After Twilight

Od VanadiumZoe

54.9K 6.5K 1.6K

Ketika membenci menjadi begitu mudah, ketika mengkhianati menjadi begitu benar dan ketika mencintai menjadi b... Více

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 10
INTRO CHARACTER
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16

Bagian 9

2.7K 395 76
Od VanadiumZoe


Chanyeol duduk termenung di kursi beranda kamar, pikirannya semrawut, membayangkan hal-hal pahit yang mungkin akan terjadi padanya, tiap kali dia mengingat Jisoo dan Sehun di rumah Edmund tempo hari. Sejak hari itu Chanyeol menjadi menutup diri, dia jarang bicara dan menjaga jarak pada Jisoo. Chanyeol tahu dia semakin menyakiti dirinya sendiri dengan mengabaikan Jisoo, dadanya sesak tiap kali dia menahan diri untuk tidak memeluk Jisoo barang sebentar.

Selama masa itu Jisoo merasa tidak tenang, dia ketakutan karena Chanyeol mengabaikannya. Perutnya sering sakit, dia ingin sekali Chanyeol memeluknya dan mengusap perutnya. Jisoo tidak tahan lagi, dua minggu diabaikan Chanyeol membuatnya nyaris gila. Jisoo menyeka air mata yang meleleh di pipi tanpa pernah dia menyadarinya, dia berdiri di belakang Chanyeol, memandang punggung pria itu yang ingin sekali direngkuhnya.

"Arrgghhh."

Jisoo merintih, bayinya menendang kuat sekali, bergerak, menohok ulu hati. Chanyeol yang sadar ada seseorang di balik punggung menoleh, terkejut, dan buru-buru menghampiri Jisoo.

"Ryu, perutmu sakit?"

Jisoo hanya mengangguk, Chanyeol ingin memapahnya ke kamar tapi Jisoo bersikeras ingin duduk di beranda. Sore itu langit sangat cantik, jingga sudah mencemari langit, seperti tinta yang tumpah, berserakan tapi menawan.

Chanyeol mengusap perut Jisoo tapi dia tidak memandangnya, Jisoo sesak, dia menggenggam tangan Chanyeol yang ada di atas perutnya.

"Jangan mengabaikanku." tetesan bening meluncur di pipi Jisoo yang berpendar kemerahan di bawah sorotan jingga, Chanyeol tercenung, Jisoo menarik bahunya, memeluknya erat.

"Kau boleh marah padaku tapi tolong jangan mengabaikanku, aku bisa mati."

Jisoo tersedu sedan, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan agar Chanyeol kembali seperti semula. Jisoo tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas dia menjadi tidak waras karena Chanyeol mengabaikannya.

"Aku tidak melakukan apapun, Chanyeol. Dia hanya menanyakan kabar, lalu perutku sakit dan kau datang. Bila memang itu yang mengganggumu, kalau bukan, tolong jelaskan apa kesalahanku."

Chanyeol melepaskan pelukan Jisoo, dia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi pucat Jisoo. Chanyeol menyesal, dia tidak menyangka Jisoo akan sesedih ini karena sikapnya yang kekanakan.

"Maafkan aku." Chanyeol meraih jemari Jisoo lalu menciumnya, dia menarik bahu Jisoo dan menyandarkan wanita itu di dadanya. Menghujani puncak kepala Jisoo dengan kecupan hangat dan kata maaf.

"Kau boleh memarahiku,"

"Aku tidak marah padamu, Ryu Ji."

"Aku benar-benar tidak melakukan apa...,"

"Aku percaya padamu, aku selalu percaya padamu. Aku hanya----sedikit cemas."

"Aku tidak akan pergi ke manapun, Chanyeol. Aku akan selalu di tempatku, kecuali kau yang menginginkan aku untuk pergi."

Jisoo mendongak, air matanya kembali meleleh. Pandangan mereka bertemu, Jisoo menelusuri manik abu-abu Chanyeol dalam rasa samar yang belum terbaca. Ada luapan rasa sayang yang begitu tulus berpendar dari sana, Jisoo bisa merasakannya. Dia tahu seberapa besar rasa yang Chanyeol sematkan untuk dirinya dan bayi yang dia kandung, dia tahu Chanyeol memberi rasa itu tanpa pamrih. Meski Jisoo tahu hatinya bukan untuk Chanyeol, tapi dia tidak bisa membayangkan hidupnya akan seperti apa tanpa sosok seorang Park Chanyeol.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Ryu. Apapun alasannya."

