R untuk Raffa

De narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... Mai multe

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[9] Pantaskah Disebut Kesialan?
[10] Pergolakan Batin
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[15] Pelarian, Tersesat, Pulang
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[17] Pintu Ruang Hati
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[38] Melangkah
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[23] Tik-tok, Tik-tok

3.7K 355 50
De narsakarsa

Lucu, melihat bagaimana waktu bermain, hingga seluruhnya beku membatu.

***

Berita itu menyebar dengan cepat. Tanpa aba-aba.

Koridor sekolah di keesokan hari penuh dengan percakapan dan decak prihatin; "Gilang kecelakaan," kata mereka, "Emang anaknya nyeleneh, sih."

Pertama kali berita itu sampai pada Rena, ia bahkan tidak sadar jantungnya berdetak lebih cepat dan napasnya tertahan. Tangannya kebas. Pikirannya stagnan. Satu-satunya yang Rena ingat; ia berlari mencari kendaraan umum, dan pergi ke rumah sakit secepat mungkin.

Secepat mungkin,

sebab waktu tak bisa diulang.

Secepat mungkin,

sebab meski menit tetap berdetak, jantung Gilang bisa saja berhenti.

Langkah kakinya membelah keramaian. Beberapa murid menoleh ke arahnya dan menggumamkan beberapa kata yang tak bisa Rena dengar. Sebagian dari dirinya seakan kembali berlari sepanjang koridor rumah sakit, ketika pikirannya dipenuhi oleh Gilang, Gilang, Gilang, dan Ayah, lalu Raffa...

Sudah tiga hari sejak kecelakaan itu dan Gilang belum sadarkan diri.

Rena merasa seseorang menepuk pundaknya, dan menyambutnya dengan seulas senyum tipis. "Ris," panggilnya pada orang itu, Risa. Di sampingnya berdiri Laras yang sedang memegang nampan berisi tiga gelas jus jeruk.

"Lo udah kayak mayat hidup tau gak?" Laras menarik sikunya selagi mencari tempat duduk di kantin. "Masih mikirin Gilang?" tanyanya.

Rena memutar bola mata, seolah fakta itu belum cukup jelas. "Kalo dia gak bangun--"

Risa mendelik ke arahnya. "Gak usah mikir yang macem-macem deh, Ren."

Laras mengangguk setuju. Ia membagikan jus jeruk masing-masing satu sambil berkata, "Gilang kuat, kan? Dia gak akan kenapa-napa, sebentar lagi juga siuman."

Desah panjang lolos dari Rena. "Kalo dia belum bangun, gue belum tenang," jelasnya. Tapi kekhawatirannya tidak hanya satu. "Raffa juga belum ngehubungin gue."

Bukan berarti ia ingin dihubungi. Tetapi bukankah laki-laki itu seharusnya menghubunginya, mengingat berbagai alasan dan penjelasan yang masih menggantung di antara mereka?

"Lah?" Risa mengernyit heran. "Kan lo duduk dempetan sama dia?"

"Dempetan apanya, sih! Jarak antar meja kan satu meter, itu gak dempet."

Laras menyeletuk, "Lo yakin satu meter? Udah diukur pake meteran?"

Rena tak bisa menahan untuk tidak mendelik jengkel. "Persetan sama meteran," katanya. "Raffa udah gak masuk tiga hari."

"Lo kan punya LINE-nya. Chat aja," usul Risa, yang langsung membuat Rena bungkam. Risa mengernyit lagi. "Kenapa? Lo gak mau nge-chat duluan? Yaelah, udah jaman emansipasi wanita! Cewek nge-chat duluan tuh--"

"Bukan itu masalahnya."

"Terus?"

Rena memutarkan telunjuknya pada sekeliling bibir gelas. Seolah sedang memutar tombol rewind pada kejadian di ruang musik lalu. Mengingat hal itu membuat Rena malu, marah, dan entah... Tidak mudah menjabarkan perasaan ketika terlalu banyak hal yang melintas di pikiran.

"Gak apa-apa," kata Rena pada akhirnya. Tidak ingin membuat kedua temannya itu bertanya lebih lanjut, ia lantas mengatakan, "Nanti gue chat deh. Puas?"

