Aster : Love Speaks in Flower...

By itsdaeseag

871 81 16

Tuhan selalu memiliki cara tersendiri dalam mempertemukan sekaligus memisahkan hamba-Nya. Setiap pertemuan mu... More

ᴘʀᴏʟᴏɢ
Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
ᴇᴘɪʟᴏɢ

Tiga

60 6 1
By itsdaeseag

Keesokan harinya saat Arkan hendak pergi ke kantor ayahnya, ia melihat Ana tengah sibuk meraba-raba permukaan lantai. Seperti tengah mencari sesuatu.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Tadi aku jatuh, dan tongkatku sepertinya terlepas dari tanganku. Kurasa terjatuh disekitar sini, tapi dari tadi aku tidak menemukannya."

Mendengar jawaban adiknya, Arkan sedikit mengernyitkan dahi. Ia melihat tongkat itu berada tidak jauh dari posisi Ana.

Dengan perlahan dia menggeser posisi tongkat itu agar lebih dekat dengan Ana.

"Ah, ini dia." Gadis itu tersenyum saat mendapati tongkatnya. Ia langsung berdiri.

"Apa kau mau ke kantor?" tanyanya kemudian.

"Ya, hanya sebentar. Sekedar mengecek keadaan di sana. Dari mana kau tahu?"

"Kau wangi, tidak seperti biasanya."

"Jadi maksudmu biasanya aku bau?" Bibir Arkan tampak mengerucut.

Adiknya tertawa pelan.

"Tanpa kujawab pun kau sudah tahu jawabannya."

"Hei!!" Seru Arkan tidak terima. Bagaimanapun, secara tidak langsung ia dikatakan bau oleh adiknya.

"Aku penasaran bagaimana wajahmu sekarang. Apa wajahmu masih tampan? Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat wajahmu."

"Wajahku tidak tampan, hanya saja diluar sana banyak gadis-gadis yang tertarik padaku," ucap Arkan dengan percaya diri.

"Jika itu benar, aku merasa kasihan pada mereka."

"Hei, apa maksudmu?!" Kakaknya memprotes.

"Sudahlah, aku hanya bercanda. Sekarang pergilah. Bukankah kau mau ke kantor?"

"Baiklah, Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik." Arkan sambil mengacak rambut adiknya pelan dan berlalu.

Sepeninggal orangtuanya, bisnis ayahnya diteruskan oleh Arkan dengan dibantu oleh pamannya. Selama Arkan pergi, Ana hanya ditemani seorang asisten rumah tangganya di rumah. Kakaknya selalu menitipkan Ana padanya, takut-takut terjadi sesuatu pada adiknya.

Dengan menggunakan tongkatnya, Ana pergi keluar mencoba menghirup udara segar. Saat ia sampai di halaman rumahnya, ia merasa tubuhnya menghangat.

"Sepertinya hari ini cuacanya cerah," gumamnya.

"Hai," sapa seseorang.

Dahi gadis itu berkerut. Ia mencoba mencari sumber suara. Sepertinya ia mengenal suara itu.

"Raven?"

"Kau masih mengenaliku rupanya." Pria itu tersenyum. Begitupun Ana.

"Hei, ayo duduk di sana," tunjuk Raven kesebuah bangku yang letaknya tidak jauh dari posisinya.

Namun baru saja beberapa langkah ia berjalan, ia kembali berbalik. Ia menepuk dahinya. Ia lupa kalau Ana tidak bisa melihat.

Ia langsung menarik pelan lengan Ana dan menuntunnya untuk duduk di bangku itu.

"Aku minta maaf soal sikap kakakku kemarin. Biasanya ia tidak bersikap seperti itu."

"Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti, kemarin ia pasti khawatir padamu."

"Sebelum keadaanku seperti ini, biasanya ia tidak se-protective itu. Bahkan sekarang aku harus selalu meminta izin darinya setiap kali ingin pergi keluar."

"Kau harusnya bersyukur. Itu artinya ia peduli padamu." Ucap Raven. Bersamaan dengan itu, ia merasakan sakit di dada sebelah kirinya, kedua alis pria itu bertaut menahan sakit.

Kemudian ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantung jaketnya. Ia segera meminum obatnya.

"Raven? Apa kau baik-baik saja?" Tanya Ana. Ia merasa ada yang aneh dengan deru nafas orang di sampingnya itu.

"Aku baik-baik saja. Hei, lihatlah. Sepertinya aster-aster itu baru saja bermekaran." Raven memperhatikan puluhan aster yang tengah bermekaran itu. Rasa sakitnya mulai berkurang.

"Aster? Apa itu? Apakah sejenis bunga?"

