Love You to Death... ( F.Alan...

By luisanazaffya

725K 51.5K 2.3K

Fiona menoleh ke arah Frian yang sudah duduk di kursi pengemudi dan hanya menatap ke depan dengan tatapan dat... More

1. Fiona Mikaela
2. Frian Alandra Sagara
4. Undecided
5. Really Love You
Silsilah
6. Need You
7. Enough!!!
8. I do
10. Irony
11. Be Strong (Take Heart)
12. Will Never Regret it All
15. Can Not Ignore Our Feelings
16. Tried to be Sincere
19. Undesirable
20. Madly Jealous?
21. Sorry, I Love You
24. Restlessness
25. Gossip
28. Miss Him
29. Try to Accept
32. Run to You
33. What Have I Done to Her?
36. Give Me Time to Love You
37. Promise Me
38. A Piece of Happiness
39. It's too Painful
40. Trust
Ebook

3. Deal?

21.1K 1.7K 37
By luisanazaffya


Love you to death...

###

Part 2

Deal?

###

Fiona menginjak pedal rem ketika melihat lampu menyala merah di perempatan jalan. Sambil menunggu lampu berganti dengan warna hijau, ia melirik jam tangan. Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Badannya terasa lengket dan pegal-pegal, ia ingin segera sampai di rumah dan bergegas ke kamar mandi untuk berendam air hangat. Namun, sepertinya rencana Fiona tidak akan berjalan mulus sesuai perkiraan saat mendengar bunyi klakson mobil yang ada di belakangnya, dan tampak di kaca spion dengan jelas SUV hitam milik Frian.

Tak lama, terdengar suara dering ponsel menandakan ada panggilan masuk. Fiona sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya. Ia biarkan saja ponsel itu tergeletak kembali setelah memastikan bahwa tebakannya benar.

Dan sial ...

Suara klakson di belakang tidak mau berhenti, sudah pasti Frian sengaja melakukan itu untuk memaksa mengangkat panggilan pria itu.

Benar-benar pemaksa ...

Karena malu dengan pandangan penuh tanya yang ditujukan para pengendara lain pada Fiona, ia pun terpaksa menuruti keinginan Frian yang tak pernah mudah ia hindari.

"Apa kau sudah gila?" maki Fiona panggilan tersambung.

"Kau memang selalu memilih jalan yang lebih sulit, Fiona." Frian terkekeh. Merasa menang karena berhasil memaksa Fiona menuruti keinginannya.

"Apa yang kauinginkan, Frian?"

"Bukankah akan membuang waktu jika kau pulang sekarang? Tiga puluh menit lagi kita bertemu di Cavena el."

"Apa aku bilang akan datang? Urusan pekerjaan bisa kita bicarakan hari senin nanti," jawab Fiona ketus. Lalu, menutup panggilan secara sepihak ketika melihat lampu hijau mulai menyala, melempar ponselnya sembarangan dan menginjak gas melanjutkan perjalanannya kembali pulang.

Selama sepuluh menit perjalanan, Fiona masih bisa melihat SUV hitam Frian yang mengikutinya di belakang. Begitu kesalnya Fiona sehingga ia pun memutuskan untuk memarkir mobil di pinggir jalan. Diikuti Frian. Fiona keluar dan berjalan mendekati Frian yang membuka jendela mobil. Penuh keengganan beserta kemarahan yang terpendam dan siap meluap untuk Frian.

"Masuklah!" pintah Frian sambil mengedikkan kepala ke arah kursi penumpang.

"Bisakah kau berhenti menggangguku? Hari ini saja," geram Fiona. Menahan diri untuk tidak menarik rambut Frian dan membenturkan kepala pria itu agar tersadar dari kegilaan yang teramat enggan berpindah dari kepala pria itu.

"Aku ingin bicara denganmu."

"Lusa kita bisa bertemu di kantor."

"Tidak dengan sekretaris papa, tapi denganmu," jawab Frian. Kali ini ekspresi Frian berubah penuh keseriusan dan matanya menajam tak menerima bantahan saat mengunci tatapan Fiona.

