Uptown Girl [COMPLETED]

By elship_L

47.2K 5.8K 775

[COMPLETED] ================================================== Apa yang ada dibenakmu ketika menden... More

Uptown Girl | BLURB
UG 1 | Sooji
UG 2 | Myungsoo
UG 4 | Myungsoo
UG 5 |Sooji
UG 6 |Myungsoo
UG 7 |Sooji
UG 8 |Myungsoo
UG 9 |Sooji
UG 10 |Myungsoo

UG 3 | Sooji

3.5K 603 88
By elship_L

Aku menggigit bibir dengan perasaan kalut, setelah fase menegangkan yang tadi kualami ketika melihat sosok putra bibi Sooae yang ternyata salah satu pelanggan club tempatku bekerja, aku dipaksa untuk tetap masuk ke dalam rumahnya. Dipaksa mengganti pakaian dengan menggunakan pakaian putri bibi Sooae, dan terakhir aku dipaksa untuk bergabung bersama di meja makan.

Aku memiliki rumah sendiri dan jaraknya hanya berapa langkah dari rumah ini tapi bibi Sooae bersikeras menahanku dirumahnya dan melarangku pulang sebelum menghabiskan sarapan yang ia siapkan. Dan akhirnya aku tidak mampu menolak, aku hanya pasrah diseret ke meja makan. Berusaha untuk menghindari kontak mata langsung dengan putra bibi Sooae.

Demi tuhan! Dia salah satu pria itu, pria yang berada di ruang VIP laknat itu. Dia salah satu pria yang ikut mengerjaiku.

Ah, ya--Sehun telah mengatakan jika pria-pria kurang ajar itu adalah teman karibnya dan mereka menyampaikan permintaan maaf padaku atas kekonyolan mereka. Saat itu Sehun mengatakan dengan santainnya jika teman-temannya hanya bercanda, disaat aku sudah setengah mati menahan kesal dan malu karena diperlakukan seperti wanita murahan mereka dengan entengnya mengungkapkan permintaan maaf? Bahkan tidak secara langsung.

How gentlement they are!

Dan sekarang aku terjebak bersama salah satu dari mereka. Macam orang yang sangat kuhindari selama ini.

Aku bukannya tidak menyadari tatapan pria itu saat ini, namun sebisa mungkin aku mengabaikannya. Tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kumpulan orang-orang bodoh seperti mereka.

"Oh ya Sooji, kenalkan ini anakku. Namanya Myungsoo," aku dengan sangat terpaksa mengangkat wajah dan menatap bibi Sooae, mengulas senyum kecil pada wanita itu sebelum melirik putranya.

"Kim Myungsoo. Kita bertemu lagi?"

Astaga, kenapa pria ini malah mengatakan hal tersebut? Seharusnya ia berlaku biasa saja, berpura-pura tidak mengenalku. Ia bahkan mengulurkan tangannya padaku. Melirik bibi Sooae sekilas kemudian dengan enggan aku menerima uluran tangan itu.

"Bae Sooji," aku tersenyum kecil lalu dengan cepat menarik tanganku. Pria itu masih saja memperhatikanku yang mana itu sangat mengganggu.

"Kalian sudah pernah bertemu ya? Dimana?"

"Dia bekerja di club tempat Sehun, Bu."

Aku hanya diam mendengarkan, tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang masalah ini. Biar saja pria itu yang menjelaskan pada ibunya, toh ia yang mengungkit masalah pertemuan kami.

Misiku saat ini hanya perlu menghabiskan makananku dan pulang untuk tidur. Aku butuh tidur.

"Sooji, sarapannya ditambah ya?"

Aku menoleh pada bibi Sooae dan tersenyum enggan, "tidak perlu bi, aku sudah kenyang." Tolakku dengan hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaannya.

Wanita itu terlihat sedikit kecewa membuatku merasa bersalah, "makanan bibi sangat enak," ucapku kemudian aku melihat senyumnya terukir.

"Aku senang memasak Sooji, lain kali kita masak bersama ya?"

Ajakan itu sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Bagaimana bisa bibi Sooae mengajak wanita sepertiku untuk memasak bersamanya? Diajak makan bersama saja aku sudah merasa tidak pantas, lalu mengapa--

"Anak-anakku tidak senang membantuku memasak. Tapi kamu mau kan?" Mata bibi Sooae mengerjap penuh harapan, aku tertunduk gelisah. Jika aku menerima tawarannya itu berarti aku setuju untuk terus berhubungan dengan keluarganya. Aku tidak sedang dalam kondisi yang baik untuk menjalin hubungan sosial bersama orang lain.

