Aku, Kamu Dan Dia

By apriyana_cahyaputri

1.3M 46.2K 1.3K

"Saya terima nikah dan kawinnya, Aina Talita Zahran binti alm Agus Zahran dengan maskawin tersebut tunai," u... More

Prolog
1. I Love You
2. Awali Pagimu dengan Senyuman
3. Awal Dari Segalanya
4. Pertemuan yang Tak Terduga
5. Perkenalan yang berlanjut
6. Ancaman Yang Menjadi Kenyataan
7. Pilihan yang Sulit
8. Istri Kedua
9. Sah
10. Hamil
11. Pulang
13. Awal dari Sebuah Bencana
14. Pembohong
15. Terkuak
Pengumuman
OPEN PO
play store

12. pulang II

40K 2.6K 89
By apriyana_cahyaputri

Aina sedang menyiapkan bahan untuk makan malam ketika ponselnya berdering. Dia tersenyum senang ketika abangnya menelpon.

"Assalamualaikum, Kak." terdengar suara balasan salam dari abangnya.

"Kenapa jarang hubungi Kakak sekarang, Ai? Apa kamu lagi sibuk?" Vino memang suka to the point, tidak suka basa-basi.

"Seharusnya Kakak nanya, 'sehat nggak, Ai?' atau "udah makan apa belum?' ini langsung diomelin."

Aina dapat mendengar gelak tawa, dia yakin Vino dan Varrel sedang menertawainya.

"Apa yang lucu sih, Kak?" Aina cemberut ketika suara tawa mereka semakin terdengar. "Udah ah, aku tutup teleponnya." ancamnya.

"Eh, kok malah ngambek sih, Ai. Kakak nggak menertawakan kamu kok. Ada yang lucu di TV jadi Kakak ketawa." bujuk Varrel.

Aina melirik jamnya. Perbedaan waktu Indonesia dan Singapura hanya satu jam. Biasanya setiap jam segini, mereka bertiga akan duduk didepan televisi dan menonton sitcom. Walaupun Vino terlihat kalem dan jarang tersenyun tapi Vino-lah yang tertawanya paling kencang diantara mereka. Bahkan Aina dan Varrel tertawa bukan karena menertawakan komedi yang ditayangkan melainkan menertawakan tawa Vino. Agh, jika dipikirkan lagi, dia dan Varrel memang konyol.

"Aku nggak ngambek, Kak. Aku cuma kesal."

"Sama saja, Ai. Kamu udah makan belum? Sehatkan? Sibuk nggak?" Varrel terkikik sendiri mendengar kalimat yang dia tanyakan.

"Udah ah, aku sibuk. Tutup dulu ya Kak."

"Eh, jangan ngambek dong. Kakakkan cuma menjalankan apa yang Ai mau. Udah ditanyakan tadi?" tidak ada jawaban dari Aina. "Tahu nggak Ai, tadi aku ketemu sama pakdhe Jarwo." Varrel mencoba mengalihkan perhatian.

Aina mengerutkan kening, sepertinya nama itu sangat familier. "Siapa ya Kak?" tanya Aina penasaran.

"Kamu pasti lupa. Dia itu Sahabat Papa kamu. Beliau suka berkunjung ke sini membawa makanan pesanan kamu ketika beliau berkunjung ke rumah. Terakhir berkunjung sepertinya kamu kelas tiga SD." jelas Vino.

Aina masih tidak mengingatnya. Agh, ternyata ingatannya buruk sekali. Bagaimana dia lupa pada orang yang selalu membawakan makanan untuknya?

"Masih lupa? Dia sering bawa lumpia dan winko babat." Vino mencoba untuk mengingatkan.

Perutnya berbunyi nyaring ketika Vino mengatakan tentang makanan. Sepertinya makan lumpia dan winko babat tidaklah begitu buruk, dia menginginkannya. Tapi masalahnya apakah pakdhe Jarwo mempunyai cabangnya disini?