Sejenak Fiona terpaku. Tatapan Frian begitu dingin dan kaku. Fiona tahu ia tak bisa lagi menghindari kemauan Frian dengan raut wajah yang terpasang di wajah pria itu. Lalu, menghela napas perlahan sebelum menyetujui paksaan Frian. "Aku akan naik mobilku sendiri."

***

Suasana hening saat Frian dan Fiona berhasil duduk di meja yang sengaja Frian pilih di ujung ruangan menghindari pelanggan café yang lebih memilih tempat menonjol. Sampai kemudian seorang pelayan wanita muncul untuk memberikan menu.

Keduanya mulai membuka menu masih dalam diam.

"Alpukat juice," pesan Fiona cepat, lalu menutup menu dan mengembalikan kepada pelayan.

"Paket Cnya dua." AKhirnya Frian menjatuhkan pilihannya setelah beberapa menit. Sengaja mengulur waktu dan mengetes kesabaran Fiona.

"Aku masih kenyang," ujar Fiona saat mendengar pesanan Frian. Sudah tentu pria itu memesan paket double itu untuknya juga.

"Benarkah? Bukankah tadi siang kau belum makan, dan pertemuan tadi sore ..." Frian menggantung kalimatnya. "... aku juga tak melihatmu menelan apa pun. Apakah bertemu Brian cukup membuatmu kenyang meskipun seharian belum makan?" cemooh Frian dengan seringaian yang sangat tidak disukai oleh Fiona.

Fiona hanya terdiam mendengar sindiran Frian. Sudah menjadi kebiasaan Fiona tidak bisa membalas sindiran-sindiran yang Frian lontarkan padanya. Apa lagi kali ini kata-kata Frian memang benar, dia belum makan apa pun sejak tadi siang. Perutnya juga terasa dililit kelaparan. Fiona pun memilih diam sambil membuang muka dari tatapan penuh kepuasan Frian.

"Dan jus jeruk, itu saja," lanjut Frian pada pelayan tersebut.

"Apa kau bisa memulai bicara sekarang," tanya Fiona begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka sudah berjalan menjauh dari meja mereka.

"Belum," jawabFrian. "Kenapa kau selalu terburu-buru saat sedang bersamaku, Fiona? Apa kau takut Brian akan memergokimu saat kita sedang makan malam bersama?"

"Berpikirlah sesukamu," ketus Fiona. Ia sama sekali tak punya alasan untuk merasakan ketakutan yang dikatakan oleh Frian.

Sampai makanan mereka sudah habis pun, Frian tetap tak mengatakan apa pun. Dan walaupun ia sangat lapar dan makanan yang ada di hadapannya juga sangat menggiurkan, makanan itu terasa hambar di lidah Fiona karena ia memakannya dengan setengah hati.

"Apa kau sudah kenyang?" tanya Frian memulai pembicaraan.

Fiona hanya diam memasang wajah 'tidakkah kau sudah melihat dengan jelas bahwa aku sudah menyelesaikan makanku sejak tadi. Dan ya aku sudah kenyang'.

Frian tersenyum kecil sambil menyingkirkan piring yang sudah kosong ke samping, lalu meneguk jusnya dengan santai hingga tinggal setengah. Matanya menatap Fiona yang tampak sangat kesal karena dirinya masih belum memulai untuk berbicara apa pun.

"Kenapa kau menolak lamaran Brian?" Frian memandang serius manik mata Fiona. "Bukankah kau sangat mencintai pria itu?"

Fiona terpaku. Namun, ia segera menguasai diri. Menghela napas yang mulai memberat dan melemparkan tatapan 'yang benar saja kau, membicarakan hal itu setelah berhasil menyeretku ke sini'.

"Apa ini yang mau kau bicarakan denganku?"

"Bukan. Aku hanya ingin tahu saja."

"Kalau begitu, itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Fiona sengit.