"Bibi tau pekerjaanku seperti apa. Aku tidak akan punya waktu," aku tersenyum ketika secara tiba-tiba saja alasan itu terlintas dikepalaku. Bibi Sooae tau jam kerja serta jam pulangku, jadi ia akan mengerti jika aku menolak ajakannya.

"Kamu berhenti kerja saja kalau begitu, cari pekerjaan yang waktunya lebih efisien. Kamu juga perempuan, tidak baik bekerja terlalu malam dan ditempat seperti itu."

Aku langsung menatap bibi Sooae ketika mendengar ucapannya. Aku berpikir selama ini bibi Sooae tidak mempermasalahkan masalah ini, ia terlihat menerima pekerjaan yang kugeluti dengan menyambutku dipagi hari atau melepas kepergianku dimalam hari.

Namun ketika mendengar ucapannya barusan, aku tersadar jika memang tidak ada satu orangpun yang benar-benar mengerti.

"Maaf bibi. Aku harus pulang, terima kasih sarapannya. Ini sungguh enak." Dengan cepat aku beranjak dari meja makan, mengabaikan panggilan bibi Sooae yang terdengar terkejut. Mungkin ia tidak menyangka jika perkataannya akan menyinggungku, tapi ucapannya memang telah membuatku sedikit tersinggung.

"Hei, tunggu--"

Saat hendak membuka pagar rumah ini seseorang menahan lenganku, aku langsung berbalik dan menemukan putra bibi Sooae. Seketika aku menepis tangannya.

"Maaf, saya akan kembalikan baju ini setelah saya mencucinya." Ucapku lalu berbalik meninggalkan rumah itu, aku tidak peduli lagi. Semua orang memang sama saja, selalu memandang sebelah mata pekerjaanku. Apa yang mereka harapkan sebenarnya? Aku memakai setelan jas dan bekerja digedung-gedung tinggi?

Demi tuhan! Aku bahkan tidak menyelesaikan sekolahku, jadi bagaimana bisa mereka mengharapkan aku mendapatkan pekerjaan yang lebih berkelas dari yang kudapatkan saat ini?

Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Memejamkan mata sejenak lalu aku menghela nafas sebelum beranjak ke kamar untuk mengganti pakaian, aku perlu mencuci baju ini dan harus mengembalikannya secepat mungkin.

Aku tidak ingin berurusan dengan mereka lagi.

***

Malam ini aku bisa sedikit bersantai. Beberapa hari lalu Sehun merekrut dua sampai tiga bartender baru, mengakibatkan aku bisa memiliki dua hari libur dalam seminggu yang mana sebelum ini aku tidak mendapatkan jatah libur seharipun.

Itu bukan ketetapan atasanku, tapi aku sendiri yang memintanya. Menurutku semakin banyak jam kerja yang kuambil maka semakin banyak juga uang yang kudapatkan. Dan dengan mendapatkan libur dua hari itu berarti gaji yang kuterima akan berkurang.

Akhir-akhir ini harga bahan pokok diswalayan melonjak, aku bahkan sempat berpikir untuk pergi ke pasar tradisional untuk membeli isi kulkas dirumahku. Jadi demi mendapatkan uang untuk bertahan hidup aku lebih rela bekerja setiap hari dibandingkan harus kehabisan makanan dalam rumahku sendiri.

Aku hidup sendiri tapi bukan berarti pengeluaranku sedikit, justru karena hidup sendiri aku mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. Banyak yang harus kubayar tiap akhir bulan, seperti tagihan listrik, telepon, air, belanja bulanan dan sampai cicilan rumah yang saat ini kutempati. Itu akan terasa mudah untuk seorang pekerja kantoran yang memiliki gaji tetap tiap bulannya namun aku bukan salah satu dari mereka.

Aku memiliki upah yang dihitung tiap jam bekerja, dan dalam sehari aku bekerja tidak lebih dari sepuluh jam, jadi berapa yang gaji yang kuharapkan?

Itu alasannya aku sedikit menyesal ketika diberi jatah libur dua hari, meskipun cukup menguntungkan karena aku bisa bersantai sambil menonton tv saat ini tapi tetap saja itu juga cukup merugikan, bayangkan berapa puluh ribu won yang bisa kudapatkan dalam dua malam? Aku yakin aku bisa menggunakannya untuk belanja kebutuhan panganku selama sebulan.

