7/9

By sevenicnst

993 76 10

Apakah salah jika 7 anak itu hanya memutuskan menginap semalam di sekolahnya? Apakah tidak lumrah mereka hany... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
8
9
Epilogue

Chapter 5

83 8 2
By sevenicnst

***

Jika kalian pikir si bodoh ini bodoh, kalian salah.

Aku bukanlah si bodoh yang kalian anggap bodoh.

Jika kalian pikir aku hanya sendiri, kalian salah.

Aku tak pernah sendiri seperti akhir cerita kalian.

Jika kalian pikir aku ini tak tahu apa-apa.

Aku bukanlah kalian yang tak tau apa-apa.

Aku tau semuanya, dan aku tahu akhir dari cerita ini.

***

Sudah dua hari sejak aku membaca sayembara lomba cerpen di twitter. Aku harus mengikutinya. Hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan. Selain itu lomba ini juga bisa menjadi awal karirku di dunia menulis. Sudah sejak lama aku sangat menyukai menulis, mengikuti berbagai lomba menulis dengan tema apapun di twitter. Kali ini, temanya adalah thriller. Semuanya menjadi sempurna semenjak kejadian yang kami alami tiga hari lalu. Aku harus bisa menyelesaikan cerpenku dengan cepat. Waktu yang tersisa hanya tinggal lima hari lagi. Tak ada banyak waktu. Aku harus memakai waktu sekolah jika ingin cerpenku cepat selesai.

Aku harus datang pagi-pagi demi berebut tempat kedua dengan Khai dan Zhou, karena hanya baris kedua itulah yang memiliki colokan di bagian bawahnya. Maklum, laptopku ini harus terus terpasang charger untuk bisa tetap menyala. Setelah berdebat panjang dengan Khai sekaligus bantuan dari Zhou dan Sven, akhirnya dia mengalah padaku. Kau tahu, ini pertama kalinya aku menulis sesuatu yang berbau thriller. Jadi aku pun menonton beberapa film horror-thriller, mengutip beberapa kata-kata yang menurutku bisa menjadi inspirasiku dalam menulis seusai menontonnya.

---o0o---

Istirahat pertama sudah hampir usai. Aku segera berlari kecil dari perpustakaan demi meminjam buku yang diperintahkan guru kami. Sesampainya di kelas, aku berniat melanjutkan rancangan cerpen di buku tipisku itu. Segera saja kuraih tasku yang kuletakkan di bawah meja, lantas mencari-cari buku itu.

Tunggu dulu! Di mana buku tipisku itu? Ah, tidak, buku itu berisi seluruh kutipan dari film-film yang sudah kutonton! Apa aku lupa dan meninggalkannya di rumah? Tapi aku sangat ingat semalam aku menyimpannya di dalam tasku.

Sial, sudahlah. Mungkin aku memang mengeluarkannya lagi dari tasku semalam. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Menandakan kelas yang akan dimulai kembali.

---o0o---

Bel istirahat pun berbunyi. Waktunya istirahat kedua. Aku segera berlari menuju kantin dan mencari tempat duduk di bagian belakang. Untung saja masih ada tempat yang kosong di ujung sana. Untuk pertama kalinya aku pergi ke kantin, dan sendiri. Aku memang sangat malas untuk ke kantin karena kantin sekolah kami selalu ramai. Demi melanjutkan cerpenku, aku duduk di sini sendiri. Terlalu berbahaya mengetik cerpen di kelas saat jam istirahat. Aku tidak ingin mereka mengetahui bahwa aku mengikuti lomba cerpen ini. Mereka pasti akan menggangu atau mengolok-olokku karena aku menulis tentang cerita thriller. Aku akan memberitahu mereka setelah aku memenangkan lomba cerpen ini ─atau lebih tepatnya aku akan memamerkan kepada mereka kalau aku bisa menulis cerpen yang berjenis thriller. Lantas jika tidak menang, aku cukup tidak memberitahu mereka.

Aku kembali menyalakan laptopku dan mulai melanjutkan cerpenku. Aku harus fokus menulis cerpen ini. Kuambil earphone dari dalam saku baju sekolahku dan memasangnya di telingaku. Jari-jariku pun mulai menari di atas keyboard laptopku.