"Ck ck ck ..." Frian berdecak. "Kau bahkan menolak lamaran kekasih yang sangat kau cintai hanya karena belum menemukan cara untuk membalas dendam kepada mamamu," gumam Frian sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Penuh keangkuhan dan cemooh.

Fiona memejamkan mata sejenak menelan komentar Frian dan lebih memilih mengacuhkannya saja. "Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku? Kau tidak mungkin memaksaku ke sini hanya ingin menanyakan hal ini, bukan?"

Frian terkekeh. "Aku memang tidak tertarik pada hubunganmu dan kekasihmu itu. Karena, aku lebih tertarik pada hubunganmu dengan mamamu dan ..." Frian menggantung kalimat penuh arti. Menikmati ekspresi wajah Fiona yang tidak sabar ingin segera mendengarkan lanjutan kalimatnya. " ... rencana balas dendam yang sama sekali belum terpikirkan di kepalamu yang cantik itu."

Fiona sempat terpaku mendengar penuturan Frian. Semua yang dikatakan Frian memang benar, hanya saja ...

Dari mana Frian tahu?

Apa di kepalanya tertulis dengan jelas tentang rencana konyol yang ia miliki itu?

Sampai akhirnya ia tidak bisa memungkiri bahwa hanya Frianlah satu-satunya orang yang paling bisa membaca pikirannya dengan baik. Amat sangat baik malah. Itulah sebabnya ia lebih memilih diam dan tidak mengiyakan maupun membantah tuduhan Frian.

"Yeah, sudah pasti benar." Frian mengangguk-anggukkan kepala dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi dengan senyum kecil khasnya.

"Lalu apa yang membuat seorang Frian Alandra Sagara tertarik pada rencana konyol sekretaris papanya itu?" tanya Fiona sinis.

"Aku punya sebuah tawaran yang sangat menarik untukmu. Apa kau mau mendengarnya? Aku berjanji penawaran ini tidak akan mengecewakanmu."

Fiona tertegun memikirkan ucapan Frian, godaan dalam dirinya yang tak tertahankan untuk langsung menerima tawaran lelaki di hadapannya ini membuat Fiona ingin segera menganggukkan kepala. Tetapi, sedikit akal sehatnya berusaha keras untuk menolak. Fiona tidak semunafik itu untuk berpura-pura jual mahal lalu menggelengkan kepala menolak tawaran Frian. Tidak sebelum ia mendengar penawaran yang dijanjikan Frian tidak akan mengecewakan dirinya itu.

"Lalu ... apa yang kau inginkan dariku jika aku menerima tawaranmu? Kau tidak mungkin memberikan tawaran ini secara cuma-cuma, bukan?"

Frian tersenyum, merasa puas dengan ketertarikan yang ditunjukkan Fiona. Wanita itu bahkan sama sekali tak berusaha menutupi ketertarikannya.

"Tentu saja. Penawaran ini tidak gratis."

"Kalau begitu, apa yang harus kubayar untuk penawaranmu yang sangat menggiurkan itu?"

Frian terdiam sejenak, menikmati wajah penuh rasa penasaran wanita yang ada di hadapannya ini. "Jadilah kekasihku."

"Apa?!" Fiona tercengang, matanya membelalak kaget tak percaya dan hampir membuat ia tersedak oleh ludahnya sendiri. Sebelum kemudian Fiona menelan ludah demi menelan keterkejutannya yang begitu besar .

"Menjadi kekasihmu?" Fiona mengulangi kalimat Frian. Meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar dengan lelucon Frian.

Frian mengangguk sekali.

"Kenapa kau memintaku menjadi kekasihmu? Kau tidak mungkin tertarik padaku, bukan?" Fiona menatap Frian dengan tatapan bingung nyaris curiga. "Dan apa yang membuat penawaranmu sangat menarik sampai aku harus mengorbankan diriku untuk rencanamu itu?"

'Ya.'

'Aku tertarik padamu.'

'Aku mencintaimu.'

'Aku sangat mencintaimu, Fiona.'

'Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memilikimu lebih lama lagi.'

'Tidak, setelah kegilaan yang kualami saat tahu kekasihmu itu mengatakan niatnya untuk meminangmu.'

