In a Dream

By Hanabisite

11.9K 1.1K 70

[Complete] Bagaimana kalau aku mengatakan Im Yoona bisa mengetahui kapan seseorang akan mati lewat mimpi? Apa... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Epilog

Sembilan

641 72 3
By Hanabisite


"Gomawo," Kris menatap Yoona setelah dia menyesap tetes latte terakhir di cangkirnya. "Karena telah menyelamatkanku. Aku tahu, harusnya aku tidak berkata seperti itu. Tetapi, gomawo."

Yoona tersenyum manis dan saat itu juga merasa menyesal. Ia menyelamatkan seseorang dan juga menghancurkan kehidupan orang lain di detik yang sama pula.

"Ibuku," Kris mendesah panjang kemudian tersenyum getir. "Dulu aku dan Ibuku pernah mengalai kecelakaan. Mobil kami jatuh ke sungai dan hanya aku yang selamat. Bukan, Ibuku mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku. Aku benar-benar berterima kasih padamu dan juga terima kasih telah menyelamatkan Jessica."

Senyum yang dari tadi menghiasi bibir gadis itu perlahan memudar. Kenapa ia harus merasa bersalah? Bukankah semua manusia di dunia ini pada akhirnya akan mati? Yoona hanya memberi kesempatan kedua untuk Kris dan Jessica. Sebuah pengorbanan, harus ada timbal baliknya.

"Yoona-ssi, aku ingin bertanya sesuatu. Apa kemampuanmu berlaku untuk semua orang? Maksudku, apa kau bisa mengetahui kapan kematian semua orang di dekatmu?"

"Kurasa tidak. Aku tidak bisa mengetahui kematian semua orang. Seperti kasus Kim Songsaenim."

"Siapa saja yang mungkin akan muncul dalam mimpimu?"

Yoona menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku hanya bisa melihat kematian seseorang yang akan mati di depanku."

Kris mengangguk. "Mungkinkah," tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat serius. "Ada orang lain di luar sana yang memiliki kemampuan sepertimu, bisa melihat kapan seseorang akan mati lewat mimpi?"

.

.

.

"Kupikir kau menyukai Tao, tetapi malah kau berkencan dengan Kris Oppa."

Yoona berhenti berjalan. Kepalanya memutar ke samping. Celotehan yang Jessica lontarkan tiba-tiba saja membuatnya merasa gugup. Gadis itu memang selalu menjodoh-jodohkannya dengan Tao dan ini bukan yang pertama kalinya, namun mendengar nama Detektif Wu membuatnya ingin berkata : Oh astaga!

"Kalian bahkan berkencan di coffe shop dekat sekolah," Jessica memajukan kepalanya ke arah Yoona lebih dekat dengan mata memincing. "Kau pikir aku tidak tahu."

"Kami tidak berkencan." Yoona tidak menyangkal ucapan Jessica. Tapi memang mereka benar-benar tidak berkencan.

"Baiklah, baiklah," Jessica manggut-manggut. "Tapi, jika kau ingin berkencan dengan Kris Oppa, aku siap membantumu."

Yoona menggeleng-geleng kepala pasrah, senyum cerah diwajah Jessica membuatnya sadar gadis itu sama sekali tidak mengerti maksud ucapannya. Pertama, Yoona dan Detektif Wu tidak berkencan. Kedua, mereka hanya mengobrol tentang kasus kematian, dan pasangan mana yang membicarakan itu?

"Kalian berdua tidak mempunyai pekerjaan?" suara berat Tao terdengar dari belakang. "Jangan menghalangi jalan orang lain."

Yoona menoleh. Pemuda itu berdiri tepat di belakangnya. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana, rambutnya sedikit berantakkan, dan lingkaran hitam jelas terlihat di bawah mata.

"Kau kenapa?"

"Aku?" Tao menunjuk dirinya sendiri. "Memangnya aku kenapa?"

"Berantakkan. Oh, kau memang sudah berantakkan dari dulu."

"Yak, kau," Tao mengacungkan telunjuk di depan Jessica. "Aku ini tam-"

"Sialan kau!" Belum sempat Tao menyelesaikan ucapannya suara seorang murid laki-laki tiba-tiba saja menyela diantara banyak suara. "Sudah kubilang, bawa uangnya!"

Pem-bully-an ejaan yang tepat untuk sebuah keadaan yang terjadi tepat di depan mata Yoona. Seorang murid laki-laki kulit pucat menunduk, dikelilingi segerombolan murid laki-laki lain yang tubuhnya lebih besar darinya.

"Bullying?" Jessica maju selangkah di depan Yoona. "Hey, kita harus menolongnya."

"Jangan ikut campur. Memangnya apa yang bisa kau lakukan?"

