Somewhere in November

By ViCross

195 18 6

Kehilangan merupakan bagian dari cerita hidup manusia. Namun ketika ada kesempatan kedua yang datang, akankah... More

PROLOG
Chapter 1 - Mei
Chapter 2 - First Time Ever Since
CHAPTER 3 PEP TALK
CHAPTER 4 HER PAST
CHAPTER 5 LEAVING
CHAPTER 6 SAYAKA
CHAPTER 7 MISSING
CHAPTER 8 CLOSER
Chapter 9 GETTING TO KNOW YOU
CHAPTER 10 THE DAY BEFORE THE D DAY
CHAPTER 12 MEET THE FAMILY MEMBER
YOU, ME AND HER = US
CHAPTER 14 CLOSER AND CLOSER
CHAPTER 15 THE TRUTH
CHAPTER 16 - SILENT PAIN AND LOUD TEARS
CHAPTER 18 MEET HER FAMILY
Untitled Part 19
CHAPTER 20 - HIS PAST
CHAPTER 21 UPSIDE DOWN

CHAPTER 17 WILL I EVER SEE HER AGAIN

5 1 0
By ViCross

Shinjiro membuka matanya. Ia melihat ke sekelilingnya dengan kepanikan yang luar biasa. Dadanya naik turun seperti pelari yang habis berlari. Matanya yang masih merah bergerak ke sana dan kemari seperti mencari sesuatu. Perlahan napanya kembali normal ketika dirasanya ia berada di dalam kamarnya sendiri.

Shinjiro menoleh dan melihat Mei yang masih tertidur dengan nyenyak di sampingnya. Nafasnya cepat, tapi teratur. Hal itu membuat Shinjiro sedikit tenang. Ini nyata. Shinjiro kemudian berbaring kembali sambil menatap langit-langit kamarnya yang terpasang kipas angin yang sedang berputar pelan.

"Ughh" Shinjiro menaruh telapak tangannya di wajah sambil mengerang. Sudah 3 hari berlalu sejak Sayaka pergi dari apartemennya dan sudah 3 hari ini Shinjiro harus meminum obat anti depresan sebelum tidur karena mimpi-mimpi menyeramkan itu terus menghantuinya, tapi tetap saja obat itu tidak terlalu memberikan efek. Rasanya kepalanya mau meledak setiap kali ia bangun.

Bahkan rasa sakit di dada kirinya terasa sangat nyata. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana wajah Sayaka di setiap potongan kejadian dan itu membuat Shinjiro mengerang frustasi. Ia tidak bisa melupakan wajah itu dalam mimpi buruknya. Dan yang paling menyakitkan lagi adalah saat melihat wajah itu memucat dan matanya yang menutup dengan perlahan. Rasanya Shinjiro ingin menyiramkan cairan pemutih ke atas kepalanya supaya potongan kejadian itu hilang dari otaknya. Shinjiro tidak mengerti mengapa mimpi itu itu terus datang. 

Shinjiro bangkit dari tidurnya kemudian membasuh wajahnya yang kusut di kamar mandi. Dia menatap dirinya di cermin. Wajahnya lebih kurus dari sebelumnya dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Dia tampak lebih tua 5 tahun dari seharusnya. Shinjiro mendesah, sejujurnya dia sangat merindukan wanita itu.

Sayaka sudah lama tidak kembali dan saat ia bertanya kepada atasan Sayaka di toko serba ada di tempat Sayaka bekerja, atasannya hanya berkata bahwa ia mengambil cuti sementara karena ada masalah darurat yang harus diselesaikan. Shinjiro berterima kasih pada petugas toko tersebut kemudian kembali ke apartemennya bersama Mei.

Ia merasa menyesal telah mengatakan semuanya itu pada Sayaka. Ia ingin meminta maaf dan memintanya untuk kembali. Ternyata memang benar yang dikatakan orang. Seseorang atau sesuatu akan menjadi berharga ketika ia telah menghilang atau terengut dari padanya. Ia sudah Ia tahu itu adalah permintaan yang sangat egois, tapi Shinjiro membutuhkan Sayaka saat ini. Ia mengangkat kepalanya lalu bertekad. Ia akan mencari Sayaka!

Shinjiro memutuskan waktu yang tepat untuk mencari, tapi ia tidak tahu harus kemana. Shinjiro mendesah frustasi. Mencari orang di tempat sebesarnya ini sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ia juga harus memikirkan kepada siapa Mei harus dititipkan selama ia pergi.

