Resepsi pernikahan dirayakan besar-besaran meski Ashel meminta agar pernikahan cukup akad nikah saja, namun kedua orang tua Arfan menginginkan supaya seluruh penjuru menyaksikan prosesi pernikahan selama tiga hari tiga malam.
Dan malam ini, Ashel merasa sangat cemas. Malam pertama menjadi saat-saat yang menakutkan baginya. Ia duduk termenung di kamar dengan perasaan gelisah.
Arfan menyusul masuk dan mengunci pintu. Dia duduk di sisi Ashel. Sedikitpun tidak ada rasa yang mengalir dalam darah Ashel meski tangan besar lelaki yang telah menjadi mahramnya itu menyentuh tangannya dengan genggaman kuat.
Kata Naifa, malam pertama sangat mendebarkan. Tapi bagi Ashel justru sebaliknya, rasanya seperti tawanan yang akan digiring ke tiang gantungan.
Ashel mengangkat wajah dan menatap wajah suaminya. Arfan balas menatap istrinya lekat-lekat menikmati wajah sederhana istrinya.
“Aku mencintaimu,” ujar Arfan seraya dengan tatapan penuh cinta.
Ashel diam saja. Ia berharap ada tsunami yang tiba-tiba muncul menyapu bersih seisi rumahnya, termasuk lelaki di depannya itu. Ia heran kenapa hatinya jadi kejam dan sadis.
Ashel bersikap demikian bukan tanpa sebab, karena baginya Arfan adalah orang yang telah mengikat kebebasannya, hingga cita-citanya punah di tangan lelaki tua itu. Ashel bisa menonjok siapapun jika ia tidak suka, tapi tidak dengan suami. Bisa-bisa ia kualat. Ia tidak mau dikutuki malaikat.
Arfan mendekatkan wajahnya ke wajah Ashel. Memiringkan kepala. Tepat pada saat bibir mereka berada di jarak sesenti, tangan Ashel menahan dada Arfan, membuat tubuh kurus tinggi itu tertahan.
“Kenapa?” bisik Arfan. Ia membuka matanya yang sejak tadi telah terpejam.
“Maaf, Mas. Aku lagi datang bulan,” ucap Ashel. Sudah dua hari masa haidhnya datang.
Arfan mengangguk. Lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.
Sesaat hening.
Ashel masih bertahan pada posisinya duduk di tepi ranjang. Jari-jarinya meremas-remas sprei.
“Istriku, kemarilah!” ujar Arfan sembari menepuk kasur sisinya.
“Aku belum ngantuk, Mas,” jawab Ashel tidak ingin menyakiti perasaan Arfan. Entah sampai kapan Ashel bertahan. Jika masa haidh telah selesai, alasan apa yang akan membuatnya menolak ajakan suami. Bukankah seorang istri akan dikutuki malaikat sampai pagi bila menolak panggilan suami?
“Ijinin aku nonton TV,” ujar Ashel seraya berdiri.
Arfan tersenyum dan mengangguk. “Ya, tentu. Perlu kutemani?”
“Nggak usah. Mas pasti masih capek gara-gara pesta pernikahan yang melelahkan. Istirahatlah.” Ashel buru-buru pergi ketika Arfan bangkit bangun berniat mengecup keningnya. Ia mengerti maksud Arfan saat tangan lelaki itu menjulur hendak meraih kepalanya. Ia berbaring di sofa depan TV. Kamar luas milik suaminya itu memang lengkap. Persis seperti hotel.
Sementara Arfan tidur di ranjang. Sesekali ia mencuri pandang kecantikan istrinya dari jarak jauh.
Ashel tertidur sampai pagi di sofa bersama kecemasan-kecemasannya yang membelenggu. Begitu bangun, tubuhnya sudah tertutup selimut tebal. Pantas saja ia tidak merasakan sejuknya angin yang berhembus dari Ac selama tidur.
Hari ke hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari sikap Ashel yang dingin. Perlahan Arfan mulai menyadari bahwa Ashel tidak memiliki cinta untuknya. Setiap malam Ashel selalu bersikap dingin, selalu menghindar. Selalu tidur di sofa. Perbuatan Ashel tak lantas membuat sikap Arfan berubah, dia tetap lembut, manis dan sopan. Ia bahkan selalu membantu pekerjaan rumah. Mencuci piring. Memasak. Menyapu. Mengepel. Ia pun tidak segan mencuci pakaian dan menyeterikanya. Semua dilakukannya demi meringankan pekerjaan Ashel. Sikap itu tidak kunjung menumbuhkan perasaan cinta di hati Ashel.
Ashel masih berusaha menjauhi suaminya. Ia heran pada perasaannya sendiri, kenapa ia begitu kejam pada suaminya? Dimana petuah suci kitab Al Qur’an yang selama ini dipelajarinya? Dimana hidayah itu? Kenapa ia sedemikian kuat menjajah perasaan suami? Padahal ia sudah berusaha sebisa mungkin menumbuhkan rasa cinta pada Arfan. Tapi sia-sia. Usaha itu justru membuat perasaan tak suka semakin menjadi-jadi.
Bukankah tujuan utama pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah? Bukankah istri adalah pakaian suami? Dan sebaliknya, suami adalah pakaian istri? Tapi kenyataannya itu tidak ia rasakan. Lalu bagaimana rumah tangga akan terbina bila salah satunya merasa tidak nyaman?