---o0o---

Saat sepulang sekolah, di dalam kelas hanya tersisa kami berempat ─Aku, Nutta, Khai, dan Zhou. Tiba-tiba, Khai menyodorkan buku catatan tipisku itu yang kupikir tertinggal di rumah. "Alf, apakah ini milikmu?" aku langsung mengambil buku itu dari tangan Khai

"Kau menemukannya? Aku mencari-carinya dari tadi! Aku pikir buku ini tertinggal di rumah," aku segera memasukkannya ke dalam tasku. Kami berempat pun langsung pulang setelah guru killer nan menyebalkan mengusir kami dari sekolah.

Saat perjalanan pulang, aku mengambil buku tipisku dari dalam tas. Aku pun menimang-nimangnya.

'Mengapa buku ini bisa ada di tangan Khai? Sejak kapan aku memberikannya?'

Kubuka lembaran buku catatanku dan menemukan sebuah halaman aneh. Apa ini? Terdapat kertas yang sengaja ditempel menggunakan nasi? Siapa yang menempelkan kertas seperti ini menggunakan nasi di buku ku? Jorok sekali! Aku pun membaca kata-kata yang tertulis di kertas itu. Ah, sebenarnya bagus juga kata-kata ini. Aku pun berniat memasukkannya ke dalam cerpenku. Tapi siapa yang menulisnya? Apakah Khai? Tapi tulisan ini tidak seperti tulisan Khai atau Zhou.

Ya, sudahlah. Mungkin ada orang jahil yang menempelkan ini di bukuku. Aku tidak begitu memikirkannya.

---o0o---

Aku berlari menuju kelasku sambil menenteng laptopku; aku terlambat! Dengan sekuat tenaga aku berlari menuju kelasku dan kulihat guru biologiku baru akan masuk ke dalam kelas. Huft! Untung saja aku tidak ketinggalan pelajarannya. Barisan kedua sudah diisi Khai dan Zhou, kulihat barisan pertama yang biasa menjadi tempat duduk Sven masih kosong. Aku segera duduk di tempat Sven. Nutta mengikuti duduk di sebelahku. Sven yang masuk setelah aku duduk di tempatnya mengeluh karena aku mengambil tempatnya.

"Sekali-kali mengalahlah pada yang tua, Sven," ucapku sambil mengeluarkan senyuman lebar untuknya. Aku tidak ingin jauh-jauh dari colokan barisan kedua.

Hari ini kelas kami akan melanjutkan presentasi biologi. Ini kesempatanku untuk memikirkan kelanjutan cerpenku. Tapi, tidak akan mungkin bagiku untuk menyalakan laptopku disaat ada guru begini. Bisa-bisa aku bisa mendapatkan nilai minus karena ketahuan tidak memperhatikan presentasi di depan.

Sekarang giliran kelompok Nutta untuk menampilkan presentasinya dan Zhou malah menggodainya. Karena tidak tega melihat Nutta yang mulai panik, aku pun membela Nutta dan menenangkannya agar tidak demam panggung.

"Tenang saja. Semua akan baik-baik saja, kok. Anggap saja semua orang yang melihatmu ini hanyalah botol, dan selesaikanlah presentasimu," ucapku pada Nutta. Dia mengangguk masam ke arah Zhou yang cengengesan, lantas segera menuju ke depan kelas bersama kelompoknya. Membuka presentasi.

"Alf, boleh duduk di kursi Nutta, tidak?" tiba-tiba saja Zhou berdiri di samping mejaku. Katanya kamera ponselnya tidak sampai untuk mengambil foto pada layar proyektor di depan.

"Silakan saja," jawabku.

Zhou segera duduk di kursi Nutta. Aku pun mengeluarkan buku tipisku itu. Kumasukkan kata-kata yang baru saja kukutip dari salah satu novel misteri yang kupinjam dari sepupuku kemarin dan melanjutkan rancangan cerpenku di buku tipis itu. Tak lama menulis, aku merasa seperti ada yang sedang memperhatikanku. Sontak aku menengok dan memergoki Zhou yang mencoba membaca apa yang sedang kutulis.

"Zhou, jangan dibaca!" aku segera menutup bukuku.

"Aish, memangnya kau menulis apa sampai aku tidak boleh melihatnya?" Zhou bertanya kepadaku, menyelidik.

"Mau tahu sekali, kau. Ini hanya kutipan film favoritku, hehe," aku mencoba menjawabnya sebiasa mungkin sambil menahan debar jantungku.

"Oke," Zhou menggeser sedikit tubuhnya dan kembali memperhatikan presentasi di depan.

