LFS 1 - Air Train [END]

By PrythaLize

1.1M 144K 6.3K

[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun b... More

PROLOGUE
The First Station - "Tears After The Day"
The Second Station - "Those Rain That Passes by"
The Third Station - "Unheard Voice"
The Fourth Station - "Passenger"
The Fifth Station - "Pretend"
The Sixth Station - "The Falling Name"
The Seventh Station - "Another Moment"
The Eighth Station - "Another Gift"
The Nineth Station - "The Miracle She Used to Wait"
The Tenth Station - "New Year Eve's Miracle"
The Eleventh Station - "TERROR"
The Twelfth Station - "The Second Message"
The Thirteenth Station - "The Second Entrance"
The Fourteenth Station - "I'm Not The Only One"
The Fifteenth Station - "Heartache"
The Sixteenth Station - "So Near Yet Nobody Could Reach"
-TUNNEL-
-A STOP-
The Seventeenth Station - "Hope in Nope"
The Eighteenth Station - "The Secret Miracle"
The Nineteenth Station - "How Do You Know?"
The Twentieth Station - "Night"
The Last Station - "The Final"
EPILOGUE

The Twenty First Station - "The Conversation"

34.9K 4.9K 380
By PrythaLize

Pagi-pagi bersama sekumpulan orang-orang berpakaian hitam tanda duka, gerimis menyertai seolah langit turut bersedih menyaksikan hal yang terjadi. Aroma bunga kamboja tercium, gundukan tanah yang masih basah, baru nisan yang mengukirkan namanya, menambah kesedihan dan menyadarkanku pada kenyataan bahwa Tante Nirmala telah tiada.

Di atas kursi roda, aku yang dipayungi oleh Mama, sama sekali tak bisa berkata apapun. Bahkan saat kami melihat Putri sulung tante Nirmala menjerit dan menangisi kepergiannya dengan tak rela. Putri bungsu tante Nirmala yang usianya masih lima tahun itu tak dibawa serta. Paman Lintang memeluk Putri sulungnya yang masih mencoba menggali kembali kuburan itu.

Aku memejamkan mataku, entah mengapa mataku terasa begitu panas. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dengan Tante Nirmala. Entahlah, aku tidak tahu. Kami tinggal di kota yang sama, namun aku jarang sekali bertemu langsung dengannya.

Putri sulungnya itu bernama Tania, umurnya sama denganku, dan kudengar dia akan bersekolah di SMA Permata, sama sepertiku. Kami belum sempat berbicara karena dia masih berduka menangisi kepergian Ibunya, sedangkan aku ataupun siapapun tak berani mengajaknya berbicara. Dia butuh waktu.

Yang kudengar dari kejadian singkat kemarin, malam saat aku terjatuh dari balkon, kondisi tante Nirmala mengalami penurunan drastis. Katanya, selama ini tante Nirmala menyembunyikan penyakit yang di deritanya kepada semua orang. Aku tidak tahu persis apa penyakit itu, karena baik Papa atau Mama tidak mereferensikannya, tetapi dari yang kutangkap, semua itu berhubungan dengan pemerosotan produksi sel darah merah dan jantungnya yang mulai melemah.

Orang-orang mulai berkurang jumlahnya, semuanya meninggalkan pemakaman setelah memberi doa. Namun keluarga besar masih berkumpul di sini, di depan makam Tante Nirmala, masih meratapi semua kesalahannya padanya, meratapi kenangan yang hanya bisa dikenang selamanya.

"Pa! Kenapa Mama masuk di dalam sana, Pa?! Kenapa?"

Paman Lintang hanya bisa memeluk putrinya erat, putrinya yang masih memberontak dalam pelukan Ayahnya, membuat Paman Lintang tak bisa menahan kesedihan yang sama besarnya, "Kita ikhlasin Mama, ya? Biar Mama bahagia di sana..."

Meski begitu, Tania tetap menangis, memeluk erat Ayahnya.

Aku menunduk, merenungi semua hal yang terjadi padaku selama seminggu ini. Aku tak bisa mengatakan bahwa aku bersyukur bahwa aku terbangun, tapi tak bisa dikatakan pula kalau aku tidak merasa beruntung. Aku hanya tidak tahu harus kemana.

