7/9

By sevenicnst

993 76 10

Apakah salah jika 7 anak itu hanya memutuskan menginap semalam di sekolahnya? Apakah tidak lumrah mereka hany... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
9
Epilogue

8

43 4 0
By sevenicnst

"Haru adalah seorang anak dari sepasang kembar, namun hanya Haru-lah yang akrab denganku. Tentu saja karena 'perkumpulan' itu. Berbeda denganku yang mati-matian mengajakmu, Haru justru tidak suka saudara kembarnya ikut terlibat. Ia merahasiakan ini dari keluarganya. Aku tidak begitu yakin, alasan apakah yang membuatnya bertahan di sini? Sepertinya ia mencoba melindungi seseorang, alasan yang aneh bukan?

*PS : Jika kau sudah bisa membaca apa pun pesan yang dituliskan di atas, itu artinya ada yang tidak beres dan aku akan bertanggung jawab sesuai keadaan saat itu."

Dengan jenis aksara yang sama seperti halaman-halaman sebelumnya, tidak butuh waktu lama bagi Sven memahami maksud dari tulisan tersebut. Tulisan itu sebetulnya tidak sama persis dengan halaman lainnya. Tulisan itu ditulis, bukan huruf cetakan printer seperti halaman-halaman lainnya.

"Maru, mengapa kau tak pernah bercerita bahwa kau mempunyai saudara kembar?" Sven bertanya sinis ke arah Maru. Yang ditanya justru keheranan dengan sikap Sven.

"Tahu dari mana kau tentang--"

"Haru," Sven menghela napas. Menatap Maru semakin tajam.

"Kalian ini bicara apa?" Rei tampak tergesa karena hanya mereka berdua yang memahami apa yang sedang dibicarakan.

"Jadi semua ini karena si brengs** itu?" Sven tidak menggubris Rei, menyatakan rasa tidak terimanya.

"Kau! Apa-apaan?! Aku saja tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Sekarang kau memaki saudaraku yang sudah meninggal?? Di mana sikap hormatmu??" Kali ini Maru menuju ranjang Sven, hampir-hampir menghajarnya. Namun, belum sampai langkah kakinya mencapai arah yang ditujunya, tubuh Maru terpelanting mundur.

Aku yang menghentikan aksinya itu.

"Berhati-hatilah, Dik," suara langkah pantofel hitamku terdengar bergema di ruang yang hening ini. Sosokku perlahan menjelas. Transparansi dimensi tubuhku perlahan menguat. Kini aku bisa mereka lihat. Dan di sinilah aku sekarang. Bersama dengan Haru di sebelahku.

Seluruh ruangan tentu saja terkejut dengan kehadiran 'Maru palsu'. Kali ini, mereka terkejut karena 'Maru tersebut' menggunakan setelan baju seperti saat keberangkatan mereka untuk berlibur. Tak terkejut sama sekali, Sven seakan sudah tahu akan kedatanganku yang menggunakan kaos dongker berlengan panjang serta celana. Walaupun aku tahu ia berusaha menyembunyikan wajah sumringahnya saat melihatku, ia tetap berusaha menampakkan sisi dinginnya kepadaku. Kepada Haru.

"Hai, Maru. Lama tak bertemu."

Maru masih melongo sejak kedatanganku. Melihatku yang tiba-tiba muncul saja sudah aneh, dan sekarang tentu ia sangat tidak menyangka akan kehadiran Haru. Awalnya ia berjalan perlahan, namun tanpa menunggu lebih lama, segera saja ia berlari menuju saudara kembarnya itu.

"Sialan kau! Ke mana saja selama ini? Mengapa kau meninggalkanku? Dan mengapa sekarang kau muncul begitu saja? Kau pikir lucu meninggalkan rumah seperti itu? Nenek dan ayah mencarimu ke mana-mana! Ya Tuhan, bagaimana bisa semua ini dijelaskan secara rasional," Maru memeluk Haru erat setelah puas membolak-balik tubuh Haru, mengacak rambutnya, bahkan mencubit kedua pipinya. Astaga, itu lucu sekali.

Namun, ah, lihatlah keenam anak itu. Semuanya sinis melihat ke arah Haru.

