Love You to Death... ( F.Alan...

By luisanazaffya

725K 51.5K 2.3K

Fiona menoleh ke arah Frian yang sudah duduk di kursi pengemudi dan hanya menatap ke depan dengan tatapan dat... More

1. Fiona Mikaela
2. Frian Alandra Sagara
3. Deal?
4. Undecided
5. Really Love You
Silsilah
7. Enough!!!
8. I do
10. Irony
11. Be Strong (Take Heart)
12. Will Never Regret it All
15. Can Not Ignore Our Feelings
16. Tried to be Sincere
19. Undesirable
20. Madly Jealous?
21. Sorry, I Love You
24. Restlessness
25. Gossip
28. Miss Him
29. Try to Accept
32. Run to You
33. What Have I Done to Her?
36. Give Me Time to Love You
37. Promise Me
38. A Piece of Happiness
39. It's too Painful
40. Trust
Ebook

6. Need You

17.7K 1.8K 27
By luisanazaffya

Love you to death...

###

Part 6

Need You

###

Suasana di dalam mobil diliputi keheningan. Frian menyetir dalam diam dengan wajah datar tanpa ekspresi, sedangkan Fiona hanya duduk penuh kecanggungan tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa.

"Kita mau kemana?" tanya Fiona memberanikan diri untuk bertanya karena tidak tahu di mana mereka berdua berada saat ini. Matanya hanya melihat jalan setapak yang berada di tengah-tengah padang rumput. Penglihatannya tidak bisa melihat banyak menembus kegelapan malam. Cahaya hanya berasal dari cahaya bulan dan lampu mobil, dan keheningan yang dipecahkan oleh suara mesin mobil.

Frian memilih diam sebagai jawaban untuk pertanyaan Fiona. Bahkan terlihat dengan sangat jelas kalau pria itu seakan tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya.

Fiona pun terpaksa menelan kebingungannya melihat reaksi yang diberikan Frian. Pria ini seakan berada di tempat lain. Membuat Fiona merasa seperti benda tak tampak yang kebetulan berada di dalam mobil tanpa siapa pun menyadari keberadaannya.

Sampai tak lama kemudian, setelah Frian menghentikan mobil, memutar kunci untuk mematikan mesin, dan berjalan keluar mobil masih dengan mulut terbungkam tanpa sepatah kata pun.

Fiona hanya diam. Mengamati pria itu. Dahi Fiona berkerut, sekilas wajah Frian berubah pucat dan tampak sangat letih ketika berjalan menuju depan mobil. Pria itu berhenti, bersandar di kap mobil, dan menundukkan kepala. Seperti merenung. Hal sama yang di lakukan Frian ketika menunggunya tadi.

Selama beberapa menit Fiona hanya memandang punggung Frian yang mematung dan berkecamuk dengan pikirannya yang dipenuhi berbagai pertanyaan tentang pria itu. Bersamaan dengan keragu-raguan yang meliputi, akhirnya Fiona memilih ikut keluar dari mobil dan berjalan mendekati Frian dengan langkah penuh kehati-hatian.

Saat jarak di antara mereka tersisa satu meter, Frian menoleh. Menatap Fiona dengan pandangan nanar dan keputus asaan. Membuat Fiona menyesal bercampur kebingungan.

Mulut Fiona akan terbuka dan mencoba bersuara ketika tiba-tiba Frian melangkah mendekat lebih dulu. Menarik tangan dan tubuh Fiona ke dalam pelukan pria itu dan berakhir dengan menenggelamkan wajah di lekukan leher Fiona.

"Frian ... kau ..." tanya Fiona setelah berusaha menghilangkan keterkejutannya akan tingkah aneh Frian. Ia pun berusaha mendorong dada Frian agar menjauh darinya. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeming dan malah semakin kuat memeluk dirinya.

"Aku mohon." Suara Frian terdengar lirih dan sangat lemah. "Biarkanlah seperti ini."

Fiona tertegun. Menghentikan usahanya untuk membuat jarak di antara mereka saat menyadari perubahan suara Frian berlumur permohonan.

"Biarkan seperti ini lebih lama lagi." Frian terisak pelan di balik bahu Fiona dan semakin mengeratkan pelukannya. "Aku benar-benar membutuhkanmu."

Fiona menahan napas menyadari suara Frian yang lemah. Entah kenapa hatinya terasa miris mendengar isakan tangis Frian yang begitu lirih dan pedih. Terasa begitu hancur dan menyesakkan di dadanya.