Aina menganggukkan kepala. "Aku ingin makan itu, Kak." sepertinya ini yang dinamakan ngidam karena dia benar-benar ingin makan lumpia dan winko babat buatan pakdhe Jarwo.

"Kalau kamu mau, pulang dong. Pakdhe Jarwo bawanya banyak. Dia tidak tahu kalau kamu tidak disini, kamu kan sering makan dua porsi. Dia juga ikut berbela sungkawa atas meninggalnya orang tua kita." kata Vino diakhir kalimatnya.

Aina tertegun mendengar kalimat terakhir Vino. Sudah lama sekali Aina tidak mengunjungi mereka. Biasanya, Vino yang selalu mengajak Aina untuk sesekali berziarah ke makam orang tuanya, dia bukannya tidak mau pergi tapi dia masih belum sepenuhnya ikhlas untuk kepergian orang tuanya karena pelaku penabrak itu belum diketahui sampai sekarang.

"Kak, udah dulu ya. Aku mau mengerjakan tugas dulu." Aina menahan tangis yang akan keluar, lebih baik mengakhiri teleponnya sekarang daripada membuat kedua abangnya khawatir.

"Ya sudah. Nanti kakak telepon lagi. Kamu hati-hati disana, jangan terlalu percaya sama orang asing, jangan lupa makan dan yang paling penting jangan pacaran sama orang sana, Kakak nggak rela." nasihat Varrel, sedangkan Aina hanya menganggukan kepala. Walaupun dia tahu Varrel tidak bisa melihatnya. Setelah salam Aina memutuskan teleponnya.

Aina meninggalkan makanannya begitu saja. Dia menuju kamar tidur, membuka koper yang berada dipojok kamar. Sejak pindah ke apartemen ini Aina memang tidak pernah memasukkan pakaiannya dalam almari karena dia tahu apa yang dia tempati sekarang bukanlah miliknya dan suatu hari dia akan meninggalkan tempat ini. Hanya jaket yang tersimpan di lemari.

Aina menemukan foto orang tuanya. Mengusap foto itu dengan rindu. Aina rindu akan banyolan ayahnya, Aina rindu akan masakan bundanya. Aina rindu akan kehadiran mereka disisi Aina.

Aina mengusap pipinya yang basah karena menangis. Dia tersenyum ketika perutnya malah berbunyi, Aina mengelus perutnya. "Kamu lapar ya, Nak. Maafin Bunda ya. Kamu mau makan apa? Hm, Bunda ingin makan lumpia dan wingko babatnya pakdhe Jarwo. Disini pasti nggak ada cabangnya. Apa kita pulang ke Indonesia saja, ya?" tanya Aina pada dirinya sendiri. "Papa dan Mama kamu, kesininya pasti minggu depan. Jadi, kita punya waktu. Kita beberapa hari disana terus pulang ke sini lagi ya. Kita sembunyi-sembunyi saja, jangan sampai ketahuan." Aina memantapkan tekadnya.

Tiga bulan sejak dia tahu hamil. Meta dan Zico memang jarang menemuinya. Dia tahu Zico orang yang sibuk, jadi tidak mungkin dia selalu berada didekatnya sedangkan Meta dia sudah mengundurkan diri dari dunia hiburan, Meta memilih untuk fokus pada keluarganya.

Aina memang jarang bertemu dengan Meta, terakhir kali dia bertemu mungkin dua minggu lalu. Sedangkan dengan Zico tiga hari yang lalu. Itu juga karena Zico sedang dalam bisnis. Itu adalah pertama kalinya Zico berkunjung tanpa Meta disisinya.

Aina tersenyum ketika mengingat beberapa hari lalu.

