Double A [BXB STORIES]

By naxeid

22.8K 1.9K 359

•BL STORIES• cover by @baeklogy SMA-nya dulu memang membuat Aldan menjadi pribadi yang lebih buruk. Ditambah... More

Prakata
Prolog
02. Maksud
03. Sekolah Baru
04. Terselubung
05. Bonus
06. Masih Ingat?
07. Titik Awal
08. Pancingan
09. Strategi (1)
10. Strategi (2)
Kembali Update!
11. Gagal?
12. Parasit
13. Mari Bersenang-senang
14. Lagi?
15. Akhir Dari Pemanasan
16. Balas Dendam (1)

01. Kembali

2.9K 224 31
By naxeid

"Happy birth~day
Happy birth~day
Happy birth~day Adril...."

Tepuk tangan meriah menghiasi ruangan bergaya vintage. Di mana dress code yang digunakan laki-laki berwarna biru sedangkan perempuan berwarna merah muda.

"Adril, tiup lilinnya!"

"Jangan lupa wishnya!"

"Kuenya jangan lupa, Dril!

Sang empunya pesta, Adrilina Zaneta, tertawa mendengar teman-temannya yang begitu antusias. Dia menuntaskan dengan cepat acara tiup lilinnya, tidak lupa disertai dengan wish. Tepuk tangan meriah kembali meramaikan suasana di ruangan berukuran 10 × 25 meter, kala Adril meniupkan lilin dengan angka 17 di atasnya.

Sekarang, mereka berinisiatif bernyanyi untuk mengiringi Adril memotong kue ulang tahun bertingkat tiga, yang dipenuhi krim berbentuk bunga di setiap sisi kuenya. Suapan pertama ditujukan kepada kedua orang tuanya.

"Semoga menjadi anak yang berbakti, ya, Sayang." sang ibu mencium kening putrinya yang sudah remaja, lalu disusul sang ayah.

Adril tersenyum, "Amiin!"

"Suapan kedua buat siapa, Dril?" salah satu teman lelakinya berteriak dari tengah, tempatnya berdiri. "Buat gue aja deh!" perkataannya mendapat sorakan dari para tamu yang hadir.

"Yang pasti buat orang spesial!" kata Adril sembari menatap laki-laki di barisan terdepan dengan kaus putih yang dibalut blazer dark blue untuk memenuhi dress code pesta ini. "Aldan!"

Teman-temannya menyoraki Aldan, yang hanya dibalas dengan dengusan. Dia sama sekali tidak mengerti, kenapa dirinya selalu menjadi yang spesial untuk beberapa teman perempuannya.

Ghana menyenggol bahu Aldan, "Samperin aja," bisiknya.

Aldan berdecak, "Nyusahin sepupu lo." tapi kakinya melangkah, mendekati Adril. Ia tersenyum kaku, "Selamat ulang tahun, ya."

Adril tersenyum, meletakkan potongan kuenya di atas meja, lalu memeluk Aldan. "Makasih, ya!"

Ingin rasanya memutar kedua bola mata kalau saja di hadapannya ini tidak ada kedua orang tua Adril. Aldan tersenyum kepada mereka berdua.

"Suapin dong!" salah satu temannya berteriak. Jika Aldan tebak dari suaranya yang cempreng, itu pasti Nino. Cowok dengan mulut kompor.

Adril melepaskan pelukannya. "Pasti!" diambilnya potongan kue yang sebelumnya diletakkan di atas meja, memberikan suapan kedua kepada Aldan. Tepuk tangan meriah kembali memenuhi ruangan ini.

Nino, lelaki dengan mulut kompor bersiul, "Kapan pacarannya, Bosq?" layaknya api, perkataannya disambar cepat oleh beberapa teman yang lainnya.

"Iya, Dan, kapan ditembak? Cantik gitu, yakin mau dianggurin?"

Aldan tak mengacuhkan perkataan kedua temannya, tersenyum menjadi pilihan terbaik saat ini. "Gue balik ke sana, ya?"

Adril menekuk wajahnya masam, meskipun begitu, gadis yang saat ini merayakan sweet seventeen-nya tetap mengangguk.

"Payah lo!" kata Ghana

"Berisik!" Aldan berjalan melewati Ghana. Rasanya, ingin cepat pulang dan rebahan di kasur kesayangan.

"Dan, mau ke mana lo?" Ghana berjalan mengimbangi Aldan. "Ngambek, Mas Bro?"

"Capek!" Aldan mendaratkan bokongnya di salah satu sofa panjang, diikuti Ghana yang duduk di sebelahnya.

"Gue ambilin minum, ya." tanpa menunggu persetujuan Aldan, Ghana langsung bangkit dari duduknya untuk mengambil minuman.