Astaga, hampir saja aku ketahuan olehnya. Bagaimana kalau aku ketahuan sedang ikut lomba cerpen? Pasti mereka akan heboh. Mulai menggangguku atau penasaran dengan cerpen yang aku tulis, dan membuat kacau semuanya. Aku segera melanjutkan menulis rancangan cerpenku sambil lebih berhati-hati pada Zhou. Jangan sampai dia membaca tulisanku lagi.

---o0o---

Pelajaran selanjutnya kelasku dipindahkan ke perpustakaan. Tak lupa kubawa laptop ke perpustakaan untuk melanjutkan cerpenku yang tinggal menunggu beberapa paragraf lagi. Betapa beruntungnya aku hari ini setelah mengetahui guruku tidak datang ke sekolah, meninggalkan tugas dengan berkutik buku-buku di perpustakaan ini. Itu berarti selama dua jam pelajaran bisa kugunakan untuk melanjutkan cerpenku. Itu waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan cerpenku yang tinggal sedikit lagi.

Kunyalakan layar laptopku. Lalu kulanjutkan rangkaian kata di dalam cerpenku. Sedikit lagi aku akan mencapai bagian akhir dari cerpen ini.

***

Dan pada akhirnya kalianlah yang bodoh.

Aku bukanlah si bodoh yang kalian anggap bodoh.

I am the only person who knows what is the end of your story.

Your story is in my hand.

Di sini adalah rumahku, hidup dan matiku.

Semua tergantung keinginanku.

***

Setelah sekian hari aku menghabiskan waktu untuk menulis cerpen ini, akhirnya aku berhasil menyelesaikannya. Tidak kusangka untuk pertama kalinya aku berhasil menyelesaikan cerpen yang berbau horror. Semoga saja cerpenku akan menjadi pemenangnnya. Jika benar aku menjadi pemenangnya, maka aku akan memberikan kejutan untuk teman-temanku.

Kubuka akun G-mail milikku untuk mengirim cerpen hasil karyaku. Namun saat daftar inbox terpampang di layar laptopku, terdapat sebuah pesan dari seseorang yang tak kukenali siapa pengirimnya.

05.52 AM (3 hours ago)

From : asapkabut_77@gmail.com
to me

Malam ini datanglah ke sekolah pukul tujuh malam. Ada sebuah kejutan hanya untukmu.

E-mail dari siapa ini? Ada apa di sekolah nanti malam? Apa dia seseorang yang kukenal? Apakah aku harus datang atau tidak? Datang, aku tidak tahu pesan dari siapa ini. Tidak datang, entah mengapa aku terlalu penasaran atas apa yang akan terjadi malam ini di sekolah. Datang, tidak. Datang, tidak. Datang, tidak.

Argh! Aku jadi bingung! Kesulitanku dalam mengambil keputusan malah berujung padaku yang tidak kuat untuk menahan panggilan alam ini. Aku harus ke toilet sekarang juga.

Aku segera berlari keluar perpustakaan meninggalkan laptopku sendirian di pojok meja perpustakaan dan kembali secepat mungkin. Kulirik Zhou yang sedari tadi duduk di samping posisiku; dia sedang asyik bermain dengan ponselnya. Kalau dia sedang asyik dengan ponselnya, itu berarti dia tidak mendekati laptopku sama sekali. Laptopku baik-baik saja, dan sepertinya tidak ada orang lain yang mendekatinya. Aku pun kembali memikirkan apakah malam ini akan datang ke sekolah atau tidak. Ah, sudahlah, malam ini aku datang saja.

Yak, dan inilah waktunya untuk mengirim cerpenku. Kuketik alamat e-mail tujuanku dan melampirkan cerpenku, lantas dengan segera kutekan tombol "Send".

Akhirnya! Aku bersorak gembira dengan irama berbisik. Namun, sepertinya suaraku tidak cukup pelan sehingga teman-teman di sekitarku melirik. Aku hanya berkata maaf kepada mereka sambil kembali menatap layar laptopku.

"Hey, Alf, ada apa? Sepertinya kau terlihat gembira sekali?" tanya Zhou.

"Ah, tidak apa-apa," jawabku sambil menutup-nutupi raut bahagiaku karena telah berhasil mengirim cerpenku.

"Benarkah?" Zhou mulai menyelidikiku, lagi.

"Iya, aku serius. Untuk apa aku berbohong?"

