Love You to Death... ( F.Alan...

By luisanazaffya

725K 51.5K 2.3K

Fiona menoleh ke arah Frian yang sudah duduk di kursi pengemudi dan hanya menatap ke depan dengan tatapan dat... More

1. Fiona Mikaela
3. Deal?
4. Undecided
5. Really Love You
Silsilah
6. Need You
7. Enough!!!
8. I do
10. Irony
11. Be Strong (Take Heart)
12. Will Never Regret it All
15. Can Not Ignore Our Feelings
16. Tried to be Sincere
19. Undesirable
20. Madly Jealous?
21. Sorry, I Love You
24. Restlessness
25. Gossip
28. Miss Him
29. Try to Accept
32. Run to You
33. What Have I Done to Her?
36. Give Me Time to Love You
37. Promise Me
38. A Piece of Happiness
39. It's too Painful
40. Trust
Ebook

2. Frian Alandra Sagara

22.7K 2K 31
By luisanazaffya


Love you to death...

###

Part 2

Frian Alandra Sagara

###

Kepalan tangan kanan Fiona memukul setir mobil dengan keras demi meluapkan emosi yang bergemuruh di dada. Perjalanan dari rumah sampai kantor, ternyata tidak berhasil menghilangkan rasa kesalnya pada kata-kata Alra yang memang selalu menyakitkan.

"Apa dia bilang? Tidak pantas? Wanita murahan?" gerutu Fiona dengan tawa hambar, menertawakan dirinya sendiri. "Tanpa kau mengatakannyapun aku sudah tahu kalau Frian hanya bermain-main saat itu. Kau bahkan tidak lebih baik dari diriku. Jika saja kau bukan anak pemilik NOSCA, tidak ada yang bisa kau banggakan dari dirimu selain sifat manjamu itu. Jika aku ..." Suara Fiona tertahan di dalam tenggorokan.

"Jika saja ... " Air mata yang tiba-tiba keluar dari sudut mata, membuat Fiona tidak bisa mengeluarkan suara. Merasa seperti ada gumpalan di tenggorokan dan menyakitinya.

Jika saja mamanya bukan orang yang melahirkannya. Jika saja ayahnya masih hidup, ia tidak perlu hidup seperti ini. Namun, itu hanyalah sebuah kata JIKA yang ada di harapannya yang ia tahu tidak akan pernah terkabul. Karena ia tidak bisa merubah darah yang sudah mengalir di nadinya dan masa lalu yang sudah terjadi. Fakta itu selalu ada dan tak terelakkan.

Satu-satunya alasan ia bertahan di rumah yang sudah seperti neraka adalah karena hanya keberadaannyalah yang mampu mengusik kehidupan wanita yang sudah melahirkannya itu.

Setelah merasa cukup puas meluapkan emosi dengan air mata. Fiona segera menghapus air matanya sambil mengaca di cermin kecil yang ada di dashboard dan ,emperbaiki riasannya. Setelah merasa tidak ada yang janggal dari penampilannya. Ia mengambil kunci mobil yang masih menggantung dan beranjak keluar.

Terperanjat kaget ketika ia baru saja menutup pintu mobil, dan menemukan Frian yang bersandar di pintu depan mobil pria itu yang kebetulan parkir tepat di sebelah mobil miliknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" gertak Fiona ketus setelah keterkejutannya berangsur mereda. Tetapi masih kesal karena sepertinya Frian mengawasinya diam-diam sejak tadi. Membuatnya tanpa malu-malu menatap curiga pada pria itu.

"Apa seperti ini caramu menyapa atasan, Fiona?" Frian balik bertanya dengan nada dingin dan tatapan mencemoohnya. Tak meninggalkan seringai khas pria itu yang selalu berhasil membuat Fiona semakin dongkol.

Fiona terdiam. Sejenak matanya mengamati pria itu sebelum mengembuskan napas dengan berat, berusaha tidak terpancing dengan cemoohan Frian. Sudah cukup bagi Fiona ocehan Alra membuat suasana hatinya pagi-pagi begini menjadi buruk. Ia tak butuh perusak suasana hati yang lain untuk memperkeruh hatinya yang sudah mulai sedikit tenang. Tak butuh tatapan dan ucapan Frian yang selalu menyebalkan dan mengusiknya.