"Bunda kangen bakso. Kita beli bakso yuk, Nak." ucap Aina sambil mengelus perutnya. Aina baru akan berangkat ketika dia mengingat tidak mempunyai uang Singapura sedikitpun. Lebih parahnya lagi dia tidak tahu tempat apapun yang ada di Singapura. Aina menghela napas kecewa. Mbak Darmi, pembantu yang dikerjakan Meta libur seminggu kedepan karena akan pulang ke Indonesia. Sekarang tidak ada orang yang diminta tolong, biasanya dia dan mbok Darmi akan berbelanja bersama atau mengantar ke suatu tempat terdekat yang Aina ingikan.

Suara pintu terbuka mengagetkan Aina. Aina mengambil bantal paling dekat dan mendekapnya erat, berdiri dan menghadap kearah pintu. Dia takut pencuri yang akan masuk kedalam apartemennya walaupun itu mustahil karena ketatnya penjagaan apartmen. Dia merasa lega ketika Zico yang datang.

"Kakak datang?" entah sejak kapan Aina memanggil Zico kakak. Zico juga sepertinya tidak keberatan Aina memanggilnya kakak.

"Aku sedang menemui client disini. Sekalian saja mampir." ujar Zico datar.

Aina bersyukur Zico tidak memasang wajah tidak sukanya. Akhir-akhir ini Zico memang sedikit berubah, dia lebih hangat padanya.

"Kak Meta mana?" tanya Aina mencoba mencairkan rasa canggung diantara mereka.

"Dia tidak ikut. Dia sedang sibuk menyelesaikan kontrak sebelum benar-benar keluar dari dunia hiburan."

Aina menganggukkan kepala. Dia tahu Meta sangat menyukai dunia modelling, keluar dari dunia yang disukainya memang keputusan yang berat. Aina salut akan keputusan Meta. Itu artinya anaknya kelak akan mendapatkan kasih sayang yang sangat banyak dari papa dan mamanya.

Tanpa terasa Aina mengusap perutnya pelan. Zico memperhatikan gerakan yang dilakukan Aina, dia memandang perut Aina yang sudah membuncit.

"Agh, dia gerak." Aina mengelus perutnya yang bergerak. "Anak Bunda pintar ya. Gerak terus kalau ada Papa disini, tapi Mama nggak disini sayang." Aina larut dalam pembicaraannya sendiri, mengabaikan Zico.

Zico akan melangkahkan kakinya ke arah Aina ketika Aina berkata bayinya bergerak. Sungguh, dia ingin mengelus pelan perut Aina. Langkahnya terhenti ketika Aina mengatakan 'mama', Zico tahu yang dimaksud mama adalah Meta.

Zico memejamkan mata. Dia memang pernah berkata pada Meta jika dia sudah bahagia hidup berdua tanpa kehadiran bayi diantara mereka. Kini semuanya itu berbalik, sejak Aina dinyatakan hamil Zico menginginkan bayi itu, menjaga bayi itu dan merasakan gerak bayi itu ditangannya sendiri, mungkin naluri seorang ayah. Tapi disisi lain dia ingat Meta, dia takut kehilangan Meta lagi, sudah cukup dia merasa menderita tanpa kehadiran Meta disisinya. Dia juga bersyukur Meta tidak menanyakan lebih lanjut tentang penabrak itu.

Zico memang pergi ke Singapura tanpa sepengetahuan Meta dan tidak ada client yang dia temui. Dia ingin melihat perkembangan bayinya. Dia memang membenci Aina karena dia harus menanggung semua kesalahan yang tak pernah dilakukannya. Tapi, sejak Aina hamil dia dapat membuka matanya yang tertutup, dia tidak bisa menyalahkan Aina sepenuhnya karena Aina juga termasuk korban dalam keadaan ini. Aina juga tidak tahu apapun tentang kejadian itu.

"Kenapa kakak disini?" tanya Aina, membuyarkan lamunan Zico.

"Aku ingin mengantarkan kamu check up." ujar Zico terbata.