'Aku bisa gila jika membiarkanmu menjadi miliknya seutuhnya.' Batin Frian berteriak pada wanita itu. Tapi ia tidak begitu bodoh untuk membiarkan bibirnya mengungkapkan semua itu.

"Ya, aku memintamu menjadi kekasihku bukan karena aku tertarik padamu.

"Lalu?"

"Diri kitalah yang membuat rencana ini akan sangat menarik. Kau membutuhkan diriku untuk mendapatkan keinginanmu, begitu juga sebaliknya. That's a simple plan."

"Aku masih tidak mengerti dengan yang kau bicarakan, Frian?"

Frian terdiam sesaat mengamati kebingungan yang terpampang di wajah Fiona, "Dari apa yang kulihat tadi pagi di basement, sepertinya mamamu masih sangat menyayangi Alra. Apa aku benar?"

Fiona hanya diam. Mengingat kejadian tadi pagi ketika Frian memergokinya menangis di dalam mobilnya.

Ya, Frian benar. Mamanya masih sangat menyayangi Alra dan sangat membenci dirinya. Memang selalu seperti itu dan akan seperti itu sampai kapanpun.

"Apa yang akan terjadi...ah tidak. Lebih tepatnya, bagaimana perasaan mamamu jika laki-laki yang sangat dicintai putri kesayangannya menjadi kekasih putri yang sangat dibencinya?"

Hening...

Kali ini Fiona lebih mudah mencerna kalimat-kalimat Frian. Karena dia bisa membayangkan dengan jelas bagaimana reaksi mamanya jika hal itu benar-benar terjadi. Kejadian tiga hari yang lalu saat Frian memperkenalkan dirinya sebagai kekasih pria ini, membuatnya dimarahi habis-habisan oleh mamanya setelah Alra mengadu dengan derai air matanya yang membuat matanya bengkak karena semalaman menangis. Hatinya sedikit puas dengan sandiwara Frian saat itu, karena mamanya tampak merana melihat putri kesayangannya sudah dua hari mengurung diri di kamar dan tidak mau makan.

Fiona memang tidak pernah peduli pada hubungan adik tirinya itu dengan Frian. Yang ia tahu, sejak acara kencan buta beberapa bulan lalu -tepatnya ketika Frian baru saja pulang dari luar negeri dan Fiona masih belum tahu kalau Frian adalah anak dari bosnya selama ini- yang diadakan oleh mamanya Frian dengan mamanya. Alra memang langsung menyukai Frian. Bahkan adik tirinya itu masih nekat mengejar-ngejar Frian walaupun dengan sangat jelas Frian menunjukkan ketidak tertarikannya pada Alra.

Namun seberapa menariknya penawaran Frian, apakah rencana itu cukup sepadan jika ia mengorbankan dirinya untuk menjadi kekasih Frian?

Dan lagi, apa keuntungan yang akan didapatkan oleh Frian jika dirinya menjadi kekasih laki-laki angkuh yang ada di hadapannya ini?

"Apalagi itu juga satu-satunya cara agar kau bisa keluar dari rumah itu sekaligus mendapatkan keinginanmu. Jika kita bisa berjalan ke hal yang lebih serius."

Fiona mengerutkan keningnya

'Ke hal yang lebih serius?

'Apa menikah yang dimaksud oleh Frian?'

"Kau menolak lamaran pria yang sangat kau cintai karena kau belum mendapatkan keinginanmu untuk membalas dendam pada mamamu. Aku rasa, kau rela mengorbankan apapun untuk melakukan rencanamu itu."

'Ya. ia memang rela untuk melakukan apapun untuk rencana konyol itu.' Fiona masih terdiam dan tampak mempertimbangkan semuanya.

"Ataukah kau sudah tidak berminat melanjutkan keinginanmu itu?"