"Hhh, begini, ya," suara Zhou tampak menahan emosi. "Maru, sepertinya kau belum tahu bahwa saudaramu inilah yang mencelakakan kami. Karena itulah aku memberitahumu, bahwa sepertinya ia tidak di pihak kita, jadi sebaiknya kau--"

"Aku di pihaknya," Haru angkat bicara, Maru yang dimaksudnya.

"Apa maksudmu? Kau kira keadaan kami semua di sini lucu bagimu? Untunglah kau cukup bodoh untuk mencelakakan kami di jalan tol, bukan di jurang," wajah Khai memerah karena marah. Raut mukanya terlihat ingin memaki, namun ia tampak menahannya.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Haru.

Maru yang melakukannya.

"Apa yang kau lakukan kepada mereka?" Wajah Maru kini tampak marah.

"Aku hanya ingin melindungimu. Kau tidak mau mendengarku, sih. Jadi aku lakukan saja agar mereka tidak lagi di mengusikmu," tak mau mengalah, Haru membela diri.

"Itu namanya mencelakai orang lain, sama saja kau mencelakai hidupku. Lagipula, mereka bukan pengganggu, mereka itu temanku."

"Tapi mereka membuatmu terlibat dalam masalah itu, Maru!"

"Kau tidak perlu melindungiku lagi. Aku ini sudah besar!"

Tak lama berselang, Maru tampak menimang-nimang perbincangan barusan. Aku berusaha membaca pikirannya. Déjà vu?

Melihat situasi perdebatan yang mungkin tiada habisnya, Haru menghela napas perlahan, "Kau tidak pernah tahu apa yang kau, dan teman-temanmu lakukan malam itu, Maru." Ia mengangkat kedua tangannya, menandakan bendera putih, -Aku tidak mau bertengkar saat akhirnya bisa berjumpa denganmu, Maru. Aku membaca pikirannya dengan jelas.

"Hah? Apa?" Sven tak mau kalah ambil giliran bicara. Jelas dia akan menjadi orang yang akan sangat menyesal jika ia tahu apa yang terjadi. Ialah orang yang mengawali semua rangkaian peristiwa itu.

"Jelas kau bisa saja melakukannya lagi kapanpun demi bertemu Glen, kan?" Haru menengok ke arah Sven, menantang. Untuk pertama kalinya Haru berbincang tanpa topi dan masker dengan Sven. Aku mengerti isi hati Sven, rasanya tidak mudah berdebat dengan Haru yang wajahnya sama persis seperti Maru.

"Apa maksudmu?" Sven tak mau kalah, ikut menantang debat.

"AAAARGH! Apa yang kalian semua bicarakan, hah? Apa sulitnya menjelaskan dulu kepada kami apa yang sebenarnya terjadi? Kalian pikir kami manusia aneh macam kalian? Tidak! Aku tahu ada yang berniat jahat dibalik semua ini! Mengakulah! Ceritakan semuanya dari awal hingga akhir!" Rei menumpahkan seluruh emosinya saat itu. Sementara Nutta ikut menimpali setuju, disusul Khai dan Zhou yang bersemangat ingin tahu apa yang terjadi.

"Beri aku satu alasan, mengapa aku bisa kalian kambinghitamkan malam itu," suara Alf tampak datar, tidak menuntut kejelasan dengan emosi seperti yang lainnya. Tenang, tapi mampu membuat Sven menelan ludahnya, memasang wajah gelisah. Tak lama, ia menghela napas, meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Alf.

"Maafkan aku semuanya, terutama Alf."

Sven bercerita panjang lebar ─seperti pengakuannya pada kalian saat membaca chapter ketujuh. Bahwa dialah otak dari penginapan itu. Seluruh alasan konyol mengapa ia mengorbankan keenam temannya. Hanya untuk bertemu denganku. Untuk urusan yang tak kalah konyolnya. Wajah-wajah yang baru paham, wajah-wajah muak, hingga wajah-wajah yang penuh kemarahan memenuhi ruangan kala itu.

"Ah, kalian semua sudah sadar. Yang menjenguk ini kakaknya, ya?"

Hening.