Risa tersenyum puas. "Lo nanti mau jenguk Gilang lagi?"

"Mm-hm." Rena mengangguk. Kini beban di pundaknya sudah sedikit terangkat; setidaknya, meski ia tidak bisa berkata jujur pada Risa dan Laras, perhatian keduanya tetap membuat Rena merasa baikan. Bukan berarti Rena tidak mempercayai mereka, Rena hanya belum siap untuk terbuka.

Selama ini hidupnya bagai buku yang tertumpuk jauh di dalam perpustakaan. Tersembunyi dan tak tersentuh. Entah kapan ada orang yang tepat yang mampu meraih dan membuka lembarannya, Rena bahkan tidak berani menduga-duga.

"Gue ikut deh," cetus Risa.

Laras menoleh dan mengimbuh, "Iya, gue juga ikut."

"Nanti gue bawa bunga," tambah Risa.

Laras menggeleng tak setuju. "Bawa coklat aja. Bunga gak bisa dimakan."

"Coklat bikin sakit gigi," debat Risa. "Mending bunga, bisa dipajang."

Rena tersenyum untuk pertama kalinya dalam tiga hari. "Berisik lo pada, mau jenguk apa mau Valentine-an sih?"

***

Derit kayu terdengar begitu langkah demi langkahnya tersusun pada loteng. Pada tempat yang tak tersentuh sinar matahari. Gelap dan lembab. Namun kakinya tahu kemana harus melangkah, dan tangannya tahu kemana harus meraih. Ia mengabaikan debu-debu yang menjadi saksi bisu percakapannya dengan masa lalu. Sebuah percakapan tanpa suara. Percakapan yang lebih tepat disebut sebagai monolog,

sebab sejauh ini, hanya Raffa yang berkata-kata. Masa lalu tetap berdiam; tentu saja, sebab tugasnya hanya menunggu untuk diungkap.

Tangannya mengambil benda yang dicari. Album biru itu.

Raffa bergeming sesaat, menatap jejak-jejak tangannya yang sempat mengusap sampul itu beberapa waktu lalu. Lantas ia menyentuh tepinya, yang sudah koyak lantaran sempat dilemparnya dengan kasar. Tetapi huruf R yang tertera jelas di tengah masih terlihat jelas.

R.

Raffa tidak pernah berpikir tentang huruf itu sebelumnya, namun untuk kali ini, ada satu pertanyaan yang merebak ke benaknya; Kenapa hanya R?

Dan untuk kali ini, Raffa tidak melemparnya.

Untuk kali ini, Raffa mendekapnya dan menyimpannya di dalam tas.

Ia sudah selesai bertanya-tanya. Ia sudah selesai berandai-andai. Jika memang hal itu yang seharusnya terjadi, maka biarlah hal itu terjadi.

Ia segera membuat panggilan. Suara perempuan itu menjawab, "Halo?"

***

Detak repetitif dari kardiograf di ujung ruangan menyambut Rena begitu tiba di kamar rawat Gilang. Bau desinfektan yang menyengat seolah sudah menjadi teman setia namun tak bersahabat bagi Rena, tiga hari yang hampir sebagian besar dilaluinya di rumah sakit. Tidak mudah baginya untuk melihat wajah Gilang yang lebam tanpa memaki, "Dasar tolol," mengingat kecerobohannya yang bisa saja berakibat fatal.

Laki-laki itu hampir kehilangan kaki kanan, jika saja keberuntungan tidak berpihak padanya.

Rena mendengar napas Risa yang tercekat. Kata perempuan itu, "Jauh lebih buruk dari foto yang disebar di group." Dan Rena tahu, yang Risa maksud adalah wajah Gilang. Maka ia hanya tersenyum tipis. Lebam dan luka di sepanjang dahinya memang cukup buruk.

Tapi setidaknya, meski Gilang tak lagi terlihat seperti Gilang, ia tetap terasa sebagai sosok yang sama. Sosok yang Rena kenal. Tidak seperti Raffa; yang masih terlihat sama, tapi terasa berbeda.