"Baiklah," Zhou kembali sibuk dengan handphone-nya. Huft! Untung saja Zhou percaya pada kata-kataku.

---o0o---

Jam sudah menunjukkan tepat pukul 18.45. Aku bersiap-bersiap untuk datang ke sekolah malam ini. Sekolah terlihat sangat sepi sesampainya aku di depan gerbang. Kubuka gerbang sekolah itu yang ternyata tidak dikunci sama sekali. Kulangkahkan kakiku memasuki sekolah tua ini. Aku mulai menyusuri lorong-lorong sekolah. Masih sama seperti saat kami bertujuh datang ke sekolah ini malam kemarin. Suasana di sini terasa sangat mengerikan. Mengapa aku tidak kepikiran untuk mengajak mereka berenam datang kesini ya? Bodoh sekali aku!

Semakin kumasuki sekolah ini, semakin terasa ada sesuatu yang terasa ganjil. Sebenarnya ada apa, sih, malam-malam begini di sekolah tua ini? Apa aku hanya dikerjai saja? Alf, kau terlalu bodoh! Kenapa kau harus merasa penasaran dan datang ke sini sendirian? Sekarang apa yang harus kau lakukan?

Kulangkahkan kaki memasuki bagian inti gedung tua ini. Dan sesampainya di pinggir lapangan, terlihat seberkas cahaya di bawah pohon sengon yang tak kalah tua dengan sekolah ini. Aku pun mendekati pohon itu, dan betapa terkejutnya aku setelah melihat berbagai sesajen di bawah pohon itu. Siapa yang melakukan ritual dengan sesajen-sesajen ini?

Tak lama, aku menyadari sesuatu. Malam ini aku benar-benar merasa dikhianati.

---o0o---

Kami bertujuh duduk dalam diam di tengah-tengah ruang tamu Zhou. Aku menunduk dalam-dalam. 'Astaga, apa yang harus kulakukan?'

"Alf, mengapa kau melakukan ini semua?" lirih Zhou. Ia mengusap wajahnya.

Aku menggeleng lemah, "Sungguh, aku tidak melakukannya teman-teman." Aku menelan ludah, perdebatan ini tak kunjung selesai walaupun kami sudah kembali dari sekolah. Tak bisakah ini berhenti?

"Mengapa kau begitu tega pada kami, Alf?" Maru menatapku lemah.

Sekali lagi, aku hanya menggeleng, "Aku bersumpah, bukan aku yang melakukannya."

"Berani-beraninya kau bersumpah, saat semua bukti tertuju padamu?" Sven menatapku intens.

Aku menggeleng kuat, "Astaga! Aku bahkan tidak tahu surel itu dari siapa! Aku datang ke sekolah hanya karena merasa penasaran. Saat aku baru saja datang, aku menemukan semua itu di bawah pohon!"

"Kau masih saja membela diri?" desis Sven tajam.

"Cukup!" mendadak Rei berteriak. "Bisakah kalian berhenti?" kini semua tatapan sempurna tertuju pada Rei.

"Ini bukan kesalahan Alf," ujar Rei mantap. "Ini semua, kesalahan kita."

"Bagaimana mungkin, Rei?" Tanya Khai.

"Kitalah yang menyebabkan kekacauan itu."

Sven menghela nafas, "Kau bercanda Rei?"

"Kita yang membuat makhluk-makhluk itu menampakkan diri...," Rei menatap kami semua satu-persatu, "...karena kita mengganggu mereka."

Kami semua diam membisu.

Rei berkata perlahan, "Mereka merasa tak nyaman atas kehadiran kita malam itu, teman-teman."

"Benarkah?" Zhou mulai bersuara.

Rei mengangguk, "Makhluk-makhluk itu tidak suka kita menginap disana, membuat bising tempat tinggal mereka."

"Bagaimana kau bisa tahu, Rei?" selidik Maru.

"Ia pernah bertanya pada penjaga sekolah tentang makhluk-makhluk itu," kali ini Nutta yang menjawab.

"Rei telah menceritakannya padaku saat kami berdua menyelediki sekolah malam kemarin. Penjaga sekolah itu menuturkan bahwa makhluk-makhluk itu akan merasa terganggu jika tempat tinggalnya berubah menjadi ramai."

"Kalian berdua menyelidiki apa kemarin malam?" Sven tampak sulit mencerna apa yang terjadi, mewakili perasaan yang lainnya.

