Aku, Kamu Dan Dia

By apriyana_cahyaputri

1.3M 46.2K 1.3K

"Saya terima nikah dan kawinnya, Aina Talita Zahran binti alm Agus Zahran dengan maskawin tersebut tunai," u... More

Prolog
1. I Love You
2. Awali Pagimu dengan Senyuman
3. Awal Dari Segalanya
4. Pertemuan yang Tak Terduga
5. Perkenalan yang berlanjut
6. Ancaman Yang Menjadi Kenyataan
7. Pilihan yang Sulit
8. Istri Kedua
10. Hamil
11. Pulang
12. pulang II
13. Awal dari Sebuah Bencana
14. Pembohong
15. Terkuak
Pengumuman
OPEN PO
play store

9. Sah

49.2K 2.9K 146
By apriyana_cahyaputri

Setelah meninggalkan Meta seorang diri. Zico pergi ke sebuah club, dia membutuhkan pelampiasan.

Sudah lama sekali dia tidak minum karena Meta selalu melarangnya pergi. Sudah beberapa gelas diteguknya, tak perduli dengan rasa pusing yang mulai mendera, dia membutuhkan pelampiasan untuk menghilangkan stres.

"Hai," seseorang menepuk pundak Zico pelan, duduk disampingnya.

"Nando? Kapan kamu balik ke Indonesia?" sahabat lama yang sudah tidak dijumpainya hampir delapan tahun. Bahkan tidak ada kabar sama sekali.

"Dua Bulan lalu," katanya sambil memesan satu gelas. "Baru kali ini aku lihat kamu minum. Sejak kamu berpacaran dengan Mentari kamu tidak pernah minum lagi. Aku kira kamu sudah taubat."

Zico tertawa mendengar perkataan sahabatnya itu. "Aku lagi pusing. Banyak masalah akhir-akhir ini."

"Pusing? Bertengkar dengan Mentari?" ada raut khawatir, sepengetahuan Nando mereka tidak pernah bertengkar sampai-sampai Zico minum diclub. Ternyata sepeninggalnya dia, banyak yang berubah.

"Salah satunya." Zico memperhatikan isi gelas yang dipegangnya. "Aku marah sama tingkah dia. Selama delapan tahun pernikahan kita, aku selalu mencoba untuk setia. Tidak ada seorang wanita pun yang masuk dalam hidupku. Tapi sekarang! Dia menyuruhku untuk berpoligami." cerita Zico. Dia sudah sangat percaya dengan Nando, mereka tidak pernah menyimpan rahasia apapun sejak kecil. Bagi Zico, Nando seperti adiknya sendiri, sedangkan bagi Nando, Zico adalah kakaknya.

Nando menggelengkan kepala, terkejut dengan pengakuan sahabatnya itu. "Kamus serius! Kamu diizinkan untuk berpoligami?" Zico mengangguk.

"Hanya satu tahun sampai anakku lahir. Aku menikah dengan Aina hanya untuk mengandung anakku. Setelah lahir kita akan bercerai," meminum gelasnya.

"Kamu gila! Mentari gila! Kalian gila! Kamu menikah dengan Aina hanya karena ingin mempunyai seorang anak. Kalian bisa mengadopsi, bukan malah mengancurkan masa depan Aina."

Zico tertegun, menghancurkan masa depan Aina? Tentu saja bukan hanya Aina saja yang hancur, istri dan dirinya juga akan hancur. Dalam kontrak ini tidak ada yang tidak dirugikan. Bahkan bayi yang akan dilahirkan nanti akan mendapatkan imbasnya.

Semua manusia tidak akan tahu apa yang akan terjadi dalam waktu satu tahun kedepan. Apakah semua keinginan Meta akan tercapai? Dengan Zico dan Meta akan hidup bahagia bersama anak Zico dan Aina. Sedangkan Aina, pergi entah kemana meninggalkan anaknya yang tidak akan pernah memanggilnya dengan sebutan ibu atau sebaliknya.

"Adopsi? Bagaimana bisa aku mengadopsi jika Meta menginginkan anak kandung dariku?" ejeknya. "Dia terlalu terobsesi untuk memberikanku seorang penerus keluarga." lirih Zico.

Nando diam tidak menjawab, tidak tahu solusi terbaik untuk masalah sahabatnya itu.

"Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Aina. Apapun resiko yang akan datang. Aku akan bertanggung jawab, walaupun harus kehilangan Meta disisiku." Zico bangkit berdiri, melangkah keluar club walaupun dengan jalan yang sempoyongan.