"Ah, apa ini waktunya?" lirih Aina pada dirinya sendiri. "Aku siap-siap dulu, ya Kak," Zico menganggukkan kepala. Sambil menunggu Aina mengganti pakaiannya, Zico tidak tahu harus melakukan apa. Dia hanya bolak-balik. "Ayo, Kak. Kita pergi sekarang." Zico mengerutkan kening, ini baru beberapa menit tapi Aina sudah siap. Bahkan ketika mengajak Meta ke suatu tempat dia harus membuat janji sejam sebelumnya karena Meta sangat menjaga penampilannya.

*

"Selamat siang, Paman." salam Zico ketika mereka sudah duduk diruang dokter.

Paman Zico tersenyum. "Bagaimana kabar kalian?" tanya dokter sambil melihat beberapa kertas tentang kondisi Aina.

"Baik, Dokter." jawab Aina.

"Kamu ini, disuruh panggil paman aja nggak mau. Kamu sudah termasuk keluarga besar Runako, sudah sepantasnya kamu menyebut Paman padaku." nasihat paman Zico.

Aina hanya tersenyum, dia sungguh bersyukur paman Zico tidak pernah menganggapnya sebagai perebut suami orang. Dia juga tidak pernah memandang rendah dirinya. Dia memperlakukan Aina seperti keluarganya sendiri.

"Ya sudah kita mulai pemeriksaannya." kata paman Zico.

Aina disuruh berbaring terlentang disebuah ranjang, bajunya disingkap sedikit, seorang perawat mengoleskan sesuatu pada perutnya. Setelah itu paman Zico meletakkan sesuatu pada perut Aina.

"Lihat janinnya hampir terbentuk sempurna," paman Zico memperlihatkan gambar di monitor. "Telinga, kaki dan tangannya sudah mulai terbentuk. Apa kalian ingin mendengar detak jantungnya?"

Aina mengangguk dengan cepat. Aina menahan tangisnya ketika dia bisa mendengar detak jantung anaknya. Suara termedu yang pernah didengarnya.

Zico memang pernah mengantarkan sepupunya untuk check up, dia juga pernah mendengarkan detak jantung bayi dalam kandungan sebelumnya. Tapi dia tidak pernah merasakan apapun, tapi sekarang berbeda dia merasakan dorongan kuat untuk menjaga bayi itu. Zico masih diam terpaku mendengar detak jantung bayi, dia sungguh ingin berteriak pada dunia jika dia sebentar lagi akan menjadi ayah. Dia akan memiliki seorang anak. Pandangannya tak teralihkan sama sekali pada monitor. Disana, ada bayi yang akan memanggilnya ayah.

Aina memperhatikan foto bayi mereka sepanjang perjalanan menuju parkir, Aina sesekali menggumamkan sesuatu dan tersenyum. Zico yang berada disampingnya tersenyum, ini adalah pertama kali dia melihat Aina tersenyum disampingnya.

"Ai, kenakan seatbelt kamu." pinta Zico yang ternyata tidak didengarkan Aina karena masih fokus pada foto tersebut.

Karena tidak sabar Zico mendekatkan badannya kearah Aina, bermaksud memasang seatbelt. "Eh," Aina menjatuhkan foto itu karena kaget. Zico sangat dekat dengannya, Aina bahkan bisa merasakan hembusan napas Zico diwajahnya. Jantungnya berdetak keras karena Zico adalah pertama kalinya Zico dekat dengannya. Aina tidak bergerak sama sekali, tubuhnya mendadak kaku karena terkejut, dia bahkan melupakan bagaimana caranya bernapas.

"Seatbelt," kata Zico akhirnya. Zico kembali duduk tegak seperti semula.

Mereka diam beberapa saat. Aina ingin melihat foto itu kembali untuk menghilangkan rasa aneh pada dirinya. "Fotonya jatuh," Aina merutuki dirinya sendiri karena tidak memegang foto itu dengan kuat. Aina menghela napas sedih, bagaimana mungkin dia bisa mengambilnya ditempat seperti ini?