Jisoo memejam ketika Chanyeol mengusap perutnya lalu mengecup bibirnya, hangat, lembut. Tanpa sadar tangan Jisoo mengalung di leher Chanyeol, menikmati kecupan dan usapan Chanyeol yang membuat pipinya semerah pomegranate. Jingga semakin mewah di kaki langit, merah keemasan, sapuan angin sore menyapa tautan bibir mereka yang tak mau berhenti. Hingga Jisoo merasa bayinya menendang, dia merintih, rangkulannya terlepas.

"Maaf, dia menendang kuat sekali." Jisoo tersenyum malu-malu, wajahnya masih merah, dia ikut mengusap perut bersama Chanyeol.

"Mungkin dia cemburu."

"Apa?"

"Cemburu karena aku hanya mencium ibunya dan mengabaikannya."

Chanyeol tersenyum lebar, dia membungkuk, lalu menciumi perut Jisoo. "Sayang, aku ayahmu. Maaf ya, ayah tidak bermaksud mengabaikanmu. Ibumu sangat cantik, ayah benar-benar tidak bisa mengabaikannya."

Jisoo tertawa, dia menarik tangan Chanyeol kembali ke perutnya dan sedikit menekannya. Mereka saling pandang, bayinya menendang lagi, Chanyeol sampai terpana, takjub, tak percaya dia bisa merasakan pergerakan bayi di dalam perut Jisoo. Chanyeol memandangi Jisoo yang kembali tertawa, semburan bahagia meletup dari dasar hati lalu menjalar di tiap urat nadi. Bagi Chanyeol tawa Jisoo adalah segalanya, bertahan bersama Jisoo adalah pilihannya, dia tidak mau lagi memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi, dia tidak mau mencemaskan sesuatu yang tidak perlu. Dia mencintai Jisoo, itu saja.

~000~

Mungkin tidak akan ada yang percaya, pada kehidupan yang dijalani Seo Rila selama satu tahun terakhir ini. Menikah dengan pria tak dikenal, menjalani biduk rumah tangga yang kaku nyaris membosankan, lalu berakhir dengan rasa yang diterka Rila bisa disebut sebagai jatuh cinta. Sekilas apa yang terjabar di atas terlalu drama dan hanya cocok untuk cerita fanfiction di blog pribadi, ataupun pada lembar tulisan novel penulis romansa di luar sana. Tapi itulah adanya, itulah urutan yang dilalui Rila bersama Jongin.

Rila bahagia? Tidak juga. Terkadang Rila dirundung meragu, sesungguhnya ini cinta atau hanya sekedar terbiasa. Namun yang jelas, akhir-akhir ini Rila percaya bahwa, Kim Jongin adalah si penabuh detak jantung, pembuat rindu, penebar renjana, sekaligus pencipta rona merah muda. Jongin adalah pria pemaksa yang selalu mengantarkan kejutan tak tertuga di dalam hidup Rila, termasuk kejutan istimewa pagi ini. Rila sampai tak bisa berkata-kata, wajahnya menegang tapi pipinya merona, dadanya sesak tapi dia bahagia.

Rila mendekati Jongin yang masih tidur pulas di ranjang, posisi telungkup, Rila duduk di tepiannya. Ragu, dia mulai mengusap bahu Jongin, berusaha membangunkannya.

"Jong." Rila sedikit menguncang, Jongin terdengar memaki lalu membalikkan badan.

"Apa?"

Suara Jongin serak, khas orang bangun tidur. Matanya satu tertutup, satu terbuka sedikit, bibirnya bergerak-gerak, agak cemberut, Rila menahan mati-matian untuk tidak mencium Jongin. Ah, pria pemarah itu terlihat manis sekali, jika nyawanya masih setengah tercecer.

"Ada yang ingin aku bicarakan, tapi kalau kau masih ingin tidur, ditunda nanti juga tidak apa-apa."

Rila berdiri tapi Jongin menarik tangannya, Rila kembali duduk di pinggir ranjang. Jongin menguap, lalu duduk bersandar, dia melipat kedua tangan di depan dada.

"Katakan saja sekarang."

"Kau yakin?"

"Hemm."

Jongin menguap lagi, dia menggaruk kepala, rambutnya kian berantakan. Rila semakin ingin mencium dan memeluk pria itu.

"Aku tidak tahu, kau suka atau tidak dengan berita ini."

"Kau selingkuh?"

"Ap----apa? Tentu saja tidak."