"Bukan aku," Jessica menggeleng. "Atau Yoona. Tapi kau."

"Aku?"

"Tentu saja. Karena kau sudah menjadi temanku, jadi aku memintamu untuk menolongnya."

"Sejak kapan aku menjadi temanmu?"

"Sejak Tiffany Hwang ditangkap polisi."

Yoona menarik lengan baju Tao. "Tolonglah dia."

Tao mendesah pasrah. "Baiklah." Katanya sambil mengangkat kedua tangan.

Tao menghampiri segerombolan murid yang berdiri di balik pohon dekat parkir sepeda. "Kau," dia menunjuk salah satu seorang murid laki-laki di sana. Tao tidak begitu yakin, tapi sepertinya orang yang dia tunjuk adalah ketua geng-nya. "Berhenti."

Murid laki-laki bertubuh tinggi, subur itu menoleh ke arah Tao dan sedikit terkejut. Dia menunduk sopan bersama segerombolan teman-temannya. "Sunbae."

"Apa yang kau lakukan?" Tao merangkul murid laki-laki tersebut. "Bullying?" Tao mendesah panjang. "Kan sudah kubilang berhenti mem-bully murid lemah."

Tao bukanlah anak brandal yang suka mem-bully orang lain yang lebih lemah darinya, oh, pernah sekali. Dia mem-bully Yoona. Tapi serius, selain itu dia tidak pernah melakukannya. Apalagi sampai meminta uang kepada mereka. Tao termasuk ke dalam murid yang disegani di sekolahya, jadi wajar saja wajah para adik kelasnya ini terlihat ketakutan.

"Jangan lakukan itu lagi, oke?"

Murid laki-laki itu manggut-manggut, dia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi dari sini. Tapi, "Tunggu dulu," suara Tao membuat mereka berhenti berjalan dan menoleh ke arahnya. "Kembalikan uangnya. Kembalikan uang anak ini."

"Tapi dia tidak bawa uang hari ini."

"Maksudku semua uang yang pernah kalian ambil, bodoh!"

Adik kelasnya saling melirik sambil tertunduk takut. "Ah, kau," pemuda itu menunjuk murid yang baru saja di bully. "Berapa uangmu yang diambil mereka?"

Wajahnya sedikit terangkat. Kulinya benar-benar pucat dan Tao hampir berpikir dia sedang sakit. "500.000 won."

"500.000 won?" tanya Tao tak percaya. Dia berjalan menuju murid laki-laki bertubuh gempal tadi. "Kau mengambil 500.000 won darinya? Wah, kau sudah gila ya?" tangan pemuda itu melayang ke kepala adik kelasnya dengan keras, sampai menimbulkan suara. "Cepat kembalikan."

Dengan cepat adik kelasnya merogoh saku celana dan menyodorkan segumpalan uang kumal yang entah berapa jumlahnya lalu berlari terbirit-birit bersama teman-temannya yang lain. "Uangnya kurang, sialan!"

"Ini," Tao menyodorkan uang. "Jangan sampai kau di bully lagi."

"Gomawo, sunbae." Ucap murid laki-laki itu, masih dengan wajah tertunduk.

"Jangan bilang kau adalah pereman sekolah?" tanya Jessica ketika gadis itu dan Yoona mendekati mereka.

"Apa aku seburuk itu?"

"Kau lebih buruk dari siapapun."

Yoona tersenyum kecil. Jessica dan Tao memang sering adu mulut, tetapi bukannya terlihat menyeramkan malah Yoona merasa mereka sangat lucu. Gadis itu tahu, pembullyan adalah mimpi buruk semua orang dan bukan rahasia lagi, Yoona juga pernah mengalaminya. Mungkin tidak seburuk yang dialami murid laki-laki berkulit pucat ini. Rasanya seperti seluruh dunia sedang menertawakanmu.

Tanpa sengaja pandangan Yoona dan pemuda berkulit pucat itu bertemu. Mata cokelatnya sepucat daun kering musim gugur. Indah. Tetapi mata itu menyimpan begitu banyak ketakutan dan pemuda itu kembali tertunduk. Ekspresi yang pernah Yoona alami sebelumnya.

"Siapa namamu?" tanpa sadar ia bertanya.

Bibir kering itu bergerak mengucapkan sebuah kata. "Oh Sehun."

.

.

.

"Aku tidak mau mati. Aku tidak mau mati."

Yoona memejamkan matanya sejenak. Kepalanya pening dan ia tidak pernah menyangka harinya akan sesial ini. Gadis itu berjongkok di lantai di minimarket yang tak jauh dari rumahnya. Harusnya ia menuruti perkataan Ibunya untuk tidak pergi ke minimarket tengah malam seperti ini dan gadis itu menyesalinya.