"Selamat pagi, Pak Frian!" sapa Fiona dengan senyum dan sopan santun yang sangat jelas terlihat dipaksakan. Kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh pada Frian untuk kedua kali.

"Apa kau tidak bisa pergi ke kantor tanpa membawa masalahmu dengan saudara tirimu?" Pertanyaan Frian tepat mengena pada sasarannya. Dan memang, pria itu sudah terbiasa dengan mudah membaca raut wajah Fiona dengan baik.

Kenyataan bahwa Frian hampir selalu tidak sengaja melihat perlakukan buruk yang diterima Fiona dari saudara tiri dan mama kandungnya, sudah sangat jelas memberitahunya hubungan buruk di antara mereka.

Fiona menahan napas sejenak mendengar pertanyaan Frian. Sudah pasti Frian melihatnya sejak tadi ketika ia masih di dalam mobil. Fiona juga yakin pria itu mengamati tangisannya dalam diam hanya untuk mencari bahan mengusik dirinya.

Frian Alandra Sagara. Bagi Fiona, Frian hanyalah salah satu teman SMA. Setelah lulus pria itu melanjutkan pendidikan di luar negeri. Sedangkan dirinya bekerja di perusahaan SAGARA Group yang beberapa bulan lalu ketika Frian pulang dari luar negeri, baru ia ketahui bahwa ternyata bosnya adalah ayah Frian. Sejak dulu pun mereka tidak pernah berbicara selayaknya teman walaupun sering kali berada di lingkungan yang sama. Fiona sendiri tidak menyukai Frian karena sikap dan kata-kata kasar pria itu yang selalu disengaja untuk mengusiknya dengan kesoktahuan pria itu akan dirinya. Kemudian, kenyataan tentang pria itu yang mengetahui hubungan buruknya dengan sang mama, membuat Fiona semakin tak mau tahu apalagi mengenal pria itu lebih banyak lagi.

"Bukan urusanmu!" desis Fiona sinis dan masih terus melangkahkan kaki berusaha tak peduli.

Frian hanya terkekeh kecil. "Malam ini, makan malamlah denganku di Cavena el. Kau tahu tempatnya, bukan?"

Fiona berhenti, memutar tumitnya dan menatap ke arah Frian dengan kegusaran yang nampak jelas. Frian masih bersandar di pintu mobil dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, lengkap dengan segala keangkuhan dan kesombongan yang tak pernah hilang dari wajah pria itu.

"Tidak bisakah kau berhenti menggangguku?" hardik Fiona.

"Kau tahu jawabannya," jawab Frian ringan tanpa rasa bersalah sedikitpun karena sudah membuat suasana hati Fiona semakin buruk. Mengacuhkan tatapan penuh kekesalan yang dilemparkan Fiona padanya. Ia hanya perlu mengabaikan seperti biasa. "Kutunggu jam tujuh malam. Dan jangan terlambat. Kau tahu aku tidak suka menunggu, bukan."

"Kenapa aku harus datang? Apa kau mau memperkenalkanku pada teman-temanmu yang lain lagi? Memperkenalkan calon kakak iparmu pada teman-temanmu. Apa kau pikir itu lelucon yang menyenangkan bagimu? Sandiwaramu itu kekanak-kanakkan, Frian."

Frian hanya diam memandang Fiona dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya seolah menertawakan ucapan Fiona. Dan memang benar. Kemarahan Fiona selalu membuatnya tertawa.

Fiona terbahak menertawakan kebodohannya. Satu-satunya cara menghadapi seorang Frian Alandra Sagara hanyalah diam tanpa kata. Karena pria itu hanyalah punya mulut untuk memerintah dan tidak mempunyai telinga untuk mendengarkan. "Yah, sepertinya kau sangat menikmati rumor yang tersebar di antara teman-temanmu karena sandiwara kekanakanmu itu. 'Bawang merah dan bawang putih yang memperebutkan cinta sang pangeran'," gumam Fiona pelan ditujukan kepada dirinya sendiri. Namun masih cukup untuk ditangkap oleh indera pendengaran Frian. "Sayangnya aku bukan bawang putih yang baik hati dan bawang merah yang mengejar cinta pangeran," tambahnya lagi.