Nando menghela napas, tidak mungkin dia membiarkan sahabatnya itu seorang diri. "Aku antar kamu pulang." memapah Zico dan menuntunnya kedalam mobil Nando. "Rumah kamu dimana?" tak ada jawaban dari Zico. Nando melihat Zico yang sudah tertidur dibangku belakang mobil.

"Maaf ya aku ngelakuin ini." ucap Nando pada Zico yang sudah tak sadarkan diri, kemudian merogoh saku Zico dan menemukan apa yang dia cari. Nando melihat daftar panggilan ponsel Zico, dia menemukan orang yang dia cari.

Tiga kali menelpone tapi belum juga diangkat. "Kemana Mentari sih? Kenapa tidak diangkat?" kesalnya. Karena tidak ada jawaban akhirnya Nando membawa Zico ke apartementnya.

"Air." gumam Zico, Nando membiarkan saja sahabatnya itu. "Air." teriak Zico sambil menendang-nendang seperti anak kecil.

"Ya nanti, aku kasih kamu air." Nando fokus menyetir, tapi teriakan dan tendangan-tendangan Zico membuyarkan konsentrasinya. "Baiklah, aku akan membelikanmu air sekarang." menepikan mobilnya ketika melihat minimarket. "Kamu tunggu disini, jangan kemana-mana." ucap Nando sebelum turun dari mobil. Zico masih merengek seperti anak kecil, walaupun matanya terpejam.

Nando langsung menuju tempat rak air minum. Ketika dia ingin mengambil satu botol, seseorang memegang botol itu, jadilah tangan mereka saling menumpu.

Nando menoleh, "maaf ini sudah saya incar dari tadi," katanya sambil menatap wajah perempuan itu dari samping. Nando mencebikkan bibirnya karena wanita itu masih diam saja. "Maaf bisakah tangan anda lepaskan dari botol itu?" tanyanya sehalus mungkin.

Nando terkejut ketika wanita itu menoleh. "Eh, kok nangis sih? Nggak papa, ini buatmu saja." wanita itu semakin terisak, Nando bergerak gelisah karena wanita tersebut semakin keras menangis. Beberapa pengunjung mulai memperhatikan dan berbisik-bisik.

Karena tidak tahu harus bagaimana, Nando menarik lengan wanita itu keluar minimarket. Dilihatnya kanan-kiri, takutnya ada orang yang melihat. Dia tidak mau disangka yang tidak-tidak. Setelah aman dia kembali meminta maaf.

"Maaf," sambil mengeluarkan sapu tangannya. "Aku tidak tahu kamu sangat menginginkan botol itu." celoteh Nando yang merasa tidak enak.

Setelah agak tenang wanita itu memberikan sapu tangannya pada Nando kembali. "Terima Kasih," ujarnya dan berlalu pergi.

Nando hanya melongo, "wanita aneh," langsung menuju mobilnya, lebih baik dia memberi Zico air diapartemenya daripada harus masuk kembali ke minimarket tadi.

Setelah susah payah membawa Zico masuk keapartemennya, Zico malah tidur dengan pulasnya. Nando menggeleng, kebiasaan buruk Zico saat mabuk tidak berubah.

**

Mentari yang ditinggal Zico luruh kelantai. Perkataan Zico sangat menusuk hatinya.

Yang dia lakukan sekarang adalah menangis dan meraung.  Ditepuk-tepuknya dada kirinya mungkin dengan itu bisa mengeluarkan rasa sesak yang dirasakannya.

"Dan jangan salahkan aku jika hatiku akan berubah dalam satu tahun."


Perkataan Zico bagaikan api yang membakar seluruh pertahanannya. Bagaimana dia bisa bertahan jika suaminya akan berpaling darinya?

Dia melakukan ini karena ingin membahagiakan suami dan mertuanya. Jika suaminya tidak mendukung keputusan yang diambilnya, bagaimana dengan dirinya? Apakah dia akan kembali merasakan kegelapan yang selalu menghantuinya? Tidak! Dia tidak ingin kembali kemasa-masa itu. Sudah cukup, dia merasakan kesakitan yang luar biasa.

Zico adalah penerang hidupnya, jika dia tidak disampingnya lebih baik dia menghilang dari dunia ini.

Dia rela kehilangan seluruh hartanya asalkan Zico selalu berada disisinya, menyemangati dan menenangkannya.