Rena buru-buru menggeleng demi mengusir pikirannya sendiri. Fokus, batinnya. Tetapi kemudian ia kembali membatin, fokus pada apa? atau mungkin lebih tepatnya, fokus pada siapa?

Ia sedang menatap ke arah Gilang ketika pintu terbuka. Ibu Gilang, yang akrab dipanggilnya Tante Wanda, melangkah masuk ditemani seorang wanita lain yang tidak Rena kenal. Wajahnya familiar.

"Eh, Rena," sapa Wanda, tersenyum ramah. Matanya kemudian berganti untuk menatap Risa dan Laras. "Temen-temen Gilang juga? Wah, makasih ya udah mau jenguk. Sayangnya Gilang masih bobo."

Rena mengangguk sopan. "Gak masalah. Sama-sama, Tante." Matanya bertemu dengan wanita tak dikenalnya yang berdiri di dekat pintu. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum suara Tante Wanda menginterupsi.

"Kalian udah pada makan?" Rena mengalihkan perhatian pada Tante Wanda yang menghampiri kasur anaknya. Tangannya mengusap dahi Gilang, tatapannya cemas. Tetapi ada sesuatu yang lain berkilat di sana, dan Rena melihatnya.

Laras berdeham pelan. "Eh, hm, udah kok, Tan!" dibarengin dengan Risa yang menyahut, "Belum nih Tan, hehe."

Rena melotot. Laras menambahkan, "Emang belum, kan!" tanpa suara.

"Kalian mau makan di kafetaria?"

Mereka saling pandang selama beberapa saat, dan sepuluh menit berikutnya Rena mendapati mereka bertiga sedang berjalan menuju kafetaria.

"Mayan, makan gratis," celetuk Risa.

Laras langsung menyikutnya. "Hus!"

Rena memutar bola mata. Dia ingin bicara, soal sesuatu yang dilihatnya di ruangan Gilang, tetapi ponselnya berbunyi. Ditatap layarnya sesaat dan langkahnya berhenti. Jantungnya berdebar lebih cepat. Nama pemanggil yang tertera di sana sudah cukup jelas.

"Gue ke kamar mandi dulu ya," cetusnya pada Risa dan Laras.

Risa bergerak-gerak untuk mengintip ponsel Rena. "Siapa tuh yang telepon!"

"Cie, jangan-jangan si Ra--"

Rena menutup layar ponselnya cepat-cepat. "Ini, nyokap. Butuh bantuan di kafe kali," katanya asal. "Udah ya, gue kebelet nih!"

"Yeee! Jangan lama-lama!"

Tubuh Rena berbalik untuk berjalan ke arah berlawanan. Dia sadar penuh bahwa langkahnya tidak menuju kamar mandi. Dan dia sadar penuh bahwa jemarinya bergerak untuk menekan tombol jawab.

"Halo?"

Hening sesaat, sebelum suara berat milik Raffa di ujung sana menjawab, "Rena, lagi sibuk?"

***














Pada saat yang sama, detak kardiograf berhenti. Disusul satu nada panjang, dan satu garis lurus pada alat monitor.

***

[ RUR ]

05/06/2017

/flips table/ PUSING AKU

Continuă lectura

O să-ți placă și

ALZELVIN De Diazepam

Ficțiune adolescenți

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
Imperfect Juliet De Your Pyxis💫

Ficțiune adolescenți

248K 34K 24
-Perihal luka, aku yang paham tiap spasinya.- A teen fiction by Bellaanjni. Kalian tahu rasanya menjadi sepasang sayap? Ketika satu sisi terluka, sat...
24.1K 2.7K 28
Kamu akan jatuh cinta, pada lelaki bernama Suho. Tapi, ia akan membuatmu menangis, dan merutuki denyut sakit yang ada di hatimu. Kamu akan merasa rin...
Meet In the Real Life De marcel

Ficțiune adolescenți

1.6M 199K 42
[BOOK 2 OF WHEN THE BADBOY MEETS THE FANGIRL] Kata Johnny Deep, "Jika kau mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan, pilihlah orang kedua, kare...