R untuk Raffa

By narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... More

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[9] Pantaskah Disebut Kesialan?
[10] Pergolakan Batin
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[17] Pintu Ruang Hati
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[23] Tik-tok, Tik-tok
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[38] Melangkah
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[15] Pelarian, Tersesat, Pulang

4.7K 435 60
By narsakarsa

He's waiting, hides behind a cigarette.
She's falling, doesn't even know it yet.

– One Direction

***

Terkadang perasaan memang sekejam itu: merasuk hatimu diam-diam, tanpa aba-aba, dan lantas menjatuhkanmu tanpa ampun. Dan ketika kau sadar bahwa dirimu terluka, ternyata kau sudah berada di jurang paling dasar –tak tersentuh, tak tertolong, tak tergapai.

Gilang ingin sekali menertawai dirinya sendiri, dan melontarkan selaksa kalimat ejekan pada refleksinya di cermin. Tetapi alih-alih melakukan hal itu, Gilang memutuskan untuk melakukan pelarian. 

Karena untuk apa bertahan, jika sedari awal kau sesungguhnya tak pernah punya rumah.

Untuk apa memegang peta, jika kau pada akhirnya akan selalu tersesat.

Bukan cara Rena tersenyum pada Raffa yang membuatnya seperti ini.

Tetapi bagaimana cara mereka saling bertatapan.

Tatapan rindu yang diam-diam saling berharap.

Dan Gilang seakan menjadi saksi bagaimana mereka memulai kembali kisahnya. Menjadi saksi bagaimana dirinya pelan-pelan akan tersingkir, karena mungkin sedari dulu Rena memang hanya menginginkan Raffa. Bukan dirinya.

Demi Tuhan, sejak kapan Gilang jadi semelankolis ini?

Asap putih menguar seiring ia menghela napas, di jemarinya terselip sebatang rokok yang baru disulut beberapa menit lalu. Punggungnya bersandar pada pagar rooftop dan yang ia inginkan hanya satu: kabur sejenak dari realita.

Tetapi sebuah suara membuatnya tersentak.

"Udah gila lo ya, ngerokok di sekolah?"

Entah kebetulan apa yang tengah dipermainkan semesta.

Gilang tersenyum miring. Mengembuskan napas dan asapnya dalam-dalam. "Balik sana ke kelas," balasnya tak menjawab pertanyaan.

Orang itu malah berjalan mendekat, dan duduk persis satu meter di samping Gilang. Ikut bersandar pada pagar rooftop, tangannya memeluk lutut. "Buat apa gue ada di kelas, tapi gak bisa nyimak guru sama sekali. Mending keluar, cari angin." 

Sejenak, Gilang tahu ada yang berbeda dari orang itu. Atmosfirnya entah kenapa terasa begitu sendu. Berbeda dengan ketika terakhir kali mereka bicara.

"Sori, ya. Waktu itu gue lagi kalut," ujar orang di sebelahnya dengan senyum hambar. "I was not in the right mind that day, jadi jangan liat gue kayak penjahat gitu dong, Lang? Gue gak bermaksud jahat kayak yang lo pikirin."

Gilang masih bergeming, tak menyahut. Menghirup rokoknya dalam-dalam.

"Yah, mungkin lo gak akan ngerti gimana rasanya. Takut kehilangan akan sesuatu yang bahkan bukan milik lo."

Sepertinya mereka akan terus begitu, yang satu bicara dan yang satu mengabaikan.

"Pernah gak, Lang, ada di posisi gue? Di saat gue jatuh untuk dia, tapi dia jatuh untuk yang lain."

Sejenak, Gilang ingin sekali menyahut, tetapi lantas urung. 

"Gue berjuang untuk dia, tapi dia bahkan gak berjuang untuk dirinya sendiri. Jadi selama ini gue mengejar apa sih? Kenapa di saat rasanya gue hampir menggapai itu semua, tiba-tiba semuanya terlepas."

Klise. Sangat klise. Tetapi Gilang tak bisa memungkiri bahwa perkataan itu diucapkan dengan sungguh-sungguh, hingga membuatnya terdengar tak biasa. Ada sesuatu yang menggelitiknya. Kini Gilang merasa seperti tengah berkaca. 

Seakan dua luka dipertemukan. Sama-sama tengah dibalut, tetapi tak kunjung membaik.

Sebab orang yang diharap bisa menyembuhkan, justru menoreh luka lain.

"Kenapa gak lepasin Raffa aja sih, Dhys?" Gilang akhirnya membuka mulut.

Perempuan di sampingnya, Dhysta, sontak menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. Ia menjawab dengan pelan, "Karena gak ada kata menyerah di kamus cinta, Lang."

Pertemuan pertama mereka memang bukan kenangan yang menyenangkan bagi Gilang. Mereka pertama kali bersitatap karena Dhysta menahan langkahnya, ketika hendak mencari Rena yang menghilang dari UKS.

Dhysta yang saat itu lepas kendali menyumpahi Gilang dengan sepenuh hati bahwa laki-laki itu telah mengambil langkah yang salah. Bahwa membiarkan Rena berkontak lagi dengan Raffa adalah hal terbodoh yang ia lakukan.

Dan Gilang melihatnya menangis.

Menangis sambil berbisik, "Gue kayak gini karena sayang sama Raffa. Gue cuma gak mau dia disakiti lagi."