Didunia ini dia tidak mempunyai siapapun. Ibu yang selalu menjadi tempat keluh kasih selama ini meninggal sejak ia kecil. Ayah yang selama ini dibaggakan berubah sejak kematian ibu, dia sering meminum alkohol dan obat-obat terlarang untuk melarikan diri dari kenyataan dan berakhir overdosis.

Dia hanya ingin membahagiakan mertuanya, apakah itu salah? Dia rela menanggung rasa sakit untuk bisa melihat senyum mertua padanya. Rasanya sakit ketika mertuanya sendiri selalu memberikan cemooh dan tatapan dingin padanya. Sekali saja, dia ingin melihat mertuanya senyum tulus padanya, apakah itu salah?

Dia hanya butuh suaminya untuk tempat bersandar. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja dan akan menemaninya ketika dia memilih jalan ini. Dia akan berusaha bertahan, karena ini adalah jalan yang terbaik, menurutnya.

Tidak ada satu wanita pun yang menginginkan ada wanita lain disebelah suaminya. Tidak ada satu wanita pun yang rela untuk dimadu. Tidak ada.

Begitu juga dengan Meta, dia memang mengatakan ikhlas atau apapun itu, tapi hati kecilnya menolak semua itu. Dia tidak rela, dia tidak mau. Suaminya hanya untuk dirinya, tidak untuk siapapun. Untuk itu dia memutuskan untuk membuat kontrak itu. Hanya satu tahun, dia akan bertahan untuk satu kedepan.

Biarkanlah semua orang mengatakan dia egois, gila atau apapun itu. Dia tidak peduli karena dia percaya, suaminya akan selalu berada disisinya dan akan kembali padanya.

Meta mencoba bangkit, dia tidak boleh terlalu berlarut dalam kesedihan. Dia yakin Zico bukanlah pria yang bisa mengubah hati dengan mudahnya, Zico hanya mencintai dirinya tidak dengan wanita lain termasuk Aina

Dia menetapkan pada hatinya jika perkataan Zico hanya bualan saja, dia mengatakan itu semua karena terlalu emosi.

Dengan langkah yang gontai Meta menuju ruang tamu, dia akan menunggu Zico pulang disana. Dia yakin ketika Zico pulang Meta akan dipeluk dan dicium seperti biasanya. Karena kejadian malam ini hanya sebuah mimpi buruk.

***

Zico terbangun dengan kepala pusing yang luar biasa. Dia memegang kepala dengan tangan kirinya. Setelah pusing itu agak menghilang, dia melihat dekorasi kamar yang terasa asing baginya.

"Kamu sudah bangun?" ucap seseorang, yang sedang bersandar di pintu.

"Nando? Sejak kapan kamu di Indonesia?" Nando hanya terkekeh mendengar perkataan Zico.

"Kau sudah menanyakan itu tadi malam." Zico hanya mengerutkan dahi. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia bertengkar dengan Mentari kemudian melarikan diri ke bar untuk menghilangkan stres. Hanya itu, tapi dia tidak mengingat jika sudah bertemu Nando tadi malam, "sudahlah, kau pasti tidak mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kebiasaanmu melupakan kejadiaan saat mabuk sudah terbiasa." Zico mencoba bangkit.

"Aku harus pulang, Meta pasti mencariku," ujarnya. Semarah-marahnya pada Meta tak mungkin dia meninggalkannya seorang diri dirumah. Dia tidak akan tenang jika belum melihat istrinya baik-baik saja.

"Sebaiknya kau istirahat dulu," saran Nando, Zico menggelengkan kepala, dia hanya ingin menemui istrinya.

Zico pulang mengendarai taksi karena mobilnya masih berada di club. Dia membuka pintu rumah yang ternyata tak terkunci. Dia hanya mengulum senyum sedih ketika melihat Meta yang meringkuk disofa. Dia yakin istrinya itu menunggu semalaman.

Di berjongkok disamping Meta, menelusuri wajah pulas Meta. Matanya terlihat membengkak, dia pasti menangis semalaman ini. "Kenapa kamu lakukan ini? Apakah kehadiranku saja tidak cukup untuk membuat keluarga kecil kita bahagia?" jeda sejenak. "Aku mencintaimu apa adanya. Aku tidak peduli kamu mandul atau apapun itu, hidupku sudah sempurna karena kamu sudah berada disampingku."

Meta menggeliat dari tidurnya, membuka matanya perlahan. Dia tersenyum ketika melihat wajah suaminya. "Kau sudah pulang?" tanyanya dengan suara serak. Meta mencoba bangkit, menepuk-nepuk sisi sofa supaya suaminya duduk disampingnya. "Semalam aku bermimpi buruk. Kamu meninggalkanku." menyandarkan kepalanya pada bahu Zico. "Berjanjilah padaku jika kamu tidak akan meninggalkanku."