Tapi aku juga harus sedikit bersyukur, karena setidaknya dengan libur ini aku bisa beraktifitas seperti orang lain. Bergelung disofa sambil nonton drama malam atau membaca novel pengantar tidur di atas ranjang. Kegiatan ini sudah sangat lama tidak kulakukan, mungkin lima atau enam tahun yang lalu.

"Oh, astaga--"

Aku tiba-tiba teringat dengan pakaian yang kupinjam tadi pagi. Bersyukur karena matahari siang tadi cukup terik jadi pakaian itu bisa kering setelah kucuci.

Aku melirik setumpuk pakaian berwarna merah muda diujung sofa, menimbang apakah aku harus mengembalikannya sekarang atau tidak? Sekarang jam delapan kurang, mungkin mereka sudah selesai makan malam dan sedang bersantai sepertiku. Jadi sepertinya tidak masalah jika aku datang ke rumah itu, toh aku hanya akan mengembalikan pakaian ini.

Tapi bagaimana jika mereka merasa terganggu?

Astaga...kenapa harus sesulit ini hanya untuk mengembalikan sepasang pakaian?

*

Dengan segala kebimbangan dihatiku, akhirnya aku berakhir di depan rumah bibi Sooae. Aku sudah mengetuk pintunya tapi sama sekali tidak ada sahutan dari dalam.

Apa mereka telah tidur?

Tapi ini baru jam delapan malam. Siapa orang yang tidur jam delapan?

Saat aku hendak ingin mengetuknya sekali lagi, tiba-tiba daun pintunya terbuka dan menampakkan sesosok yang tidak masuk dalam daftar orang-orang yang ingin kutemui lagi.

"Ya?"

Entah karena apa aku merasa tergagap, ia memberiku tatapan heran sementara aku hanya berdiri diam. Aku tidak mengharapkan ia yang membuka pintunya tapi sepertinya aku sedang bernasib sial saat ini.

Aku mengerjapkan mata ketika pria itu masih memandangku.

"Oh maaf, saya hanya ingin mengembalikan ini," aku menyodorkan tas kertas yang berisi pakaian adiknya, "terima kasih."

Pria itu hanya mengangguk lalu mengambil tas kertas yang kuberikan, menggumamkan beberapa kata lalu hendak berbalik untuk masuk kembali kedalam rumahnya.

"Sooji-ssi,"

Ia mengurungkan niatnya untuk berbalik, lantas menatapku. Aku masih berdiri ditempat yang sama ssmbari mengangkat alis menanti kalimat yang ingin ia ucapkan.

"Apa kau punya waktu? Aku ingin bicara."

Ia menyampaikannya dengan begitu lugas membuatku mengerjap tidak percaya, apa yang dipikirkan oleh pria ini sebenarnya?

Aku sama sekali tidak pernah mengharapkan jika pria itu mau berbicara lebih lama padaku. Kejadian pagi tadi sudah cukup menegaskan bahwa ia tidak menyukai perempuan seperti diriku. Jadi, apa maksud perkataannya yang mengajakku untuk bicara?

Apa ada sesuatu yang perlu kami bicarakan? Kami bahkan baru bertemu dua kali dan keduanya adalah pertemuan yang paling tidak mengesankan. Jadi apa yang ingin ia bicarakan?

Dan lagi, keadaan rumahnya cukup sepi. Aku bisa menebak jika bibi Sooae sedang tidak dirumah saat ini. Apa jangan-jangan--

"Oh jangan salah paham. Aku tidak akan mengajakmu masuk ke rumah, aku hanya sendiri."

Aku menatapnya heran, bagaimana bisa ia mengetahui apa yang kupikirkan?

"Ibu sedang keluar jadi aku tidak mungkin mengajakmu masuk ke dalam," ia mengulas senyum kecil yang entah mengapa sedikit mengusikku. Senyumnya tidak semanis pria berambut tembaga itu-salah satu komplotannya-tapi ada sesuatu dari lengkungan bibirnya yang membuatku tiba-tiba merasa sedikit gusar.

"Ja--jadi--"

"Kita bisa berjalan-jalan ke depan kompleks. Cuaca malam ini cukup cerah," ia mengintip untuk memandang langit membuatku mengikuti apa yang ia lakukan, kemudian pria itu kembali menatapku.

"Disana cukup ramai jadi tidak perlu khawatir," dan sekali lagi ia melengkungkan bibirnya, kali ini bukan hanya senyuman kecil namun ia menampilkan senyuman lebar yang membuat perasaan aneh itu semakin membuncah.

"Baiklah."

