LFS 1 - Air Train [END]

By PrythaLize

1.1M 144K 6.3K

[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun b... More

PROLOGUE
The First Station - "Tears After The Day"
The Second Station - "Those Rain That Passes by"
The Third Station - "Unheard Voice"
The Fourth Station - "Passenger"
The Fifth Station - "Pretend"
The Sixth Station - "The Falling Name"
The Seventh Station - "Another Moment"
The Eighth Station - "Another Gift"
The Nineth Station - "The Miracle She Used to Wait"
The Tenth Station - "New Year Eve's Miracle"
The Eleventh Station - "TERROR"
The Twelfth Station - "The Second Message"
The Thirteenth Station - "The Second Entrance"
The Fourteenth Station - "I'm Not The Only One"
The Fifteenth Station - "Heartache"
The Sixteenth Station - "So Near Yet Nobody Could Reach"
-TUNNEL-
-A STOP-
The Eighteenth Station - "The Secret Miracle"
The Nineteenth Station - "How Do You Know?"
The Twentieth Station - "Night"
The Twenty First Station - "The Conversation"
The Last Station - "The Final"
EPILOGUE

The Seventeenth Station - "Hope in Nope"

32.4K 4.7K 235
By PrythaLize

The Seventeenth Station.

Mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang dominan di indera penglihatanku saat aku bangun adalah..., putih.

Hal yang sedaritadi menganggu indera penciumanku adalah bau obat-obatan. Hal yang menganggu indera pendengaranku adalah suara tetesan air yang bertempo dan suara..., apa itu namanya? Sepertinya yang untuk melihat grafik detakan jantung. Elektrokardiogram.

Aku terbaring di sebuah ruangan bernuasa serba putih, khas rumah sakit. Pakaianku juga diganti dengan piyama rumah sakit berwarna putih bergaris merah.

Kuperhatikan selang infus yang menyatu dengan punggung tanganku, ada pula selang oksigen di tepi ranjang, namun tak terpasang di hidungku.

Saat aku mencoba duduk, kepalaku terasa nyeri sekali. Aku bisa merasakan kepalaku diperban sampai membungkus kepala atasku. Bagian yang terluka mungkin di belakang, sebab aku merasakan sakit yang teramat sangat di bagian itu.

Tak lama kemudian, seseorang yang berpakaian khas dokter pun masuk ke ruangan. Ada sebuah stereoskop mengantung di lehernya. Wanita itu memegang map dan beberapa kertas di tangannya.

"Selamat pagi, Tyara," sapanya.

Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan tersenyum canggung. "P-pagi."

"Bagaimana keadaanmu?"

Aku mengusap kepalaku dan meringis. Kepalaku benar-benar terasa sangat sakit. Sangat. "Kepalaku sedikit sakit."

"Hm," Wanita itu menuliskan sesuatu di kertasnya. "Kamu koma selama seminggu."

Seminggu? Waktu yang cukup lama untuk...., oh, yaampun. Aku baru teringat dengan kejadian malam itu. Kejadian yang cukup...., menyedihkan.

Mengapa aku masih hidup?

"Untunglah semua tubuhmu jatuh di atas tanah dan rumput, bukan keramik atau batu keras lainnya. Mungkin kepalamu terasa sakit, tapi tidak ada yang fatal. Kepalamu hanya sedikit lecet. Tapi tenanglah, itu hanya luka kecil yang akan sembuh dalam waktu dekat,"

"Uhm, baiklah, terima kasih, dok," jawabku tanpa tahu hendak menjawab apa.

Wanita itu tersenyum, lalu meninggalkan ruangan, meninggalkanku sendiri yang terbaring di sini. Kuperhatikan nakas di sebelahku. Ada bingkisan bunga melati putih yang jumlahnya lumayan banyak, ada pula buah-buahan yang dibungkus dalam plastic warp.

Keheningan sangat terasa, hanya ada suara 'beep' dan suara langkah kaki dari luar yang lalu lalang. Mataku memperhatikan jam dinding besi yang menggantung tepat di depanku.

Pukul delapan pagi.

