Romantika

By Gadis_Mendung

22.6K 768 49

SPIN OFF PROTECTIVE BROTHER Untuk seseorang yang telah lama pergi, bahkan aku tidak tahu lagi kemana harus me... More

Epigraph
Romantika 01
Romantika 02
Romantika 03
Romantika 04
Romantika 05 (18+)
Romantika 06
Romantika 07
Romantika 09
Romantika 10
Romantika 11
Romantika 12

Romantika 08

665 54 2
By Gadis_Mendung

"Bu Listy ngapain di sini?"

Aku berbisik pada Mas Raka, selain keberadaan Bu Listy yang dulunya hanya supervisor di salah satu merk parfume yang ada di pabrik ini, Mbak Dilla juga tidak terlihat.

Mas Raka menatapku serius, membuatku takut sebab sesuatu pasti sudah terjadi.

"Can...." Aku hanya mengernyit melihat raut sendu Mas Raka. Seketika, jantungku berdetak kencang. Ada apa, Tuhan? "Dilla ditangkap."

Aku yang tidak bisa mencerna kalimat Mas Raka masih diam duduk di tempat, menilai tiap reaksi yang Mas Raka tunjukkan.

Ditangkap bagaimana? Teman satu kos Mbak Dilla memang ada yang narkoba, tetapi Mbak Dilla sudah berjanji padaku jika dia tidak ikut-ikut. Mbak Dilla bilang dia akan pulang setelah berpisah dengan kekasihnya sekarang.

"Mak—maksudnya gimana?"

"Dilla melakukan penggelapan uang di kantor. Beberapa faktur perusahaan ia hilangkan jejaknya. Seratus juta."

Jatuh, air mataku mengalir turun ke pipi. Ini rasanya mustahil.

"Lo prank, ya, Mas? Mbak Dilla make uang segitu besarnya buat apa? Mbak Dilla cuman bawa motor, pakai tas yang cuman ratusan ribu, baju aja dia beli di serba tiga lima."

"Can.... Gue juga nggak nyangka Dilla bisa seperti itu. Dia ambil uang itu buat bayar utang ayahnya. Tapi cara Dilla salah dan nggak ada ampun dari Mas Veron."

Aku terkejut luar biasa, Mbak Dilla tidak pernah menceritakan masalah sebesar ini kepadaku. Dia orang yang baik, dia yang selalu mengajarkanku untuk menghargai diri sendiri, membuat diri sendiri menjadi sosok yang lebih kuat agar tidak mendapat bullying lagi seperti saat duduk di bangku SMK.

Tapi, sekarang semuanya seperti direnggut paksa dariku. Mbak Dilla dan segala hal darinya, apa-apa yang pernah Mbak Dilla ajarkan tidak bisa lagi aku dapatkan. Aku kehilangan sosok orang yang sudah aku anggap sahabat sendiri.

"Bu Listy yang gantiin Mbak Dilla sekarang."

Mas Raka memberiku tissue dan aku menghapus air mataku. Gagal. Air mataku terus saja berjatuhan tanpa bisa kutahan.

Kenapa ini bisa terjadi?

"Udah Can, jangan nangis. Ayo semangat, kerjaan lo udah numpuk banyak."

Hari itu, aku akhirnya bekerja dengan pikiran penuh dan air mata yang kadang berjatuhan. Bu Listy sangat baik, pekerjaannya cukup bagus dan ia membantuku yang tidak stabil kondisinya untuk sekarang.

Bu Listy mengetikkan pekerjaanku sementara aku membacakan dari faktur apa-apa yang menjadi pengeluaran dan jumlah yang telah dipakai untuk bahan produksi. Bu Listy juga membagikan kacang toro untukku dan Mas Raka.

"Dilla itu sudah baik tujuannya, tetapi cara yang Dilla pakai salah. Kamu jangan melakukan hal yang sama dengan Dilla, ya."

Aku menggeleng, bahkan aku masih terkejut dengan apa yang aku dengar. Ternyata aku salah menganggap Mbak Dilla sahabat. Karena aku tidak tahu apa pun tentang Mbak Dilla.

*

"Burik."

Aku lebih fokus melamun sambil memakan es krim. Bodo amat Roma mengajak entah siapa berbincang.

"Burik."

"Yah.... Cantik."

Aku menoleh, "Apa?"

"Kamu memang cantik, tidak burik"

Bugh!!

Aku memukulnya dengan totebag milikku. Mampus! Padahal totebag-ku berat. Ada dompet make up, payung, mantel, ciki untuk mengemil di dalam nanti, dan sebotol minuman titipan Mas Raka.

"Saya salah apa?"

"Siapa suruh? Ngatain burik."

Aku memasukkan es krimku ke mulut Roma ketika dia hendak bicara. Salah, sepertinya dia justru tampak senang saja. Membuat mood-ku turun seketika.

"Ih. Ngeselin banget sih!"

"Cie.... Cantik merajuk." Goda Roma, terdengar semakin mengesalkan.

Aku beranjak pergi untuk menjelajah seisi Mall. Selain es krim, yang bisa menaikkan mood-ku adalah belanja. Aku membeli barang-barang lucu seperti lampu temperator dan kotak musik untuk menyenangkan diri di kamar nanti. Biasalah, wanita penyuka barang unik yang tidak penting.

Sepertinya hari ini aku melewati hari yang berat meski tak seharusnya aku merasa begitu.

Saat itu, Roma tampak asyik menghabiskan es krimku di belakang sana. Seperti bodyguard dengan pakaian serba hitamnya. Meski hanya celana joger dan sweater.

"Kamu suka itu?"

"Iya, unik."

"Kamu udah nggak butuh itu, kamu bukan anak kecil lagi."