Shinjiro pun terduduk di lantai sambil menyilangkan kaki dan tangannya. Ia berpikir keras, keningnya berkerut. Dimana aku harus memulai untuk mencarinya? Kemana aku harus pergi? Kepada siapa Mei harus kutitipkan? Apa yang akan kukatakan ketika aku bertemu dengannya?

Lamunan Shinjiro terhenti ketika Mei yang mengeluarkan suara meminta. Shinjiro melihat jam dinding, sudah waktunya Mei untuk makan. Saat ini Mei sudah bisa untuk memakan makanan yang lebih padat. Biasanya ia akan memakan bubur bayi khusus yang Shinjiro beli di toko serba ada.

"Ayo Mei.. aaaaaa.." Sambil menyuapi Mei, Shinjiro terus menatapnya ketika ia melahap bubur yang diberikan Shinjiro. Ia dapat melihat kemiripan Mei dengan Sayaka. Matanya yang seindah malam itu dan bentuk hidungnya yang mancung selain itu, Mei juga mirip dengan dirinya.

Hal itu membuat hati Shinjiro nyeri, ia sangat merindukan gadis itu. Kemarahannya sudah mereda pada hari dimana Sayaka berlari meinggalkannya, digantikan dengan rasa bersalah dan penyesalan yang tak terkira.

Tak sengaja tatapan Shinjiro beralih ke arah surat yang tergeletak di atas meja. Surat yang mengubah semuanya. Shinjiro meraih surat itu kemudian mengeluarkannya lagi. Ia baru menyadari ada sebuah kertas lain di surat itu. Kertas itu terlihat lebih menguning dibandingkan dengan yang lain. Shinjiro membuka lipatan kertas itu. Di dalamnya berisi sebuah alamat rumah di Osaka. Shinjiro hanya bisa mengamatinya. Kelihatannya alamat ini bisa dijadikan petunjuk.

"Papa.." Shinjiro terkejut dan membuka matanya. Mei sedang menatapnya dengan tatapan khawatir. Apa ia salah dengar? Apa baru saja Mei mengucapkan 'papa'?

"Papa.." Seakan mengetahui apa yang dipikirkan Shinjiro, Mei mengulangi apa yang dikatakannya tadi. Shinjiro membekap mulutnya dengan tangan. Ia sangat terharu dengan kejadian yang di depannya. Kata pertama Mei adalah papa, persis seperti mendiang putrinya dulu.

"Iya, ini papa, sayang." Shinjiro memeluknya erat. Dia berjanji akan selalu ada untuk Mei, menjaganya dan melindunginya.

"Mama?" kata Mei lagi. Shinjiro terdiam. Satu kata dari Mei telah membuatnya sedih dan senang dalam waktu yang bersamaan.

"Mama sebentar lagi akan pulang, sayang. Papa akan mencarinya. Papa berjanji." Selesai menyuapi Mei, Shinjiro mengambil gagang telepon dan menekan nomor yang ditujunya. Terdengar bunyi monoton yang panjang samping terdengar suara 'klik' dari ujung telepon.

"Halo, dengan keluarga Kushieda."

"Ibu ini aku." Hening sejenak.

"Shinjiro? Ada apa menelpon?" Tanya ibunya khawatir.

"Begini, bu. Apakah kalian berada di rumah sekarang ini?" Tanya Shinjiro hati-hati.

"Ibu ada di rumah saat ini, tapi ayahmu sedang pergi bekerja. Memangnya kenapa Shinjiro, apa ada sesuatu yang terjadi?" Suara ibunya bertambah khawatir.

"Kalau begitu, hari ini aku akan ke rumah kalian. Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Nanti saja aku ceritakan setelah sampai ke sana. Tenang saja bu, ini bukan hal yang gawat." Ujar Shinjiro menenangkan ibunya yang terdengar panik. "Sudah ya, bu. Sampai bertemu." Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Shinjiro menaruh gagang telepon kembali ke tempatnya.

Dia kemudian langsung mempersiapkan barang-barang keperluan beserta pakaian ganti untuk Mei. Setelah itu mereka menaiki bus yang menuju ke stasiun kereta. Suasana di stasiun cukup ramai karena hari itu adalah hari libur nasional dan banyak sekali keluarga atau  kekasih yang ingin berpariwisata. Shinjiro akhirnya berhasil mendapatkan tiket kereta menuju ke tempat orang tua Shinjiro di Kansai.