Zico menghela napas panjang. "Aku berjanji. Kamu juga harus berjanji akan terus bersamaku apapun yang terjadi nanti." Meta mengangguk, dia tidak akan pernah meninggalkan Zico karena dia mencintai Zico sepenuh hatinya.

Zico memeluk Meta, istri yang dirindukannya.

"Maafkan aku karena aku tidak jujur padamu. Semoga kau menepati janjimu, Meta. Aku akan melakukan apapun untukmu asal kau bahagia. Aku mencintaimu." batin Zico.

****

"Kamu sudah datang?" tanya Varrel yang sedang berbaring.

"Kemana yang lain?" tanya Aina, karena disana hanya ada Varrel seorang diri.

"Mereka menemani Vino melakukan terapi." jawab Varrel.  "Kamu kenapa? Beberapa minggu ini kamu terlihat sangat lesu dan tak bersemangat. Apa yang membuatmu seperti ini?" tanya Varrel penasaran.

"Aku hanya bosan dan capek. Sepertinya aku akan mengundurkan diri dan mencari pekerjaan baru." Aina tidak berani menatap Varrel. Dia pasti akan langsung ketahuan jika dia sedang berbohong.

Varrel menatap Aina yang terus menunduk mengupas jeruk. Dia tahu jika Aina sedang berbohong, dia menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya dia bersabar sampai Aina mau membuka masalah yang sedang dihadapinya.

"Kalau ada apa-apa cerita denganku. Jangan simpan sendiri, aku dan Vino pasti akan membantu sekuat tenaga." Aina mengangguk.

Beberapa hari yang lalu Meta menghubunginya. Dia mengatakan akan mengurus semua keperluan untuk pernikahan sirih antara Zico dan Aina.

Dia bingung harus mengatakan apa kepada kedua abangnya itu?  Tidak mungkin dia menghilang selama setahun tanpa kabar sama sekali. Tidak mungkin juga dia menceritakan persoalan yang dialaminya pada kedua abangnya. Tentu saja mereka tidak akan pernah setuju dengan keputusan yang diambilnya. Apalagi kondisi mereka sekarang, dia tidak ingin menambah beban.

"Aku ingin belajar memasak keluar negeri." mungkin dengan alasan ini dia bisa pergi dengan tenang.

"Luar negeri? Kenapa mendadak sekali?" tanya Vino yang baru saja masuk dengan menggunkan kursi roda.

"Memangnya nggak bisa belajar disini saja?" tanya mama Vino, kemudian duduk disamping Aina.

"Nggak mendadak kok. Aku sudah memikirkannya dari dulu, cuma baru sekarang terealisasi." jawab Aina. "Pengen cari hal yang baru, Bu." tersenyum kearah mama Vino.

"Ibu setuju saja. Asal kamu sering kabari kami." Aina mengangguk senang.

"Bagaimana dengan mereka?" melihat kearah Vino dan Varrel.

"Kita bukan anak kecil lagi. Kejar dulu keinginanmu, setelah selesai langsung balik kesini lagi. Aku nggak akan tenang kalau kamu lama disana." kata Varrel. Aina bersyukur mempunyai keluarga baru yang sangat perduli dan menyayanginya.

"Kamu disana dengan siapa? Aku nggak akan tenang jika kamu dinegara orang sendirian. Lebih baik kamu belajar disini saja." Varrel memang sedikit proktetif pada Aina.

Aina menggelengkan kepala. "Aku sama Tika kesananya, jadi kalian nggak usah khawatir." mereka mengangguk senang, setidaknya ada orang yang dihubungi jika terjadi sesuatu pada Aina.

"Kapan kamu berangkat?" tanya mama Vino.

"Minggu sekarang." kata Aina.

"Ya sudah. Kamu hati-hati, hubungi kakak setelah kamu sampai disana." Aina mengangguk, memeluk mama Vino yang berada disampingnya. Mama Vino mengusap-usap lembut punggung Aina.

***

Aina memasukkan pakaian yang dibutuhkan kedalam koper. Setelah selesai dia mengelilingi rumah yang ditinggalinya selama ini, dia pasti akan merindukan rumah ini.

Suara klakson mobil menghentikan kegiatannya. Aina langsung menuju Sumber suara. Disana sudah ada Meta yang berdiri didekat pintu mobil sedangkan Zico tidak keluar memilih untuk duduk didalam.