"Emang hanya bocah yang boleh beli hiasan seperti ini? An, aku bukan Cantik. Atau jika semua hal yang aku suka justru mengingatkan kamu sama anak kecil kurang ajar itu—"

"Re!"

"Kenapa? Selama ini kamu masih sayang dan diam-diam mencari tahu kabar Cantik 'kan?"

"Stop, Re!"

"Aku lihat di riwayat pencarian instagram kamu, Cantik yang paling atas."

"Aku bilang stop, Reya!"

"Sebegitunya gadis itu berarti buat kamu, An?"

"Reyana Zahra!"

Ada apa dengan hari ini? Setelah Mbak Dilla—konsultasi cintaku pergi, aku dipaksa semesta bertemu kamu. Yang menyesakkan dada dan wajib kuterima adalah kamu telah bersamanya. Sementara di sini aku masih kesakitan, mencoba bangkit kembali setelah kamu tinggal pergi.

Reya, tunangan kamu berbalik badan, tidak tampak terkejut mendapati aku ada di belakangnya. Mungkin tatapan kamu yang terus menghujam ke arahku, meyakinkan Reya jika kamu masih mencintaiku.

Padahal Reya salah, kamu sendiri yang telah memilih Reya dan tidak menahanku untuk pergi.

Tanganku meremas bingkisan belanjaan semakin kuat.

"Aku nggak perlu menjelaskan apa-apa sama kamu, Re. Dengan adanya aku di sini, itu sudah menjawab semuanya. Aku bukan laki-laki yang tidak bisa menjaga perkataanku. Tapi, itu semua terserah padamu jika ingin semua berakhir seperti dulu, atau berakhir seperti aku dan orang yang baru saja kamu maksud."

Aku belum bereaksi apa pun, tetapi kamu pergi melewati kami. Aku dan Reya. Kamu berhenti sejenak di sisiku, membuatku berusaha untuk tidak menatapmu seperti dulu. Tapi sepertinya aku gagal.

Kepalaku justru mendongak, menatapmu yang juga tengah menatapku. Dan aku menyampaikan kata maaf lewat tatapan mata. Untuk segala luka yang juga kamu terima, untuk segala percaya yang tidak pernah kuberikan kepadamu.

Tetapi, seandainya Reya sepenuhnya pergi, akankah kita masih bersama seperti dulu? Mungkin tidak akan semesra kamu dan Reya yang dengan santainya bisa jalan berdua. Sebab, kita nyata. Tapi duniamu adalah fana bagiku. Duniaku nyata, tetapi sekedar pelarian bagimu.

"Sudah menemukan orang itu? Bahagia, ya." Ujarmu dingin, sebelum berlalu jauh.

Selamat tinggal, An. Selamat tinggal Anugrah. Selamat tinggal anugrah terindah yang pernah kumiliki.

Bagiku, kamu bukan sekedar anugrah. Kamu tentu tahu jika kamu adalah segalaku, kamu telah lama menjadi semestaku bertahun-tahun. Apakah cintaku kadaluarsa? Tentu tidak, An. Aku masih menyimpanmu dengan baik di dalam hatiku. Begitu rapat, begitu kusuka hingga aku tak kuasa untuk sekedar melepasmu.

Tetapi tujuan kita telah berubah, kamu pergi ke Utara, sementara aku pergi ke Selatan. Kamu pergi ke Tenggara, aku pergi ke Barat Daya. Kamu memilih untuk kujadikan kenang, yang akhirnya kulupakan seiring berjalannya waktu. Tak apa, An, sebab setelah segalanya berakhir, memang ini yang harus aku terima.

Sebab seharusnya, kita tidak tercipta dari kata 'aku' saja. Seharusnya kita berdua sama-sama membangun pondasi tinggi yang kuat dan kokoh. Jika kita saling menyayangi, mengapa harus saling menyakiti?

"Kamu sudah beli semuanya?"

"A—"

"Yaudah, ayo nonton film dulu. Kata teman saya ada film bagus di bioskop."

Aku tidak memiliki kuasa apa-apa ketika Roma membawaku ke dalam bioskop untuk menonton film yang mengharukan. Roma bilang, aku boleh menangis sepuasnya di dada Roma. Sementara pria itu akan menonton filmnya dan menceritakan setelah selesai.

Tuhan, jika anugrah terindahku memang harus kau ambil dan diganti dengan Roma, aku rela. Setidaknya Roma sering membuatku tertawa dan berusaha membuatku bahagia. Perjuangan Roma adalah apa yang sejak dulu kudambakan.

Tetapi jika lagi-lagi kecewa menjadi akhir cerita kami, lebih baik—tolong, jauhkan Roma dariku.

Karena Roma adalah sesuatu yang berpotensi paling besar untuk melukaiku.

"Dia nggak seculun yang Risty bilang." Aku masih sesenggukan, tetapi aku mampu mendengar apa yang Roma gumankan. "He's so perfect."

Risty memang pembohong. Faktanya, kamu memang laki-laki yang sempurna. Bahkan Roma saja mengakuinya.

"Tapi dia bukan laki-laki, Can. Jika dia laki-laki sejati, dia nggak akan bikin kamu menangis seperti ini."

"Roma.... Hiks."

"Jangan ya, Can. Jangan memperparah luka di hatimu hanya karena pertemuan barusan. Air mata kamu jauh lebih berharga."

Bukan, Roma. Bukan air mataku yang jauh lebih berharga. Sebab hatimu jauh lebih berharga untuk kuhancurkan ketika aku menangisi Anugrah Simamora.

*

😭😭😭

Kalian baper sama Roma atau cuma Ay aja sih, yang baper?

LAKIK banget Roma Januar Dalton.

Continue Reading

You'll Also Like

7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.4M 36.6K 49
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.8M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...