"Dan kau. Apa yang membuatmu membutuhkanku?" tanya Fiona sedikit sinis. Ia tahu dirinya membutuhkan Frian karena Frian adalah lelaki yang sangat dicintai Alra. Tapi ia tidak tahu apa yang dibutuhkan Frian dari wanita seperti dirinya, yang notabene hanyalah seorang sekretaris papanya dan hanya anak tiri pemilik NOSCA Contruction. Sangat berbeda kelas dengan adik tirinya tersebut mengingat darah yang diberikan oleh papa kandungnya.

"Hanya kau satu-satunya calon menantu yang paling tidak diinginkan oleh mamaku."

"Ya. Aku tahu itu. Lalu?"

"Itulah sebabnya aku tertarik dengan hubunganmu dan mamamu. Dan sepertinya, sekarang kau juga akan tertarik dengan hubunganku dan mamaku. Kita memiliki sedikit kesamaan di point rencana balas dendam dan rela

mengorbankan apapun untuk rencana itu."

"Benarkah?" Fiona menarik satu sudut bibirnya ke atas menyeringai kecil. "Aku tidak menyangka kau memiliki perasaan yang sama dengan orang yang telah melahirkan kita. Tapi..." Fiona terdiam sejenak mengerutkan kening tampak memikirkan sesuatu. "...bukankah mamamu sangat menyayangimu? Itu yang kutahu dan kulihat selama ini."

"Sepertinya kau dan aku memiliki pendapat yang berbeda tentang rasa kasih sayang."

"Ya. Kita memang memiliki beda pendapat hampir di semua hal." Fiona mengedikkan bahunya sedikit.

"Namun aku tidak bisa memungkiri jika mama memang sangat menyayangiku. Itulah sebabnya mama jadi selalu over protectif terhadapku. Dan selalu memaksakan kehendaknya padaku karena takut apa yang kuinginkan akan membahayakan diriku."

"Lalu?"

"Aku ingin mama merasakan apa yang selama ini selalu kurasakan meskipun hanya untu sekali. Melakukan sesuatu yang benar-benar tidak pernah kita inginkan."

Fiona tertegun mendengar kata-kata Frian. Fiona yakin melihat sekilas tatapan tak berdaya yang muncul di mata Frian. Ia hampir tak mempercayainya, bagaimana mungkin sosok yang tampak tak terkalahkan di hadapannya ini memiliki sorot tak berdaya yang muncul di bola matanya yang coklat menggoda itu?

"Sudahlah. Sepertinya kita berdua benar-benar sudah gila membicarakan kesepakatan seperti ini."

"Kau benar." Frian tertawa ironi. "Memikirkan diriku yang tidak bisa berusaha mendapatkan keinginanku bahkan dari hal yang terkecil pun. Memikirkan diriku yang selalu mematuhi keinginan mama tanpa bisa menolak sedikit pun. Memikirkan diriku yang sangat lemah bahkan istri pun harus mama yang memilih. Aku merasa benar-benar sudah gila memikirkan itu semua, Fiona." Wajah Frian tiba-tiba berubah sendu. Menyalurkan sedikit perasaan iba muncul di hati Fiona.

Fiona menarik senyum tipis dan hambar, mengabaikan sekaligus mengusir perasaan iba yang tiba-tiba muncul. "Apakah perselingkuhan julukan yang cocok untuk hubungan yang berusaha kita coba rencanakan saat ini? Mengingat lusa akan ada pertemuan keluarga kita yang membahas masalah pertunanganmu dan Alra."

"Rencana itu sama sekali tidak menyangkut pautkan pendapat dariku. Itulah sebabnya aku sangat membenci diriku yang sangat lemah."

"Dan sepertinya kau tidak selemah seperti yang kau katakan setelah semua rencana yang telah kita bicarakan baru saja."

"Aku tidak bisa lagi menahan diriku," tandas Frian penuh tekad.

Fiona memejamkan matanya, semua ini membuat pikirannya kacau balau. Perasaan tak nyaman mulai muncul dengan pembicaraan yang sepertinya semakin serius. Belum lagi badannya yang terasa sangat lengket dan pegal-pegal karena bekerja seharian. Ia menghembuskan napas mencoba mengeluarkan kegerahannya, tapi hal itu sama sekali tidak memengaruhi apa pun. "Sudahlah. Lebih baik kita melupakan pembicaraan ini. Aku harus segera pulang."