Dan bodohnya aku malah menerima tawarannya.

Aku tidak pernah melakukan pembicaraan lama bersama orang asing tapi mengapa ketika pria itu menawarkanku sebuah pembicaraan yang bahkan tidak kuketahui isinya apa, aku malah menurutinya. Dan tanpa curiga sedikitpun mengikuti langkahnya menuju ke tempat yang ia katakan sebelumnya.

"Kamu tidak bekerja?"

Aku mengerjap kaget saat mendengar pertanyaan itu, ia secara tiba-tiba menoleh padaku yang sedang berjalan sedikit dibelakangnya.

"Hari ini aku libur," jawabku sekenanya. Ia hanya mengangguk kemudian kembali menatap ke depan. Tepat ketika kami tiba di taman depan kompleks, ia menyarankan untuk duduk disalah satu bangku taman yang masih kosong.

Benar katanya, taman ini cukup ramai dan tidak sepi seperti dugaanku. Kebanyakan para remaja yang sedang jalan berduaan bersama kekasihnya, aku jadi berpikir--apa mungkin taman ini tempat para anak-anak kompleks untuk berkencan?

Lalu apa yang kulakukan disini bersama pria ini?

"Sooji-ssi, aku ingin minta maaf."

Aku langsung menoleh ketika mendengar suaranya, ia menatap lurus kedepan dengan pandangan menerawang membuatku bisa dengan leluasa mengamati wajahnya dari dekat.

"Untuk?"

"Kamu tau, kejadian tempo hari di club. Anak-anak itu sudah keterlaluan, mereka tidak benar-benar serius melakukannya."

Oh?

Dia meminta maaf atas nama temannya? Ini baru namanya seorang gentlement. Tanpa sadar aku mengulas senyum saat memandangi bulu matanya dari samping, ia mengedip dengan gerakan lambat membuatku semakin terusik untuk terus mengamati gerakannya itu.

Seketika aku mengerjap. Apa yang sedang kulakukan?

Bodoh!

"Sehun sudah mengatakannya kalian hanya bercanda," jawabku dengan cepat mengalihkan pandanganku, sepertinya aku tidak boleh terlalu lama menatap wajahnya.

"Tapi tetap saja aku harus minta maaf secara langsung. Atas nama teman-temanku, mereka terkadang bertingkah bodoh," ia secara tiba-tiba menoleh membuatku seketika gugup, aku berusaha untuk tetap tenang sembari menampilkan senyum terbaikku.

"Terima kasih, aku menghargai usahamu," gumamku pelan, kemudian aku teringat tentang pertolongannya malam itu, "dan juga terima kasih karena telah menolongku saat itu."

Kali ini aku benar-benar tersenyum, menatapnya yang juga sedang memandang wajahnya. Aku terdiam ketika menemukan dua bola mata hitam yang terlihat tajam namun memberikan kesan yang teduh dan melindungi. Seperti mata bibi Sooae.

"Kejadian pagi tadi--" ia menghentikan ucapannya sejenak membuatku sedikit penasaran, apa yang ingin disampaikannya?

"Tolong maafkan ibuku. Aku tau dia telah membuatmu tersinggung, tapi dia tidak bermaksud melakukannya."

Kali ini meminta maaf atas perkataan ibunya? Sebaik apa pria yang sedang duduk disampingku saat ini?

Kami bahkan tidak begitu saling mengenal, ia hanya mengetahui namaku begitupun aku. Tapi ia dengan lancarnya mengeluarkan permintaan maaf padaku dua kali tanpa beban, seperti kami telah saling mengenal cukup lama.

"Ibu dulu selalu marah jika adikku pulang telat. Makadariitu dia sedikit khawatir dengan pekerjaanmu, tolong jangan salah mengerti," ia kembali bersuara membuatku sedikit merasa lebih baik, setidaknya aku sekarang mengerti mengapa bibi Sooae menginginkanku untuk berhenti bekerja.

"Hanya itu satu-satunya pekerjaan yang bisa kudapatkan. Aku butuh uang untuk hidup."

Aku menengadah memandang langit hitam diatas sana, seperti katanya bahwa malam ini cerah. Terbukti dengan banyak bintang yang menemani sang bulan untuk menerangi malam ini.

"Kenapa tidak mencari pekerjaan lain?" Aku tersenyum miris, apa yang bisa didapatkan dari wanita sepertiku?

"Aku tidak menamatkan sekolahku. Aku tidak mungkin berharap memiliki pekerjaan yang lebih baik," sahutku, aku sempat mendengar nada terkesiap dari samping dan aku yakin jika pria itu cukup terkejut dengan kenyataan yang baru saja kusebutkan.