Aku tiduran setengah gelisah, beberapa kali bergerak mencari posisi nyaman. Tapi tetap saja aku tak menemukan posisi nyaman setelah beberapa kali bolak-balik. Gerakanku terbatas dikarenakan selang infus yang ada di punggung tangan kiriku.

Suara dering alunan piano dari lagu di ponselku membuatku terperanjat. Bukannya aku lupa tentang diriku yang memasang lagu itu sebagai nada dering. Tapi, lagu itu sama sekali tidak pernah terputar tiba-tiba seperti ini, yang mana halnya hari ini seseorang meneleponku.

Hal yang jarang terjadi itu sontak membuatku gugup. Kulirik layar ponselku dari ranjang. Tanganku mencoba meraih ponsel meskipun tanganku sedikit sulit digerakan. Saat aku mendapatkan ponselku, membaca nama penelepon, mataku menerjap.

Mama is Calling.

Terakhir kali aku bertemu Mama adalah malam itu, dengan semua hal yang menyesakan yang keluar dari mulutnya. Seharusnya malam itu aku membiarkan semuanya berlalu dengan baik-baik saja. Seharusnya omongannya sore itu tak perlu kucerna bulat-bulat, yah, aku tahu. Aku salah.

Aku tahu aku tak bisa menyalahkan emosi seseorang. Mungkin saja sore itu Mama kecapekan dan letih berdebat dengan Papa, dan cara tercepat untuk mengakhiri perdebatan adalah mengatakan hal itu. Mungkin saja.

Dengan tangan sedikit gemetaran, aku mengangkat panggilan itu. Sempat ada jeda selama lima detik karena aku mencoba menormalkan debaran jantungku. "H-halo?"

"Tyara?" Terdengar suara helaan nafas lega panjang dari seberang telepon. "Syukurlah kamu sudah bangun, Nak. Bagaimana keadaanmu?"

"Baik," Aku melirik ke kuku tanganku yang kini telah memanjang. "Bunga melati sama buahnya ..., Mama yang bawain ya?"

"Iya," Jeda tiga detik, aku samar-samar dapat mendengar suara dering telepon di seberang sana. "Ah-Tyara, Mama bakal datang saat makan siang nanti, ya?"

Mataku menerjap. Serius? Mama datang hanya untuk menemaniku? Disaat sibuk?

"O-oke, Ma."

"Untuk sarapan, kamu makan bubur di rumah sakit saja, yah. Makan siang nanti Mama bawakan makanan kesukaanmu."

Bahkan Mama juga ..., ingat dengan makanan kesukaanku?

"I-iya, Ma."

Terdengar suara endcall dari seberang sana, yang membuatku langsung berganti posisi duduk. Perasaanku campur aduk. Aku berharap ini bukanlah mimpi. Kapan-Mama pernah meneleponiku dan sekhawatir ini kepadaku? Ada terbesit sedikit rasa senang, hanya sedikit.

Disaat bersamaan aku berharap ini hanyalah mimpi. Aku berharap kejadian dimana Aetherd menghilang menjadi debu hari itu hanyalah mimpi. Aku berharap disaat seperti ini ada suara peluit kereta api melengking yang menganggu pikiranku, aku sangat mengharapkan itu. Sangat.

Mengapa harus ada pertemuan jika akhirnya perpisahan selalu datang?

*

Atmosfir dalam kamar ini terasa begitu-berat.

Jam di dinding menunjukan pukul duabelas lewat duapuluh menit. Di depanku, kotak bekal berisi nasi dan ayam goreng tersaji dengan keadaan masih hangat dan asap masih mengepul.

Seharusnya aku makan dengan lahap saja, mengingat makan bubur tadi pagi tidak cukup membuat perutku terisi. Tapi bagaimana mungkin aku melakukannya?

Di sisi kiri kanan tempat tidurku, ada Papa dan Mama yang mengawasiku. Mama memberikan pandangan harap-harap cemas, sedangkan Papa memberikan tatapan tajam dan penuh pertanyaan.

"Makan dulu, Tyara," ujar Papa dengan nada berat yang membuatku segera memakan makanan itu.