"Aku benar-benar serius dengan semua ini." Suara Frian menegaskan.

Fiona hanya diam, menatap sejenak mata penuh keseriusan milik Frian dan menahan keinginan untuk segera mengiyakan penawaran Frian. Namun ia tidak bisa. Setidaknya untuk saat ini ia tidak siap mengorbankan dirinya untuk rencana konyol itu. Fiona pun meraih tas yang tergeletak di kursi kosong di samping, dan beranjak dari tempat duduk.

Frian memegang pergelangan tangan Fiona untuk menahan langkah wanita itu meninggalkan meja mereka. Menatap mata Fiona dengan tajam dan penuh keseriusan. "Setidaknya pikirkan penawaranku ini. Datanglah padaku kapan pun kau membutuhkanku."

Fiona termangu, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian melepas pegangan tangan Frian dan melangkah pergi

***

Sudah hampir pukul sepuluh malam saat Fiona memarkirkan mobil di carport kediaman Wardhana. Berjalan memasuki rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah sedikit gontai.

Baru saja ia menutup pintu kamar sambil menekan tombol di samping pintu untuk menyalakan lampu kamar, tiba-tiba Laura muncul dengan membuka pintu kamar dan menutupnya dengan sedikit kasar. Fiona hanya menatap wajah mamanya yang sepertinya sangat kesal pada -entah apa lagi yang telah dilakukannya kali ini- dengan tatapan datar dan dingin.

"Mama mau bicara denganmu!" kata Laura dengan nada sedikit tinggi yang tertahan agar tidak terdengar sampai keluar kamar.

"Fiona lelah," jawab Fiona sambil membuang muka dari mamanya. Kemudian melangkah menuju meja kerja untuk meletakkan tas sekaligus mengacuhkan kehadiran Laura.

"Darimana saja kau?" tanya Laura sengit, mengikuti langkah Fiona yang masih memunggunginya dan sibuk pada entah apa yang ada di hadapan anaknya itu.

Fiona menghentikan aktifitas mendadaknya yang sengaja dilakukan hanya agar mamanya segera keluar dari kamar. Kemudian membalikkan badan menatap ke arah mamanya dengan kerutan yang tiba-tiba muncul di antara kedua mata. Terheran sekaligus penasaran dengan pertanyaan Laura "Sejak kapan mama mengurusi urusan Fiona?"

"Mama tahu kau pergi makan malam di Cavena el dengan Frian. Apa kau tidak tahu kalau dia adalah calon tunangan Alra? Adikmu!" Laura tak berbasa-basi.

Fiona tertawa. Hambar dan dipaksakan. "Adik? Apa baru saja Mama mengakui bahwa Fiona adalah kakak Alra. Anak yang pernah Mama lahirkan?" Fiona mengucap dengan sarkatis.

"Fiona terharu Mama masih mengakui kita bertiga memiliki darah yang sama yang mengalir di nadi kita." tambah Fiona.

"PLAAK" Laura mendaratkan sebuah tamparan di pipi kanan Fiona. "Jaga cara bicaramu!" bentak Laura.

Fiona tertunduk, memegang pipinya yang memerah dengan tangan kanan. Panas, tapi rasa sakit itu tidaklah seberapa.

Ia mendongak, menatap tajam Laura dengan seringaian menghina. Dia tidak terlalu terkejut diperlakukan seperti ini, dan ini bukanlah pertama kali bagi Fiona.

"Sekali lagi kejadian ini terulang. Mama tidak akan tinggal diam. Mama akan memastikanmu menyesal karena telah berani mengulanginya. INGAT ITU!!!" ancam Laura dengan jari telunjuk yang menodong wajah Fiona. Lalu berjalan menuju pintu dan menghilang di balik pintu sebelum membantingnya dengan lebih keras daripada waktu ketika masuk.