Aku memang tidak menamatkan sekolah. Hanya sampai jenjang sekolah menengah pertama, itupun aku disekolahkan secara paksa oleh pemilik panti karena sudah terlanjur masuk sekolah sebelum orang tuaku pergi.

Dan ketika aku tamat, mereka melepas tanggung jawab yang harusnya masih kudapatkan hingga aku berusia tujuh belas tahun. Namun dengan tidak berperasaan mereka malah mengusirku dan mengatakan sudah tidak ada tempat untukku disana.

Sungguh ironi. Dibuang oleh orang tua sendiri, diusir dari panti yang membesarkanku dan tidak diterima dilingkungan masyarakat. Hidupku memang penuh dengan kemalangan.

"Berapa usiamu Sooji?"

Pikiranku buyar ketika mendengar pertanyaannya, aku menoleh menatapnya bingung. Ia masih menanti jawabanku, memberiku pandangan tajam namun masih tetap terasa teduh.

"21."

Aku sempat melihat rahangnya mengeras, entah karena apa, kemudian ia bergumam tajam. Apa pria ini sedang marah? Apa yang membuatnya marah?

"Dan sejak kapan kamu bekerja di club?"

Aku tidak merasa harus menjawab pertanyaan ini, tapi melihat wajahnya yang seperti sedang menahan sesuatu sepertinya itu pertanda bahwa aku tidak boleh mengabaikan pertanyaannya.

Entah apa dan mengapa, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Ada sesuatu yang terketuk secara tiba-tiba ketika ia menegurku malam ini, mengajakku untuk berbicara, meminta maaf padaku, dan bertanya tentang kehidupanku.

Semua ini pengalaman yang baru kurasakan. Ketika duduk bersama seseorang dan membagi sedikit ceritaku, meskipun tidak secara detail tapi aku memberitau seidikit informasi tentang diriku pada pria asing ini.

Aku merasa dia sama seperti yang lain, memandangku sebelah mata. Hanya karena ia terlalu sopan dan baik sehingga mau berbicara padaku. Namun, aku merasa ada satu sisi dirinya yang entah mengapa terasa begitu berbeda. Sangat berbeda dari orang-orang itu, berbeda dari mereka yang suka menghakimi kehidupanku.

Dia terlihat sama namun terasa beda.

Dan saat ini aku terlalu frustasi untuk mengetahui apa yang membuatnya bisa berbeda?

"Sooji, tolong jawab pertanyaanku."

Mataku mengerjap, ia bahkan dengan sangat sopan memintaku untuk menjawab pertanyaannya. Seolah jawabanku adalah sesuatu yang penting dan harus diketahuinya.

Aku mengangkat wajahku kemudian kembali memandang wajahnya, ia menatapku tanpa berkedip.

"Sekitar empat atau lima tahun lalu."

Setelah menjawabnya aku tidak begitu ingat apa yang terjadi. Aku terlalu terkejut ketika secara tiba-tiba ia mengumpat dengan kasar lalu mengajakku pulang.

Ini tidak seperti bayanganku. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria itu?

Tbc.

Sumpah. Ngetik cerita dengan pov orang pertama itu susahnya dua kali lipat dari orang ketiga 😤 harus pintar-pintar mengatur kata dan menahan diri. Susah banget 😭😭😭😭

Jadi aku gak janji kalau bisa update ff ini sering-sering ya. Aku harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tiap chapternya 😂

Jujur cerita ini masih kabur dipikiranku. Konfliknya masih belum tergambar diotakku jadi...kemungkinan cerita ini akan memiliki alur yang random 😅 dinikmati aja ya 😉

Thank.xoxo
elship_L
.
.
14/01/17

Continue Reading

You'll Also Like

8K 632 20
Update Di Usahakan Setiap Hari Angin bertiup panas melintasi tanah yang rusak. Desahan lembut dari perjalanannya adalah satu-satunya suara di lanskap...
37.3K 3.7K 34
×× [Dia seperti permata indah yang tersembunyi] "K-au orang yang tak mempunyai banyak hal, adalah permata indah dibalik semua itu" °° => "Dan aku b...
39.7K 4.2K 36
Gimana ya rasanya pacaran beda umur delapan tahun? Jeon Jungkook (22) , Bae Joohyun (30) #1 jungrene (28 Jan 2021) #2 kookrene (08/11/2023) #6 btsvel...
1.4M 127K 66
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...