"Oh, kalian punya teman kembar juga? Satu sekolah atau bagaimana? Identik sekali," suster yang baru masuk untuk melakukan pemeriksaan rutin, mengoceh panjang lebar.

"Ada apa ini? Rapat dalam ruangan? Mengapa wajah-wajahnya serius sekali? Sebaiknya kalian perbanyak istirahat dibanding memikirkan hal-hal berat di saat seperti ini," suster itu menutup kalimatnya sebelum meninggalkan ruangan. Jelas sekali suasana canggung menyelimuti saat ia tiba di ruangan ini. Aku tahu persis suster itu ingin cepat-cepat keluar dari sini barusan.

"Jadi, itu juga ulah kau yang membuat ban motorku bocor malam itu?" sudah malas mendengar lebih jauh lagi, Rei asal memberikan pertanyaan mumpung ingatannya sedang kembali. Sven yang sejak tadi menunjukkan wajah penyesalannya, dengan cepat berganti menjadi ekspresi keheranan, "Malam kapan?"

"Itu bukan dia," Haru menjawab mantap. "Apa lagi yang kalian berdua lakukan malam itu? Tidak puas atas kerusakan yang kalian ciptakan malam sebelumnya? Mati-matian aku dan Glen menjaga kalian berdua supaya tidak membuat kontak dengan dia lagi setelah malam itu. Sampai-sampai akhirnya kepergok juga sosokku malam itu," Haru mengomel panjang lebar bak seorang kakak kepada dua adiknya yang nakal.

"Aku merutuki malam itu, kau tahu? Biar saja, toh, hanya ban motor. Berterimakasihlah tidak aku hancurkan motor itu." Perlahan Sven mulai mengingat yang Rei ceritakan atas penyelidikannya bersama Nutta.

"Dia?" pertanyaan Nutta tampaknya telah mewakili pertanyaan teman-temannya.

"Siapa lagi? Ya, dia," Haru menjawab asal, melambaikan tangan.

"Masih ingat peristiwa di ruang guru? Makhluk bertentakel? Aku sudah berusaha sebisa mungkin agar dia tidak kembali ke sekolah malam itu setelah kegiatan sekte berakhir. Aku mengetahui agenda menginap kalian. Dia pun mencurigaiku yang mencegah dirinya kembali ke sekolah. Namun, ketua anggota kami justru mencurigai perdebatan apa yang kulakukan dengannya. Luput dari pengawasan, ia berhasil menembus dimensi menuju sekolah. Sejak saat itu, aku dan Haru seringkali mengunjungi dimensi ini untuk mengembalikan makhluk tak berakal itu ke dimensi kami. Menghukumnya sesuai aturan di sana karena sebuah pelanggaran yang ia lakukan," aku mencoba memperjelas keadaan demi meredakan wajah-wajah kebingungan mereka.

"Hahaha..."

"Kenapa?" Haru tampak tidak suka melihat Nutta yang tiba-tiba tertawa.

"Ini mimpi, kan? Ah, Khai, Khai. Bangunkan aku! Aku sedang bermimpi! Ahahahahaha," Nutta semakin terbahak dengan wajah setengah sadarnya.

"Ah, Nutta! Temanku," kali ini Khai beranjak dari ranjangnya. "Ayo kita bangun, Nutta! Aku bisa semakin gila jika terus di sini. Ayo, ayo! Jangan lupa setelah kau sudah tersadar, bangunkan aku dari sana, ya? Sini, sini, mana yang harus kucubit? Hahahahahaha," tawa Khai justru lebih keras lagi. Sepertinya masih ada yang menganggap ini sebuah lelucon.

Aku berjalan tegap, menuju ke arah Nutta dan Khai yang masih sibuk menertawakan keadaan. Kuraih pergelangan tangan kiri Khai dan, "Aww! Pelan-pelan," Khai mengusap-usap pergelangan tangannya itu. Aku kembali meraih tangannya itu lebih perlahan.

"Sejak kapan luka ini kau dapat? Saat sedang bermimpi, kah?" aku bertanya dengan senyuman.