Perjalanan ditempuh dalam waktu yang sebentar karena kereta peluru yang dinaiki, tapi bagi Shinjiro perlajanan itu terasa seperti berjam-jam karena ketidak sabarannya. Akhirnya mereka pun sampai tepat di depan pintu rumah keluarga Kushieda. Ia menarik nafas panjang sebelum menekan bel pintu. Terdengar suara hentakan kaki di lantai yang semakin mendekat dan terbukalah pintu geser.

Miko Kushieda menatap putranya beserta cucunya itu dengan tatapan bertanya dan khawatir. Ia memeluk Shinjiro dan Mei bersamaan. Walaupun waktu itu ia sudah bertemu dengan Shinjiro, 2 bulan yang lalu tapi tetap saja ia tetap merindukan mereka.

"Ya ampun, Mei sudah besar sekarang. Kalian hanya berdua? Di mana Sayaka?" Tanya ibunya polos. Ekspresi Shinjiro langsung berubah ketika ibunya mengatakan nama itu. Miko menyadari hal itu kemudian langsung menyuruh Shinjiro masuk.

"Hai, ayah." Sapa Shinjiro ketika melihat ayahnya sedang duduk di ruang keluarga sambil membaca Koran. Kacamatanya ia turunkan dan menoleh ketika melihat Shinjiro.

"Hai, Nak." Sapanya kembali dengan suara berat. Tidak banyak yang berubah dari ayahnya, hanya muncul kerutan baru dengan rambutnya yang semakin memutih saja. Ibu pasti sudah menceritakan soal Mei karena tampaknya ekspresi ayahnya hanya biasa-biasa saja melihat Shinjiro yang membawa Mei. Tunggu. Waktu itu kan dia bercerita kalau Mei adalah putri dari Sayaka, tapi mengapa kedua orang tuanya hanya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa ketika ia membawa Mei ke rumah ini tanpa Sayaka? Apakah Sayaka... Shinjiro menggeleng keras, tidak mungkin ia membeberkan rahasia ini.

"Ayah bisakah kau memegang Mei sebentar. Aku dan Shinjiro ingin berbicara sebentar." Pinta ibunya. Ayahnya meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya kemudian mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Pertama, dia terlihat kaku tapi kemudian lama-kelamaan dia mulai terbiasa menggendong Mei. Ayahnya langsung memperkenalkan diri lalu memasang wajah lucu sampai membuat Mei tergelak. Shinjiro tersenyum ketika melihat ayahnya bermain bersama cucunya.

"Ikuti aku, Shinjiro." Ibunya kemudian menutup pintu ruang keluarga lalu berjalan beberapa langkah ke depan dan membuka pintu geser yang berada tidak jauh di sebelahnya. Ruangan ini hampir sama dengan ruang keluarga dimana ayah dan Mei berada dengan meja pendek lebar dan beberapa bantal mengelilinginya. Hanya saja ruangan ini khusus untuk rekan-rekan bisnis ayah atau orang-orang penting lainnya membicarakan mengenai bisnis tentunya atau teman-teman arisan ibu bercakap-cakap ria karena ruangan ini kedap suara.

Setelah membuka pintu geser, keduanya pun masuk dan Miko menutup pintu itu kembali. Shinjiro menduduki salah satu bantal di depan meja dan ibunya duduk di hadapanya. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh meja kayu berwarna coklat tua.

Keheningan mewarnai ruangan itu selama beberapa detik karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Keheningan itu pun dipecah oleh suara ibunya, "Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dengan Sayaka? Mengapa kau datang dengan Mei sendirian kemari tanpa dia?" Tanya ibunya. Tidak ada nada memaksa, hanya penasaran.

Shinjiro menunduk. Rasa bersalah dan penyesalan menyusup kembali ke dalam hatinya. 

"Apa kalian bertengkar?" Tanya ibunya lagi. Shinjiro mengangkat wajahnya kemudian menatap ibunya tanpa ekspresi. Tentu saja ibunya tahu, dia selalu tahu segalanya sebelum Shinjiro mengatakan apa-apa.

