebuah kewajiban, dan lagi ini adalah kabar gembira harusnya disebarluaskan, tidak seperti pernikahanku dulu yang tiba-tiba dan rahasia, toh saat ini semua orang sudah tahu bahwa aku sudah menikah dan hamil.

" Ibu senang sekali loh ingin punya cucu," kata ibu sumringah," padahal ibu nggak menyangka bisa secepat ini, umur Juna sendiri padahal masih muda."

Aku terdiam, apakah itu perasaan dari lubuk hatinya yang terdalam." Ibu tahu kan bagaimana akhirnya kami bisa menikah." entah mengapa aku bertanya seperti itu, mungkin hanya ingin mengetesnya, apakah ia tidak menyalahkan perbuatan aku dan Juna dahulu.

" Iya ibu tahu, Juna sendiri yang cerita." Ibu Juna berkata jujur." Awalnya memang kaget tetapi buktinya ia bisa bertanggung jawab dan sekarang kalian bisa hidup bahagia."

" Dibilang bahagia sih tidak selalu bu," aku berusaha jujur," saya sadar bukan perempuan dan istri yang baik tetapi hanya berusaha menjadi manusia yang baik." Aku seperti teringat perkataan mas Rizal.

Ibu Juna memegang tanganku." Pernikahan itu memang selalu ada aral melintang, jika lurus-lurus saja malah bisa dipertanyakan," jelasnya lembut," untuk itu kita sebagai manusia hanya bisa bersabar dan bersyukur menjalani hidup. Bahkan ibu lihat kamu itu calon ibu yang baik, rajin, cantik lagi. Juna pasti bersyukur punya istri kayak dek Septi."

Hatiku dibuat tersanjung oleh ibu Juna, karena baru kali ini aku mendapat pujian, bahkan menurutku sangat berlebihan.

Apakah bisa seseorang terlihat buruk dimata orang lain tetapi bisa juga terlihat baik dimata yang lain, apakah ibu Juna hanya berusaha membesarkan hatiku saja, tetapi aku bisa melihat sebuah kejujuran dimatanya. Mungkin seorang ibu yang baik akan selalu berkata jujur didepan anaknya.

Aku sangat bersyukur memilikinya, mungkin ibuku sendiri juga akan berkata seperti itu, jika saja ia masih ada.

*

Pagi ini ibu Juna berpamitan untuk pulang dan kami berdua mengantarnya ke stasiun, awalnya aku tidak diperbolehkan ikut, tetapi aku bersikeras ingin mengantarnya.

Dan setelah kami berdua mengantar ibu Juna ke stasiun, sesampainya di kontrakan, kami berdua melihat ayah menunggu didepan kontrakan kami. Sejenak aku ingin melarikan diri tetapi Juna memaksaku untuk menghadapinya. Lalu aku bertanya-tanya untuk apa ayah kesini.

" Pak, apa kabar?" sapa Juna lalu bersalaman dengan ayah dan kali ini ayah berusaha memasang wajah sedikit ramah," maaf pak tadi habis dari stasiun."

" Ngapain di stasiun?" tanya ayahku.

" Kemaren ibu saya berkunjung ke jakarta." jawab Juna dengan segera.

" Kenapa tidak kasih tahu, kan bisa kebetulan berkenalan." ada angin apa tiba-tiba ayah bersikap akrab dengan orang lain selain teman kerjanya sendiri.

Aku tahu Juna merasa ada yang janggal." Ibu saya cuma dua hari di Jakarta, soalnya sendirian." ujar Juna pelan." Masuk pak." lalu Juna mempersilahkan ayahku masuk.

Aku sendiri sebenarnya enggan dan inginnya hanya berdiam diri diteras rumah tak mau mengikuti ayahku untuk masuk. Tetapi aku juga ingin tahu, gerangan apa yang membuat ayah berkunjung ke kontrakan aku dan Juna.

Maka akhirnya aku masuk, tetapi langsung menuju ruang makan sambil menguping tanpa sempat menyuguhkan minuman pada ayahku. Karena kemaren ayahku juga begitu terhadapku.

" Bagaimana usaha kamu." ayahku bertanya setelah mereka berdua duduk.

" Yang begitulah pak, kadang banyak orderan kadang nggak." jawab Juna disertai senyuman.

Ayah melihat-lihat kontrakanku dengan seksama." Kontrakannya cukup bagus."

" Buat saya dan Septi ini lebih daripada cukup."

" Tapi sebentar lagi kalian akan punya anak, pastinya terasa sempit tinggal disini." Ayahku mencoba berpendapat.

" Memang sih, tapi... ." Juna bingung ingin mengutarakan alasan apa.

" Kalau kalian mau, kalian bisa tinggal lagi di rumah, toh rumah itu nanti juga akan menjadi milik Septi." Aku terkejut mendengarnya, bagai petir disiang bolong.

Juna diam sejenak lalu berkata." Akan kami pertimbangkan." katanya mantap.

" Ya, silahkan saja, sebaiknya memang usulan ayah dipertimbangkan lagi," ayah melirik jam tangannya," pamit dulu ya, masih ada yang harus ayah kerjakan."

" Iya, ya."

Ayah sedikit ragu mengatakannya." Salam buat Septi." tak perlu pun aku sudah mendengarnya.

Setelah Juna mengantar ayah pulang, dia melihatku yang berdiri terpaku di ruang makan. Lalu ia berucap." Benar kan kataku, yang ayah perlukan cuma waktu."

Haruskah aku percaya dengan perkataan Juna dan menyadari bahwa ayah sudah berubah. Andai saja semua itu memang benar, berarti aku bukan lagi anak yang tak diharapkannya.

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 323K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
176K 38K 65
Will Always Be You "Aku?! Menikah?! Hell, no!" ‐-------------- Bertemu, dijodohkan kemudian saling mencintai dan akhirnya hidup bahagia dengan menika...
187K 5.8K 22
Menjadi seorang istri dan Ibu yang bertahan untuk anaknya adalah sebuah pengorbanan, demi sang anak agar tetap mendapat kasih sayang kedua orang tuan...
1.9M 138K 63
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 07 ||Kelompok 02|| #Tema; Mantan β€’-Ketua: Maharani β€’-Wakil: Azza +++ Efran Syailendra Pramudya, seorang CEO muda be...