Sambil menunggu Ghana kembali, Aldan menyandarkan kepalanya pada pinggiran sofa, matanya terpejam. Belum ada lima detik, matanya kembali terbuka karena merasakan getaran panjang di saku celananya. Ia mengambil ponsel, melihat nama Fabian terpampang di ID caller, lalu mengangkatnya.

"Kenapa?"

"Cepet pulang atau lo mati!"

"Apaan sih lo, nggak jelas banget jadi—"

"Urgent!" teriakan Fabian dari seberang ponsel membuat Aldan menjauhkan ponselnya.

"Fuck! Bacot laknat!" Aldan memutus panggilan sepihak. Tepat saat ia berdiri, Ghana datang dengan dua gelas minuman.

"Mau ke mana lo?"

"Balik!"

"Buru-buru amat."

"Fabian nyuruh gue pulang."

Ghana menyernyitkan kedua alisnya, tangannya menaruh dua gelas minuman di atas meja kaca di depan kakinya. "Tumben."

Aldan mengangkat kedua bahunya. Sebelum benar-benar meninggalkan pesta, ia menyempatkan untuk meminum minuman yang Ghana ambil sampai tersisa setengah.

"Pelan-pelan, Mas Bro!"

Aldan mengambil sapu tangan di saku belakang celananya untuk mengelap bibirnya, lalu memberikannya kepada Ghana yang langsung menyernyit heran. "Buat lo!"

Ghana menghempaskan sapu tangan Aldan ke lantai. "Bangke!"

Aldan terbahak melihat wajah Ghana yang jengkel. "Buat kenang-kenangan!"

"Ndasmu!"

Aldan kembali terbahak sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan pesta. Langkahnya menghampiri motor sport merah kesayangan, ia memandanginya sejenak. "Besok gue mandiin lo, biar kinclong!" bokongnya sudah mendarat di jok dengan helm yang juga terpasang di kepalanya, ia menyalakan mesin dan melajukan motornya menuju rumah.

Lima belas menit Aldan habiskan dalam perjalanan pulang. Begitu sampai depan pagar, ia memandang ke perkarangan rumahnya. Di sana ada sebuah mobil yang ia lihat terakhir kali, yaitu satu tahun yang lalu. Klakson dibunyikan, membuat satpam rumahnya menghambur, membukakan pagar untuknya.

Aldan membuka kaca helmnya. "Di dalam ada ...." ia tidak melanjutkan perkataannya. Namun, satpam rumahnya itu mengerti betul arah pembicaraan anak majikannya. Karena itu, ia mengangguk.

"Iya, baru sampai satu jam yang lalu."

Aldan berdecak, membawa motornya ke dalam. Dia melepas helm dan turun dari motornya.

"Bapak nyari kamu begitu turun dari mobil." Ijon—satpam rumahnya Aldan—berkata sebelum Aldan memasuki rumah.

"Makasih, Pak Jon." Aldan memasuki rumahnya. Hal pertama yang dilihatnya adalah: kedua orang tuanya, juga Fabian yang sedang berkumpul di ruang tamu. Suasana yang serius membuat Aldan tegang.

"Oh, udah sampe!" Fabian yang pertama kali membuka suara begitu melihat Aldan sudah berdiri di belakang kedua orang tuanya. "Duduk sini!" Fabian menepuk-nepuk sofa sebelahnya dengan seringaian samar. Namun, Aldan melihatnya.

"Duduk sini, Sayang." Shira—ibunya Aldan—membuka suara. Tak luput senyuman manis terukir di wajahnya yang sudah berkepala empat. Berbeda sekali dengan senyuman Fabian yang seperti iblis. Aldan sangsi jika kakaknya itu anak kandung Ibunya.

Aldan manut, duduk di sebelah Fabian yang masih mempertahankan seringainya. "Berhenti menyeringai, tolol!"

Seringaian Fabian semakin lebar, semua penghuni rumah bahkan bisa melihatnya. "Aw! Manisnya adikku!" kedua tangannya mencubit pipi Aldan gemas. Sang empunya pipi melotot tidak percaya dengan kelakuan manusia di hadapannya.

"Lo ngapain, sialan!"

Fabian menaruh telunjuk di depan bibir Aldan. "Sst!" mendekatnya wajahnya ke Aldan, ia berbisik, "Nggak boleh ngomong 'sialan', Adik Manis!"

Aldan melepaskan tangan Fabian dari kedua pipinya. "Apa-apaan sih lo!"

"Well ..., kayaknya lo harus berterima kasih setelah ini!" Fabian menepuk sebelah pipi Aldan, kemudian bangkit dari duduknya. "Bian ke kamar duluan, ya."