Sepanjang makan, masih dalam etika makan seperti biasa, mereka tidak akan mengajakku berbicara. Mereka hanya menatapku makan, hingga aku menyelesaikan makanku. Aku pun tak berani berkata apa-apa. Dari tatapan Papa saja aku dapat mengartikan kemarahan yang begitu besar dan belum terlampiaskan. Dalam batin, aku berencana memakan makanan itu dengan pelan saja, berusaha mengulur waktu meski aku tahu semuanya akan tetap sama.

"Terima kasih makanannya," gumamku dengan suara kecil. Aku meneguk ludahku tanpa sadar, lalu membereskan kotak bekal dengan sedikit gerakan lamban.

"Tyara, Papa sangat kecewa denganmu," sahut Papa to the point, membuatku tersentak dikarenanya.

Keningku berkerut, aku mencoba mencerna perkataan Papa. Aku sama sekali tidak mengerti apapun yang dikatakannya sampai Mama membantu menjelaskannya dalam kalimat pendek.

"Kamu berniat bunuh diri, Ra?"

Aku? Bunuh diri? Darimana mereka menyimpulkan itu?

"Setelah Mama menemukanmu jatuh di taman belakang dan kami membawamu ke rumah sakit, kami mengira bahwa kamu tidak sengaja jatuh dari balkon." Mama menerangkan dengan raut wajah sedikit lesu. "Saat kami memeriksa kamarmu, kamarmu sangat berantakan."

"Lalu Bi Erni bercerita bahwa kamu sebenarnya mendengar perbincangan kami di bawah," lanjut Mama dengan bahu bergetar. "Mama tidak bermaksud mengatakan itu, sungguh."

"Selama merawatmu sampai sebesar ini, Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk melarikan diri dari masalah dengan cara yang tidak pantas seperti itu." Papa berkata dengan tatapan begitu kelam. Di dalam selimut, tanganku sudah terkepal tak menerima apapun yang mereka sampaikan di sini. "Papa tidak tahu kalau ternyata kamu punya sifat tak terpuji seperti ini."

Mengapa aku yang disalahkan dalam kasus ini?

"Tentu saja Papa dan Mama tidak tahu." Aku menaikkan kepalaku, menatap mereka dengan mata berair. "Memangnya kapan Papa mengajariku? Papa dan Mama kan..., sibuk terus."

"Iya, kami tahu, Tyara. Tapi tidak dengan cara bodoh seperti itu, kan?" Mama sudah menangis di depanku. "Kami hampir kehilanganmu."

"Bukannya bagus? Tidak akan ada yang 'mengganggu' kalian." Aku sudah menintikan air mata, lalu segera aku menunduk, tak ingin membiarkan mereka melihatku menangis. "Tyara tahu kalau Tyara itu cuman-"

PLAK!

Mataku membulat begitu merasakan betapa pedasnya pipiku. Aku menatap Papa dengan tatapan tak percaya.

Papa ..., baru saja menamparku?

"Tyara Flarandra." Ayah menyebut namaku dengan nada yang tegas dan dalam, biasanya mampu membuatku merinding, tetapi tidak dengan hari ini. "Jangan berkata apapun lagi."

Meskipun itu-kenyataan?

"Mama benar-benar tidak bermaksud. Mama menyesal." Mama sudah menangis, berbeda dengan Papa yang masih menatapku dalam. "Mama tidak akan memaksamu. Kamu boleh memilih SMA di Permata, Mama tidak akan memaksamu."

Sementara aku hanya terdiam, meratapi wajah mereka berdua-yang kini terlihat berbeda dari biasanya.

...Bukanlah lebih baik aku tidak pernah terbangun?

Papa bangkit, matanya masih menatap ke arahku dan Mama. Wajahnya memerah seperti menahan emosi. "Aku pergi dulu, aku akan kembali lagi petang nanti." Beberapa saat kemudian pintu sudah tertutup, membuat sosok Papa tidak terlihat.

Aku tahu Papa dan Mama yang sibuk, berusaha untuk datang hari ini. Aku juga tahu kalau Papa sebenarnya hanya keluar untuk menenangkan diri. Aku tahu sebenarnya dering HP Mama berbunyi, mungkin klien atau atasannya yang menelepon, namun tak di jawabnya. Aku tahu mereka berdua sudah berkorban. Memang benar-aku hanya beban.