"...Tyara, ayo kembali ke rumah sakit," ajak Mama sambil mengelus rambutku lembut, "tinggal beberapa hari saja," bisik Mama dengan pelan.

Aku mengangguk, Mama memberikan payungnya pada Papa karena hujan gerimis telah berakhir beberapa saat yang lalu. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Tania dan Paman Lintang di sana, memang masih ada beberapa keluarga lainnya yang masih mencoba menenangkan mereka di sana, tapi tetap saja aku merasa tidak tega.

*

"Kamu nggak usah mikir, kematian memang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia. Itu hukum alam, tidak ada yang bisa melawannya," gumam Mama saat membantuku berbaring di ranjangku. "...Tyara cepat sembuh ya?"

Aku melirik Mama, meski Mama mengatakan 'tidak perlu memikirkannya', aku akan terus memikirkannya. Mata bengkak Mama dan juga garis hitam yang sudah ada sejak aku terbangun, menandakan bahwa beliau sudah hampir tidak tidur beberapa hari. Aku paham betul dengan perasaan Mama meskipun aku tidak pernah tahu perasaan memiliki seorang saudara. Tapi aku tahu, Mama tidak mungkin tidak sedih disaat Kakak kandungnya meninggal.

"Mama ada urusan, nanti Mama telepon," ujarnya, "nanti Mama minta Mas Acep jemputin Bi Surti biar dia antarin lauk kesukaanmu. Mama pergi sebentar saja."

Aku mengangguk. "Iya, Ma."

"Kalau Gracia datang, bilang ya, biar nanti Mama beliin sekalian makan malamnya."

Lagi-lagi aku mengangguk.

Setelah Mama pergi, aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk berbaring. Ini benar-benar tidak menyenangkan, perasaanku benar-benar tidak enak dan rasanya aku ingin segera keluar dari rumah sakit. Aku benci keadaan ini.

"Tyara." Suara Gracia terdengar dari luar pintu. "Aku masuk ya?"

Aku mendiamkannya, tapi Gracia tetaplah Gracia yang dulu, dia masuk setelah meminta izin meskipun aku sama sekali tak membalas sahutannya.

"Aku turut berduka ya, Tyara," ucapnya dengan penuh penyesalan. "Tadi aku ketemu Ibumu pas mau kemari...."

Aku pun bangkit dari posisi tiduranku, berusaha duduk di kursi roda yang letaknya di samping ranjangku. Gracia yang melihat aksiku pun buru-buru membantuku dengan sangat bingung.

"Ih, Tyara. Istirahat dulu, kamu kan tidak tidur kemarin..."

Aku memperlihatkan punggung tanganku yang kini terbebas dari jarum. "Cepat, sebelum tiang infus itu mengganggu lagi."

"Eh, tapi kan-"

"Iya, cuman dilepas sementara karena aku pergi tadi pagi," potongku.

Gracia mengelus tengkuknya ragu, "Err, oke deh. Tapi kita mau kemana?"

Aku mengendikkan bahuku, membuat Gracia menghela napas lelah, namun dia tetap mendorong kursi rodaku keluar dari kamarku.

"...Kamu tidak apa-apa?" tanya Gracia hati-hati.

Aku berbalik menoleh ke arahnya, "Aku tidak tahu, Cia...Aku merasa bersalah tanpa sebab yang pasti, aku merasa ada sesuatu yang salah."

"Ini pertama kalinya kamu tidak menjawab dengan kata 'gapapa'."

Debaran itu datang kembali, jantungku benar-benar terasa begitu terpukul keras dan rasa sakitnya mengalir disetiap rongga yang bisa dilewatinya. Kepalaku terasa berat dan mataku kembali merasakan rasa sakit itu. Sakit yang tak jauh berbeda saat pertama kali aku terbangun beberapa hari silam.

"...Cia, aku pusing,"

"Tuh kan! Seharusnya kita tidak keluar," omel Gracia sambil memutar balik kursi roda itu kembali ke arah kamar inapku.

"Enggak, Cia..." Aku menggeleng cepat, "aku nggak mau kembali ke kamar, ini cuman migrain biasa, mungkin."