Fiona kembali membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh. Sempat ia melihat wajah Frian yang masih terlihat angkuh dan penuh kepuasan karena berhasil membuat hati Fiona gusar. Lebih dari cukup untuk memberitahunya bahwa pria itu tidak pernah dan tidak akan pernah mengidahkan kata-katanya.

Sedangkan Frian, pria itu termenung dengan matanya masih tertuju pada Fiona. Memperhatikan punggung Fiona yang semakin menjauh. Lalu, wajahnya berubah dingin dan tanpa ekspresi saat Fiona menghilang dari pandangan.

"Itu bukan lelucon maupun sandiwara seperti yang kau pikirkan, Fiona," gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Napasnya berhembus panjang ketika pikirannya berputar mengingat kejadian tiga hari yang lalu.

Frian mengambil benda persegi panjang yang bergetar dari saku celana. Setelah sejenak melirik siapa yang menghubungi, ia menggeser tombol hijau yang tampak di layar kaca iphonenya.

"Hallo ... " jawab Frian.

"Kenapa kau belum datang? Pestanya sudah dimulai!"

" Aku baru saja keluar dari kantor."

"Baiklah. Cepat kemari. Pestanya tidak akan seru jika kau tidak ada. Kau memang magnet bagi kaum hawa, Cassanova."

Frian hanya terkekeh mendengar ucapan temannya. "Julukan itu tidak cocok untukku, Dion. Kau tahu aku tidak pernah mempermainkan wanita sepertimu."

"Hmm, kau cukup mempermainkan hati mereka dengan tatapan dan wajah tampanmu. Sebaiknya kau segera kemari. Kau tidak bisa membuat seorang wanita menunggumu di sini terlalu lama, apa lagi ..." Dion menggantung kalimatnya, " ... sepertinya wanita ini sangat special buatmu."

Frian terkekeh. Hmm, seorang wanita yang sangat special? "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Dion." Frian mengerutkan keningnya tidak mengerti siapa wanita yang sangat special yang dibicarakan oleh Dion. Mungkinkah Fiona, itu tidak mungkin. Tidak ada yang tahu tentang seorang Fiona Mikaela yang menjadi pemilik hatinya kecuali dirinya sendiri. Bahkan yang bersangkutan pun sama sekali tidak mengetahui hal itu.

"Kau tidak perlu menutup-nutupinya pada kami. Sepertinya dia bukan pilihan yang buruk, anak pemilik NOSCA Contruction, Heh?"

'Alra?' tanya Frian dalam hatinya. 'Apa yang dilakukan wanita itu di pesta Benny?'.

Samar-samar terdengar suara seseorang memanggil Dion. "Frian, Benny memanggilku, sebaiknya aku segera pergi. Kau cepatlah kemari." Dion langsung mematikan panggilan secara sepihak.

Frian terdiam. Tampak memikirkan sesuatu sebelum memasukkan kembali iphonennya ke saku celana. Ia mendapatkan sesuatu.

***

Belum ada sedetik Fiona membuka pintu mobil ketika ada sebuah tangan menutupnya kembali dan tiba-tiba menyandarkan tubuhnya tepat di depan pintu mobil. Membuat mata Fiona melotot pada sosok yang berdiri di dengan penuh keangkuhan.

"Apa yang kau lakukan?" Fiona melemparkan tatapan sengitnya pada Frian. "Minggir!"

"Kau masih mempunyai pekerjaan yang harus kau selesaikan," jawab Frian.

"Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu, Frian!" desis Fiona membalas jawaban santai Frian.

Fiona memejamkan mata sekali sambil menghembuskan napas berat, berusaha menghalau kekesalan yang berusaha diusik oleh Frian. "Bukankah jam kantor sudah selesai? Lagi pula aku bukan sekretarismu, Frian. Jika kau butuh seseorang untuk menyelesaikan pekerjaanmu, seharusnya kau meminta pada sekretarismu sendiri?"

Frian tersenyum dan mengangguk. "Kau benar. Aku bukan bosmu. Tapi karena aku sudah meminta ijin pada papa untuk meminjammu dan papa menyetujuinya. Maka sudah seharusnya kau melaksanakan perintah bosmu?"

"Apa?!" Mata Fiona membelalak tak percaya pada ucapan Frian. "Apa kau pikir aku barang yang bisa seenaknya kau pinjam?"

"Aku tidak mengatakan kau adalah barang!" jawab Frian ringan. "Dan masalah jam kerjamu, jangan khawatir. Aku akan membayar lemburmu dengan baik."