"Apakah itu sebuah mimpi yang indah? Oh, oh, atau saat kau justru berada di sekolah yang terasa begitu nyata?" Yang ditanya menelan ludah. Seakan kali ini baru terbangun dari kenyataan sebenarnya. Ia menarik tangannya kasar, "Aku bercanda."

"Aku hanya tidak mengerti," Khai mencoba melanjutkan kalimatnya saat aku kembali ke posisiku berdiri tadi.

"Bukan hanya kau," aku menjawab pendek, menunjukkan seluruh isi ruangan dengan mataku. Kembali bertumpu pada ranjang Sven.

"Begitu pun dengan kami," Haru kembali angkat bicara. "Sulit bagi kami mengenali mana yang nyata, mana yang tidak. Mana yang hitam, dan mana yang putih. Semua abu-abu. Kami bahkan seperti tidak mengenali diri kami sendiri," suaranya mengilang di ujung kalimatnya.

"Hitam dan putih dunia, jangan terlalu lugu.

Disini rumahku, hidup dan matiku.

Apa yang telah kau ketuk, itulah pintu yang terbuka."

Entah kenapa ucapan Haru barusan membuatku teringat saat aku dan Haru pertama kali memasuki dunia itu.

"Mengapa kau sebegitu marahnya malam itu? Mencakari Rei, merasukiku, kau pikir itu masuk akal bahkan untuk menghabiskan suara saudaramu dengan teriakannya?" Sven masih tidak mau kalah dengan segala kata-kata Haru.

"Benarkah? Aku yang mencakari Rei? Aku? Dengan tangan seperti ini?" Haru menunjukkan kuku-kukunya yang rapi seperti anak kecil. Jika saja situasinya sedang bagus, mungkin saat ini aku akan terbahak. Pikirannya berkata, "aku ini anak yang bersih, bodoh!"

"Kau! Pendek! Masih ingat bagaimana rupa makhluk itu?" Haru bertanya kembali. Matanya mengarah ke Zhou. Dan aku hampir terbahak lagi.

"Sialan kau! Apa maksud--"

"Jangan memperpanjang waktu!" Haru mengabaikan protes Zhou. Sungguh, bisakah aku tertawa di saat seperti ini?

"Aku tidak ingat betul, yang pasti tantakelnya banyak," ketus Zhou.

"Tepat sekali," Haru tampak puas dengan jawaban asal Zhou. Justru jawaban itulah yang memang dibutuhkannya.

"Kau pikir, makhluk itu hanya bisa mengeluarkan tentakelnya dalam satu ruangan? Ternyata kau bodoh juga, Sven. Aku kecewa denganmu yang berkali dibanggakan Glen," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tidak puas dengan ketiga temanmu, ia mencoba menghabisi kalian yang berada di lantai atas! Tentakelnya yang banyak dengan mudah menembus ruang guru hingga menuju ke lantai dua! Ia berusaha membunuh Maru, kau tahu!" Haru tampak emosi, napasnya terdengar berderu.

"Dia ingin membunuh semuanya, Haru," aku mencoba menenangkannya.

"Ya, benar dia ingin membunuh semuanya. Aku juga marah sejak tiba di sana lantaran mengetahui hal itu. Tapi kau ingat siapa yang malam itu berteriak sebegitu kerasnya? Maru, Glen. Maru! Kau tahu betul cara ia membunuh yang paling kejam itu menarik keluar nyawa seseorang lewat teriakannya, Glen. Sasaran pertamanya Maru! Bagaimana bisa aku membiarkan adikmu si biang keladi itu hidup, Glen? Hah?" kali ini Haru berteriak-teriak kepadaku. Matanya begitu membara. Aku mengusap wajahku.

"Tapi kau harus ingat. Bukan hanya Maru yang saat itu hampir mati. Ketiga anak di ruang guru saat itu lebih berisiko, terutama Nutta--"

"Masa bodoh!" Haru melipat kedua lengannya.

"Kau sudah melakukan yang terbaik, Haru. Aku berterimakasih padamu," suaraku akhirnya keluar setelah beberapa saat hening.

"Apa maksudmu?" Sven menarik-narik lengan kemeja putihku.