"Berarti aku pasti suka dengan berita itu."

Rila tersenyum, Jongin menguap lagi, matanya berkedip dua kali. Jongin sangat lelah setelah melakukan perjalanan bisnis ke Jepang selama seminggu, menguras seluruh otak dan tenaganya nyaris tanpa sisa.

"Ak----aku."

Rila terbata, Jongin menunggu dengan sabar, pipi Rila mulai merah.

"Aku hamil."

"Ohh."

Jongin mengangguk santai, lalu nyaris terpejam. Rila memaku, kecewa, tak menyangka reaksi Jongin sedatar itu, dia sampai ingin menangis. Tapi rencana menangis Rila hanya bertahan tiga detik, selanjutnya yang terjadi adalah Jongin memekik, tubuhnya tegap seketika, mendelik, menatap Rila tidak percaya.

"Katakan sekali lagi."

"Aku hamil, tiga minggu." jawab Rila, agak malas-malasan.

Di luar musim semi hampir saja berlalu, tapi bagi Jongin musim seminya baru saja datang, bunga-bunga di hati baru bermekaran, sekumpulan kupu-kupu hinggap ke tubuhnya, menyuntikkan gas helium, lalu Jongin melambung, memantul-mantul. Tawa Jongin pecah, terbahak-bahak, dia terharu, lalu menarik Rila ke dalam pelukan, menciumi wajah wanita itu berkali-kali. Rila ikut tertawa, tubuhnya sudah menghilang di balik dekapan erat Jongin yang masih tertawa kencang. Rila senang sekali, dia balas memeluk Jongin seerat pria itu memeluknya.

Akhir-akhir ini Rila pernah berpikir ulang tentang hidupnya, pasca dinikahi paksa oleh Kim Jongin. Ternyata semua tidak seburuk yang pernah dia bayangkan sebelumnya, ternyata hidupnya jauh lebih mengesankan, lebih menajubkan, lebih cantik, lebih cerah, lebih merona, lebih... ah... sudahlah, Rila kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya.

~000~

Musim panas baru saja datang, pengap dan lembab. Sepanjang hari itu Chanyeol habiskan dengan menyelesaikan pekerjaannya yang banyak, penuh semangat, sesekali Chanyeol juga terdengar bersenandung. Chanyeol serasa diserbu merindu dan senang yang tidak tergambarkan, detik-detik Jisoo melahirkan semakin dekat. Menurut perkiraan dokter, Jisoo akan melahirkan dalam satu atau dua hari ke depan. Chanyeol sudah memerintahkan seluruh tim dokter untuk siaga, dia juga memerintahkan Ruffier segera menghubunginya, bila Jisoo mengeluh sakit perut.

Di antara riuh rendah yang kini menaungi hati Chanyeol, ponselnya bergetar, wajah Ruffier terpampang di layar depan.

"Tuan Muda, Nyonya Ryu baru saja mengalami kontraksi, kemungkinan dia akan melahirkan."

Chanyeol tercenung macam orang kena tenun, dia diam saja selama satu menit, sampai suara Ruffier kembali terdengar.

"Tuan Muda...,"

Chanyeol mengerjab, lalu sekonyong-konyong sudah berlari terbirit-birit menuju di mana ferrarinya terparkir. Jasmine sempat melihat Chanyeol, bingung, begitu pula beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan dengan Chanyeol, mereka hanya mampu memberi salam bersama kerutan di dahi. Tak paham, kenapa Chanyeol harus terburu-buru seperti itu.

Bersama panik, cemas dan berjuta rasa lainnya yang tak mampu Chanyeol jabarkan satu per satu, Chanyeol memasuki rumah besarnya, berlari menuju ruang kesehatan.

"Tuan Muda, Nyonya Ryu mencarimu sedari tadi, dia tidak mau melahirkan sebelum kau datang."

Kali ini Ruffier tidak berbohong, Jisoo memang mencari Chanyeol, dia menyebut nama Chanyeol tanpa henti. Di atas ranjang dengan kaki yang sudah tertekuk, peluh di wajah, pucat, dan terengah-engah, menahan rasa mulas luar biasa, Jisoo tetap bersikukuh menunggu Chanyeol.

"Ryu Ji."

Jisoo meneteskan air mata, lega menjalari tubuhnya. Chanyeol datang, berdiri di sampingnya, meraih tangannya seraya mengecup puncak kepalanya. Jisoo meringis menahan sakit, dia sangat takut dan entah kenapa hanya Chanyeol yang ada di dalam otaknya.