"Tyara, jangan bikin orang khawatir, ah," ucapnya kesal. "Kamu masih pusing?"

Aku menganggukan kepalaku, aku tidak tahu setelah melakukan itu, justru pandanganku terlihat berkunang-kunang.

"Ra? Tyara?!"

"Hm?" aku berusaha menjawab Gracia yang terdengar tegang dan panik entah karena apa, kepalaku yang berkunang-kunang membuat semua cahaya yang ada terlihat hitam-ungu-hijau gelap kembali terang, begitu terus berulang-ulang.

Gracia terdiam kali ini, itu membuatku benar-benar bingung dengan tingkahnya.

"Cia?"

"Anda Nona Tyara?"

Aku menolehkan kepalaku ke arah Gracia saat mendengarkan suara lelaki, penglihatanku yang berkunang-kunang itu masih menutupi pandanganku, meski kali ini wajah Gracia samar-samar terlihat jelas. Gracia menatapku dengan horror, yang membuatku bertanya-tanya semengerikan apa wajahku saat ini.

"Ku-kurasa kamu harus jawab 'iya', Ra," balas Gracia gugup.

Aku mengerutkan keningku bingung, namun akhirnya berbalik kembali ke depan untuk mengangguk. Saat itu pula pandanganku kembali terang dan aku melihat seorang pria sedang mendorong kursi roda yang di duduki oleh...

Astaga, astaga, ada Aetherd di depanku!

Sejak kapan?

Pria itu menepikan kursi rodanya di depan pagar jeruji padat yang membuat Aetherd bisa melihat bagian tengah rumah sakit di bawah sana, banyak pasien yang berkunjung di sana ditemani suster dan pendamping mereka. Aku benar-benar terpaku diam saat Gracia melakukan hal yang sama dengan pria itu-menepikan kursi rodaku di depan pagar.

"Nih, aku pinjamin Gralien, please jaga dia baik-baik. Sandi Gralien belum kuganti, kalo udah selesai, telepon aja ke nomormu, oke?" bisik Gracia. "Handphone-mu ada di kamar kan?" Aku mengangguk kaku. "Oke, good luck, Ra."

Daripada menyemangati, 'good luck' yang diberikan Gracia lebih terdengar seperti mengatakan padaku semoga berhasil menghadapi cobaan ini agar aku selalu tabah dan tegar, entahlah, semoga saja bukan itu maksud Gracia.

Setelah dua langkah berbeda irama itu tak terdengar di pendengaranku lagi, dan migrain kepalaku yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, aku pun menoleh takut ke pemuda bermata biru itu.

Dia punya segalanya, rambut hitam yang merupakan rambut paling menarik berdasarkan survei yang pernah kudengar dan juga manik biru yang indah.

Hanya satu yang kuherankan, mengapa tiba-tiba dia mau berbicara denganku? Apa dia sudah ingat? Eh, tunggu dulu, kami bahkan belum berbicara.

...Hening sekali.

Ingin menghilangkan semua kecanggungan ini, dan karena dari hati terdalamku aku sudah benar-benar lega karena keselamatan pemuda ini, mungkin sebaiknya aku berlagak seperti tak mengenalinya dan meminta maaf atas kejadian lusa kemarin. Aku bisa beralasan bahwa itu hanya nama random yang terpikirkan di kepalaku. Tapi mana mungkin bisa sekebetulan itu!

Baiklah, Tyara, lakukan semampumu untuk meyakinkan pemuda ini bahwa kita tak saling mengenal, seruku dalam hati, toh, dia terlihat tidak mengingatku kemarin malam. Lagipula aku akan segera keluar dari rumah sakit, itu yang kupikirkan. Tapi kenyataannya aku benar-benar tidak ingin dia lupa dengan apa yang terjadi.

Aku ingin berteman dengannya, mungkin?

Semoga saja dia ramah.

Semoga.

"Uhm, namaku Tyara, dari-"

"Mutiara," potongnya yang membuatku terpaku diam.

Astaga.

Aku bukan hanya kaget dengan suaranya yang terdengar kelam sekaligus indah itu, tapi juga kata pertama yang diucapkannya. Dia ingat aku?!

Dia benar-benar ingat aku?!