Meta memberi kode untuk segera masuk kedalam mobil. Aina mengangguk kemudian membawa koper dan memasukkannya dalam bagasi.

Selama perjalan menuju villa tidak ada satupun yang berbicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan Meta yang biasanya cerewet pun kini terdiam, sesekali melirik Aina yang duduk dibangku belakang.

Meta memejamkan mata. Bahkan sekarang rasanya sangat sakit melihat wajah Aina. Apa yang harus dilakukannya? Dia menyayangi Aina seperi adiknya tapi mengingat dia akan menikah dengan suaminya rasa benci itu muncul.

Mereka sampai Villa sore hari. Gerimis rintik-rintik menyambut kedatangan mereka.

"Kamar kamu ada dilantai dua. Terserah mau pakai yang mana. Perni-acara akan dimulai nanti malam, bersiaplah." kata Meta sambil berlalu pergi. Meta bahkan tidak sanggup mengatakan pernikahan. Rasanya terlalu sakit untuk mengucapkan kata itu.

Aina diam melihat kepergian Meta. "Kenapa kak Meta berubah?" lirih Aina, perkataan dingin Meta membuat Aina semakin sedih.

Jam delapan malam tiba, Aina turun keruang tengah, disana sudah ada beberapa orang menunggu kehadirannya.

Aina hanya memakai dress panjang berwarna hijau. Suasana ruang tengah menjadi lebih mencekam ketika kata sah terdengar.

Ketika kata sah terdengar, Aina menundukkan kepala, tidak bisa menahan tangisnya. Dia tahu dia sudah berbuat dosa karena menjadi pihak ketiga dalam pernikahan Meta dan Zico. Dia juga tahu telah berdosa karena mempermainkan sebuah ikatan resmi pernikahan dengan sebuah kontrak.

Aina membalikkan badannya, ingin sekali merengkuh Meta dan mengucapkan kata maaf ribuan kali karena mengusulkan ide ini.

Tapi perkataan Meta membuatnya luluh lantak. Tidak ada figur kakak yang selama ini selalu hangat menyambutnya. Kini hanya ada sosok orang asing yang menyambutnya dengan tatapan dingin.

Setelah kepergian Meta, tangis Aina semakin menjadi. 

"Aina." panggil Zico. Aina tidak mmperdulikan panggilan Zico dia hanya terus menangis dan menangis.

Zico yang melihat Aina haya tersenyum getir, tidak tahu harus berbuat apa. Suka ataupun tidak Aina sekarang telah menjadi istrinya, tanggung jawabnya.

Zico memang membenci Aina karena dengan mudahnya telah menerima kontrak konyol yang dibuat oleh Meta. Dia membenci Aina karena dengan mudahnya telah menandatangani kontrak itu karena uang. Dia membenci Aina karena dia harus menanggung semua kesalahan masa lalu. Tapi dia tidak bisa membiarkan seorang wanita menangis dihadapannya.

Zico menghampiri Aina, duduk disebelahnya. Mengusap-usap punggung Aina, mungkin dengan cara itu dia bisa menenangkan wanita itu.

"Maaf," lirih Aina disela tangisnya. Zico hanya diam tak bersuara.

Meta yang melihat kejadian itu tersenyum perih. Baru beberapa menit menjadi istri Zico, dengan mudahnya Aina merebut Zico dari sisinya.

"Kamu memang jahat, Aina."

*********

Waktu buka wattpad... WOW dapet rank 26,,,
Terima kasih semuanya....

Sukabumi, 1 Februari 2017

Continue Reading

You'll Also Like

105K 4K 34
[Sedang dalam tahap REVISI! Yang sudah ada centang berarti sudah di revisi] Kisah perjalanan seorang model yang bercita-cita menjadi seorang pramugar...
32.3K 1.5K 12
#Storypenses1 Bagaimana rasanya menjadi seorang istri tapi tak pernah dianggap oleh suami mu sendiri. Kamu menjalankan semua kewajiban mu tanpa ada s...
203K 10.8K 25
Rahma Azzahra hampir tiga tahun memiliki rasa yang ia sebut rasa yang tak bernama kepada Keandra Malik, teman sekolahnya. Andra adalah cowok dingin y...
3.5K 948 25
READY EBOOK DI PLAYSTORE Karenina Aprilia, seorang mahasiswi tingkat akhir yang mudah terbawa perasaan pada cowok tampan di kampus. Tapi, ia anti ban...