"Biar aku saja yang ambil," tawar Zico yang sudah melepaskan seatbeltnya, Zico menggerakkan badannya kearah Aina, tangan kirinya bertumpu pada sisi bawah kursi Aina dan tangan kanannya merogoh foto itu yang berada disamping kaki Aina. "Dapat," tidak sengaja kepala Zico menyentuh perut Aina yang membuncit ketika dia ingin duduk tegak. Zico ingin bangkit ketika merasakan sesuatu yang bergerak. "Apa dia baru saja menendangku?" tanya Zico dengan raut wajah senang.

"Maaf," kata Aina lirih. Zico mengabaikan maaf Aina, dia menyerahkan foto tersebut. Tangannya yang kosong terulur pada perut Aina, mengusapnya pelan. Dia dapat merasakan bayinya bergerak didalam sana.

"Dia bergerak," ujar Zico tertawa, Zico terus meletakkan tangannya pada perut Aina.

Aina bersyukur dalam waktu tiga bulan sikap Zico berubah, dia bisa menerima Aina sebagai istrinya walaupun dia istri siri. Dia juga mulai menerima bayi dalam kandungannya. Sikap Meta juga sedikit berubah, Aina yakin kakaknya itu akan kembali seperti dulu lagi.

"Ayo kita makan bakso, aku sedang menginginkannya," ujar Zico sambil menyalakan mobilnya. Ternyata keinginan makan baksonya terlaksana juga hari ini.

'Apa kamu punya ikatan batin yang kuat dengan papa, ya Nak. Sampai keinginan kita juga sama.' batin Aina.

*****

Aina sudah sampai di Indonesia pada malam hari, dia langsung menuju hotel yang sudah dipesannya. Dia hanya memesan standart room.

Aina baru saja duduk ditepi ranjang ketika seseorang menggedor pintu kamar hotelnya. Apakah pelayanan hotel ini buruk? Bagaimana mungkin ada yang menggedor pintunya seperti preman menagih hutang?

"Ya, sebentar." kata Aina melangkahkan kaki menuju pintu. Aina sangat terkejut ketika mendapati seseorang yang dikenal didepannya.

"Kenapa kakak bisa tahu aku disini?"

♦♦♦♦♦

Maaf ya alurnya aku cepetin. Aku ingin segera sampai konflik soalnya,,, #ketawasetan

Sebenarnya mau update dari kemarin. Aku udah ngetik capek2 udah hampir 1rb kata. Nggak kesimpen terus ilang deh.. Ya sudah, stop nulis,,, tapi waktu lihat rank #17 jdi sedikit ilang marahya 😳 ngetik lagi walaupun pasti beda rasa #uhuy

Penulis amatir, yang mencoba menghilangkan kegalauan dihari minggu. #jomblo

Selamat membaca😗

Sukabumi, 26 Februari 2016

Continue Reading

You'll Also Like

235K 12.7K 35
[SELESAI || Romance - Spiritual - Travelling] Bandara, menjadi salah satu tempat bersejarah untuk seorang Najla Hilyah Mumtazah. Meski hampir tiap bu...
32.3K 1.5K 12
#Storypenses1 Bagaimana rasanya menjadi seorang istri tapi tak pernah dianggap oleh suami mu sendiri. Kamu menjalankan semua kewajiban mu tanpa ada s...
29K 5.3K 27
Namaku Radya Alluna, cewek biasa yang nggk ada istimewanya kecuali kesayangan ayah bunda. Usia tujuh belas tahun, bentar lagi aku lulus SMU dan berci...
776K 23.9K 16
#KARYA 6 "Saya mau Anda jadi narasumber untuk tulisan saya, Pak!" "Kamu mau bayar saya berapa?" Untuk beberapa saat Dini... melongo. Ini kisah asam...