Fiona berusaha mengabaikan penyebab kepedihan pria itu. Pada apa yang menimpa pria itu hingga seorang Frian, pria yang selalu tampak kuat dan tak terkalahkan bisa terlihat seterpuruk ini. Ia ingin membalas pelukan Frian untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan yang pria itu butuhkan. Mengusap lembut punggung pria itu dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Akan tetapi, tubuh Fiona membeku dan mati rasa saat merasakan debar jantung Frian yang menempel di dadanya, membuat Fiona terpaku dan membiarkan tubuhnya tenggelam di dalam pelukan tubuh kekar Frian. Terhanyut.

Setidaknya, hal itu mungkin akan sedikit mengurangi beban pria itu.

###

Fiona menoleh, menatap Frian yang sudah duduk di kursi pengemudi dengan pandangan lurus ke depan. Merasa perasaan Frian sudah jauh lebih baik daripada beberapa saat yang lalu.

"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Fiona datar, tapi lebih hangat dan lebih bersahabat daripada biasanya.

Frian mengangguk sedikit.

"Apa kau tidak mau pulang?"

"Temani aku lebih lama lagi," jawab Frian lirih tanpa menoleh pada Fiona.

Selalu saja, Fiona tak bisa menolak keinginan pria ini. Terpaksa maupun tidak terpaksa seperti saat ini.

###

Fiona sedang berjalan menaiki tangga saat Laura menarik tangannya dengan kasar dan menyeretnya ke dalam kamar. Mendorong  dan membantingnya di kasur dengan sangat kasar.

"Darimana saja kau?" tanya Laura sengit.

"Kenapa itu harus jadi urusan Mama?"

"Tentu saja ini akan selalu jadi urusan mama jika berhubungan dengan Alra."

"Apa yang Fiona lakukan tidak pernah ada hubungannya dengan Alra," jawab Fiona lebih dingin.

"Kau selalu saja jadi masalah," desis Laura. "Pak San mengatakan, kau keluar tengah malam dan baru pulang sekarang. Baru saja mama juga melihatmu keluar dari mobil Frian. Apa yang kau lakukan semalaman? Apa kau bersama dia semalaman?"

"Apa Mama melihatnya?" Fiona mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai. "Karena Mama sudah melihatnya, Fiona rasa Fiona tidak bisa berbohong untuk menjawab pertanyaan Mama."

Plaakk ...

Laura mendaratkan satu tamparan di pipi kiri Fiona dengan murka.

"APA KAU BILANG?!" bentak Laura sambil mendorong kepala Fiona yang tertunduk akibat tamparan keras tersebut.

Fiona mencekal pergelangan tangan Laura di dorongan kedua sebelum jemari itu sempat menyentuh kepalanya. Kemudian kepalanya terdongak dan melemparkan tatapan tajam pada Laura.

"Jangan lakukan ini lagi," desis Fiona dengan nada mengancam. "Atau ..."

"ATAU APA?"

"Atau Mama akan menyesalinya."

"Apa?" desis Laura melemparkan tatapan menghina pada Fiona. "APA KAU MENGANCAM MAMA? APA KAU KIRA MAMA TAKUT DENGAN ANCAMANMU?"

"Fiona harap, iya."

"MEMANGNYA APA YANG BISA KAU LAKUKAN DENGAN ANCAMANMU ITU?" Laura menghempaskan cekalan Fiona dengan kasar.

"Jika Mama lakukan ini lagi kepada Fiona, Mama akan tahu apa yang bisa Fiona lakukan untuk Mama."

"KAU PIKIR KAU SIAPA? Kau bahkan tidak berhak ada di rumah ini."

"Fiona akan dengan senang hati pergi dari rumah ini, tapi setidaknya Fiona harus sedikit berbaik hati untuk suami Mama, bukan?"

"Kau hanya mencari alasan untuk berkeliling di duniaku, Fiona." Laura tersenyum licik.

"Tapi, aku akan dengan senang hati menunggu dan menyaksikanmu menginjakkan langkah pertamamu keluar dari rumah ini." Laura membalikkan badan, berjalan keluar dengan membanting pintu kamar Fiona dengan keras.