"Ya, apa kau tidak tahu? Tapi wajar jika kau tidak mengetahuinya, memang tidak banyak orang yang mengetahui tentang bunga itu."

"Seperti apa bunganya?"

"Biar kutunjukkan." Kemudian Raven meraih tangan Ana dan menyuruhnya untuk berjongkok didepan puluhan aster itu. Ia menuntun tangan Ana untuk memegang bunga aster di depannya.

"Aku bahkan tidak tahu kalau ternyata di dekat rumahku ada bunga seperti ini. Sepertinya mereka bunga yang cantik." Ana tersenyum. Raven menoleh ke arahnya.

'Ya, mereka cantik. Sepertimu.'

"Rasanya aku ingin menanam mereka di halaman rumahku. Bisakah?"

"Tentu saja. Aku akan membantumu."

Mereka pun mencabut beberapa dan bergegas kembali kerumah Ana untuk segera menanamnya di halaman rumah.

Raven membantu gadis itu menekan-nekan tanah yang telah mereka tanami aster dengan tangannya. Ia melihat gadis itu tersenyum senang. Entah kenapa ia juga ikut senang melihatnya.

"Aku akan menyiramnya." Dilihatnya gadis itu beranjak dan hendak mencari selang air.

"Biar aku saja," ucap Raven. Setelah menemukannya, ia memberikan salah satu selangnya kepada Ana. Kebetulan disana terdapat dua buah selang.

Selain menyiram aster, ia juga membantu Ana menyirami tanamannya yang lain hingga terlintas di benaknya untuk mengerjai Ana. Diarahkannya selang itu pada Ana dan ia mulai menyemprotkan air padanya.

"Hei, hentikan!" protesnya.

Kemudian Ana berusaha membalas perbuatan Raven dengan menyemprotkan air ke arahnya. Mereka tertawa bersama.

Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari ambang pagar rumah, dan beberapa detik kemudian orang itu masuk kedalam rumah.

Setelah itu mereka duduk di bangku yang berada di sana, berjemur di bawah sinar matahari. Mencoba menghangatkan tubuh mereka yang basah.

"Kuharap mereka tumbuh dengan baik." Ucap Ana tersenyum.

"Kuharap juga begitu. Oh, iya. Dari tadi sepertinya aku tidak melihat kakakmu. Ke mana dia?"

"Dia sedang pergi ke kantor ayah. Sepeninggal orang tua kami, Kak Arkan mengambil alih posisi ayah di kantor dengan bantuan paman. Sementara aku? Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan terkadang untuk berjalan saja aku masih butuh bantuan seseorang."

"Kau pasti akan terbiasa dengan keadaanmu. Bersemangatlah. Jangan sampai kondisimu yang sekarang malah membuat kehidupanmu semakin sulit."

Ana tersenyum. Tiba-tiba ia mencium sesuatu.

'Ini seperti bau parfum Kak Arkan. Tapi itu tidak mungkin. Kakak sedang pergi ke kantor.'

"Ini teh hangat. Minumlah. Kalian pasti kedinginan," ucap seseorang

Ana mengenali suaranya. Itu suara asisten rumah tangganya.

"Terima kasih." Raven tersenyum tipis.

"Nona, baru saja Tuan Arkan menyuruh Anda untuk segera mengganti baju Anda. Ia khawatir Anda terkena flu."

"Kakak? Bukankah Kakak sedang pergi ke kantor?"

"Tadi beliau kembali untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal. Dia barusaja pergi."

Ana mengernyitkan dahi. 'Jadi barusan itu benar-benar Kak Arkan?'

"Benarkah? Baiklah kalau begitu. Aku harus pergi mengganti baju. Kau juga sebaiknya mengganti bajumu. Kau bisa masuk angin. Aku bisa meminjamkan baju Kak Arkan untukmu," ucap.

"Tidak perlu. Aku juga sepertinya harus pulang. Hari ini aku ada janji."

"Begitukah? Baiklah." Ana sambil beranjak dari bangku dan berjalan ke dalam rumahnya dengan dibantu oleh asisten rumah tangganya.

Ddrrtt... ddrrttt...

Tiba-tiba ponsel Raven bergetar. Ia melihat nama ayahnya tertera disana. Ia segera mengangkat panggilan dari ayahnya.

"Kau di mana? Sekarang kau harus pulang. Kau ada janji dengan Dokter Han. Apa kau lupa?" ucap ayahnya dari seberang telepon.

"Aku tidak lupa. Baiklah, aku akan pulang sekarang juga." Raven menutup panggilan telepon tidak lama setelahnya. Ia beranjak dari bangku dan bergegas kembali ke rumah.


◦•●◉✿ 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠 ✿◉●•◦

Continue Reading

You'll Also Like

895K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.3M 252K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
631K 17.5K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...