"Kau memang tidak mengatakannya, tapi kau memperlakukanku seperti barang yang bisa seenaknya kau pinjam dan beli dengan uangmu yang sangat banyak itu, Mr.Rich."

"Jangan salah paham, Fiona."

"Apa kau mau membodohiku?"

"Membodohimu?" Frian tertawa kecil sambil menggumam lirih. "Tanpa aku membodohimu pun kau memang sudah cukup bodoh jika berhadapan denganku."

Fiona menggeram. Lalu, menghela napas dengan mata terpejam berusaha menenangkan emosi yang bergemuruh. "Sebaiknya kau minggir. Aku punya urusan yang lebih penting daripada membuang waktuku untuk menanggapi permainan entah apa yang kau rencanakan di kepalamu itu."

"Jika kau tidak percaya, apa kau mau aku menghubungi papa untuk memastikannya?"

Fiona terdiam, menatap dan mengamati wajah Frian baik-baik. Berusaha membaca rencana apa yang dipikirkan oleh Frian padanya kali ini. Namun, selama beberapa detik ia menelanjangi wajah Frian, tetap saja ia tidak bisa membaca apa yang ada di dalam kepala pria ini.

"Baiklah. Jika kau tidak mempercayainya, aku..." ucap Frian menggantung sambil merogoh sakunya. Mencari-cari di dalam sana.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Fiona akhirnya sebelum Fria benar-benar memastikan kebenaran pria itu pada bossnya. Sambil membuang muka dari Frian dengan gusar. Ia tidak mungkin membiarkan Frian menghubungi papa pria itu untuk memastikan kebenaran transaksi tersebut. Walaupun ia tahu pekerjaan yang dimaksud Frian nantinya pasti adalah pekerjaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang sesungguhnya, Mungkin hanya menemani Frian untuk makan malam atau entah perintah konyol apalagi yang sangat ia yakini akan berhasil membuat suasana hatinya memburuk seperti biasanya. Ia sama sekali tidak habis pikir kenapa pria yang ada di hadapannya ini suka sekali mengusik ketenangannya.

Frian tersenyum kecil penuh kemenangan. Rencananya berhasil.

***

"Apa ini pekerjaan kantor yang kau bilang?" cibir Fiona saat keduanya berjalan memasuki pintu masuk sebuah bar bernama TONIGHT.

"Apa tadi aku mengatakan tentang pekerjaan kantor?" tanya Frian ringan. Dengan wajah tanpa rasa bersalah sama sekali karena sudah berhasil mengelabuhi Fiona. Mengacuhkan raut keengganan yang terpampang jelas di wajah wanita itu.

"Ya, aku memang sudah menduganya," jawab Fiona sinis.

"Baguslah. Kalau begitu sebaiknya kita nikmati saja pesta ini. Bukankah begitu, Fiona?" Frian tersenyum sambil mengerlingkan matanya pada Fiona. Kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang Fiona dan menarik hingga menempel pada tubuhnya. Kepalanya menunduk untuk mendekatkan mulutnya di telinga Fiona dan berbisik, "Aku berjanji kau tidak akan menyesal datang ke sini denganku."

Fiona mendorong Frian untuk melepaskan pelukan Frian dengan posisi sangat tidak nyaman. Kemudian bersedekap dan menyeringai pada Frian saat berkata, "Karena aku sudah terlanjur disini, semoga saja kau menepati janjimu."

Frian mengedikkan bahunya sedikit. Lalu menarik tangan Fiona berjalan menuju keramaian bar. Beberapa orang tampak menyapa Frian hanya dengan lambaian tangan ketika keduanya berjalan semakin ke dalam ruangan bar tersebut.

"Frian!" Panggil seorang pria sambil melambai ke arah Frian, walaupun suara teriakannya tidak terdengar karena suara musik yang terlalu keras.

Frian pun berjalan menuju sebuah meja yang di kelilingi empat pria dan lima wanita yang duduk di sofa U.

"Apa kalian bersenang-senang?" tanya Frian ketika keduanya sudah berada di dekat mereka.

"Tentu saja," jawab seorang pria yang duduk di paling pojok. Seorang wanita berambut merah sebahu bergelayut manja di lengannya. Sepertinya mereka adalah sepasang kekasih melihat betapa mesranya mereka berdua.