Fiona menatap datar pintu kamar yang sudah tertutup. Mengingat percakapan terakhirnya dengan Frian beberapa saat yang lalu

Fiona melepas setbelt saat Frian menghentikan mobil tepat di depan pagar rumahnya. Berniat akan membuka pintu mobil ketika Frian menahan tangannya. Membuat Fiona menoleh ke arah pria itu penuh tanda tanya.

"Kesepakatan yang pernah kita bicarakan ..." Frian terdiam sejenak mengambil napas." ... bisakah kau mempertimbangkannya?"

Fiona diam.

"Aku benar-benar membutuhkanmu," ucap Frian putus asa."Aku benar-benar tidak bisa menahannya lebih lama lagi."

Setelah menatap wajah Frian selama beberapa detik, Fiona pun mengangguk pelan. Ia mulai menimbang.

###

Frian mengedarkan pandangan mengelilingi seluruh penjuru cafe. Mencari keberadaan Arya Sagara di antara para pelanggan-pelanggan Coffe H.

Tak cukup sepuluh detik, ia menemukan papanya di meja 11 yang berada hampir di ujung ruangan, melambaikan tangan padanya. Segera ia berjalan mendekat dan duduk di hadapan papanya tanpa sepatah katapun.

"Kau sudah datang?" tanya Arya.

Frian hanya mengangguk sedikit dan sopan.

"Sudah makan siang?"

Sekali lagi Frian hanya mengangguk pelan tanpa sepatah katapun.

Arya menyodorkan buku menu pada Frian sambil mengangkat tangan memanggil pelayan cafe. Tak lama seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka.

"Americano," pesan Arya pada pelayan  yang langsung mencatat pesanan Arya di nota.

"Espresso." Frian membaca menu teratas yang tertulis sebelum menutup buku menu dan menyerahkannya pada pelayan tersebut.

Hening cukup lama sampai kemudian Arya menarik napas pelan untuk memulai pembicaraan mereka. "Masalah kemarin malam, apakah kau benar-benar serius?"

"Tentang?" Frian bertanya lebih spesifik. Banyak hal yang ia dan mamanya perdebatkan tadi malam.

"Fiona."

Frian terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu papanya sangat menyayangi Fiona seperti anak sendiri. Namun tentang bagaimana pendapat papanya tentang perasaan yang ia pendam pada Fiona, Frian tak pernah ingin mencari tahu. Karena terlalu sibuk dengan pendapat dari sisi mamanya.

"Sejauh apa hubungan kalian?"

"Sebenarnya ..." Frian diam sejenak mengumpulkan keberaniaan untuk mengatakan perasaannya. Tidak peduli jika papanya menolak seperti yang dilakukan Fania Sagara. "... Frian dan Fiona tidak memiliki hubungan apa pun."

"Apa maksudmu?" Arya menatap Frian dengan tatapan heran dan tidak mengerti. "Jika kalian tidak memiliki hubungan apa pun, tidak ada alasan untukmu menolak pertunangan yang direncanakan mamamu."

"Frian tidak ingin menikahi wanita yang tidak Frian inginkan," sela Frian cepat. "Frian benar-benar tidak bisa."

"Lalu apa bedanya kau menikahi Alra atau Fiona? Akan lebih baik jika kau menikahi Alra, setidaknya untuk menyenangkan hati mamamu."

"Frian menginginkan Fiona."

"Alra dan keluarganya berharap besar atas pertunangan ini. Terutama Alra."

"Frian ... Frian benar-benar mencintai Fiona." Suara Frian melemah dan berlumur keputus asaan.

Arya terpaku. Perasaannya saja atau memang suara Frian terdengar ... getir. Bagaimana mungkin ia mengatakan mencintai seorang wanita, tapi diungkapkan dengan ekspresi penuh kekalutan dan kepedihan semacam itu.

Seorang pelayan datang dan meletakkan cangkir kopi pesanan Arya dan Frian. Setelah mengucapkan 'selamat menikmati' dengan ramah, berlalu pergi.

"Frian menyukai Fiona sejak SMA. Sejujurnya, itu alasan utama Frian melanjutkan study ke luar negeri. Karena Frian ingin meyakinkan diri Frian bahwa ini bukanlah sesuatu yang berarti dan Papa tahu, karena Frian sangat mengenal denan baik sifat mama. Frian tidak punya pilihan banyak dalam hidup Frian sendiri karena Mama. Tapi Frian tidak bisa berhenti memikirkan Fiona meskipun telah mencoba menjalin hubungan dengan wanita yang  sesuai kriteria mama. Saat kembali ke sini, Frian merasa semakin gila saat tahu Fiona bekerja sebagai sekretaris Papa dan harus sering berada dekat dengannya. Membuat perasaan Frian padanya semakin dalam ..." Frian menghentikan kalimatnya. Dadanya benar-benar sesak menyadari perasaannya pada Fiona bisa sedalam ini.