Kini, hanya tersisa mereka bertiga. Aldan mencoba bersikap santai di depan kedua orang tuanya yang sudah setahun tidak bertemu. "Papa dan Mama mau ngomong apa?"

"Papa yang mau ngomong, Sayang," kata Shira.

Aldan menatap ayahnya, "Ada apa?"

"Kamu hobi banget keliaran malam-malam, ya." Gio—ayahnya Aldan—menatap sang anak dengan datar.

Alis Aldan menyernyit. Ia diam untuk beberapa detik, lalu, "Aldan diundang temen ke acara sweet seventeen-nya, Pa. Yakali nggak dateng." Aldan berusaha menjawab dengan tenang. Bohong, jika ia tidak gugup. Lagi pula, ada apa dengan ayahnya itu, baru datang langsung menanyakan hal seperti itu kepadanya.

"Oh, kalau hari ini Papa tau kamu pergi ke pesta ulang tahunnya Adril, tapi bukan itu yang mau Papa bahas."

Bahkan, Gio pun tahu kalau itu pesta ulang tahunnya Adril? Bagaimana bisa? "Terus Papa mau bahas—"

"Klub, alkohol, dan ...," tatapan Gio mengintimidasi Aldan, kemudian ia melanjutkan, "seks?"

"What?!"

"Benar begitu, Aldan?"

Aldan mengeraskan rahangnya. Dalam hati ia mengutuk Fabian yang pasti membeberkan kegiatannya kepada Gio. Tepatnya, kegiatan yang sudah tidak dilakukan lagi sejak beberapa hari yang lalu. Oh, mungkin memang benar kata Fabian, ia harus berterima kasih setelah ini. Mungkin sebuah pukulan dan tendangan cukup untuk ungkapan terima kasihnya.

"Jawab, Aldan!"

Aldan menelan ludahnya gugup, "Iya ..., tapi udah nggak Aldan lakuin sejak ...," ia memutar kedua bola matanya, mencoba mencari jawaban yang tepat, "seminggu yang lalu," lanjutnya.

"Tiga hari yang lalu, tepatnya, betul?" Aldan kembali mengeraskan rahangnya. Memang belum genap seminggu ia berhenti melakukan kegiatan yang disebutkan Gio. Sepertinya, Gio memang sudah mengetahui semuanya.

"Papa tau semuanya dari Fabian?"

"Nggak."

"Terus?"

"Kamu nggak sadar? Oh, Papa lupa, mata, hidung, dan telinga kamu kan udah ketutup sama nikmatnya dunia malam, ya?"

Aldan menghela napas pasrah, "Iya, yang Papa jabarin itu semuanya benar, kalau pun salah ..., ah, Aldan lupa, orang tua kan selalu benar!" Aldan mencibir.

"Kayaknya kamu memang harus diawasi secara langsung!"

Aldan menyernyit, apa-apaan dengan mengawasinya secara langsung?

Gio menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, "Papa kecewa sama kamu, Aldan! Mentang-mentang jauh dari orang tua, kamu bisa melakukan apa pun seenak jidat. Seperti bukan orang yang berpendidikan!"

"Pa, Fabian juga sama kayak Aldan—"

"Tapi dia sudah berhenti beberapa bulan yang lalu, bahkan hampir setahun!" potong Gio.

"Sebelum-sebelumnya dia juga sama kayak Aldan—"

"Dia sudah dua puluhan, kalau kamu lupa!"

"Aldan nggak ngerti cara pikir Papa! Bukannya Papa tahu sendiri kalau Aldan begini juga karena Fabian!"

"Tapi dia punya etika dan tahu kapan saatnya meminta maaf!"

Aldan mengemelutukkan giginya, menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa saja meluap. Beberapa kali ia merapalkan kalimat, 'Ingat, dia orang tua!' di dalam hatinya.

"Jadi?"

Aldan menghela napas, sebaiknya mengaku salah memang lebih baik. Tidak baik jika beradu emosi dengan orang tua yang bahkan baru beberapa jam tiba di rumahnya setelah setahun lamanya meninggalkan rumah demi bisnis yang diritisnya. "Aldan minta maaf," katanya lirih sambil menundukkan kepalanya.

Gio tersenyum samar, "Bagus!" lalu bangkit dari duduknya. Ia mengacak-acak rambut Aldan yang masih menunduk. "Angkat kepala kamu."

Aldan manut.

"Lusa kamu pindah sekolah, ya." penyataan Gio membuat Aldan mendongak dan menatap ayahnya tidak percaya.

"Apa!?"

Ann | 5/5/17

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 292K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2.6M 140K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
519K 56.5K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...