Aku menghela napas, "Dia begitu marah malam itu, Sven. Makhluk itu hampir membunuh saudaranya. Walaupun aku sudah berusaha kuat menahan sikap-nya saat di ruang guru, itu tetap bukan pekerjaan yang mudah. Saat itu, Haru yang begitu marah di lantai atas mampu mengalihkan perhatiannya dari ruang guru. Karena akhirnya kewalahan dengan pertahananku dan Haru, ia mulai mencakari Rei bahkan mencoba membunuhmu dengan tentakelnya. Jika saja saat itu Haru tidak memasuki tubuhmu sebagai pertahanan, kau mungkin sudah tiada, Sven. Itu sama sekali bukan pekerjaan yang mudah," panjang lebar aku mencoba menjelaskan keadaan malam itu. Aku tahu betul, pertanyaan Sven barusan sudah mewakili rasa penasaran teman-temannya.

"Jika saja aku tidak sebegitu marahnya, kalian bertiga juga pasti sudah mati, termasuk kau, pendek!" Haru masih ketus, mengomel. Yang dibilang pendek berniat beranjak menuju ke posisi Haru, namun Khai sempat menahannya terlebih dahulu.

"Buat apa kau menyelamatkan kami jika pada akhirnya kau berniat membunuh kami?" kali ini Rei yang ketus. Ia merasa kesal dengan sikap Haru yang terlihat 'sok pahlawan'.

"Malam itu? FOR-MA-LI-TAS! Aku bisa saja hanya menyelamatkan Maru, jika saat itu aku tidak sedang bersama Glen," jawaban Haru kali ini membuatku geleng kepala. Aku harus tetap bisa mengendalikan geramku. Bagaimanapun, ia masih seusia anak SMA seperti halnya mereka.

"Bukan malam itu saja, aku sebenarnya malas sekali menyelamatkanmu saat kau juga hampir terbunuh oleh tentakelnya yang berniat memutuskan urat nadimu pagi itu," Haru kali ini berbicara dengan Khai, sementara Khai mengamati pergelangan tangannya itu lamat-lamat.

"Berterimakasihlah pada Glen, aku bisa lebih bersabar menyelamatkan kalian. Dan juga yang menghentikan aksiku untuk membunuh kalian. Kecelakaan di tol itu bukan karena aku bodoh, tapi karena rencanaku yang digagalkan oleh Glen. Kalau saja rencanaku berhasil, kalian semua pasti tidak sempat dilarikan ke sini," Haru menghela napas. Sementara seisi ruangan merasa geram kepadanya.

"Berarti itu ulahmu? Yang menusukku saat hujan sepulang sekolah?" Maru ikut bertanya, tak mau kalah.

"Payung itu," Haru tampak akan memulai ceritanya lagi. "Bukankah aneh satpam itu tiba-tiba meminjamimu payung? Bukankah selama ini ia tidak peduli? Satpam itu bukannya tanpa hipnotis, dan payung itu pun bukan dari dunia kalian. Payung itu bukan sekadar benda biasa, Maru. Payung itu akan menjadi bukti kuat untuk kau dihukum di dunia kami. Bukti kuat kau telah 'bermain-main' dengan dimensi kami. Makhluk itu tampak marah tidak mampu memberikan bukti yang cukup bahwa terjadi pelanggaran di malam itu, malam berlibur kalian. Kau ingat saat ia tiba-tiba melintas di depanmu menggunakan pakaian serba hitamnya? Ia akan bertindak lebih jauh saat itu, jika saja aku tidak bisa mengambil payung yang kau gunakan. Anggap saja sensasi tusukan itu bayarannya, sekaligus aku bisa mengambil kesempatan untuk menyamar menjadi dirimu."

"Bedebah! Dari tadi bangga sekali kau mencelakakan kami!" Zhou tak mampu menahan emosinya lagi. Ia bangkit dari ranjangnya dan menarik kerah baju Haru. Aku pun tak tinggal diam, menarik Haru dan mencoba mengontrol keadaan.

"Tenanglah sedikit, setidaknya kau bisa berterimakasih karena ia menyelamatkanmu, apapun alasannya," mendengar kalimatku, Zhou memperagakan aksi membuang ludah; untuk apa menolong kalau ingin kami mati? Haru melebarkan cengirannya ke arah Zhou sementara satu alisnya terangkat -tersenyum sinis.