"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Satu kalimat itu cukup untuk membuat segalanya jatuh; harapan, angan dan semua persepsi yang sempat terpikir oleh diriku. Kenyataannya, dia tak mengingatku. Aku tertawa miris dalam hati, siapa juga yang tidak tahu kalau Tyara itu berasal dari kata 'Mutiara'?

Dan lagi, apa yang harus kujawab? Pernah? Secara logika, kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Secara spiritual-hey tunggu, dia bukan bergentayangan dan memangnya siapa yang akan mempercayai kata-kataku?

Aku tersenyum miris, "Tidak pernah."

Pemuda itu melipat kedua tangannya, menatapku bingung, "Anda yakin? Saya merasa pernah bertemu dengan anda,"

"Dalam mimpi Anda, mungkin." Aku mengikuti cara bicaranya yang menggunakan bahasa formal, meski sebenarnya aku sedikit tidak nyaman menggunakannya. Mungkin itu jawaban tertepat dari segala kebingungannya.

"Lalu, darimana Anda tahu nama saya?"

Aku mengerutkan keningku, "apa Anda tidak tahu kalau profil Anda tersebar luas di internet?" tanyaku.

Dan sebenarnya, aku juga baru mengetahuinya beberapa waktu lalu.

"Umur Anda berapa?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Aku menarik napas. "Baru lima belas, dan sebenarnya saya tidak nyaman dengan bahasa formal Anda, Aeth-ed."

Aku terdiam saat menyadari bahwa aku baru saja salah melafalkannya.

"...Panggil saja Aeth." Dia terdiam sejenak, memperhatikan kembali manik mataku yang membuatku secepatnya memalingkan wajahku darinya, jangan sampai aku tenggelam di sana. Jangan sampai. "Tambah 'Kakak' juga," tambahnya yang seketika itu membuatku mengerjap bingung.

"Anda bukan Kakak saya, mengapa harus begitu?" tanyaku yang mungkin terdengar seperti protes, tapi percayalah nadaku tak semenyebalkan bayangan kalian.

"Aku lebih tua empat tahun darimu," balasnya yang akhirnya tidak lagi menggunakan bahasa formal.

Ini aneh, aku tidak pernah memiliki saudara atau sepupu yang lebih tua dariku, jadi otomatis aku tidak pernah memanggil siapapun dengan sebutan 'Kakak'. Sejak dulu, aku paling tidak suka terlibat banyak hal dengan orang-orang yang tidak penting, para Kakak kelas di sekolahku dulu, misalnya. Kalau guru meminta kami meminjam cetak dari kakak kelas, Gracia tidak akan ragu-ragu membantuku.

Dan memanggilnya dengan embel-embel 'Kak' benar-benar tidak logis, menurutku.

Maksudku, aku sudah terlalu terbiasa memanggil namanya langsung-meskipun masih bersalahan-tapi serius, menambahkan 'Kak' dan memanggilnya 'Kak Aeth' akan membuatku kebingungan sepanjang hari.

"Apa kamu teman adikku?" tanyanya memecah keheningan yang kubuat karena terlalu lama berpikir.

Adik? Adik apa?

Melihatku kebingungan, Aetherd menatapku curiga, "Kamu bilang melihat profilku dari internet? Kok tidak tahu kalau aku punya adik?"

Aku mengerjap panik, mencoba memikirkan jawaban terbaik hanya dalam beberapa detik, namun aku tak menemukannya.

"Aku tidak percaya kalau kamu melihat profilku dari internet, aku yakin kita pernah bertemu sebelumnya, kan? Jujur saja, Nona."

Aku menggigit pipi dalamku, "Di dalam kereta api," jawabku dengan suara kecil.

Aetherd mengangkat sebelah alisnya, namun tetap tersenyum, "Pertama kalinya aku naik kereta api, kereta api itu dibajak, dan itu juga menjadi terakhir kalinya aku menaikinya. Kamu sedang mengarang?"

"Aku tidak mengarang!" bantahku.

Entahlah, aku tidak bisa mengatakan bahwa Aetherd adalah orang yang kasar ataupun ramah, ucapannya sedaritadi hanya mengandung nada introgasi. Dia lupa padaku, lalu bagaimana mungkin dia begitu yakin dengan pemikirannya? Aku bingung.