Arya merasakan rasa panas di sudut mata, dengan segera matanya berkedip menahan air mata yang akan keluar. Tidak pernah menyangka anaknya memendam perasaan sedalam ini pada seorang wanita. "Kenapa dia menolakmu?"

"Dia tidak menolak Frian," jawab Frian pelan. "Hanya ... hanya saja Frian tidak melakukan apa pun untuk mengungkapkan perasaan Frian padanya."

"Karena Mamamu?"

Frian mengangguk kecil dan singkat.

Ya, semua ini karena seorang Fania Sagara dan standar mamanya itu.

"Jika kau benar-benar serius padanya. Jika kau benar-benar menginginkannya, kau tahu kau tidak bisa hanya diam seperti ini. Kau seorang pebisnis. Tentu kau juga tahu bahwa kita tidak akan mendapatkan apa pun tanpa sebuah usaha. Seharusnya hal itu juga berlaku untuk wanita yang kau inginkan."

"Selama jalan Frian masih dipenuhi oleh mama. Selama Frian tidak bisa berdiri sendiri di atas jalan Frian sendiri. Frian tidak akan bisa menginginkan sesuatu yang mama tolak."

Arya terdiam. Ia tahu posisi Frian dan juga sangat memahami sifat istrinya. Namun, ia tidak menyangka separah ini pengaruh keprotektifan istrinya pada Frian. "Apa kau benar-benar menginginkannya?"

Frian mengangguk sambil menatap kosong cangkir kopi yang ada di meja. Kemudian mengangkat cangkir kopi tersebut, meneguknya sekali, dan kembali meletakkan di meja sambil menatap papanya dan berkata, "Frian hanya tidak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk memiliki Fiona. Apalagi menghancurkan harapan Frian dengan adanya pertunangan itu."

Arya memandang anaknya dengan penuh kasih sayang. Kemudian ia menghembuskan napas pelan dan berkata, "Papa tidak tahu harus berkata apa."

Frian menyeka setetes air matanya yang jatuh di sudut mata dan memalingkan wajah dari pandangan Arya. Mengabaikan perasaan malu karena bisa secengeng ini di hadapan papanya.

"Tapi ... Papa akan berusaha untuk membantumu. Dan ... urusan pertunangan biarkan papa yang akan bicara dengan mamamu."

Frian tercengang. Mendongak menatap manik Arya Sagara.

Tidak, bukannya dia tidak mengerti. Hanya saja, ia tidak percaya dengan kalimat yang Arya ucapkan. Kalimat yang menunjukkan bahwa Arya berada di pihaknya. Ia tidak menyangka dengan dukungan yang diberikan Arya. "Aa ... apa maksud Papa?"

"Papa sangat mengenal baik Fiona. Dia bukan pilihan yang buruk untuk jadi menantu Papa. Apalagi dia sudah seperti putri Papa sendiri. Setidaknya Papa juga akan berusaha untuk mendapatkannya."

Frian menatap Arya dengan haru atas dukungan yang tidak pernah ia sangka. Selama ini, hubungannya dan papanya selalu kaku dan formal. Tak pernah menyangka papanya bisa sehangat dan orang yang telah berperan penting atas terkabulnya harapan yang tak pernah ia sangka akan berhasil.

"Sepertinya kali ini kau benar-benar tidak berdaya," gumam Arya sambil menunjuk wajah Frian. "Kau tahu, wajahmu sangat berantakan."

Frian menundukkan kepala sedikit, memalingkan wajah dari pandangan Arya.

Malu ...

Ini pertama kalinya dia terlihat menyedihkan dan tak berdaya di hadapan papanya. Namun, hal itu tak sepadan dengan dukungan yang diberikan Arya Sagara untuknya.

###

"Jadwal rapat dengan DN Group tunda saja untuk besok," pinta Arya pada Fiona di ruangannya.

"Ya, Pak." Fiona mengangguk sopan.

"Apa pekerjaanmu sudah selesai?"

Sekali lagi Fiona mengangguk sopan. "Apakah ada yang harus saya kerjakan lagi?"