Tanpa memperhatikan Zhou lebih lama, Haru berbicara kembali dengan Maru, dengan nada yang lebih serius, "Payung itu bukan milik sekolah, Maru. Barang yang dipinjam harus segera dikembalikan," Maru menelan ludah mendengarnya.

Hening. Sejenak.

"Baik, sepertinya sesi tanya jawab telah berakhir. Kami ke sini bukan tanpa alasan, bercerita panjang lebar itu sama sekali tidak penting. Kami tidak peduli kalian paham atau tidak atas segala kejadian yang menimpa kalian. Saat ini ada hal yang lebih penting yang harus kami sampai--" kalimatku diputus.

"Izinkan aku bertanya. Ini benar-benar akan menjadi pertanyaan terakhir," Rei seakan masih tidak puas atas segala sesi 'diskusi' barusan.

"Cepatlah, berapa pun pertanyaanmu, asalkan ini benar yang terakhir," Haru tampak tak sabaran ingin segera masuk ke intinya. Rei tersenyum lebar, tampak puas dengan tawaran tersebut.

"Penjaga sekolah yang memberiku serenceng kunci di hari itu, apakah itu juga dibawah pengaruh hipnotis makhluk itu? Lalu balutan kain hitam di ruang bahasa asing, nyanyian di dalamnya, langit yang memerah, hawa yang amat panas padahal angin sangat kencang, dan, ah, suara gemuruh. Suara gamuruh di malam aku dan Nutta melihatmu, bisakah kau menjelaskan itu semua? Pertanyaan yang simpel, bukan?"

"Ya," Haru menjawab sekadarnya. "Penjaga sekolah? Ya, dia sengaja memancingmu. Termasuk mimpimu malam itu untuk datang ke sekolah. Suara gemuruh adalah suara pertahananku dan Glen untuk melindungimu dan Nutta sampai-sampai aku terlihat olehmu. Selebihnya, itu adalah rutinitas anggota sekte. Balutan kain hitam seusai kegiatan selesai yang belum dirapikan, angin yang kencang dan hawa yang panas, nyanyian makhluk--"

"Makhluk bertentakel?" Khai tidak sabaran memotong kalimat Haru.

"Bukan, itu makhluk, hmm..., ah, mungkin kalian bisa menyebutnya 'paduan suara' di duniamu. Mereka bernyanyi di dimensi lain namun suaranya mampu menembus dimensi kalian. Biasanya mereka bernyanyi semalam suntuk setelah kegiatan di sekolah usai. Mungkin saat malam penginapan kalian, kalian tidak ada yang mendengarnya. Kalian ada di lantai atas, dan lagipula kalian berisik sekali saat itu.

"Lantas, mengapa semua ini terjadi? Maksudku, mengapa Sven melakukan semua ini hanya untuk bertemu kakaknya demi sebuah misteri yang ia berikan? Apa kaitannya dengan anggota dan kegiatan kalian?" Khai ikut-ikut memotong pembicaraan. Bahkan, ia bertanya lagi tanpa mengingat kesepakatan yang baru saja Rei dan Haru buat.

"Itu privasi kami. Aku tahu Sven sangat bodoh melakukan itu, aku minta maaf sedalam-dalamnya kepada kalian. Karena itulah aku bertanggung jawab penuh atas keselamatan kalian," aku menunduk. Aku bisa jelas mendengar keluhan Sven yang ada di pikirannya, lantas memutar kembali memorinya saat aku mengatakan, "Selesaikanlah semua ini untukku, Sven. Kau berhutang padaku..."

"Baiklah, langsung saja ke intinya," aku mulai memasuki topik. Irama bicaraku kini lebih serius dibanding sebelumnya.

"Kalian akan aman. Jangan khawatir malam ini akan semenakutkan malam itu."





























Hi!^_^ Ini adalah part kedelapan dari sudut pandang Glen! Berharap banget kalian bakal suka 😊😊😊

Kalo kalian suka, jangan lupa vote dan commentnya yaaa 😆😆😆

Continue Reading

You'll Also Like

8.3M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
18.8K 1.5K 23
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
30.3M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.3M 539K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...