Kami terdiam beberapa saat sebelum akhirnya pemuda itu mengulurkan tangan kanannya ke arahku, gletsurnya yang nampak seolah ingin bersalaman pun membuatku mengangkat alisku sambil menyerahkan tanganku ke arahnya dengan sedikit ragu.

"Kalau begitu, salam kenal, Tyara."

Dan aku bagaikan orang bodoh yang masih saja mematung begitu mendengarnya menyebut namaku dengan nada yang amat mengintimidasi, dan karena tangan kami bersentuhan. Ini bukan pertama kalinya untukku, tapi tetap saja...,

...kali ini, rasanya tak sedingin hari itu. Hangat.

Itu membuatku tersenyum tanpa sadar.

Permintaanku terkabul.

"Salam kenal juga, Aeth."

***TBC***

19 November 2016, Sabtu.

Cindyana's Note

NAH! Pembicaraan pertama Aetherd dan Tyara setelah 20 chapter berlalu. Nah, nah, nah!

Karena LFS 1 ga nampak minor romance-nya sama sekali, saya lemparin semuanya ke LFS 2 nanti, oke? Hoho. LFS 2 gilz banget bhak.

Q: Kak, ini sebenarnya hubungan kereta api sama kehidupannya Tyara apaan sih?
A: Perubahan pola pikir Tyara, perkembangan hubungan Tyara dan ortu-nya dan juga mengubah persepsi Tyara. Rumit? Iya. Cuman itu? Hooh. Tapi sebenarnya tujuan kalian baca Air Train itu buat apa sih? Kayaknya kalian juga udah tahu deh alasan lain dari pertanyaan itu.

Q: Jadi, itu kereta api yang diperuntukan untuk manusia yang hidupnya sedang terombang-ambing antara mati atau kembali?
A: Iya. Yang berhasil turun di stasiunnya bisa melanjutkan, yang tetap stay disana bakalan lanjut perjalanan sampe dia menemukan stasiunnya atau mendapat konfirmasi kalau stasiunnya tidak ada (alias mati). Tyara dan Aetherd berhasil turun deh, intinya.

Q: Bakalan ada scene manis-manis Tyaeth nggak? :'(
A: Di Air Train? Kagak. Tapi di LFS lain mungkin ada. Berhubung keempat heroine kita masing-masing punya speciality. Dan karena semua ceritanya berhubung, meski dalam latar waktu yang sama. Aih, lihat aja entar, tergantung mood saya, mwehe.

Q: Ka Cin, Air Train berapa chapter lagi? Kalau DN? Lost Memories?
A: Air Train kuusahain maksimal 3 lagi (tapi firasat bilang 2 lagi, sih), belum termasuk Epilog. Terus DN bakalan balap ngejar Air Train karena DN butuh kira-kira 5 lagi karena DN emang gapunya prolog-epilog. The Lost Memories kan udah -4, setelah -1, lanjut ke 5-11 tamat. Predictable, huh? HAHAHA

Q: Ka, serius nggak ada 1 LFS yang sad end? Paling suka LFS berapa?
A: HAHAHA, gatau, gatau. Semua LFS sebenarnya punya potensi sad ending. Liat, Air Train aja maksa banget happy-nya haha. Saya suka semua LFS sih. All do have problem, right?

Ada pertanyaan lain? PM aja, okeee?

Ini endingnya mau dibawa kemana ya? Saran dong.

Cindyana

Continue Reading

You'll Also Like

15.9K 5.3K 29
⚠️ DILARANG KERAS PLAGIAT!! *** Aku salah memilih tempat untuk bahagia. Bahagiaku bukan di sini, bukan di sana, dan bukan di mana-mana. Kiraya Qoratu...
1.5M 229K 43
(Ghost series #2) Keano adalah seorang bintang besar yang tergabung dalam satu grup bernama SKY. Nasibnya yang malang, harus membuat Keano terlibat d...
14.4M 1.6M 67
Ini kisah Clarissa si Queen Racing yang memasuki Novel My Ice Boy, dia bukan memasuki tokoh Antagonis maupun Protagonis tapi dia memasuki tokoh Figur...
297K 24.2K 27
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki banyak teman karena status sosialnya...