"Bukannya selama ini gak cuma Raffa yang sakit hati? Rena juga."

Gilang adalah satu-satunya tempat dimana Rena bisa membuka masa lalunya, tentang bagaimana Raffa ingkar janji untuk hadir di resital piano Rena. Tentang bagaimana Rena meninggalkan resitalnya dan memilih untuk mencari Raffa. Dan tentang bagiamana sebuah mobil melaju dan menabrak tubuh perempuan itu, mematahkan tulang pergelangan kanannya dan membuat Rena melepas mimpi terbesarnya: menjadi seorang pianis.

Saat itu Rena nyaris tak ubahnya robot: belajar, belajar, dan belajar. Seakan lupa cara berekspresi. Menghindari musik yang terus membuatnya teringat akan kejadian-kejadian pahit dan hidup dalam kesepian dan kesunyian. 

Karena Raffa tak pernah terlihat lagi sejak itu. Persis seperti kepergian ayahnya yang tiba-tiba, tanpa salam perpisahan. Seakan hilang dicuri waktu.

Dan kekembalian Raffa dua tahun kemudian dari Singapura hanya menghadirkan sosok asing yang tak Rena kenal. Sosok asing yang Gilang kira sudah Rena lepaskan sepenuhnya.

Tetapi ia salah.

"Apapun alasan lo, Adhysta, memisahkan mereka itu bukan jalan keluar," ujar Gilang tegas, meski ada sesuatu yang membebani hatinya. "Mereka harus berdamai dengan masa lalu. Jangan halang-halangi mereka."

Tetapi pandangan Gilang terhadap Dhysta agaknya sudah berubah.

Mereka memikul luka yang sama. Kendati ia tak seberani Dhysta yang berani terang-terangan mengungkapkan perasaannya.

Gilang pengecut.

Suara bel berdering nyaring, tanda kegiatan belajar-mengajar sudah berakhir. Ia segera mematikan rokok dan bangkit berdiri, begitu juga dengan Dhysta yang masih terlihat sendu. Sepasang bola mata cokelat miliknya begitu redup, membuat Gilang mau tak mau teringat dengan milik Rena yang acapkali didapatinya tengah bercermin pada kesedihan yang sama. Meratapi laki-laki yang sama.

Dan pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari bibir Gilang, "Apa istimewanya Raffa sih, Dhys?"

Dhysta menoleh dengan pandangan tak terbaca, sepasang alisnya mengerut antara kaget dan heran. Tetapi lamat-lamat ia menjawab, "Mau gue jelasin seratus kali pun mungkin lo gak akan paham apa keistimewaannya, karena lo cowok. Kecuali, kalo lo homo."

"Sialan."

Sontak Dhysta terkekeh sumbang. "Anyway, soal sesuatu yang lo bilang pas kita berantem di UKS itu–"

Alis Gilang terangkat.

"–tentang berdamai dengan masa lalu."

"Oh, kenapa?"

"Mereka gak akan kan bisa berdamai." Dhysta tersenyum kecut.

Gilang menanti kelanjutan dari perkataan Dhysta, tetapi perempuan itu malah melanjutkan langkahnya untuk menuruni tangga. Meninggalkan Gilang yang terdiam, menerka-nerka dengan percuma.

Ponsel di kantong celananya kemudian bergetar.

Rena: Lang, lo dimana?

Satu hal kecil, tetapi hal tersebut mampu membuat Gilang menarik sedikit kedua sudut bibirnya.

Gilang: Otw kelas.

Ia mengangkat wajah dan mendapati Rena sudah di hadapannya. Tersenyum. 

Dan segalanya jadi terasa lebih ringan.

Gilang tak peduli lagi jika Rena akan kembali pada Raffa. Asal perempuan itu bisa terus tersenyum dan kembali mengejar mimpinya yang bergelut di dunia musik, mungkin Gilang akan baik-baik saja.

Mungkin.

Dan hanya mungkin.

***

[ RUR ]

8/12/16

HAHAHAHAHA INI APA SIH. Jujur, aku nulis part ini sampai ngulang empat kali, karena susah bikin feel yang pas. Semoga ini gak terasa lebay ya HAHAHAHAHA (karena yang lebay itu Gilang, bukan aku. Ok? Ok). Untuk kali ini aku bener-bener mohon kritik dan sarannya, atau at least pendapat kalian tentang RUR sejauh ini :') I spent more than 4 hours to write this part.

Part ini didedikasikan untuk shaf_writes! Yang suka baca fanfict Harry Potter bisa sekalian mampir di works-nya (iya, ini promosi terselubung).

Hope you have a nice day!

Continue Reading

You'll Also Like

6.7K 478 51
Judul: Waiting for You in My City (一座城,在等你) Adaptasi Drama: My Fireworks on Earth (我的人间烟火) Penulis: Jiu Yue Xi (玖月晞) Total Bab: 68 chapter + Epilog S...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
24.1K 2.7K 28
Kamu akan jatuh cinta, pada lelaki bernama Suho. Tapi, ia akan membuatmu menangis, dan merutuki denyut sakit yang ada di hatimu. Kamu akan merasa rin...
259K 24.2K 40
Cover by: oflyng Kepada masa lalu, aku ucapkan selamat tinggal tapi tak pernah bisa benar-benar melupakan. Kepada masa lalu, kenapa dia terus membaya...