"Jangan pergi, tetaplah di sini, Chanyeol, aku takut sekali."

"Tenanglah, aku akan menemanimu. Kau akan baik-baik saja, bayi kita akan baik-baik saja."

Jisoo mengangguk, dari sudut matanya kembali berjatuhan cairan bening. Chanyeol mencium keningnya, dia mengeratkan genggaman tangan pada Chanyeol. Dan siang itu, ketika Mentari berlindung di balik gumpalan mega, hanya butuh dua kali dorongan, bayi perempuan yang dinanti pun lahir, diiringi air mata bahagia dan tangisan keras sang bayi, sampai-sampai Ruffier yang berjaga di luar terkesiap.

Chanyeol tak bisa menahan haru, dia menatap bayi merah nan mungil dalam luapan rasa yang tak terlukiskan. Senyum Chanyeol kian lebar, bayinya kini tengah meringkuk di atas dada Jisoo. Chanyeol memberanikan diri untuk menyentuh bayi mungil itu, tangannya gemetar, air matanya jatuh lagi. Chanyeol tertawa, bayinya menggeliat. Bahagia meletup dari tiap detak nadinya, menyembur, lalu menjalar, memenuhi aliran darahnya. Chanyeol mencium puncak kepala Jisoo sekali lagi, lalu mereka berdua tertawa dalam ruang rasa yang nyaris sama.

~000~

Kelahiran bayi perempuan Jisoo disambut penuh suka cita, gegap gempita, oleh Ruffier dan segenap pelayan di rumah Chanyeol, mereka sibuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan si kecil. Kecuali Hyesun dan Jongin, tidak ada yang tahu Jisoo sudah melahirkan, Jongin sempat bingung tapi terlalu malas untuk bertanya apa alasan Chanyeol melakukan hal itu. Chanyeol sendiri menahan mati-matian untuk tidak menyebar luaskan berita paling membahagiakan di dalam hidupnya, sampai Jisoo benar-benar sehat. Setiap hari Chanyeol berusaha pulang lebih cepat, dia selalu merindukan Jisoo terlebih lagi pada bayi perempuannya.

Pipi kemerahan, mata bening selayak embun di atas daun talas, hidung kecil, bibir lembut bagai jelly strawberry, benar-benar cantik. Chanyeol selalu memuji bayinya, dia selalu bilang kalau tidak ada bayi lain yang bisa mengalahkan keelokan bayinya.

"Aku rasa, kalau Tyra sudah dewasa nanti, dia akan jauh lebih cantik darimu, Ryu Ji."

Jisoo mencibir, dia masih sibuk bersama busa dan Tyra di dalam bak mandi bayi. Jisoo sudah lihai memandikan Tyra, sejak satu minggu paska persalinan. Jisoo sangat senang merawat bayinya dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan baby sitter yang Chanyeol pekerjakan untuk membantunya.

Tangan Chanyeol ikut masuk ke dalam bak, dia sibuk mengajak Tyra bicara sambil sesekali mengusap perut sang bayi. Jisoo tidak bisa menahan tawa. Chanyeol selalu membantunya, pria sibuk itu sigap memberikan handuk, menyiapkan pakaian dan segala macam perawatan bayi. Lalu setelah selesai, Chanyeol meminta Jisoo untuk meletakkan Tyra dalam gendongan tangannya. Meski sangat kaku dan Chanyeol tidak berani bergerak, tapi Chanyeol selalu memaksa untuk menggendong Tyra.

"Wuah, putri ayah cantik sekali." Tyra mengerjab, Chanyeol tertawa.

Jisoo memandangi Chanyeol, matanya berembun, dia merasa sangat beruntung Tuhan mempertemukannya dengan pria sebaik Park Chanyeol. Jisoo memajukan wajahnya, lalu mencium pipi Chanyeol.

"Terima kasih."

Chanyeol tertegun, kali ini Jisoo mengecup bibirnya singkat.

"Terima kasih untuk semuanya, Chanyeol. Tyra beruntung sekali memiliki ayah sepertimu."

"Aku rasa, akulah yang beruntung disini. Punya dua malaikat yang sangat cantik, benar kan?"