Arya menggeleng. "Tidak ada. Om hanya ingin bicara sebentar denganmu. Duduklah." Arya menunjuk sofa tamu lalu menutup map di hadapannya. Fiona pun berjalan menuju sofa putih yang ada di tengah ruangan, menuruti ucapan bosnya.

"Om dengar, dulu kamu pernah satu sekolah dengan Frian?" Arya memulai perbincangan.

"Ee ..." gumam Fiona salah tingkah. Lalu mengangguk pelan sambil berkata, "Iya, Om."

"Kenapa kau tidak pernah bercerita pada om?"

Fiona terdiam sejenak. "Fiona hanya merasa tidak perlu memberitahu Om. Lagi pula kami tidak berteman dekat."

"Benarkah? Sepertinya Frian tidak berpendapat seperti itu."

"Maksud Om?" Fiona mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Om dengar Frian memperkenalkanmu sebagai kekasihnya pada teman-teman kalian."

"Aa ... apa?" Fiona terkejut Arya bisa tahu hal itu. Darimana bosnya itu tahu mengenai sandiwara yang ia perankan dengan Frian tempo hari?

"Frian sudah menceritakannya pada Om."

"Maaf, Om. Itu hanya salah faham saja," jawab Fiona dengan tatapan penuh penyesalan.

Arya terkekeh kecil sambil mengibaskan tangan kanan. "Sudahlah, bukan hal itu yang ingin om bicarakan denganmu."

Fiona diam, merasa lega Arya tidak akan membahas hal itu lagi. Walaupun tak cukup menghilangkan rasa malunya karena sikap konyolnya dan Frian.

"Fiona ..." Arya diam sejenak. Menahan napas sejenak sebelum kemudian mengembuskan dengan perlahan. Tatapannya berubah serius dan tak terbaca ketika kembali menatap Fiona. "Bisakah Om meminta bantuanmu sekali ini saja?"

Fiona tersenyum kecil menanggapi pertanyaan laki-laki paruh baya yang sangat disayanginya ini. Tentu saja ia bersedia melakukan apa pun untuk orang yang pernah menyelamatkan nyawanya ini. "Tentu saja, Om. Apa yang Om inginkan untuk Fiona lakukan?"

Sekali lagi Arya terdiam sejenak, merasa ragu untuk mengeluarkan kalimatnya. Namun, tekadnya untuk Frian dan untuk Fiona juga lebih besar daripada keraguannya. "Apa ... apa kau bersedia menjadi pendamping untuk Frian? Menjadi menantu Om?"

Fiona terkesiap. Matanya melotot. Napasnya tertahan seakan ia lupa cara bernapas saat mendengar permintaan Arya.

'Men ... menjadi menantunya?' Suara Fiona tertahan di tenggorokannya.

'Apa maksud, Om Arya menyuruhku untuk menjadi pendamping Frian?'

'Pendamping Frian?'

'Apa maksudnya menjadi istri Frian?'

'Apa ini sebuah lamaran untuknya?'

'Tidak.'

'Tidak.'

'Aku mungkin hanya salah dengar.' Fiona berusaha menyangkal apa yang didengar telinganya.

"Aa .. .apa maksud, Om?" tanya Fiona dengan susah payah di antara berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepala.

"Apa kau bersedia menjadi istri untuk Frian?" Arya mengulang pertanyaannya.

'Aku rasa aku tidak salah dengar. Dan itu bukan pertanyaan, tatapan Om Arya meminta padanya. Bukan. Bukan meminta. Itu tatapan penuh permohonan. Dan sekarang apa yang harus aku katakan pada om Arya?'.

Fiona bergulat dengan batinnya sendiri dan sialnya dalam waktu yang bersamaan ia juga harus memikirkan apa yang harus dikatakan pada Arya agar kata-kata penolakannya tidak akan menyinggung Arya.

Ya, tentu saja kata-kata penolakan, ia tidak bisa membayangkan akan menjadi istri seorang Frian Alandra Sagara. Ia tidak pantas dengan posisi itu. Ia juga tidak bisa.

"Tapi Om ..." Fiona terdiam sejenak mengatur kata-katanya. "... bukankah Frian sebentar lagi akan bertunangan dengan Alra?"

'Ya, semoga saja alasan itu cukup' harap Fiona dalan hati.

"Apakah itu artinya, jika pertunangan itu tidak terjadi, kau akan bersedia menjadi istri Frian?"