"Tapi tetap saja pesta ini tidak akan seru sebelum kau datang dan memulai pesta sesungguhnya," ucap pria yang tadi melambai pada Frian.

"Alra? Kau juga datang?" tanya Frian pada wanita yang duduk di sofa paling ujung dan paling dekat posisinya dengan tempat Frian dan Fiona berdiri.

Fiona menoleh pada saudara tiri yang baru ia sadari ada di antara mereka. Dan tak bisa menahan diri untuk saling melemparkan tatapan dingin ketika mata mereka bertemu.

Alra mengangguk pelan sambil tersenyum pahit karena Frian baru saja menyadari keberadaannya. Lalu melirik tajam pada Fiona. Sudah cukup keberadaan saudara tirinya tersebut membuatnya kesal, kenapa harus ditambah wanita itu datang bersamaan dengan Frian.

"Kenapa kau juga ada di sini? Bukankah jam kerjamu sebagai sekretaris papanya Frian sudah selesai?" tanya Alra setelah berusaha menguasai diri dan memasang senyum penuh kepuasan. Ia berharap kata-katanya cukup mempermalukan Fiona di hadapan teman-teman Frian.

Seketika Frian menatap tajam ke mata Alra dengan penuh kebencian. Tahu benar maksud perkataan Alra.

"Apa?!" cibir wanita yang duduk di depan Alra. Kemudian melemparkan pandangan menghina ke arah Fiona dari ujung kepala sampai ke ujung kaki menilai. "Sekretaris?"

"Dion bilang kau akan memberi kabar gembira pada kami. Kenapa kau malah membawa sekretaris papamu?" Suara teman Frian yang tidak diketahui Fiona siapa. Ia terlalu sibuk menahan gemuruh di dadanya pada sikap Alra.

Fiona terdiam, matanya yang menajam tidak berhenti menatap Alra yang menyeringai penuh kemenangan. Walaupun ia sudah terbiasa dihina oleh Alra, tetap saja hal itu terasa menyakitkans setiap kali terulang.

"Dia datang ke sini bukan sebagai sekretaris papaku." Frian melingkarkan lengannya di pinggang Fiona dan menarik wanita itu untuk merapatkan diri dengan tubuh Fiona. "Dia di sini sebagai kekasihku!"

Kalimat Frian seperti kotoran yang dilemparkan ke wajah Alra, membuat wajahnya memerah oleh amarah dan mulutnya membuka nutup tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Terlalu terkejut oleh kalimat pemberitahuan Frian.

"Dan kau Alra!" Frian menoleh ke arah Alra. "Kenapa kau bersikap tidak sopan pada kakakmu sendiri di hadapan teman-temanku? Walaupun dia adalah kakak tirimu, setidaknya kau harus menghormatiku mengingat hubungan baik keluarga kita."

Alra kini menatap tajam ke arah Frian penuh kemurkaan yang tidak bisa ia tutupi. Sedangkan semua orang tampak menatap aneh ke arah Alra penuh pertanyaan yang tidak dapat dilontarkan di saat menegangkan seperti ini. Frian cukup pendiam di antara mereka. Akan tetapi, jika kau berani mengusik pria itu. Tatapannya saja sudah cukup untuk membuatmu tercekik.

"Tapi aku tidak akan menyalahkanmu." Frian mengalihkan pandangannya dari Alra dan memandang semua teman-temannya satu persatu dengan tatapan yang tak terbaca. "Bukankah memang sangat sedikit saudara tiri yang bisa saling akur, guys?"

Semua teman-teman Frian hanya mengangguk canggung menjawab pertanyaan Frian yang mereka sendiri tidak yakin akan jawabannya ketika yang bersangkutan ada di antara mereka. Belum lagi tatapan tajam yang dilemparkan Frian pada mereka, mereka lebih memilih mendukung Frian daripada harus menanngung akibat karena berani mengusik seorang Frian Alandra Sagara.

***



Revisi dan Repost


Thursday, 18 July 2019

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 199K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.1M 32K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.3M 33.8K 28
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
40.8K 3.3K 30
Naras Prameswari sungguh sebal dengan pacar jarak jauhnya yang workaholic dan justru menyerahkan tanggung jawab menyiapkan pernikahan sahabat mereka...