R untuk Raffa

By narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... More

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[9] Pantaskah Disebut Kesialan?
[10] Pergolakan Batin
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[15] Pelarian, Tersesat, Pulang
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[23] Tik-tok, Tik-tok
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[38] Melangkah
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[17] Pintu Ruang Hati

4.2K 375 13
By narsakarsa

You're covering your face now
But you just can't hide the pain

– The Script

***

Hujan turun begitu deras, tetapi payung tak bisa melindungi dirinya. Sebab air itu turun dari matanya; membasahi pipi, membasahi kenangan. Andai masa lalu bisa dikunci rapat-rapat pada suatu ruang di hatinya, maka Rena sudah melakukan itu sedari dulu. Agar memori enam tahun lalu tidak terus-menerus terbayang di benaknya.

Enam tahun lalu, adalah tahun kepergian ayahnya dan tahun kedatangan Raffa.

Enam tahun lalu, adalah saat Rena kehilangan dan kembali menemukan rumah.

Dan sejak enam tahun lalu, Rena percaya bahwa kepergian adalah sesuatu yang pasti. Sesuatu yang tak dapat dihindari, tak dapat dipersiapkan, tak dapat diobati. 

Raffa dulu memang memainkan peran sebagai teman yang baik untuk Rena. Raffa berjanji untuk berada di sisi gadis itu, berjanji untuk tetap tinggal, dan berjanji untuk melihatnya memainkan piano di panggung.

Tetapi kepergiannya yang tiba-tiba telah meninggalkan kekecewaan yang begitu berat. 

Rena tidak tahu apakah kepergian Raffa adalah sebuah jeda atau akhir. Apakah Raffa pergi untuk selamanya atau pergi untuk kembali. Tidak ada pamit yang terucap, tidak ada salam yang tersampaikan. Jika mereka sempat berkata-kata sebelum berpisah, akankah Raffa mengucapkan "Sampai jumpa lagi" atau "Selamat tinggal"?

Kenyataannya, Raffa memang kemudian kembali. Namun laki-laki itu terlihat sama, tetapi tak lagi terasa sama. Laki-laki itu benar perihal mereka yang kini telah menjelma orang asing.

Mungkin karena itulah, Rena tidak lagi berharap apa-apa dari Gilang. Rena telah memutuskan untuk menutup pintu ruang hatinya, agar tak lagi ada orang yang datang dan pergi tanpa niat untuk menetap.

Sayangnya... Rena mulai tak yakin dengan prinsipnya sendiri. Seakan ada orang-orang tertentu yang bisa menyelinap dengan begitu handal, dan diam-diam mengisi kembali ruang hati yang kosong.

***

"Raf, sori baru ngasih. Abis gue salin ulang, tadi basah karena kena hujan." Rena menyodorkan secarik kertas berisi puisi yang sudah dibuatnya dengan Sekar. Tanpa sadar tangannya bergetar karena gugup, namun sebisa mungkin Rena tampak percaya diri. Kemejanya masih sedikit basah karena terguyur air langit satu jam lalu. AC tidak membuatnya kering seperti sedia kala.

Raffa mengambilnya dan bergumam, "Thanks." Hanya itu.

Rena beringsut kembali ke tempat duduknya dan berusaha keras berkonsentrasi pada materi yang ditinggalkan guru fisikanya sebelum pamit rapat. Suara Gilang yang tertawa-tawa berisik dengan Dimas membuat usahanya gagal terus.

"Ren."

Bahunya menegang.

Selama beberapa detik otak dan batinnya beradu pendapat antara menoleh saja atau berpura-pura tak dengar. Refleksnya menang. Ia kontan menoleh dan menyahut dengan suara nyaris berupa gumaman, "I–ya, Raf?"

"Gue boleh ganggu lo bentar?" Untuk sepersekian detik, Rena yakin bahwa Raffa ternyata juga terdengar canggung. Mata laki-laki itu kemudian bergerak ke buku yang semula dibaca Rena, dan tiba-tiba bibirnya bergerak menahan senyum.

"Kenapa?" Rena mengerjap tambah gugup.

"Gue kira lo dari tadi belajar, keliatannya fokus banget," sahut Raffa lebih relaks. "Ternyata lagi bacain Daftar Pustaka."

Merahlah telinga Rena, rasa malunya menjalar dari wajah hingga kaki. Ia mengutuk meja mereka yang bersampingan sekaligus berdekatan. Rena jadi menusuk-nusuk telapak tangannya dengan kuku, menghukum diri sendiri.

"Santai aja, kali." Raffa menggedikan bahu. "Gue cuma mau ngomongin soal musikalisasi puisi."

"Oh, kenapa?"

"Kayaknya gue baru bisa mulai latihan minggu depan."

"Oh." Rena merasa diksinya menyempit. Ia hanya bisa bertanya, "Kenapa?" lagi.

"Gue ada urusan."

"Oh."

"Gak nanya kenapa ada urusan?"

Rena menatap Raffa dengan alis terangkat. Setengah berharap laki-laki itu hanya bergurau untuk mencairkan suasana, setengah berharap Raffa menarik kembali saja ucapannya itu. Sebab nyatanya atmosfir jadi terasa makin canggung. "Itu kan privasi, buat apa gue tanya."

Jeda sejenak, Raffa mengamat-ngamatinya tanpa bicara. Ia lalu mengangguk paham. "Ok. Gue minta LINE lo deh, biar gampang ngehubunginnya."

Betapa Rena berharap bisa bergabung dengan Gilang yang sedang bercanda tentang sempak Hulk ketimbang harus bicara dengan Raffa yang membuatnya salah tingkah tanpa alasan.

"Gue ada di group kelas kok, add dari sana aja." Rena menjaga suaranya agar terdengar biasa.