Fiona tercengang. Termakan ucapannya sendiri. Mulutnya membuka sedikit kehilangan kata-kata. Matanya menatap tatapan penuh harapan akan ketersediaan dirinya atas permintaan Arya. Ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

"Beberapa hari yang lalu Frian bertengkar mamanya karena menentukan acara pertunangan itu tanpa bertanya pada Frian tentang ketersediaan Frian lebih dulu. Kau sangat mengenal baik sifat Frian, bukan? Dia tidak pernah menolak kemauan Fania sebelumnnya walaupun keinginan Fania selalu bertolak belakang. Orang seperti Frian memang tidak punya pilihan hidup yang banyak. Jadi, Om rasa ia pasti serius jika menginginkanmu."

Fiona semakin kehilangan kata-katanya saat mendengarkan dengan seksama kata-kata Arya.

'Apakah Frian benar-benar serius menginginkannya?'

'Tentu saja itu benar, Frian menginginkanku untuk kesepakatan gila yang ditawarkan padanya beberapa hari yang lalu.' Fiona mendengkus sinis dalam hati menyadari bahwa kini Frian memanfaatkan perasaan sayangnya pada Om Arya. Dan bahkan membujuk pria baik hati ini dengan tipuan.

"Om pikir masalah ini pasti sangat berat baginya. Kau tahu, selama ini Frian sangat tertutup pada siapa pun, bahkan pada om. Dan ini pertama kalinya ia membicarakan masalah perasaannya dengan om, membuat om merasa menjadi ayah yang sangat buruk jika tidak bisa membantunya."

Fiona masih berpikir dalam diam. Membenarkan ucapan Arya. Malam itu, ketika Frian lewat tengah malam berada di depan rumahnya dan mengganggu acara tidurnya. Itulah pertama kali Fiona melihat Frian tampak begitu lemah dan penuh keputus asaan. Tidak pernah menyangka seorang Frian Alandra Sagara menangis di dalam pelukannya. Harga dirinya yang penuh keangkuhan yang selama ini begitu melekat pada diri seorang Frian, entah menghilang kemana. Sungguh pemandangan yang langka dan tak bisa diperkirakan oleh nalarnya.

"Maaf, Om. Fiona hanya tidak tahu harus mengatakan apa." Suara Fiona terdengar sangat lirih penuh penyesalan.

"Tidak. Bukan kamu yang seharusnya meminta maaf. Melainkan om." Arya terdiam sejenak juga dengan tatapan penuh rasa bersalah pada Fiona. "Maafkan om membuatmu berada di situasi yang membingungkan seperti ini. Memberikan pilihan yang berat padamu. Tapi, karena hanya ini satu-satunya cara yang om bisa lakukan untuk Frian. Jadi om sangat berharap banyak padamu."

Fiona masih termenung, tampak menimbang-nimbang kalimat Arya. Akhirnya ia memutuskan mengulur waktu. "Bisakah Om memberi waktu untuk Fiona berpikir?"

Senyum kecil tampak menghiasi wajah Arya. "Tentu saja. Ini bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan cepat. Om berharap kamu akan memberikan jawaban yang nantinya akan membantu om. Om sangat berharap banyak padamu."

"Fiona juga berharap bisa membantu, hanya saja ..." Fiona terdiam sejenak. "... Fiona butuh sedikit waktu."

"Terima kasih jika kamu ada niat untuk membantu om. Selama ini om hanya tahu cara bekerja. Jika kamu bisa memberikan apa yang om tidak bisa berikan pada Frian, om akan sangat berterima kasih padamu."

Fiona memandang iba wajah penuh perasaan bersalahnya Arya pada Frian.

'Selain karena Om adalah sahabat ayahku, selama ini Om memang sudah seperti ayahku sendiri. Jadi apa yang harus kulakukan agar tidak mengecewakan Om?'

###

Repost dan revisi


Saturday, 21 September 2019



Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 902 17
Sahita Raswa (sans) : Perasaan & Rahasia. Move on dari seseorang memang hal yang paling sulit dilakukan. Lana Ishara hanya seorang mahasiswi biasa, t...
3.1M 24.2K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
388K 23K 25
Kisah tentang sepasang suami istri, Angga dan Rani, yang menuai konflik karena Mami Angga tidak menyukai Rani. Lalu, muncullah Nevita yang dulu sempa...
606K 39.4K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...