Perampokkan! Sial, pikirnya.

"Jangan bunuh aku. Jangan bunuh aku." Guaman kecil seorang pemuda disampingnya, cukup memperkeruh suasana.

Tidak ada yang mati, ucap gadis itu dalam hati. Karena aku belum bermimpi tentang kematian setelah menyelamatkan Detektif Wu.

Yoona sedikit mendonggak. Lubang pistol yang tepat mengarah di depannya, sedikit membuatnya takut. Ia melirik ke arah jam dinding, pukul dua puluh dua kurang lima menit. Kemudian pandangannya teralih ke seorang kasir yang tengah memasukkan uang ke dalam tas sang perampok.

Malam semakin larut dan dari tadi tidak ada satupun orang yang melewati jalan di depan minimarket, apalagi sampai menolong mereka. Hanya ada dua pelanggan, Yoona dan pemuda yang ketakutan dengan tubuh bergetar. Seorang kasir dan dua orang perampok.

"Kumohon jangan bunuh aku. Jangan bunuh aku."

"Kau tidak akan mati." Bisik Yoona.

"Aku akan mati disini. Aku akan mati tertembak."

Yoona menoleh ke arah pemuda itu. "Kita semua akan selamat, jadi jangan khawatir dan diam saja."

"Kau yang harusnya diam, aku akan mati disini karena itu takdirku. Sial, harusnya aku tidak perlu menolong mereka. Harusnya aku membiarkan mereka mati."

"Apa maksudmu?"

Tiba-tiba saja Yoona teringat dengan pertanyaan Kris kemarin : "Mungkinkah, ada orang lain di luar sana yang memiliki kemampuan sepertimu, bisa melihat kapan seseorang akan mati lewat mimpi?"

Pemuda itu tidak menjawab masih berguam-guam memnohon untuk tidak dibunuh. "Apa kau bisa mengetahui kapan seseorang akan mati lewat mimpi?" Pandangan pemuda itu teralih ke arahnya, mendengar pertanyaan ragu-ragu yang Yoona ujarkan. Wajahnya berubah menjadi terkejut, bibirnya terus mengucapkan kata yang tidak gadis itu mengerti.

"Sebenarnya aku," Dia terlihat seperti ingin muntah. Kulitnya berubah menjadi pucat. "Akan mati. Tolong aku."

"Hey, apa yang kalian bicarakan? Diam!" Sang perampok pertama yang sedang berdiri di depan Yoona berujar lalu mengarahkan mulut pistolnya ke kepala pemuda di sampingnya, kontan membuat pemuda itu ketakutan bukan main.

Dia akan mati? Sekarang? Tertembak? Tidak mungkin. Yoona belum bermimpi tentang kematian semenjak ia menolong Detektif Wu. Belum. Tapi jika apa yang pemuda itu ucapkan, berarti dia akan mati di depan Yoona!

"Berhenti! Jangan bunuh aku!" Pemuda itu bangkit, mendorong gagang pistol ke arah langit-langit. Dia terus menjerit-jerit dan membuat sang perampok ke dua ikut panik dan mengarahkan pistolnya ke pemuda itu. "Jangan bunuh aku! Jangan!"

"Diam! Kubilang diam!"

"Sialan kalian! Aku selalu menolong orang-orang. Tapi kenapa saat takdir menyuruhku mati, tidak ada yang mau menolongku!"

Yoona merapatkan tubuhnya ke rak permen. Keadaan sangat kacau disini dan ia benar-benar ketakutan. Lalu suara dor! Menghentikan semua kekacauan. Perampok kedua tiba-tiba saja menarik palatuknya dan menyisakan sebuah peluru yang bersarang di kepala pemuda itu.

"Sialan! Kau membunuhnya!" teriak perampok pertama.

"Ah! Anak itu tidak bisa diam! Sial!" Perampok kedua menarik tas yang berisi uang. "Ayo pergi! Sebelum polisi datang!"

Yoona masih mencoba menyaring semua yang ia lihat saat ini, ketika sang kasir sudah berteriak sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu. Dia benar-benar mati, pemuda itu benar-benar mati. Dan Yoona tidak tahu. Harusnya dia tahu, harusnya pemuda itu muncul dalam mimpinya. Karena semua orang yang akan mati di depannya akan muncul dalam mimpinya. Itu artinya : Ada orang lain di luar sana yang memiliki kemampuan seperti dirinya dan pemuda itu salah satunya.

Continue Reading

You'll Also Like

182K 28.7K 52
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
90.2K 7.9K 81
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
952K 57.8K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
3.5K 69 8
Di hari itu, Acha menceritakan kisah hidupnya dan mimpi serta cita-citanya kepada Ozy di lembayung senja mengantarkan rembulan menyinari malam. Ozy...