Fiona termenung. Sampai kemudian merosot terduduk di lantai samping ranjang. Wajahnya melekat di sprei dengan mata terpejam selama beberapa menit menahan rasa panas di sudut mata.

Tidak ...

Ia tidak akan menangisi tamparan ini. Ia sudah kebal dengan tamparan yang diberikan Laura sejak ia tinggal di rumah ini. Hanya saja, yang membuat pikiran Fiona sedikit terganggu adalah tentang pembicaraannya dengan Frian di Cavena el. Ia mulai merasa tidak tahan lagi hidup di rumah ini lebih lama lagi.

Haruskah aku menyetujui tawaran Frian?

Lalu dengan keras Fiona menggelengkan kepala. Menyingkirkan pikiran-pikiran yang mulai mengacau karena Frian untuk diperiksa nanti. Ketika ia punya waktu untuk benar-benar memahami ke mana semua mengarah.

Setelah berusaha membuat hatinya kembali tenang dengan susah payah, Fiona beranjak dari simpuhnya dan berjalan menuju pintu kamar untuk memutar kunci. Kemudian berjalan menuju meja kerja, merogoh tas untuk mencari ponselnya.

"Hallo ... Fiona?" jawab suara maskulin dari seberang. Fiona bisa merasakan senyum yang muncul di bibir pria yang dihubunginya mendengar suara riang yang diterima indera pendengarannya.

"Iya."

"Kenapa kau menghubungiku malam-malam begini? Apa kau belum tidur?" Suara maskulin itu bertanya. Lalu terkekeh dan melanjutkan pertanyaan berikutnya, "Apa kau merindukanku?"

Fiona ikut terkekeh. Entah merindukan atau tidak, Fiona hanya terbiasa mendengar suara nyaman milik Brian ketika dirinya sedang bimbang dan meminta pendapat pria itu. Tetapi ...

Apa yang harus dikatakan pada Brian tentang semua ini?

Ia dan Brian memang bukanlah sepasang kekasih seperti yang dikatakan Frian. Meskipun Fiona sempat terkejut mengetahui bahwa selama ini Brian memiliki perasaan lebih terhadapnya. Dan ia merasa sangat bersalah dengan penolakan tersebut. Tetapi ...

Ia memang tidak bisa menerima lamaran itu.

Benar yang dikatakan Frian. Ia rela melakukan apa pun untuk rencana konyolnya.

"Ataukah ada masalah yang membuatmu tidak bisa tidur?" Pertanyaan Brian membuyarkan kebimbangan Fiona.

Fiona tersenyum getir. Brian memang radar paling canggih yang ia miliki. Lelaki ini selalu saja mengetahui sesuatu yang mengusik pikirannya. Lalu Fiona akan segera menceritakan unek-unek yang mengganggu sebelum menerima nasehat yang selalu bisa menenangkan pikirannya. Namun ...

Tidak untuk kali ini.

Brian tidak boleh tahu mengenai pembicaraan gilanya dengan Frian. "Apa yang sedang kau lakukan? Apa aku mengganggumu?"

"Aku baru saja menyelesaikan proposalku untuk rapat Senin lusa. Dan ya, kau menggangguku. Jadi ... ada apa kau menggangguku malam-malam begini?" Suara Brian sengaja terdengar penuh keengganan yang dibuat-buat.

Bibur Fiona melengkung. "Tidak ada. Aku hanya ingin menelfonmu saja!"

"Bicaralah. Kau menggangguku malam-malam begini pasti ada yang telah terjadi."

Fiona terdiam sejenak memikirkan apa yang akan dikatakan pada Brian, "Tidak ada yang serius. Hanya pertengkaran biasa dengan Mama."

"Ceritakanlah. Akan lebih ringan jika kau bisa mengeluarkan keluh kesahmu, Fiona."