"Gue belum gabung group kelas."

"Oh..."

Raffa dengan spontan mengambil ponsel Rena yang semula ditaruhnya di laci meja. Laki-laki itu menambahkan dirinya sendiri ke contact LINE sang perempuan, lalu mengembalikannya sambil tersenyum tipis.

"Nanti gue add back. Jangan lupa invite gue ke group kelas ya, Ren." Bersamaan dengan itu, si pelaku melangkah keluar kelas.

***

Gilang tidak pandai dengan segala sesuatu yang menyangkut angka, kecuali menghitung uang jajan, itu perkara lain. Tetapi ada angka-angka tertentu dalam kalender yang selalu diingatnya, dan Gilang tidak pernah bisa berhenti menghitung mundur hingga tanggal tersebut tiba.

Ia tidak sedang menunggu hari selebrasi, atau hari libur yang sebenarnya memang merupakan favorit Gilang. Laki-laki itu sedang menunggu hari yang jauh lebih spesial.

Suasana koridor sangat ramai, tipikal jam pulang sekolah, ketika Gilang lari untuk menahan Rena dengan cara menarik tas punggungnya. Membuat perempuan itu nyaris terjengkang ke belakang.

"Ngapain sih, otak ayam!" seru Rena kesal. Disikutnya rusuk Gilang sambil menemukan kembali keseimbangan tubuhnya.

"Lo jalannya cepet banget sih!" Gilang balas berseru, sebelum melirik Risa dan Laras sekilas. "Eh, Rena pulang bareng gue ya?" 

"Lah ngomong sama gue, emang gue emaknya." Risa mendengus. Laras hanya menahan-nahan senyum dan tiba-tiba tertarik dengan kuku jemari tangannya.

Satu lagu sikutan Rena hadiahkan pada rusuk Gilang. "Gue bisa pulang sendiri."

Saat inilah yang tepat bagi Gilang untuk memberikan jurus tatapan tajamnya pada Risa dan Laras, meminta dukungan spontan yang untungnya langsung dimengerti oleh Laras. Sedangkan Risa, entah kenapa, menghindari tatapannya. Gilang tidak mau ambil pusing.

"Eh, Ren! Gojek gue udah sampe nih. Gue duluan ya!" kata Laras yang tak sepenuhnya bohong. Ia sekalian menarik tangan Risa agar menjauh dari tempat kejadian perkara.

Rena mendengus kesal. "Mau ngapain lagi sih, Lang! Gue kan udah janji mau bantu nyokap–"

"Bantu di kafe, kan?" potong Gilang. "Tenang, gue nggak akan nyulik lo lama-lama kok."

"Hah?"

"Temenin gue, ya?" 

Tatapan Gilang yang serius membuat Rena terdiam sebentar. Ragu-ragu, namun tetap bertanya, "Temenin apa?"

"Gue mau, eh, jenguk Gita," jawab Gilang dengan suara pelan, nyaris tak terdengar apabila Rena tidak mencurahkan seratus persen perhatiannya pada si laki-laki. "Peringatan hari lahirnya."

Rena bisa melihat senyum Gilang yang dipaksakan. Dan Rena tahu ia tidak bisa menolak.

Rena menyentuh pelan tangan Gilang yang terkepal dan membalasnya dengan senyum tipis. "Ayo, Lang, kita nyekar makam Gita."

Sudah enam tahun berlalu, Gita tak lagi berulang tahun.

Sudah enam tahun berlalu, sejak kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Gita.

Keduanya sama-sama kehilangan pada momen yang sama. Penyebab yang sama. Dan melalui rasa sakit yang sama.

Jadi, benar adanya, bahwa luka yang mempersatukan mereka. Tapi siapa pun juga tahu, luka juga mampu memisahkan.

"Abis itu gue ikut bantu kafe nyokap lo deh," kata Gilang sambil berusaha menyengir, mencari kembali keceriaannya yang sempat sirna.

Rena mendengus bercanda. "Nanti yang ada lo cuma ngerepotin."

"Weitseh, jangan remehkan Master Gilang!"

"Bacot, ah! Udah ayo cepet, nanti nyokap gue ngoceh-ngoceh nih!"

Cara Gilang membagi bebannya pada Rena, tanpa sadar telah membuatnya bersandar pada seseorang yang sekarang bahkan sedang menatap punggung laki-laki lain. Raffa lagi, Raffa lagi. Gilang berusaha keras untuk bersikap biasa. Bukankah seharusya memang begitu?

***

[ RUR ]

20/03/17

Halooo! Ada yang kangen gak? Ehehehe. Setelah hiatus, akhirnya bisa post parti ini :"> Maaf kalo agak-agak kaku, entah kenapa masih kerasa writer's block. Kritik dan sarannya akan sangat membantu ya! Terima kasih buat yang bertahan baca ini huhu aku padamu <3

Continue Reading

You'll Also Like

41.2K 4.8K 25
Jemari pendek yang sedikit gemuk miliknya mengepal erat. Kukunya menusuk telapak tangan. Mulutnya terkatup rapat, giginya saling menekan. Seluruh emo...
1.4K 279 21
Di antara arak-arakan payung orang yang berlalu lalang, mereka bertemu lagi. Tak ada tegur dan sapa yang mendahului. Hanya ada deruan napas yang meng...
Lost By Nur Azizah

Teen Fiction

339 231 40
Jika Arini bisa menghilangkan apa saja yang ada di bumi, maka hal pertama akan jatuh kepada hari Rabu. Bagi Arini, hari Rabu hanya datang untuk memba...
1M 8.2K 5
Trilogi "You" pindah ke Innovel/Dreame Sa_Saki ya... Insya Allah di sana ada beberapa bab tambahan yang kalian belum baca hehe :D Selamat bernostalgi...