Seminggu kemudian, di kamar yang sama, Arfan kembali menyentuh tangan Ashel untuk yang kedua kalinya, Ashel menundukkan wajah berusaha menyembunyikan perasaannya yang terpancar melalui raut wajahnya agar tidak terlihat oleh Arfan. Sesungguhnya tangannya mengepal berasa ingin meninju dinding.
“Sayang, bisakah malam ini aku memelukmu?” bisik Arfan.
Ashel tidak menjawab. Ia ingin memberontak dan marah. Tapi teduh wajah Arfan membuatnya luluh. Jikapun ia menjawab tidak, Arfan pasti tidak akan marah, hanya rasa sakit yang akan mengoyak batin lelaki itu. Dan Ashel tidak mau menambah dosanya dengan melukai perasaan suami.
Ashel memejamkan mata. Kali ini dia pasrah. Jika Arfan akan menggaulinya, sudah merupakan kewajibannya untuk melayani.
Apakah kebencian termasuk salah satu alasan mengugurkan kewajiban?
Ashel membuka mata setelah lama terepejam dan tidak terjadi apa-apa. Ashel melihat badan Arfan bergetar dengan air mata membanjir di kedua pipi lelaki itu.
“Mas, ada apa?” Ashel mengerutkan kening dengan cemas.
“Ma… Maafin aku, Dik.” Suara Arfan terbata.
“Kenapa harus minta maaf, Mas? Nggak ada yang salah darimu.”
“Aku nggak bisa jadi suami yang baik.”
Ashel terdiam mendengar kata-kata itu. Lidahnya kelu untuk menjawab. Arfan bahkan telah menjadi suami yang sangat baik, bahkan mulia. Bagaimana mungkin Arfan bisa berkata seperti itu?
“Aku mungkin nggak sesempurna lelaki yang kamu harapkan. Tapi aku punya cinta tulus yang mungkin orang lain nggak memilikinya. Niatku hanya ingin menyempurnakan separo agama untuk beribadah. Dan satu hal yang paling utama, aku mencintaimu.” Arfan diam sesaat untuk menelan. “Aku nggak akan menyentuhmu jika tanpa keridhaan sepenuhnya dari hatimu.”
Sempurnalah kesadaran Arfan tentang ketidaknyamanan istrinya yang terpancar melalui raut wajah.
Ashel merasa bersalah karena telah menjajah hati suami sendiri.
“Aku ikhlas, Mas,” ucap Ashel yang merasa iba melihat tangis suaminya. “Aku mau kok diapa-apain sama kamu. Aku kan udah jadi istrimu.”
“Enggak, Dik. Yang kuminta ikhlas dari hatimu, bukan lidahmu. Aku nggak akan melakukannya sebelum kamu benar-benar ikhlas.”
Ternyata Arfan mengetahui ketidaknyamanan Ashel meski Ashel sudah berkata ikhlas. Kemudian Arfan meninggalkan Ashel. Tidur di sofa. Kali ini Ashel yang menutup tubuh suaminya dengan selimut.
“Maafin aku, Mas,” lirih Ashel saat menyelimuti dada suaminya.
“Kamu nggak salah. Semuanya butuh waktu,” abalas Arfan bernada patah semangat.
“Mas, aku ini istrimu. Aku patuh padamu. Jangan hindari keinginanmu cuma karena istrimu ini nggak punya perasaan cinta ke kamu. Apa perlu aku yang bukain, nih?” Ashel menyentuh kancing atas bajunya siap untuk membukanya. Kali ini justru Ashel yang merengek, meminta agar Arfan bersikap leluasa. Ternyata ia masih punya nurani. Ia terpukul melihat suaminya menangis. Ia tidak ingin memupuk dosa hanya karena tidak ingin disentuh suami.
“Kamu pergilah tidur. Aku ingin sitirahat. Besok pagi aku dan Ayahmu harus pergi mengurus pekerjaan.” Lelaki itu memerintah dengan pandangan teduh.
Ashel menurut. Dia melenggang menuju ranjang.
***
Keesokan hari, Ashel menyalami dan mencium punggung tangan suaminya penuh hormat. Sementara tangan kiri Arfan menjinjing koper kecil.
Kepala Arfan maju ingin mencium kening Ashel. Tapi terhenti. Arfan terlihat enggan.
“Jaga diri baik-baik di rumah. Aku akan pergi. Kalaupun aku nggak ada, carilah orang yang bisa menjagamu.”
Pesan itu membuat jantung Ashel seakan berhenti berdetak. Apa maksudnya? Hanya berniat pergi bekerja saja pesannya seperti akan pergi ke negeri Cina.
“Hati-hati, Mas.”
Arfan mengangguk sembari melepas senyum samar. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumu salam warahmatullah.”
Arfan masuk ke mobil yang di dalamnya telah duduk lelaki setengah baya, tak lain Winarto.
Sorenya, terdengar kabar mencengangkan. Kabar yang membuat Ashel murni menyandang status janda sekaligus yatim piatu. Mobil yang dinaiki Arfan kecelakaan saat dalam perjalanan pulang. Keduanya meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Ashel tersentak dari lamunan. Setahun telah berlalu dan kejadian itu masih terekam lekat dalam ingatannya.
“Kamu pasti ditempatkan di tempat yang baik, Mas.”
Bersambung…
Ini bakalan fast update kok. Makanya kasih aku semangat ya biar nggak ngaret. Komentar kalian itu motivasi loh.
Ssst... Buat para cewek, salam tuh dari Fariz.