Ya, tidak ada yang serius tentang pertengkarannya dengan mamanya. Tamparan itu sama sekali bukan apa-apa. Yang sangat mengganggu pikirannya saat ini adalah Frian, dan tidak mungkin ia membicarakan tentang Frian pada Brian. Ia tidak bisa melukai perasaan Brian setelah mengetahui laki-laki ini mempunyai perasaan lebih padanya. "Terima kasih atas perhatianmu, Brian. Aku sangat bersyukur mempunyai teman baik sepertimu. Aku tidak bisa membayangkan diriku jika tidak ada kau yang selalu membantu dan menjadi sandaran buatku. Menjadi teman terbaikku selama ini." Fiona terdiam sejenak. Tiba-tiba perasaannya berubah menjadi sendu. "Terima kasih dan ... maafkan aku."

Suasana hening sejenak selama beberapa detik. Fiona menunggu reaksi Brian terhadap penuturannya. Mungkinkah Brian tersinngung dengan kata-katanya? Sungguh ia sama sekali tidak ada niat untuk menyakiti Brian dengan kalimatnya itu. Hanya saja ia sama sekali tidak bisa menahan diri untuk berterima kasih atas kebaikan Brian selama ini. Dan meminta maaf karena ...

"Jika kau minta maaf karena menolakku, aku tidak akan menerimanya. Jangan mengungkit-ungkit lagi kejadian yang telah berlalu dan lupakan. Apa kau ingin mempermalukanku terus-menerus?"

"Aku ... aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya ... " Fiona menggeleng.

"Aku tahu. Itulah sebabnya lebih baik kita melupakan semua itu, Fiona. Kurasa hubungan kita memang lebih baik seperti ini. Dan ... jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kau perbuat."

Jika saja saat ini Brian ada di hadapannya, Fiona tidak akan bisa menahan diri untuk tidak memeluk lelaki itu. "Terima kasih ,Brian."

"Aku akan sangat berterima kasih jika kau berhenti mengatakan kata 'terima kasih' dan 'maaf' padaku. Bisakah kau berjanji padaku untuk itu?"

Fiona membungkam. 'Tidak bisa. Bagaimana mungkin ia bisa berhenti mengucapkan kata-kata itu pada Brian. Tidak setelah semua kebaikan yang sudah diberikan Brian padanya, dan apa yang telah dirinya lakukan pada Brian.'

"Tidak ada kata 'terima kasih' dan 'maaf' di antara sahabat, Fiona. Kecuali kau bermaksud menjadikanku sebagai orang asing?"

"Tidak, Brian. Kau teman terbaik yang kumiliki. Bagaimana mungkin aku akan menjadikanmu orang asing?"

"Baguslah. Kalau begitu ... tidak akan sulit bagimu untuk berjanji padaku, bukan?"

Fiona terdiam sejenak. "Baiklah. Aku akan berhenti mengatakan kata-kata itu."

"Ya, itu baru sahabatku." Brian terbahak. "Sekarang pergilah tidur. Ini sudah larut malam."

"Baiklah. Night."

"Yeah. Nice dream," jawab Brian penuh kelembutan.

Sambungan di antara mereka pun terputus. Fiona meletakkan ponselnya di meja, dan dengan senyum kecil yang menghiasi bibir, ia melangkah menuju kamar mandi. Sepertinya ia akan membatalkan niat awalnya untuk berendam karena sudah terlalu larut. Jadi, ia hanya akan mandi dan segera menenggelamkan tubuhnya di selimut yang hangat.

Esok akan datang ...

***

Cerita ini sudah ada dalam bentuk buku dan ebook, ya. Bagi yang ga sabar nunggu repost dan revisi dari Author yang super duper lama, bisa dipesan buku atau cek ebooknya di playstore.

Salam Luisana



Repost dan Revisi.

Wednesday, 07 August 2019

Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 902 17
Sahita Raswa (sans) : Perasaan & Rahasia. Move on dari seseorang memang hal yang paling sulit dilakukan. Lana Ishara hanya seorang mahasiswi biasa, t...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

2.9M 205K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.2M 33.6K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
979 130 15
Roséanne Park merasa hidupnya hampa karena belum pernah menjalin kasih. Hingga akhirnya ia berkhayal tentang kisah cintanya sendiri, lalu dituangkan...