Chanyeol tersenyum, dia mencium kening Jisoo lalu mencium ubun-ubun Tyra. Jisoo merapat, menyandarkan kepalanya di lengan Chanyeol, lalu ikut mengajak Tyra bicara. Jisoo tidak mau apa-apa lagi sekarang, dia sudah mengubur semua masa lalunya dalam peti mati yang tidak akan dia gali lagi. Dalam hati Jisoo berjanji, seberat apapun hidup yang akan dia jalani nanti, dia akan terus bertahan bersama Chanyeol, bersama pria yang sangat menyayanginya dan bayinya. Atau barangkali, Jisoo akan berusaha keras untuk membuka sedikit hatinya untuk Park Chanyeol, ya... Jisoo mulai memikirkan kemungkinan itu.

~000~

Tiap kali Lilian memandang Sehun, tiap itu pula nyeri beringsut ke seluruh aliran darah. Keputusan bertahan bersama Sehun, menekan semua keinginan untuk menancapkan belati di jantung si penghianat itu. Lilian tahu ide gila bertahan bersama Sehun hanya akan membunuhnya secara perlahan, dia tahu sampai kapanpun Sehun tidak akan pernah kembali seperti sosok Oh Sehun yang dulu jatuh cinta padanya dengan janji tak bertepi.

"Apa yang Jisoo berikan padamu? Apa yang Jisoo punya yang aku tidak punya? Katakan?"

"Aku tidak mau membahasnya."

"Katakan, Oh Sehun?!"

"Tidak ada. Kau punya segalanya yang Jisoo tidak punya."

"Lantas, kenapa kau bersamanya?"

"Lilian."

"Katakan!"

Napas Lilian memburu, dia sudah menahan ini sejak lama. Lilian benar-benar muak Sehun lebih memilih Jisoo ketimbang dirinya, dia sangat ingin tahu alasannya, tapi Lilian takut terluka lebih dalam. Namun sekarang Lilian tidak bisa lagi menahannya, dia ingin tahu apa yang pelacur itu berikan pada Sehun hingga suaminya tega mencampakkannya.

"Aku mencintai Jisoo lebih banyak dari aku mencintaimu."

Detik itu juga rotasi hidup Lilian beku, rangkulannya di lengan Sehun lepas begitu saja. Belati baru saja mengoyak jantungnya, hancur tak tersisa. Lilian sesak, dia menahan air mata yang dengan brengseknya sudah berkumpul di ujung pelupuk. Lilian memaki Sehun, dia menampar dan memukuli Sehun, meluapkan semua luka yang membuatnya hampir menyayat nadi. Sehun diam saja, dia menerima semua pukulan Lilian, hingga pada akhirnya Lilian berhenti, tenaganya habis tertelan emosi dan air mata.

"Aku membencimu, Oh Sehun. Sangat benci."

Lilian memejam, dia benci Sehun sebanyak dia mencintai pria itu. Dia ingin lepas dari Sehun namun dia tidak ingin kehilangan Sehun. Lilian muak pada dirinya sendiri yang tidak mampu mengambil keputusan, dia tidak tahu kenapa tetap memilih bertahan dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja, seolah-olah perselingkuhan itu tidak pernah ada, seolah-olah dia belum tahu Jisoo menghianatinya.

Dan sekarang dia harus melihat sosok terpidana lainnya yang pantas mati untuk pertama kali, setelah skandal yang memutuskan urat nadi tempo hari terkuak. Di sana, di atas sofa besar nan mewah di ruang utama, Jisoo duduk bersandar bersama bayi mungil yang menggenggam ibu jari, wajahnya berseri, sangat bahagia. Hari ini Lilian, Sehun, dan kedua orangtuanya mengunjungi Jisoo. Edmund menyambut kelahiran bayi cantik itu penuh suka cita, hal yang sama bisa Lilian lihat di wajah Chanyeol. Park Chanyeol tak berhenti menebar senyum, memberi kecupan hangat di puncak kepala Jisoo ataupun di ubun-ubun sang bayi.

"Namanya Tyra, Tyra Chania Park." kata Chanyeol, dia mengambil alih Tyra kecil ke dalam gendongannya. Pengusaha kaya raya itu sudah fasih menggendong Tyra, setelah latihan selama dua minggu bersama Jisoo dan Ruffier.

"Maaf baru memberi kabar dan membolehkan untuk berkunjung, Jisoo harus istirahat total selama tiga bulan kemarin."

Semua orang tampak senang, Lilian bahkan mampu berakting sebagai mana mestinya, dia memeluk Jisoo seperti biasa, walau hatinya menjerit. Lilian ingin sekali memaki Jisoo, menampar, menjambak, lalu memukuli wanita itu sampai babak belur, bila perlu sampai mati. Namun Lilian juga tahu, bila dia melakukan itu, dia akan kehilangan Sehun, dia akan kehilangan adik perempuannya, malah mungkin dia akan kehilangan dirinya sendiri.