Shinjiro hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan ibunya, "Kami bertengkar hebat. Bukan, sebenarnya akulah yang memulai duluan. Ini semua salahku karena tidak mau mendengarkan penjelasannya. Ini semua salahku karena mengatakan hal sekasar itu padanya." Shinjiro terus berbicara pada dirinya sendiri sambil menutup matanya. Ia mengepalkan kedua tangannya.

Miko Kushieda bangkit berdiri kemudian duduk di sebelah putra satu-satunya kemudian menaruh tangannya di atas bahu putranya dan mengelusnya dengan perlahan. Ia pernah melihat Shinjiro seperti ini sebelumnya, itu ketika dia bertengkar dengan mendiang istrinya.

"Sudah tidak apa-apa. Kau bisa menceritakannya kalau kau sudah siap." Kata ibunya lembut. Shinjiro mengendurkan kepalannya kemudian mulai membuka mulut, "Jadi waktu itu...."

Cerita pun bergulir keluar dari bibir Shinjiro. Bagaimana ia menemukan surat itu, bagaimana ia mengkonfrontasi Sayaka, bagaimana ia melihat wajah Sayaka yang terluka, bagaimana ia melihat Sayaka yang menangis kemudian berlari keluar apartemennya, bagaimana mimpi buruk itu terus menghantui kehidupannya beberapa hari ini. Semuanya ia ceritakan tanpa ada yang terlewat. Ia juga menceritakan bagaimana ia menemukan kertas berisi alamat yang merupakan satu-satunya petunjuk yang dimiliki olehnya.

Shinjiro menunjukkan kertas lusuh itu kepada Miko. Dia menimbangnya sesaat. "Shinjiro, Osaka berada cukup jauh dari sini. Lagipula kau belum pernah ke sana sebelumnya. Bagaimana kalau nanti kau tersesat? Apa kau yakin alamat itu masih ada sampai sekarang?"

Shinjiro menatap ibunya tepat di manik mata, "Aku juga tidak tahu, Bu. Tapi yang pasti, tidak ada yang akan terjadi kalau aku hanya menunggu dan menunggu. Aku harus mencari dan menemukannya, Bu. Apapun yang terjadi. Aku ingin meminta maaf padanya dan kalau pun alamat ini adalah satu-satunya petunjuk dimana aku bisa menemukan Sayaka maka biarlah itu. Aku tidak akan menyerah untuk mencarinya meskipun alamat ini adalah alamat palsu sekalipun."

"Untuk itu tujuanku kemari adalah untuk meminta dengan sangat pada kalian berdua," Shinjiro menunduk kepalanya dalam-dalam sampai menyentuh lantai dengant tangan yang ditaruh di depan.

"Tolong jaga Mei untuk sementara waktu sampai aku berhasil menemukan Sayaka. Aku.. Aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi, tidak mungkin aku membawa dia ke Osaka. Dia masih terlalu kecil, Aku mohon. Biarlah Mei berada di sini dulu." Ucapnya dengan sepenuh hati dengan harap-harap cemas. Jantungnya berdebar keras di dalam dadanya. Bagaimana kalau ibunya menolak, pada siapakah ia harus meminta tolong.

"Angkat wajahmu, Shinjiro." Shinjiro melakukan apa yang disuruh oleh ibunya.

Ibunya tersenyum dengan penuh pengertian, "Aku mengerti. Percayakan Mei pada kami. Sebagai orang tuamu. Kami hanya bisa berharap bahwa kau bahagia, itu saja dan kalau ada hal yang yang kami lakukan untuk membantumu mencari kabahagiaan itu maka kami akan melakukannya dengan senang hati."

Kalau saja Shinjiro adalah seorang wanita, mungkin saja ia sudah menangis terharu sekarang. Tapi ia adalah pria dan seorang pria harus mempertahankan harga dirinya untuk tidak menangis. Sebagai gantinya, Shinjiro menunduk kembali kemudian mengucapkan terima kasih dengan tulus.

"Terima kasih, bu. Aku berjanji akan menemukan Sayaka."

"Bukan hanya menemukannya saja, Shinjiro." Tukas ibunya.

"Ah ya, aku juga akan meminta maaf kepadanya." Kata Shinjiro lagi.

"Ya sudah kalau begitu malam ini kau menginap dulu di sini. Sekarang sudah terlalu malam bagimu untuk pergi sendirian ke tempat yang jauh. Besok pagi, ibu akan mempersiapkan semuanya untukmu kemudian barulah kau pergi."