Tanpa mengacuhkan pertanyaan Sven, Rei melanjutkan, "Saat kita mulai bernyanyi, menonton film, bermain UNO, bahkan mencoba mendeteksi mereka malam itu. Bukankah itu benar-benar mengganggu mereka?"

"Saat kita mulai lengah, mereka mulai bereaksi atas ketidaknyamanan mereka dan...," Nutta menatap nanar, "...kekacauan itu terjadi."

Maru kembali menyelidik, "Bagaimana dengan sesajen itu, Nutta? Jelas sekali, bahwa baru saja kita melihat Alf dengan sesajen-sesajen itu."

"Sungguh, sesajen-sesajen itu sudah ada di situ saat aku datang. Bukan aku yang menaruhnya di situ, aku tidak tahu-menahu," tuturku lemah. Kini semua mata tertuju pada Nutta, menanti titik terang masalah ini.

"Sesajen itu sudah ada di sekolah sejak kemarin," giliran Rei menjelaskan semuanya. Sekarang sepasang mata kami tertuju pada Rei.

"Kemarin malam, saat kau masuk ke dalam ruang bahasa asing, kau tidak menemukan apa-apa bukan? Hanya kain hitam yang menutupi seluruh dinding kelas, bahkan kursi dan meja pun tak ada," Nutta kembali angkat bicara.

"Lantas kau mulai melanjutkan penyelidikanmu ke lantai dua?" Rei menatap heran ke arah Nutta. "Ya, aku mengikutimu Rei."

"Aku juga masuk ke ruang bahasa asing. Mencoba melihat apa yang membuatmu tertahan begitu lama di sana," jelas Nutta. "Kau melupakan satu hal, Rei. Lemari tempel itu. Di sana terdapat sesajen yang sama, yang kita lihat di bawah pohon sengon besar tadi."

Hening. Semua bibir terkatup rapat. Sekarang semua begitu jelas.

Tak mau kalah, Rei kembali buka suara, "Dan kau, Alf. Puisi-puisi aneh itu dan tentangmu yang belakangan ini selalu menyendiri dengan laptopmu," Rei mendelik. "Kau mengikuti lomba cerpen misteri bukan? Mengapa kau tidak memberitahu kami? Wajahmu terkejut bukan main saat tahu Zhou memeriksa surelmu, padahal hanya karena takut terbongkar masalah cerpen."

"A-aku akan memberitahu jika aku menjadi pemenangnya," aku tergagap.

Rei menghela nafas panjang, "Jadi, sudah jelas kalau Alf bukan pelakunya."

Zhou menatapku dengan tidak percaya, "Alf, kumohon maafkan aku."

"Aku sungguh minta maaf," Khai ikut menyesal.

Maru berujar pendek, "Seharusnya, aku tidak asal menuduhmu, Alf."

Lantas, Sven pun memegang pundakku, "Maafkan kami semua, Alf."

Aku mengangguk dan tersenyum, "Tidak apa-apa. Ini semua hanya kesalahpahaman."

Kata-kata ambigu Rei barusan terngiang di pikiranku. Aku bergidik saat menyadari hati kecilku terus berbisik. Siapa pelakunya?

Ada yang sengaja menjebakmu, Alf.

"Ah, ya, aku hampir lupa. Omong-omong, apa yang kau lakukan lakukan kemarin malam di sekolah, Maru? Aku dan Nutta melihatmu," Rei kembali berbicara setelah hening beberapa saat.

"Jangan mengigau! Jelas-jelas kemarin aku tidur nyenyak di kamarku," Maru mengernyitkan dahinya.

"Oh, jangan-jangan..." kali ini Maru sok memasang ekspresi ketakutan. Rei dan Nutta menelan ludah. Ah, tidak. Nutta justru susah payah menelan ludahnya sendiri.


























Hi!^_^ Ini adalah part kelima dari sudut pandang Alf! Berharap banget kalian bakal suka 😊😊😊

Kalo kalian suka, jangan lupa vote dan commentnya yaaa 😆😆😆

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
185K 5.3K 49
[Wajib VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertinggal...
KENZOLIA By Alpanjii

Mystery / Thriller

89.4K 4.8K 13
Iexglez diketuai oleh Kenzo, anggota inti menyamar menjadi siswa di SMA Rajawali untuk suatu misi. Ditengah misi itu ada Lilia, gadis yang Kenzo suka...