"Aku ..., tidak berniat bunuh diri, Ma." Sahutku setelah keheningan yang panjang. "Aku memang sangat tertekan waktu itu, ada sedikit pemikiran tentang itu, tapi aku tidak berniat melakukan itu," ujarku lirih.

"Kamu terjatuh dari balkon?" Mama langsung menyimpulkan. Kulihat matanya masih memerah dan sembab. "Mama akan menelepon kenalan Mama yang bekerja sebagai pintar besi untuk membuat jeruji besi yang lebih tertutup."

Sebenarnya tidak perlu, kan?

Lagipula, aku tidak akan memanjat besi balkon lagi untuk menjangkau kereta api itu.

Untuk..., Aetherd.

Aku meraba leherku, tak menemukan kunci itu. Kejadian malam itu bukanlah mimpi. Kereta api itu, Aetherd, dan semua keajaiban-menghilang begitu saja. Tanpa sisa, tanpa jejak, tanpa ada bukti.

Seolah mengerti apa yang tengah kucari, Mama langsung berkata. "Saat kamu jatuh hari itu ...," Mama mengeledah isi tasnya, membuat harapanku sempat melambung tinggi mengharapkan adanya kunci itu, sebelum akhirnya Mama mengeluarkan rantai kalung besi tanpa aksesori biasa yang menggantung di sana-kunci. "Mama tidak tahu kuncinya di mana. Hanya ini yang ada saat itu."

Aku mengambil rantai kalung itu dengan perasaan setengah kecewa. "Iya, kuncinya memang hilang."

Andai saja saat itu aku punya keberanian untuk mengumpulkan setiap kepingan yang terpisah, mungkin tidak akan begini ceritanya. Aku tahu, ya, aku tahu. Itu hal yang mustahil dilakukan-mengumpulkan debu?

Sia-sia.

Aku memang tidak yakin aku bisa melakukannya. Tapi aku menyesal, aku tidak mencobanya saat itu.

Aku sangat menyesal.

Saat kulihat Mama mengeluarkan ponselnya, aku buru-buru mencegahnya. Bagaimanapun juga balkon kamarku-memiliki kenangan tersendiri.

"Tidak perlu nyuruh orang pasang besi, Ma. Tyara bakal hati-hati lain kali."

"Sungguh?" Aku mengangguk sembari memperlihatnya senyuman. "Mama nggak bakal tutup sepenuhnya, tapi Mama tetap minta orangnya buat tinggikan tiang balkonmu, oke?"

Aku mengangguk setuju.

Siapa tahu ..., kereta api itu datang lagi?

Siapa tahu?

***TBC***

10 September 2016, Sabtu.

Cindyana's Note

Q : Eh, Ka Cin udah dapet pencerahan buat ending Air Train?
A : LOL, udah dapat gambarannya sih. Tenang aja yaa.

Q : Kak, LFS 2-selanjutnya kapan?
A : Entahlah, pelan-pelan saja ya.

Q : Kak, kemarin-kemarin aku baca prolog cerita baru Kakak. Itu serius, nunggu DN sama Air Train tamat dulu?
A : Hooh, serius. Kalo nggak mau nunggu, jangan baca dulu ya.

Q : Air Train rencananya berapa chapter kak?
A : Belum tau, semoga ga kena 30.

Pertanyaan yang numpuk di message udah saya jawab yaa, rata-rata ya itu. Pertanyaan lain silahkan PM atau line.

Sekian~ Terima kasih.

[25/04/16-23:11]

Cindyana

Continue Reading

You'll Also Like

297K 24.2K 27
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki banyak teman karena status sosialnya...
608K 24.8K 33
Judul Sebelumnya : My Cold Husband Selena Azaerin, itulah namanya, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, dia tak pernah kehilangan sif...
2M 134K 41
[SELESAI] Vidia adalah salah satu dari banyaknya manusia yang bisa melihat hantu. Hidupnya datar, sedatar jalan tol yang baru dibuka. Namun, semuanya...
17.8K 1.2K 65
Wu Ping bertransmigrasi ke dunia kultivasi dan menjadi murid sekte luar dari sekte Dao Iblis, Sekte Hujan Darah. Dia awalnya berpikir bahwa dengan ba...