Perkataan ibunya ada benarnya. Shinjiro mengangguk kemudian bangkit dari tempatnya, ibunya juga melakukan hal yang sama. Mereka berjalan menuju ruang keluarga lagi, tapi saat di depan pintu Miko berhenti kemudian berbalik menatap Shinjiro.

"Tunggu di sini, Shinjiro. Aku akan berbicara dengan ayahmu dulu." Shinjiro mengangguk kemudian membiarkan ibunya masuk ke dalam dan menutup pintu. Shinjiro bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka berdua walaupun dengan suara yang kecil.

Perasaan harap-harap cemas yang dirasakannya tadi muncul kembali. Walaupun ibunya telah setuju, tapi belum tentu ayahnya juga akan menyetujuinya. Apalagi ini baru pertama kalinya ayahnya bertemu dengan Mei. Bagaimana kalau ia merasa risi jika harus mengurus Mei selama beberapa waktu ini?

Pembicaraan pun terhenti, Shinjiro tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Keningnya berkerut, apa yang terjadi? Dia hanya bisa mendengar suara Mei berceloteh tidak jelas; khas bayi. Shinjiro mendekatkan kepalanya di pintu geser supaya ia bisa mendengar lebih jelas. Ketika telinganya hampir saja menempel, pintu pun terbuka dengan tiba-tiba.

Shinjiro terlonjak kaget dan mundur selangkah. Ia sudah membayangkan ayahnya yang keluar dengan wajah marah. Ternyata ibunya yang keluar dengan wajah yang biasa-biasa saja. Shinjiro memberikan ekspresi bertanya dengan mengangkat kedua alisnya pada ibunya. Ibunya mengangkat tangan kemudian mengacungkan jempol pada Shinjiro kemudian menutup pintu dari luar.

"Ayahmu menyetujuinya. Kelihatannya dia sudah jatuh cinta pada Mei sejak pertama kali bertemu dengannya" bisik ibunya supaya ayahnya tidak mendengar. Mereka berdua kembali berjalan ke ruang pertemuan lalu duduk kembali. Shinjiro tersenyum senang. Dia teringat lagi perkataan Sayaka waktu itu.

"Sulit untuk tidak jatuh cinta padanya." Perkataan Sayaka terngiang-ngiang di kepalanya. Membawa serta perasaan bersalah kembali. Dia mendesah frustasi; membuat ibunyalah yang menunjukkan ekspresi bertanya. Shinjiro hanya menggeleng.

"Jadi bagaimana dengan rencanamu itu, Shinjiro?" Tanya ibunya penasaran.

"Besok pagi aku akan langsung ke Osaka kemudian mencari alamat ini. Setidaknya hal itulah yang bisa kulakukan, sisanya aku hanya bisa berdoa supaya semuanya berjalan dengan lancar." Ujar Shinjiro. Ibunya bisa melihat semangat di dalam matanya. Ibunya tersenyum, sudah lama sekali sekali Shinjiro tidak menunjukkan mata itu.

"Berjuanglah, Shinjiro. Semoga berhasil. Kami di sini hanya bisa membantu dalam doa. Sekarang mari kita makan malam, supaya kau mempunyai tenaga untuk mempersiapkan hari esok." Shinjiro mengangguk kemudian mengikuti ibunya menuju ruang makan. Sebelumnya dia mengajak ayahnya terlebih dahulu.

Shinjiro menatap langit-langit kamar tamu dengan kipas angin yang sedang berputar ketika ia berbaring di atas tempat tidur. Dulu ini adalah kamar tidurnya dan sekarang sudah diubah menjadi kamar untuk para tamu orang tuanya menginap. Shinjiro melihat sekelilingnya. Tidak ada yang berubah dari kamar ini. Hanya perabotan saja yang diganti karena perabotan yang dulu sudah dipindahkan ke apartemen Shinjiro.

Pikirannya melayang di saat ia bersama Sayaka dan Mei. Ketika mereka berciuman untuk pertama kalinya, ketika mereka melihat bulan dan bintang di teras apartemen Shinjiro, ketika Sayaka menggendong Mei ataupun sedang memeluknya. Semuanya itu adalah kenangan indah yang tak dapat dilupakan.