Lain halnya dengan Sehun, dia hanya berdiri, beku, jauh dari sofa, jauh dari euforia yang tengah memayungi ruangan itu. Sehun memandangi bayi yang diayun dalam gendongan Chanyeol. Itu bayinya, itu putrinya, seharusnya bayi itu bernama Tyra Oh bukan Tyra Park.

"Jangan bertindak berlebihan pada sesuatu yang bukan milikmu, Chanyeol."

Tiba-tiba Sehun bersuara, semua orang kini melihat Sehun. Jisoo memejam, dia takut, buru-buru dia merangkul lengan Chanyeol, tapi Chanyeol sudah lebih dulu beranjak, mendekati Sehun. Jisoo pucat, menahan napas. Lilian memicing, dia benci Sehun, dia tahu apa yang hendak Sehun sampaikan dari kalimatnya itu.

"Maksudmu...,"

Mendadak Tyra menangis, lantang, nyaris menggelegar. Chanyeol urung bicara, dia mundur, mengoyang-goyang Tyra dalam gendongan, tapi bayi itu tetap menangis, semakin kencang.

"Mungkin dia lapar, Jisoo." Minshi mengambil alih Tyra dari Chanyeol, lalu meminta Jisoo untuk menyusui bayinya di kamar. Lilian terpaksa ikut, dia tidak punya alasan untuk tetap tinggal di ruang tamu.

Chanyeol mempersilahkan Edmund untuk menikmati teh yang tersaji di meja, sementara dia mendekati Sehun, menuntaskan kalimat yang tadi hendak dia sampaikan pada pria itu.

"Berhentilah berpikir Jisoo dan bayinya adalah milikmu, Oh Sehun. Sadarlah, kau membuang mereka."

Rahang Sehun mengeras, dia ingin sekali memberi bogeman, Chanyeol menyeringai penuh kemenangan.

"Ingat, jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan kembali, apa yang sudah pernah kau buang, Sehun. Aku tahu kau tidak pernah menginginkan bayi itu, aku tahu kau pernah memaksa Jisoo untuk membunuh bayinya. Aku juga tahu sampai detik ini, kau masih menyisakan setengah hatimu untuk Lilian. Jika sudah begini, masih pantaskah kau mendambakan Jisoo dan Tyra, Oh Sehun?"

Chanyeol menekan suaranya serendah mungkin, dari atas sofa yang dia duduki, Edmund memanggilnya. "Apa yang kalian bicarakan? Kemari, kita minum teh bersama." Chanyeol menoleh, dia tersenyum pada Edmund, lalu kembali lagi pada Sehun.

"Aku tidak akan pernah membiarkan kau merebut mereka dariku, tidak akan pernah."

"Jisoo tidak mencintaimu, dia tidak pernah menginginkanmu. Sampai kapanpun mereka tidak akan menjadi milikmu, meski kau mengurung mereka, Park Chanyeol."

"Sayangnya aku tidak peduli, Sehun. Dan hari ini, aku pastikan menjadi hari terakhir kau bisa melihat Jisoo dan Tyra. Semoga kau senang dengan keputusanku ini, Oh Sehun."

Chanyeol berbalik, mengubah ekspresi dingin dengan seulas senyum ramah lalu bergabung bersama Edmund. Sekejap mereka sudah terlibat perbincangan tentang tumbuh kembang Tyra selama tiga bulan ini, sementara Sehun masih memaku di tempat dia berdiri, menahan semua amarah, takut, dan kecemasan akan kehilangan Jisoo.

-

-

TBC

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

77.7K 12K 40
[Cakrawala Mandala Series #3] Sri dan Putri adalah penulis genre fiksi sejarah yang dikenal gemar mempermainkan takdir tokoh-tokoh dalam ceritanya. T...
12K 1.6K 37
Bahuwirya tak pernah berharap ia jatuh cinta pada gadis lugu yang terus menatapnya dengan rasa penasaran. Bagaimana ketika gadis itu mendekatinya, be...
889K 125K 55
[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membaca...
Saujana (REVISI) Od may mellema🏵

Historická literatura

9.8K 958 44
Saujana: (sejauh mata memandang) Keindahan kecil yang tak dapat di ubah, sebuah perbedaan yang harus sama-sama di terima. Tuhan tidak jahat hanya saj...