Shinjiro menutup matanya sambil terus berdoa dalam hati. Sedari tadi dia sudah merangkai kata apa yang akan diucapkannya ketika bertemu dengan Sayaka nantinya kalaupun tidak bertemu, Shinjiro tetap akan mencarinya. Shinjiro mengubah posisi tidurnya. Ia berbalik dan melihat Sayaka yang berada di sampingnya sedang tertidur menyamping dengan kepala bertumpu pada siku,.

Shinjiro tersenyum.

"Mengapa kau terus mencariku, Shinjiro? Aku tidak ingin bertemu denganmu." Ujar Sayaka lembut.

"Aku tidak peduli kau ingin bertemu denganku atau tidak. Aku hanya ingin menyampaikan permintaan maafku, itu saja."

Sayaka mengangkat alisnya. "Hanya meminta maaf saja? Sebenarnya apa yang kau inginkan, Shinjiro?"

Shinjiro terdiam. Apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia masih belum tahu itu, tapi yang pasti dia ingin bertemu dengan Sayaka dulu sesudah itu baru ia akan memikirkannya.

"Aku... tidak tahu, Sayaka."

"Kau tidak tahu atau belum mau mengakuinya?"

"Aku benar-benar tidak tahu." Jawabnya lagi.

Sayaka tersenyum dengan penuh pengertian. "Kau terlalu banyak berpikir, Shinjiro. Bisa kulihat keningmu yang selalu berkerut ketika aku bertanya hal ini padamu."

"Aku tidak..." Kalimat Shinjiro terhenti karena jari telunjuk Sayaka yang berada di bibirnya.

"Shhhtt.. dengarkan aku dulu. Kau terlalu banyak berpikir. Suatu perasaan bukanlah hal yang harus kaupikirkan, Shinjiro. Suatu perasaan haruslah kau rasakan, di sini." Sayaka menunjuk dada kiri Shinjiro.

"Setelah itu barulah kau bisa mendengar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini selalu bercokol di kepalamu. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab kalau kau hanya memikirkannya dengan logika karena sebenarnya jawaban dari pertanyaan itu sudah diteriakan oleh suara hatimu sendiri, tapi kau tidak mau mendengarnya. Kau terlalu keras kepala untuk mendengar dan mengerti maksudnya padahal hal itu sudah jelas di depan matamu sendiri."

Shinjiro terdiam lagi. Sayaka menurunkan telunjuknya dari bibir Shinjiro. Rasanya ia seperti ditampar oleh perkataan Sayaka, tapi ia menolak untuk merasakan tamparan itu. Sayaka yang di hadapannya tidaklah nyata, ia hanya bagian dari imajinasinya.

"Kalau misalnya aku tidak mau mendengarkan dan mengerti. Bisakah kau menjelaskannya padaku, Sayaka?" Tanya Shinjiro.

"Soal itu... aku tidak bisa mengatakannya padamu karena harus kau pecahkan sendiri. Jangan mengeraskan hatimu, Shinjiro. Tidak ada gunanya, kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri dengan pertanyaan yang sebenarnya kau sudah tahu jawabannya."

"Jadi apa yang harus kulakukan?"

Sayaka memutar bola matanya, "Tentu saja kau harus menerimanya, bodoh. Kau harus menerima perasaan itu dan tidak membiarkan pikiranmu mengahalanginya untuk masuk karena cepat atau lambat perasaan itu akan semakin bertumbuh tanpa kau menerimanya sekalipun, tapi kuharap kau bisa menerimanya dengan cepat karena kalau sudah terlambat. Perasaan itu tidak akan pernah terhubung dan hanya akan diam di satu tempat."

"Sayaka, mengapa kau memberikan teka-teki yang membuatku semakin bingung?"

Sayaka tertawa ringan, "Sebenarnya dirimu sendirilah yang membuatnya bingung. Seperti yang kau katakan di dalam hatimu tadi. Aku hanyalah bagian dari imajinasimu, aku tidaklah nyata."

Shinjiro membuka matanya kemudian Sayaka yang berada di hadapannya menghilang. Hanya dia sendiri yang berada di ruangan itu. Ternyata dia sudah tertidur tadi. Shinjiro menyentuh tempat tidur yang tadi ditiduri Sayaka.

Dingin dan hampa.

Ia melihat telapak tangannya. Benarkah aku terlalu memikirkannya? Shinjiro mendesah kemudian tertidur kembali. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.4K 14
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...
8.7M 108K 43
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
6.8M 46.9K 59
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
474K 1.5K 9
Katya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP. Gadis manis yang mungil itu kehilang...